, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Curhat


Curhat

Suatu saat, ketika saya bersilaturahmi dengan guru ngaji saya, nun jauh di kampung, beliau berpesan. Dan pesan beliau adalah, "Jika kamu sedang punya masalah, janganlah kau diamkan sendiri. Curahkanlah perasaan hatimu dengan orang yang paling dekat denganmu. Mungkin orang tuamu, kawanmu, saudaramu atau siapa saja. Jika semua itu meragukanmu atau kau kurang berani mengatakan sejujurnya, dengan guru ngajimu pun tidak apa-apa. Sebab dengan 'curhat', tidak jarang akan menemukan jalan keluar. Dan tentu saja itu akan melegakan kamu."
Pesan guru ngaji saya itu sering saya praktekan. Karena terus terang saja, sebagai manusia biasa, saya ini sering sekali mengalami kesukaran-kesukaran dalam menghadapi sesuatu hal atau masalah.
Maka beberapa waktu lalu, ketika himpitan masalah bertubi-tubi datang kepada saya, pada saat saya sedang merenda hari-hari di negeri orang, saya pun tak ragu-ragu untuk mencurahkan perasaan saya kepada sahabat-sahabat saya. Saya mencoba menuliskan permasalahan saya, dan saya kirimkan ke sebuah redaksi situs Islam. Dan beberapa hari kemudian redaksi situs tersebut memuatnya. Sejak itu, banyak nasehat, petuah, doa, saran, berdatangan di mailbox saya.
Ada yang mendoakan semoga saya tabah. Dan apa yang sedang menimpa saya menjadi jalan untuk mengugurkan dosa-dosa saya. Ada juga yang mendoakan, walaupun banyak masalah tapi istiqamah-lah dalam menjalankan syariat-Nya. Ada juga yang mengingatkan agar saya banyak-banyak mengingat Allah. Ada juga yang memberi saran, agar saya pulang saja ke Indonesia, walau bagaimanapun Indoneia masih menjajikan untuk para pencari rezeki.
Dan ada seorang yang sedang punya nasib sama dengan saya, yaitu seorang pekerja di Hongkong, memberi nasehat panjang lebar kepada saya dengan cara menuliskan perjalanan hidupnya. Perempuan muda asal Blitar, Jawa Timur itu menulis:
Saya memang sangat menikmati pekerjaan di Hongkong ini, Mas. Majikan saya sangat baik. Kalau pekerjaan saya sudah selesai, saya bisa melakanakan kegiatan apa saja. Bisa baca buku, browsing internet di rumah dan juga diberi keleluasaan beribadah, walaupun majikan saya sendiri tidak beragama.
Tapi, tahukah kamu dengan perjalanan hidup saya? Saya akan mencoba menceritakan padamu.
Saya asal Blitar, Jawa Timur. Bapak saya seorang buruh nelayan, yang tidak punya perahu sendiri. Ketika SD, guru-guru saya memuji bahwa saya adalah anak pandai di sekolah. Saya selalu menduduki ranking atas. Sehingga saya punya obsesi untuk melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Tapi rupanya obsesi saya tidak seimbang dengan kemampuan orang tua saya. Saya baru merasa bahwa sekolah butuh biaya banyak.
Sambil bekerja di sebuah peternakan saya masuk SMP. Namun hanya bertahan setahun, karena kekurangan biaya. Memasuki kelas dua, saya keluar. Umur saya waktu itu empat belas tahun. Keluar dari sekolah, saya mencoba merantau ke Singapura. Sayang, di sana saya menemui majikan yang sangat tidak baik. Jangankan berhubungan dengan kawan, menerima surat dari Indonesia pun saya tidak boleh. Walaupun begitu, saya kuatkan sampai habis kontrak, yaitu selama dua tahun.
Setelah merantau ke Singapura, sebenarnya saya tidak ingin merantau ke luar negeri lagi. Kapok rasanya kerja di luar negeri. Tapi apa hendak dikata, saya tidak tahan melihat keadaan orang tua. Ahirnya saya memutuskan untuk merantau lagi. Kal ini saya mencoba merantau ke Hongkong.
Alhamdulillah proses ke sana agak mudah. Dan saya menemui majikan yang lain dengan yang di Singapura. Tahun pertama saya bisa membantu menyekolahkan adik saya sambil mondok di Jember. Dan saya juga bisa membelikan perahu sendiri untuk ayah. Alhamdulillah agak ada sedikit peningkatan dalam kehidupan keluarga saya.
Namun kesenangan saya tidak berumur lama. Tiba-tiba sebuah kejadian menimpa saya lagi. Awalnya saya menolong seorang teman yang sama-sama kerja di Hongkong. Dia butuh uang banyak. Karena saya tidak mempunyai uang sebanyak yang ia minta, ahirnya saya relakan dokumen paspor saya untuk meminjam uang di bank. Namun baru dua kali angsuran, dia dipulangkan dari Hongkong. Terpaksa sayalah yang harus mengangsur utang kawan saya tersebut. Padahal waktu itu saya sedang membantu orang tua saya dalam usaha pertanian. Akhirnya usaha tersebut menjadi kocar-kacir.
Cobaan dari Allah tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba di saat kekalutan belum pulih, orang tua saya mengabarkan bahwa, Blitar dilanda banjir besar. Rumah orang tua saya ikut terkena musibah itu. Sekarang hanya tinggal rumah kosong dan seonggok sampah yang dibawa banjir. Kesedihan saya terus bertambah. Namun saya akan meneruskan bekerja di Hongkong. Bagaimanapun juga saya harus melanjutkan usaha ini. Mas, sekarang saya sudah memasuki kontrak yang ke empat.
Saya diam sejenak membaca kisah sahabat saya ini. Saya mencoba mengulas perjalanan hidup saya sendiri. Dan mencoba membandingkannya dengan dia. Akhirnya tak terasa terlontar rintihan dari dalam diri saya. Ternyata saya tidak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup ini.
Kisah sahabat saya mengajari agar saya lebih banyak untuk menunduk. Menunduk dalam arti banyak-banyak memandang ke bawah. Ternyata pada saat kami mengalami masalah berat, ada kawan atau sahabat kita yang sedang mengalami yang lebih berat dari kami. Jadi, sebagai hamba Allah, memang tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak bersyukur pada-Nya. Sebab nikmat Allah tidak harus seonggok rupiah, masih diberi kesempatan untuk hidup pun adalah nikmat terbesar yang Dia berikan pada kami.
Mungkin saya tidak akan menemui 'mutiara kehidupan' ini, seandainya saya tidak mencurahkan isi hati saya kepada orang lain. Mungkin saya akan selalu dalam kedaan beku pikiran dan larut dalam gelombang kesedihan. Dan benarlah kata guru ngaji saya, bahwa 'curhat' bisa menjembatani kami untuk mendobrak berbagai macam permasalahan.


DAHSYATNYA energi IBADAH
oleh Sus Woyo

"Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag"                  (Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah              sebagaimana ibadah yang dia lakukan)
 eramuslim - Rabu malam tanggal 18 Nopember lalu, masyarakat Swedia dikejutkan dengan berita kematian atlit kebanggaan mereka, Mikael Ljungberg. Mikael Ljungberg, pegulat berusia 34 tahun, peraih mendali emas di Olimpiade dunia di Sydney tahun 2000 yang lalu telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di rumah sakit Molndal (di luar kota Gothenburg) tempat dia menjalani terapi depresi.
Tidak begitu jelas hal apa yang mendorongnya melakukan bunuh diri. Berbagai peristiwa sedih memang mendera sang jagoan olimpiade ini termasuk kematian ibunya dan perceraian dengan istrinya. Sungguh disayangkan, Mikael Ljungberg, pria yang pernah dijuluki manusia terkuat di dunia (karena telah berkali-kali meraih berbagai mendali pada olah raga gulat pada berbagai kejuaraan tingkat dunia), pria yang pernah menaklukkan seluruh pegulat-pegulat terbaik di dunia, ternyata tidak mampu menaklukkan dirinya sendiri.
Begitulah episode akhir dari jagon olimpiade yang telah kehilangan energi kehidupan. Sebagaimana yang ditulis Anawati beberapa waktu yang lalu di eramuslim tentang Energi Ambang, semua yang hidup, segala sesuatu yang bergerak, memerlukan energi. Bila energi terus menipis dan kemudian habis, benda yang tadinya bergerak, perlahan berhenti hingga akhirnya stop sama sekali. Energi yang paling hakiki bagi seorang manusia adalah motivasi hidupnya. Bila motivasi hilang, maka hilanglah pegangan hidup, lenyaplah energi dan berhentilah kehidupan itu sendiri.
Motivasi hidup seorang manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Ibadah inilah yang menjadi sumber energi bagi kehidupan, demikian hal yang pernah diungkap di salah satu edisi Majalah Tarbawi. Karena itulah kehidupan yang ditopang semata-mata oleh teori humanisme belaka, seperti laiknya masyarakat barat, hanya melahirkan sosok-sosok yang rentan dan labil, yang tidak mampu menahan badai kehidupan. Jadi jangan heran, orang-orang barat yang tubuhnya segar bugar, prianya tampan-tampan dan wanitanya cantik-cantik, ternyata kebanyakan mereka tidak ubahnya sosok-sosok lemah tanpa daya yang begitu mudah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Misalnya di Swedia, manurut harian pagi terkemuka Goteborgs Posten, diantara jumlah penduduk Swedia yang hanya 9 juta orang itu, setiap enam jam ada satu orang yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bahkan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar bagi golongan usia 15-44 tahun, usia muda dimana seseorang seharusnya mempunyai energi yang prima untuk berkarya.
Ibadah kepada Allah, adalah sumber energi kehidupan yang utama dan pertama. Energi sangat diperlukan, terlebih-lebih pada saat-saat krisis. Bahwa kehidupan di dunia tidaklah selalu diwarnai dengan bunga, pujian dan sanjungan. Bahwa onak dan duri kerap ditemukan dalam jalan kehidupan yang panjang ini. Bahwa badai, ombak dan gelombang bisa saja datang secara tiba-tiba, yang bila kita tidak mempunyai persediaan energi yang prima untuk berenang ke tepian, bisa saja gelombang tadi menyeret dan menenggelamkan kita ke dasar lautan, ke lembah neraka jahanam karena kita mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

"Sesunggunya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat, yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya" (Qur'an, surah Al-Ma'aarij:19-23).
Di sinilah sholat, sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah, mampu membentuk pribadi-pribadi tangguh, yang selalu mempunyai energi kehidupan sehingga tidak berkeluh kesah apalagi menyerah terhadap berbagai kesusahan dan kesedihan. Apalagi Allah telah menjanjikan bahwa sholat yang benar akan mampu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkan termasuk bunuh diri.
Saya jadi teringat kisah Fredrik Dahlberg, pemuda asli Swedia kelahiran tahun 1974, yang kemudian menjadi muslim di tahun 1996. Istrinya, gadis asal Perancis, juga menjadi muslim pada tahun yang sama. Allahu Akbar. Sebelum mereka menjadi muslim, mereka pernah berkunjung ke Yaman. Suatu ketika mereka tidak menemukan hotel untuk bermalam hingga akhirnya datang seorang Yaman menawari mereka bermalam di tempat tinggalnya. Selain Fredrik dan istrinya, ada juga tiga orang Yaman lainnya, yang ketika itu tidak mempunyai tempat bermalam, juga ditawari bermalam di tempat tinggal orang tadi.
Lelaki Yaman tadi begitu ramah dan positif, tidak tampak raut kesedihan sama sekali, padahal anak gadis tercintanya yang berumur 1 tahun baru saja meninggal dunia sebulan yang lalu. Namun lelaki Yaman ini tetap memuliakan para tamunya (termasuk Fredrik dan istrinya) sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam. Setelah semuanya selesai, malam itu laki-laki Yaman tadi bersama tiga orang Yaman lainya menunaikan sholat berjamaah. Menyaksikan laki-laki Yaman tadi begitu khusyuk dalam sholatnya (padahal anaknya baru saja meninggal dunia), Fredrik menulis dalam buku memoarnya, "Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag" artinya "Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah sebagaimana ibadah yang dia (laki-laki Yaman itu) lakukan".
Lebih lanjut Fredrik menulis mengomentari pria Yaman tadi "Att vara positif, och be till Gud..." "Selalu bersikap positif dan beribadah pada Allah..." Sikap pria tadi yang begitu tegar dalam menghadapi musibah dan senantiasa berprasangka positif kepada Allah, memberikan kesan yang begitu kuat dan mendalam bagi Fredrik dan istrinya. Peristiwa ini adalah satu dari beberapa peristiwa lainnya, yang membuat Fredrik dan istrinya sangat kagum terhadap muslim hingga akhirnya mereka tertarik mempelajari Islam dan kemudian menjadi muslim.
Pria Yaman tadi adalah orang yang sangat sederhana, bukan orang ternama seperti Mikael Ljungberg. Pria Yaman ini juga bukanlah orang seperkasa Mikael Ljungberg yang mampu mengalahkan pegulat-pegulat kelas dunia. Namun Pria Yaman ini memiliki energi kehidupan yang tidak pernah habis, sebuah energi yang tidak dimiliki oleh Mikael Ljungberg. Mungkin inilah rahasia mengapa ibadah kepada Allah harus terus dilakukan dimana dan kapan saja serta dalam keadaan bagaimana pun juga, karena melalui ibadahlah kita mendapatkan energi kehidupan. Bila ibadah terhenti, energi menjadi lenyap, tubuh menjadi kaku maka di sinilah terminal kehidupan dunia kita berakhir ( menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi ).


Entrepeneur Langit
Apakah Anda Sungguh Ingin Menjadi Pengusaha dan Kaya Raya? Ada jerih payah untuk mendapatkan kekayaan, ribuan kehati-hatian untuk mempertahankannya, dan ribuan kesedihan jika kehilangan - Thomas Draxe
Sebuah sub judul pada halaman awal sebuah buku pegangan bagi calon pengusaha sukses di tanganku. "Mmm ... pengusaha dan kaya raya, sebuah dua sisi mata uang, selalu berhubungan," pikirku. Sejak kecil impian untuk menjadi seorang pengusaha selalu terngiang. Aku masih teringat sewaktu di sekolah dasar di era 80-an, seringkali aku membawa sebuah kartu nama ayahku yang tertulis sebagai President Director di salah satu perusahaan. Sering kubawa kartu nama itu, sesekali kupamerkan kepada rekan-rekanku di sekolah. Dulu, aku begitu bangga dengan kartu nama tersebut.
Atau kadangkala aku buat sendiri sebuah kartu nama dari guntingan kertas karton yang kuberi logo dan warna sesuka hatiku, dan tak lupa menuliskan jabatan president director di bawah namaku dengan spidolku. Ehm ... senang hatiku melihatnya, dan sering pula kutunjukan pada kedua orang tuaku, atau siapa pun yang ingin aku pamerkan. Kartu itu kerap menghiasi dompet mungilku, dan aku berharap mudah-mudahan dewasa kelak bisa menjadi pengusaha sungguhan. Mimpiku.
Itu masa kecilku ...  Ya, pengusaha. Yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, menjadi pengusaha tentulah selalu dikelilingi oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk meraup uang, kepuasan materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan. Menjadi pengusaha yang kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu menjadi tujuan utamanya. Ya, sekali lagi, kaya telah menjadi sesembahan baru di zaman ini.
Sungguh mengagetkan pendapat Robert T. Kiyosaki dalam menanggapi definisi "bagaimana mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa banyak orang tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang memberi kepada sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah seseorang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka orang tersebut akan menjadi kaya raya. Aku pikir itu adalah prinsip yang sungguh Islami.
Aku teringat sebuah dialog dengan rekan seorang pengusaha yang sungguh menarik sekaligus memperkuat penjelasan di atas. Pada saat kutanya bagaimana caranya membangun bisnisnya, beliau mengatakan, "Yang terpenting dalam targetku adalah aku berbuat bisnis seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan, sungguh sekali-kali tidak! Yang kuingin adalah aku punya sekumpulan pegawai laiknya kumpulan umat di bawah wilayah perusahaanku. Aku berharap dengan di bawah kepemimpinanku, tidak ada teriakan kata lapar lagi dari para pegawai maupun anak-anak mereka. Aku ingin menjadikan kantorku sebagai tempat perlindungan sekumpulan umat kecilku itu, aku sayang mereka, dan semakin sayang kepada mereka, dan juga kepada anak-anak mereka. Tidak pernah terpikir olehku berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini. Aku bina perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang laiknya seorang ayah. Aku berusaha keras sekuat tenagaku untuk menahkodai kapal bisnis ini untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu kulibatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Kuingin suasana perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan umatku merasa bahagia, dan aku berkeyakinan hal itu akan menjadi persembahan kami dalam meraih keberkahan dan akan menjadi bekal di akhirat kelak ...! Kami yakin pasti Allah akan selalu menolong kami."
Tak terasa mataku berkaca kaca dan keharuanku mengalir bersama dengan uraiannya.
Lain lagi Bob Galvin, bercerita tentang ayahnya, pendiri Motorola. Sewaktu dia mengamati deretan pekerja wanita dan dia termenung, "Mereka semua mirip dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus dicukupkan, rumah yang harus dirawat, dan orang-orang yang masih memerlukan mereka yang berada dibawah tanggungan mereka." Hal itulah, ujar Galvin, yang membuat ayahnya selalu termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan yang lebih baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri semua pekerja itu. "Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat yang mendalam," katanya.
Bahkan salah satu sosok kaum beriman, Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas kasih dan rasa cintanya, dia selalu memberikan upah kepada pegawainya lebih besar dari apa yang ia terima. "Allahu akbar," gumamku, dan aku yakin bila hal ini kusampaikan kepada para pegawaiku, mereka semua akan tersenyum lebar dan berharap hal itu menjadi kenyataan setelah membaca ini.
Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat nabi juga telah mempraktekkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha yang sukses. Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah saw, kemudian dia mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu dia menanggung 500 kuda untuk kepentingan fi sabillillah, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fi sabilillah. Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis.
Mereka melakukan semua itu, tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa yaitu surga-Nya.
Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (At Taubah:111)
Said Nursi, ulama dari Turki, mengomentari ayat tersebut dan berkata, "Seandainya saya memiliki seribu nyawa, dengan senang hati saya akan mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya saya kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan membawa saya ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama di tiang gantungan. Saya ingin sekali dan sudah tidak sabar untuk melihat akhirat. Cobalah Anda bayangkan keadaan pikiran seorang anak kampung dari sebuah dusun yang seumur hidupnya belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Maka anda akan tahu bagaimana ketidaksabaran saya untuk mencapai hari akhir itu."
Akhirnya, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner langit seperti itu ?


Berawal Dari Mimpi
Kenyataan hari ini adalah impian hari kemarin
(Imam Asy Syahid Hasan Al Banna)
Sahabatku…
Jika engkau mau membaca sejarah biografi tokoh-tokoh ternama. Maka engkau akan temukan bahwa apa yang telah mereka ciptakan berawal dari mimpi.
Ketika aku mencari nama orang yang bisa mengenali dan menghidupkan impiannya, saya berpikir tentang visioner dan pioner mobil Henry Ford. Dia menyatakan, “Semua rahasia hidup yang berhasil adalah menemukan apa yang ditentukan nasib pada kita, dan kemudian melakukannya.”
Orang-orang lainnya berani bermimpi dan mereka sukses. Beethoven menyadarkan dunia akan kemampuan hebatnya dalam musik ketika dia membuat sejumlah simfoni, dan ini terjadi setelah dia kehilangan pendengarannya. Charles Dickens dulunya bermimpi untuk menjadi seorang penulis dan akhirnya dia menjadi novelis yang bukunya paling banyak dibaca orang di Inggris pada zaman Victoria - meskipun dia dilahirkan di keluarga miskin.
Thomas Edison melamunkan sebuah lampu yang bisa dihidupkan dengan listrik, memulai dari tempat ia berdiri untuk mengubah impiannya menjadi tindakan. Dan walaupun dia menemui lebih dari sepuluh ribu kegagalan, dia tetap memegang teguh impiannya sampai dia menjadikannya sebuah kenyataan fisik. Pemimpi praktis pantang menyerah!
Wright bersaudara memimpikan sebuah mesin yang bisa terbang di udara. Sekarang setiap orang bisa melihat bukti di seluruh dunia bahwa impian mereka menjadi kenyataan.
Marconi memimpikan satu sistem untuk mengendalikan kekuatan ether yang tidak kelihatan. Bukti bahwa impiannya tidak sia-sia bisa ditemukan pada setiap pesawat radio dan televisi di seluruh dunia. Mungkin Anda tertarik untuk mengetahui bahwa “teman-teman” Marconi menyuruh agar dia di kurung dan di periksa di sebuah rumah sakit jiwa ketika ia mengumumkan bahwa dia telah menemukan prinsip yang bisa digunakan untuk mengirim berita melalui udara tanpa bantuan kabel atau sarana fisik komunikasi langsung lainnya.
Menurut Jhon C. Maxwell sebuah impian bisa melakukan banyak hal kepada kita:
Pertama, impian menunjukkan arah kepada kita. Ia bisa berperan sebagai kompas, memberitahu kita arah mana yang harus ditempuh. Hingga kita mengenali arah yang benar itu, kita tidak akan pernah mengetahui apakah langkah kita benar-benar merupakan kemajuan. Langkah kita mungkin membawa kita ke belakang dan bukan ke depan. Jika engkau bergerak ke sembarang arah selain menuju impianmu, engkau akan kehilangan kesempatan-kesempatan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan.
Kedua, impian meningkatkan kekuatan kita. Tanpa impian, kita mungkin harus berjuang keras untuk melihat kekuatan yang ada dalam diri kita karena kita tidak bisa melihat situasi di luar keadaan kita saat ini. Akan tetapi dengan impian, kita mulai memandang diri kita dalam cahaya baru, karena mempunyai kekuatan yang lebih besar dan mampu merentangkan dan berkembang untuk mencapainya. Setiap kesempatan yang kita temui, setiap sumber yang kita dapatkan, setiap talenta yang kita kembangkan, menjadi bagian kekuatan kita untuk tumbuh ke arah impian itu. Semakin besar impian, semakin besar pula kekuatannya.

Ketiga, impian membantu kita menentukan prioritas. Impian memberi kita harapan untuk masa depan, dan ia juga memberi kita kekuasaan di saat ini. Impian membuat kita memprioritaskan segala sesuatu yang kita lakukan. Seseorang yang memiliki impian mengetahui apa yang akan atau harus dikorbankannya agar bisa maju. Dia mampu mengukur segala sesuatu yang dikerjakannya apakah membantu atau menghambat impian itu, memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang membawanya lebih dekat pada impian itu dan memberi sedikit perhatian pada hal-hal sebaliknya.
Keempat, impian menambah nilai pada pekerjaan kita. impian menempatkan segala yang kita lakukan ke dalam perspektif. Bahkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan menambah nilai saat kita mengetahui hal itu memberi kontribusi pada pemenuhan impian. Setiap aktivitas menjadi bagian penting di dalam gambar yang lebih besar itu.
Kelima, impian meramal masa depan kita. ketika kita mempunyai impian, kita bukan hanya penonton yang duduk di belakang dan mengharapkan segala sesuatu berubah membaik. Kita harus aktif ikut serta dalam membentuk tujuan dan arti hidup kita. Angin perubahan tidak begitu saja meniup ke sini dan ke sana. Impian kita, ketika dilanjutkan, mungkin sekali merupakan peramal masa depan kita.
Sahabatku…
Ada perbedaan antara mengangankan suatu benda dan siap menerimanya. Tidak ada seorang pun siap untuk sesuatu sampai dia yakin akan memperolehnya. Keadaan pikiran harus penuh keyakinan bukan hanya berharap atau mengangankan. Keadaan pikiran yang terbuka sangat penting untuk keyakinan. Pikiran yang tertutup tidak mengilhamkan keyakinan keberanian, atau kepercayaan.


Berat Langkah Si Tukang Siomay
Oleh Bayu Gawtama
Kepulangan ke rumah harus tertunda, ketika pimpinan kantor meminta seluruh tim rapat mendadak. Berbagai bencana yang terjadi di negeri ini, juga gejolak yang tengah bergemuruh di Palestina meski disikapi secara cepat. Sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang memseriusi programnya dalam penanganan bencana, menjadi keharusan tersendiri untuk merespon secara cepat setiap bencana yang terjadi.
Namun bukan pentingnya rapat ini yang ingin saya ceritakan, bukan pula isi dan serunya rapat yang memakan waktu cukup lama hingga larut. Adalah sepuluh menit menjelang rapat dimulai, saat saya memesan sepiring siomay kepada tukang siomay langganan di depan kantor. Sesaat menjelang rapat, perut ini terasa berdendang minta diisi. Makanan ringan itulah yang menjadi pilihan, satu porsi pun terpesan.
Panggilan pun datang, rapat dimulai. Rapat dilanjutkan usai sholat Maghrib, dan terus berlangsung. Ada yang resah di bawah, ada yang bolak-balik masuk ruang kantor. Ianya hanya menemukan piring kosong di bawah meja saya. Setiap lima menit kembali balik ke dalam kantor berharap orang yang tadi memesan siomaynya sudah ada di tempat. Ternyata yang ditunggu masih di atas, terlupa oleh riuh rendah suasana rapat yang bersemangat.
Waktu terus bertambah, hingga seorang teman yang baru saja dari lantai dasar berbisik, "Sudah bayar siomay belum?" astaghfirullah...
Tak menunggu rapat selesai, acung tangan langsung bergegas ke bawah. Terhenti nafas ini tak mendapatkan orang yang dicari; si tukang siomay. Melirik sedikit ke bawah meja, piring kosongnya sudah tak ada. Mungkin ia pulang, tapi saya tak bisa berkata apa-apa sambil terus menggenggam empat lembar ribuan di tangan.
Cuma empat ribu memang. Tapi ia sebegitu pentingnya untuk bolak-balik ke dalam kantor berharap saya akan membayarnya. Terbayang saya betapa berat langkah si tukang siomay mendorong gerobaknya. Berpikir ia tentang uang belanja yang dinanti sang isteri, resah hatinya tak membawa mainan yang dipesan anak tercintanya. Mungkin semua karena empat ribu yang belum saya bayarkan. Dan boleh jadi, empat ribu itulah keuntungan hasil jualannya setelah disisihkan untuk setoran.
Berat langkah si tukang siomay. Itu terus tergambar dalam benak saya, sambil terus menggenggam empat lembar ribuan dan sesekali melirik ke bawah meja tempat piring bekas makan. Terbayang sedihnya sang isteri lantaran suaminya tak membawa uang belanja untuk esok, “Mau makan apa besok, pak?” Terlintas tangisan si anak yang mendapati bapaknya tak membawa serta mobil mainan plastik yang dipesannya. Bagaimana jika besok ia tak bisa berdagang karena uang setorannya kurang malam itu? Tuhan, berdosa lah hamba…
Tak lebih dari setengah jam, seseorang masuk ke dalam kantor. Senyumnya yang khas menyapa lembut. Saya tahu yang dinantinya. Sudah semalam ini, duh… ternyata betapa pentingnya empat lembar ribuan itu baginya. “Maafkan saya mas,” nyaris bibir ini tak mampu berucap apa pun.

0 komentar:

Post a Comment