Desain Busana Wanita |
Desain Busana Wanita
Desain busana pada hakikatnya erat hubungannya dengan masalah mode, karena
desain busana pada dasarnya adalah mencipta mode atau mencipta model pakaian
(Kamil, 1986: 9). Mode itu sendiri cabang dari seni rupa. Karya seni rupa mempunyai
suatu desain yaitu suatu rupa yang dihasilkan karena susunan unsur-unsurnya. Unsurunsur
dalam suatu desain dijelaskan oleh Chodiyah dan Mamdy adalah susunan garis,
bentuk, warna dan tekstur (1982: 8). Menurut Graves (1951), unsur-unsur dalam desain
dapat direduksi ke dalam beberapa faktor atau dimensi, yaitu garis, arah, bentuk,
ukuran, tekstur, nilai dan warna. Agar unsur-unsur desain tersebut dapat disusun
dengan menghasilkan efek tertentu, maka diperlukan prinsip-prinsip atau azas-azas
desain, sedangkan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur desain tersebut
sering disebut juga komposisi (Suryahadi, 1989: 19).
Dalam membentuk suatu desain busana, penguasaan prinsip-prinsip desain
merupakan kemampuan yang sangat menentukan, karena pada hakikatnya desain
busana merupakan manifestasi dari berbagai ide yang terangkum menjadi konsep ide,
kemudian divisualisasikan dengan menggunakan unsur-unsur desain yang berdasarkan
prinsip-prinsip atau azas-azas desain., yang dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
(1) repetisi; (2) harmonis; (3) kontras. Naibaho menyatakan bahwa prinsip-prinsip
desain dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: (1) kontras; (2) balans; (3) proporsi);
(4) ritme; (5) kesatuan (1985: 13).
Ada beberapa prinsip desain yang dapat digunakan untuk menyusun unsur-unsur
desain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: (1) Kesatuan atau unity; (2) Pusat perhatian
atau emphasis atau center of interest; (3) Keseimbangan atau balance; (4) Proporsi; (5)
Irama atau rhytm (Kamil, 1986: 60-66). Berdasarkan beberapa prinsip desain tersebut di
atas, dapat dijelaskan pengertiannya sebagai berikut. Pengertian Repetisi, artinya
pengulangan unsur-unsur yang identik pada posisi tertentu dalam suatu jarak.
Pengulangan ini dengan sendirinya akan menciptakan suatu interval jarak antara unsurunsur
yang direpetisi. Harmonis, artinya pengkombinasian unsur-unsur yang mempunyai
respek yang sama antara yang satu sengan lainnya. Kontras, artinya
menghubungkan unsur-unsur yang tidak berhubungan atau memadukan unsur-unsur
yang mempunyai perbedaan ekstrim dalam suatu komposisi. Kesatuan, artinya dapat
dicapai dengan adanya pengulangan satu macam warna, garis atau bentuk. Jika
menggunakan warna, maka warna tersebut harus ada hubungan yang pasti dengan
warna yang merupakan warna penentu. Pusat perhatian dapat dicapai dengan
memberikan suatu bagian yang lebih menarik dari bagian-bagian lainnya. Misalnya
krah dengan model yang unik, ikat pinggang, kerutan, bros, syal dan lain-lain. Dalam
memberikan pusat perhatian hendaknya ditempatkan pada suatu yang baik, yang
dipandang menarik dari si pemakai. Keseimbangan, dapat dicapai dengan
mengelompokkan bentuk dan warna yang dapat menimbulkan perhatian sama pada
bagian kiri dan kanan dari pusat. Ada dua keseimbangan, yaitu simetris bila bagian kiri
dan kanan sama, dan asimetris bila bagian kiri dan kanan suatu desain jaraknya dari
garis tengah atau pusat tidak sama. Keseimbangan merupakan visualisasi antara garis,
bidang dan warna yang dirasakan ada kesan seimbang. Proporsi, bila ada bagian yang
lebih besar dan lebih kecil dari sesuatu dan memberikan kesan adanya hubungan satu
dengan yang lain, misalnya antara busana dengan pemakainya. Irama, dapat dicapai
apabila ada suatu bentuk pergerakan yang dapat mengalihkan pandangan mata dari satu
bagian ke bagian yang lain. Empat cara dalam menghasilkan irama pada desain busana,
yaitu: (1) pengulangan; (2) radiasi; (3) peralihan ukuran; (4) petentangan atau kontras.
Prinsip-prinsip desain tersebut kemudian kita aplikasikan ke dalam sebuah rancangan
desain busana wanita.
Tidaklah terlalu berlebihan apabila busana yang kita kenakan merupakan sarana
untuk menyampaikan misi atau pesan kepada orang lain, atau dengan kata lain busana
digunakan sebagai sarana komunikasi non verbal (Dharsono, 1992: 1). Misi dan pesan
tadi terpancar dari kepribadian yang tersirat dari cara berbusana, oleh karena itu busana
dapat membuat ”image” atau kesan pada waktu menampilkannya serta dapat
mengundang reaksi bagi orang yang melihatnya. Menjadi tugas bersama untuk
memakai dan menggunakan kesan tadi sebagai sarana penyampaian kepribadian, usia,
jabatan atau sebagai apa keberadaannya di masyarakat dan lain-lain. Seperti halnya
pendapat Hariani Mardjono yang mengatakan bahwa “Busana memperlihatkan siapa
dia itu”, maksudnya dengan busana-busana ini merupakan tolok ukur bagi martabat,
kedudukan dari seseorang dalam masyarakat (Mardjono, 1991: 2).
Pemilihan rancangan kostum yang tepat dan sesuai dengan keadaan si pemakai
akan menambah nilai daya tarik sendiri, dan apabila memilih kostum yang dapat
diterima oleh masyarakat dan lingkungan sekitar, sebaiknya tidak menyimpang jauh
dari nilai-nilai kepribadian yang tercermin melalui estetika dan etika penampilan suatu
tata krama dalam masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sekarang berada dalam
lingkungan masyarakat yang beragam dan keadaan yang penuh dengan perubahanperubahan
yang cepat sekali geraknya. Perubahan dalam dunia mode itu sendiri
disebabkan adanya dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dengan
pengaruh dinamika ini kita terdorong untuk mengikutinya. Namun untuk dapat lebih
bijaksana dalam menentukan pilihan, sebaiknya mengenal diri sendiri terlebih dahulu,
kemudian tahu apa yang diinginkan dan diperlukan. Menyadari bentuk tubuh sendiri
adalah sangat penting, sehingga bila ada kekurangannya dapat ditutupi (dikamuflage).
Seseorang yang tampil menarik berpenampilan menarik adalah salah satu kunci sukses
seseorang dalam kehidupan masyarakat. Penampilan yang menarik bukanlah monopoli
wanita cantik, dan setiap wanita mempunyai sisi yang menarik, tergantung pada wanita
itu sendiri dalam pengembangan dirinya yang sebaik-baiknya, seutuhnya. Pernyataan
ini juga disepakati oleh Ghea Panggabean yang mengatakan “up to date itu harus, dan
merupakan sebuah tuntutan dalam mode agar selalu trendi” (Daradjatun, Nunun &
Samuel Wattimena, 2003: 14).
Hal tersebut di atas tentu ditujukan untuk merancang kostum perseorangan atau
individual. Dalam kelompok atau grup bisa saja rancangan kostum tersebut digunakan
secara tunggal, manakala dikenakan oleh seorang penyanyi solis. Namun akan menjadi
hal yang berbeda jika rancangan tersebut ditujukan untuk grup vokal yang tidak
menggunakan penyanyi solis. Merancang kostumnya harus melihat dari berbagai sudut
pandang dan banyak pertimbangan, yaitu syair dan latar belakang lagu, kesempatan
pakai (untuk pentas atau lomba), waktu pemakaian (pagi, siang, sore atau malam hari),
keserasian dengan back ground (jalannya pernafasan) serta anggaran yang tersedia.
Berkaitan dengan berbagai hal yang sudah dikemukakan sebelumnya, maka yang
menjadi titik perhatian adalah bagaimana menampilkan sebuah rancangan kostum
untuk grup vokal dan memadukannya dengan pelengkap kostum serta keserasian yang
menyeluruh dari rambut sampai make-up. Untuk mencapainya perlulah menerapkan
prinsip-prinsip desain dengan baik.
Membicarakan penampilan tidak lepas dari masalah pembawaan lagu dan latar
belakang lagu. Keberhasilan suatu grup vokal akan maksimal apabila lagu tersebut
dibawakan dengan “pas” sesuai dengan permintaan seorang komponis. Dalam tulisan
ini akan difokuskan pada lagu-lagu Jawa atau nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat
merupakan bagian dari tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun, dan
menjadi milik bersama baik dalam bentuk lisan, sebagian lisan maupun bukan lisan.
Tradisi seperti itu disebut folklor (Harjawiyana dalam Soedarsono ed., 1986: 477).
Menurut James Danandjaya (1984: 2) folklor adalah sebagian kebudayan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh
yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Termasuk dalam folklor lisan
adalah bahasa rakyat, ungkapan tradisional, sanjak rakyat, cerita prosa rakyat, dan
nyanyian atau lagu-lagu rakyat (Murniatmo dalam Soedarsoso ed., 1986: 4). Dijelaskan
oleh Harjawiyana bahwa nyanyian rakyat dalam masyarakat Jawa dikenal dengan
istilah tembang dolanan atau lagu dolanan. Nyanyian rakyat itu merupakan milik
bersama, oleh karena itu terdapat variasi kata-kata atau lirik dalam penyebarannya,
maksudnya lagunya sama tadi kata-katanya berbeda. Bentuk yang dominan dalam
nyanyian rakyat adalah perulangan bentuk ulang, baik terlihat pada nama judul
nyanyian maupun kata-kata dalam nyanyian tersebut (1986: 478). Syair lagu-lagu Jawa
pada umumnya terdapat parikan yang tidak ubahnya sebagai pantun kesusasteraan
Indonesia, yang digunakan untuk melukiskan perasaan asmara, sindiran-sindiran,
lelucon-lelucon dan sebagainya yang lazim diucapkan sehari-hari dan sudah menyebar
di kalangan masyarakat.
Menurut Widyatmanta, parikan dalam satra Jawa kira-kira sama dengan pantun
dalam bahasa Indonesia, yaitu baris-baris kalimat (ungkapan-ungkapan) yang
mengandung sampiran dan isi, dengan memperhatikan (menekankan) purwakanthi
swara (sajak) pada setiap barisnya (2002: 48). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
parikan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) Parikan harian, parikan yang
bentuknya tidak lengkap hanya berupa sampiran karena isinya orang yang diajak bicara
dianggap sudah mengerti; (2) Parikan dengan aturan (lamba), terdiri dari dua baris.
Baris pertama berisi sampiran, baris ke dua isinya, setiap kalimat dengan penggalan 4,
4 suku kata; (3) Parikan dengan aturan (rangkep), terdiri dari dua baris. Baris pertama
sampiran, baris ke dua isi, dengan penggalan 4, 8 suku kata. Pendapat ini juga
disepakati oleh Haryana Harjawiyana dalam buku” Kesenian, Bahasa dan Folklor
Jawa”yang mengemukakan bahwa purwakanthi ‘persajakan’ mempunyai peranan
penting dalam khasanah sastra Jawa, terutama pada nyanyian rakyat yang biasa disebut
dengan lagu dolanan. Ciri purwakanthi adalah mudah dikenali dan diingat kanakkanak.
Adapun ciri pokok purwakanthi swara, ialah bunyi vokal (v-v), vokal konsonan
(vk-vk), atau konsonan (kvk-kvk). Purwakanthi swara merupakan purwakanthi yang
paling banyak terdapat dalam nyanyian rakyat , karena paling mudah dikenali dan
diciptakan dibandingkan dengan purwakanthi lainnya, yaitu purwakanthi sastra dan
purwakanthi lumaksita (Soedarsono, 1986: 484-485). Penggunaannya dapat dilakukan
dengan melagukan atau dapat juga dengan menyelipkan dialog-dialog untuk mewarnai
pembicaraan. Dengan demikian pendengar akan merasa senang mengikutinya, dan
suasana menjadi ramai serta menyenangkan. Parikan tidak hanya terdapat dalam
gendhing-gendhing Jawa dan lagu-lagu dolanan (permainan), melainkan juga
didendangkan oleh penyanyi-penyanyi lagu keroncong, folksong bahkan oleh paduan
suara.
0 komentar:
Post a Comment