Sejarah Busana Barat |
Sejarah Busana Barat
Busana yang ada di masyarakat dunia dewasa ini pada prinsipnya merupakan
pengembangan dari bentuk dasar busana pada peradaban Barat. Sebenarnya asal mula
busana Barat pun ada sumbangan yang tumbuh dari tiga akar budaya tercakup busananya,
yaitu dari Yunani kuno, Romawi, dan dunia Nasrani (Drs. Mohamad Alim Zaman,
M.Pd, 2001). Busana di zaman kuno mempunyai bentuk yang dapat dibedakan menjadi
tiga kelompok, yaitu : (1) rok lilit atau sarung, (2) bentuk dasar kemeja atau blus seperti
tunika dan kaftan, dan (3) draperi (sepotong kain yang disusun pada tubuh, yang sering
dipakai sebagai tambahan (Drs. Mohamad Alim Zaman, 2001 : 4-5).
Pada realitanya mode busana selalu berubah, berkembang, bergulir dari suatu periode
ke periode berikutnya atau dari tahun ke tahun, sesuai dengan pemikiran, peradabanmanusia dan perkembangan teknologi, serta kondisi zaman pada masanya. Busana
yang berasal dari Barat, busana tradisional sesuatu bangsa atau busana-busana daerah
pada suatu negara, misalnya di Indonesia, Jepang, India, Malaysia, Philipina, berkembang
dari bentuk dasar busana. Busana Barat tersebut pada batas-batas tertentu menyebar
ke seluruh masyarakat dunia, yang tingkat penyerapannya dari setiap masyarakat
berbeda-beda atau bervariasi, ada yang menyerap secara penuh, sedang, dan sedikit.
Di zaman prasejarah, manusia belum mengenal cara berbusana seperti yang terlihat
dewasa ini. Mereka hanya berpikir bagaimana melindungi badan dari pengaruh
alam sekitar, seperti gigitan serangga, pengaruh udara, cuaca atau iklim, dan bendabenda
lainnya yang dianggap berbahaya bagi keamanan tubuhnya, dan kelangsungan
hidupnya. Manusia di zaman prasejarah yang menurut ceritanya berbulu yang kemudan
menipis, sehingga merasa perlu untuk melindungi badannya. Soerjono Soekanto, SH,
MA. (1975 : 94) mengatakan : ”Di dalam menghadapi alam sekelilingnya seperti udara
yang dingin, alam yang kejam, dan … sebagainya, maka manusia menciptakan …
pakaian … .”
Kondisi alam sekitar di mana mereka tinggal berbeda-beda, sehingga upaya yang
dilakukannya berbeda-beda pula. Di daerah panas mereka menutup tubuhnya dengan
kulit kayu yang mereka olah terlebih dahulu. Kulit kayu tersebut mereka rendam ter-
lebih dahulu, lalu dipukul-pukul dan dikeringkan. Selain itu mereka menutup badannya
dengan daun-daunan yang kering atau serat daun-daunan. Mereka yang berada di daerah
yang dingin, menutup tubuhnya dengan kulit binatang hasil buruannya, terutama
binatang-binatang yang berbulu tebal seperti domba, harimau, yang terlebih dahulu
dibersihkan dari dagingnya dan lemak-lemaknya. Selanjutnya bulu itu dikeringkan dan
diperhalus.
Di antara mereka ada pula yang mengenakan rantai dari kerang atau manikmanik
dan biji-bijian yang disusun sedemikian rupa. Selain itu ada pula yang membuat
untaian dari gigi, taring binatang dan manusia. Untaian-untaian tersebut dipakai sebagai
kalung, gelang tangan dan kaki, atau pada bagian badan yang lain. Pemakaian rangkaian
atau untaian tersebut selain sebagai hiasan ada hubungannya dengan tahayul, terutama
gigi dan taring, yaitu untuk menunjukkan kekuatan atau keberanian melindungi dirinya
dari roh-roh jahat, atau agar selalu dihormati.
Hiasan badan yang lain tidak hanya untaian yang telah disebut di atas, termasuk
menempelkan tanah liat yang berwarna, seperti tanah liat warna merah, kuning. Juga
badannya ada yang dihias dengan men-”tattoo”, menggosok dengan abu yang dicampur
lemak, memberi warna badan atau mencat dengan warna cat yang ada di alam, seperti
warna merah daun jati muda, warna merah buah kasumba (Sunda), hitam arang, putih
kapur. Menurut Dra. Roosmy M. Sood (1980 : 5), semua yang dilakukan oleh
masyarakat primitif belum dapat dikatakan berbusana, karena seni berbusana baru
muncul setelah masyarakat mengenakan penutup tubuh dari kulit binatang, kulit kayu
atau bahan-bahan tenunan.
Telah dikemukakan di atas bahwa orang menutup tubuhnya dengan kulit kayu,
kulit binatang atau yang lainnya akan tergantung dari kondisi alamnya. Di daerah panas,
orang membuat busana dari kulit kayu, dan di daerah dingin membuat busana dari kulit
binatang. Untuk membuat busana dari kulit kayu diperlukan pengetahuan untuk
mengenal jenis-jenis pohon keras tertentu yang mempunyai serat yang kuat dan panjang
yang dimungkinkan dapat diolah dengan cara direndam dan dipukul-pukul, lalu dikeringkan.
Dari sinilah mulai dikenal istilah celemek panggul.
Celemek panggul dipakai dengan cara mengikatkan atau membelitkan kulit kayu
atau kulit binatang di sekitar pinggang dan panggul, dan dapat pula sampai menutuplutut. Celemek panggul yang terbuat dari kulit macan tutul yang biasanya hanya dipakai
oleh pendeta, yang disebut lemt. Di Abesinia para pendeta sampai sekarang masih
memakai celemek panggul, tetapi dari bahan beledu, sedangkan orang-orang Mesir di
zaman purbakala mempergunakan kulit binatang yang dibentangkan, yang dipakai
dalam bentuk busana yang khusus dipergunakan oleh pria untuk upacara. Bangsa di
Amerika dahulu mengambil kulit pohon kayu yang masih tetap berbentuk selinder, yaitu
dari pohon kayu yang dinamakan pohon kutang.
Selanjutnya ditemukan bentuk busana yang disebut ”Poncho”, yaitu selembar
bahan dari kulit kayu atau dari kulit binatang dan daun-daunan yang diberi lubangbagian tengahnya untuk dapat masuk bagian kepala, panjangnya bervariasi ada yang
sampai di bahu, ada pula yang lebih panjang, dan bisa sampai lutut. Apabila lubang
diperbesar, maka akan menutupi bagian bawah saja, yaitu mulai dari pinggang sampai
panggul atau sampai ke bawah lutut. Berdasarkan bentuk poncho ini maka dapat dibedakan
ponhco bahu dan poncho panggul.
Bentuk poncho bahu biasa dipakai oleh suku Indian penduduk asli Amerika,
Peru, Mexico, dan Tiongkok. Dipakai juga sebagai mantel oleh suku-suku Teutonic,
Frank, dan Sexon di Eropa. Poncho ini ada yang dibuat sesuai aslinya dari bulu binatang
0 komentar:
Post a Comment