TEORI DAN MODEL KEPUASAN PELANGGAN |
TEORI DAN MODEL KEPUASAN PELANGGAN
Gagasan Bernd H. Schmitt yang dipublikasi melalui bukunya,
Experiential Marketing: How to Get Customers to Sense, Feel, Think,
Act, and Relate to Your Company and Brands (1999), ini dengan
telanjang menggugat keperkasaan formula 4P (product, price, place
dan promotion).
Dengan EM, Schmitt mengajak para pemasar keluar dari kotak
pendekatan tradisional yang terlalu bertumpu pada produk (fitur) dan
benefit dengan menambahkan unsur emosi dalam bauran pemasaran
(mark eting mix) untuk membujuk konsumen. Guru besar Columbia
Business School ahli psikolog ini menggunakan model-model psikologi
dalam menganalisis perilaku konsumen. Menurutnya, pendekatan
tradisional terjebak dengan memperlakukan konsumen sebagai sosok
rasional semata, dan menganggap orang berbelanja semata-mata
bersifat transaksional dan objektif berdasarkan cost & benefit.
Padahal, selain otak kiri, otak kanan pun sangat berpengaruh
pada keputusan membeli. Bahkan, emosi bukan sekadar memainkan
peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, tapi
sekaligus merupakan perekat kuat untuk menciptakan loyalitas.
Pendekatan transaksional sering kali lumpuh menghadapi pendekatan
relasional dan kuatnya nilai subjektif. Maka, untuk mengatasi
kekurangan pendekatan tradisional, EM menggunakan pendekatan
holistik dari seluruh pengalaman: indra (sense), perasaan/afeksi (feel),
kognitif (think), fisik dan gaya hidup (act), serta hubungan dengan kultur
atau referensi tertentu (relate) yang akhirnya mampu memberikan
dimensi/imajinasi terhadap satu produk. Faktor-faktor ini disebutnya
sebagai Strategic Experiential Modules (SEMs), yang merupakan
fondasi EM.
Sebenarnya, gagasan Schmitt ini tidaklah benar-benar orisinil.
Meski tidak segamblang Schmitt, Pine II dan Gilmore melalui artikelnya
"Welcome to the Experience Economy" (Harvard Business Review,
Juli-Agustus 1998) telah mengangkat gagasan ini. Rolf Jensen dalam
bukunya The Dream Society (1998) juga sudah mengindikasikan
bahwa kemajuan TI dan kecenderungan para pemasar mengemas
emosi secara komersial telah mendorong transisi ke dream society,
suatu bentuk masyarakat yang membentuk emotional market.
Itulah pasar di mana konsumen tak sekadar membeli produk,
melainkan juga berbagai unsur emosi dan afeksi, seperti gaya hidup,
jati diri, petualangan, cinta dan persahabatan, kedamaian serta
kepercayaan.
Jasa Schmitt adalah merekatkan berbagai stimulus yang
terserak itu menjadi pendekatan yang terpadu dan utuh untuk merayu
calon konsumen, sekaligus mengikatnya menjadi pelanggan loyal yang
diharapkan mampu terus-menerus mengulang pembelian. Dan yang
lebih penting lagi, gagasan ini juga tak sulit diimplementasi, karena
Schmitt merumuskan metode-metode dan langkah-langkahnya secara
gamblang melalui aspek yang disebutnya experiences providers
(ExPros), alat taktis untuk mengimplementasi EM.
Berbicara mengenai EM tak bisa dilepaskan dari pendekatan
emotional branding (EB), yakni upaya mengembangkan merek dengan
menonjolkan benefit emosional ketimbang benefit fungsional (fitur) dan
rasional (harga). Keduanya merupakan dua sisi keping mata uang yang
sama, dengan EB yang berperan sebagai alat dialog/komunikasi antara
produsen dan konsumen.
Dengan menggali sisi emosional produk, pemasar bias
mengembangkan keunikan-keunikan intangible mereknya di hadapan
merek -merek kompetitor, sehingga sulit ditiru atau ditandingi, serta
memiliki daur usia lebih panjang. Bahkan, dengan menerapkan EB
pemasar juga
bisa mengerek produknya ke level premium, sehingga bisa
mendongkrak harga dan meraih margin lebih tinggi.
Tak perlu diragukan lagi, penerapan EM dan EB akan
menciptakan kekuatan yang ampuh. Pasalnya, yang dijual bukan lagi
sekadar produk atau jasa, melainkan pengalaman yang tak terlupakan.
Inilah diferensiasi yang akan membuat produk keluar dari commodity
zone, yang mampu membuat konsumen rela merogoh kocek lebih
dalam dan membayar lebih mahal, dengan senang hati dan tanpa
merasa terpaksa.
Pendekatan EM juga tak hanya bisa diterapkan pada produk
premium semata. Yang terpenting, produk/jasa tersebut mempunyai
distinctive capability dan bisa menawarkan pengalaman yang
berkesan. Mau bukti? Lihat saja bagaimana sejumlah warung tenda di
pinggir jalan dijejali konsumen, sementara yang lainnya kosongmelompong,
meski produk yang ditawarkan sama.
0 komentar:
Post a Comment