, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

LKP NAVITA

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
LKP NAVITA

LKP NAVITA


Lembaga Kursus dan Pelatihan merupakan dua satuan pendidikan
nonformal seperti yang tertera dalam pasal 26 ayat (5) Undang Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa:
“Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan
diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”. Program-program yang dapat
diselenggarakan oleh lembaga kursus dan pelatihan ini adalah pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan kepemudaan, pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesetaraan dan/atau
pendidikan nonformal lain yang diperlukan masyarakat.
Kehadiran lembaga kursus dan pelatihan sebagai bentuk penyelenggaraan
pendidikan non formal sangat berperan penting dalam menuntaskan pengangguran
dan kemiskinan masyarakat, mengingat bahwa tingginya angka kemiskinan dan
pengangguran berdasarkan data BPS pada Agustus 2011 yaitu sebesar 7,70 juta
jiwa atau 6,56% dari jumlah angkatan kerja (15 tahun ke atas) dan jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang
atau 12,36% dari jumlah penduduk Indonesia. Kondisi inilah yang
melatarbelakangi upaya pembekalan kepada para pemuda usia produktif agar
memiliki keterampilan sehingga dapat memperoleh pekerjaan atau berwirausaha.


Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu segera dilakukan langkah-langkah
strategis melalui pengembangan program yang secara langsung dapat mengurangi
pengangguran melalui kursus dan pelatihan terutama bagi usia produktif. Kursus
dan pelatihan terbukti mampu menjangkau minat masyarakat serta akses lembaga
keterampilan dan keahlian sesuai pasar kerja baik pedesaan dan perkotaan.
Berdasarkan data dari Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Ditjen
PAUDNI pada Januari 2013 bahwa “Jumlah lembaga kursus dan pelatihan di
Sumatera Utara mencapai 815 LKP dari jumlah 10.914 LKP yang ada di
Indonesia dengan berbagai jenis keterampilan”.
Pada satu sisi, perkembangan jumlah LKP sangat menggembirakan yang
menandakan bahwa minat masyarakat terhadap kursus bertambah baik. Namun
pada sisi yang lain, bertambahnya jumlah LKP yang cepat menimbulkan
kekhawatiran terhadap kualitas pengelolaan proses pembelajaran, dan lulusannya.
Keragaman kualitas LKP tersebut antara lain dipengaruhi oleh mutu tenaga
pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, manajemen pengelolaan, dan proses
pembelajaran. Mutu penyelenggaraan dan lulusan yang berkualitas telah menjadi
kebutuhan masyarakat dan tuntutan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang
mensyaratkan kompetensi tertentu yang harus dimiliki oleh lulusan kursus.
Salah satu kursus yang cukup diminati masyarakat adalah kursus menjahit.
Kursus ini mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam industri pakaian,
mengingat bahwa saat ini iklim industri konveksi semakin meningkat dan
permintaan pasar konveksi semakin besar sehingga perusahaan banyak
membutuhkan tenaga buruh jahit untuk memenuhi permintaan pasar.


Perkembangan itu terus menuntut penciptaan berbagai mode pakaian sehingga

pakaian menjadi industri yang cukup diperhitungkan.



Oleh karena itu, kursus menjahit harus mempersiapkan tenaga ahli bidang
busana yang memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan, dan bertanggung jawab
dalam pembuatan busana sesuai dengan tujuan kursus yang menghasilkan sumber
daya manusia yang mengerti prinsip-prinsip dasar menjahit pakaian/tata busana
dan mengaplikasikannya secara praktis untuk para konsumen dalam rangka
memenuhi kebutuhan industri busana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dibuat
standar kompetensi lulusan minimal dibidang keterampilan menjahit pakaian,
yang diharapkan mempunyai asas keterpakaian dan berguna dimasyarakat
umumnya, sehingga hasil lulusannya dapat dipertanggungjawabkan dan
mempunyai daya saing dan daya jual yang tinggi dimasyarakat secara profesional.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka program/kegiatan menjahit harus
terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat.
Lebih lanjut, Kindervatter dalam Kamil (2009:54)) menjelaskan bahwa:
Konsep pendidikan non formal dalam kerangka pembangunan masyarakat
dapat dilihat dari dua sisi peran, pertama masyarakat sebagai sumber daya
pembelajaran, dan kedua masyarakat sebagai sasaran pembelajaran. Peran
masyarakat sebagai sumber daya pembelajaran dapat dilihat dari daya
dukung terhadap implementasi, pengelolaan, dan pengembangan program
di masa depan. Sedangkan peran masyarakat sebagai sasaran, dapat dilihat
dari tingkat partisipasinya dalam berbagai program non formal yang
berhubungan dengan peningkatan kemampuan, keterampilan, dan kualitas
dirinya.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka tingkat partisipasi peserta
didik pada kursus menjahit sangat diharapkan dapat terealisasikan melalui proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan andragogi (pendidikan orang
dewasa) dan pendekatan partisipasif. Makna dari pendekatan ini adalah bahwa

dalam pelaksanaan pembelajaran yang sasarannya orang dewasa yaitu pada
peserta kursus diasumsikan sebagai orang yang telah memiliki konsep diri,
pengalaman, kesiapan dan orientasi belajar sehingga mereka dilibatkan dalam
setiap tahapan kegiatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Hal
ini sejalan dengan pendapat Sudjana (2000:57) yang mengatakan bahwa:
“Pembelajaran partisipatif bukan sekedar mengkondisikan peserta didik menjadi
aktif, tetapi lebih dari itu ia mengkondisikan peserta didik terlibat langsung dalam
kegiatan merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran”.


LKP NAVITA adalah salah satu lembaga non pemerintah yang

menyelenggarakan kursus dibidang keterampilan menjahit pakaian khusus wanita
dan anak-anak yang ada di kota Medan. LKP ini memberikan pendampingan
kepada peserta didik agar memiliki kompetensi, bersertifikat, dan terserap dunia
kerja atau berwirausaha.

Dalam proses pembelajaran yang berlangsung di LKP NAVITA ini, tidak
semua peserta kursus menjahit berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran
dikarenakan berbagai faktor seperti perbedaan motivasi belajar, usia yang
beragam, latar belakang pendidikan, pengalaman belajar dan sebagainya. Lebih
dari 50 % dari jumlah peserta tidak memiliki catatan pribadi yang lengkap
mengenai pembelajaran yang dilakukan dalam setiap pertemuan. Padahal tidak
ada pemberian modul kepada peserta. Proses pembelajaran yang dilakukan pada
kursus ini terkesan terpaku pada tutor sebagai panduan belajar. Dalam setiap
pertemuan, tutor hanya mengajarkan cara membuat suatu pola tertentu kemudian
peserta disuruh menggunting dan langsung menjahit.


Banyak peserta yang hanya cenderung bergantung dengan arahan tutor.
Mereka lebih memilih untuk mengikuti semua yang diinstruksikan tutor tanpa ada
kegiatan untuk saling bertukar pikiran atau menyumbangkan pengalaman belajar
yang dimiliki dalam mendesain busana. Mereka juga kurang berusaha mencari
referensi lain mengenai menjahit sehingga tidak ada pengetahuan baru yang
diperoleh dari luar kursus. Masih banyak peserta yang kurang mampu menyerap
materi utama mengenai pembuatan pola, kebaya, kamisol dan payet walaupun
tutor sudah menjelaskan berulang kali secara terbuka. Padahal pembelajaran
kursus bersifat partisipatif, artinya peserta dituntut untuk lebih aktif dalam semua
tahapan pembelajaran dan sangat berpeluang untuk mengembangkan segala
potensi yang dimilikinya dalam menjahit. Hal ini penting dikarenakan orientasi
kursus pada Skill peserta sebagai modal untuk menghadapi persaingan kerja
nantinya.

Untuk dapat meningkatkan partisipasi peserta didik tersebut, maka peran
kursus menjahit sebagai proses pemberdayaan seharusnya dirancang melalui suatu
pendekatan yang didasarkan atas sikap yang perlu diciptakan oleh setiap peserta
agar memiliki kepercayaan diri.

Percaya diri merupakan proses pengembangan aktualisasi diri (eksplorasi
segala kemampuan dalam diri). Hal ini dapat diperoleh jika peserta didik benarbenar
mau dengan segala kemampuan dan kreatifitasnya untuk tampil sebagai
sosok yang penuh percaya diri sehingga cenderung memiliki keyakinan akan
kemampuannya untuk mencapai keberhasilan. Kepercayaan diri merupakan
landasan yang kuat untuk meningkatkan karsa dan karya dalam bidang menjahit.


Dalam proses pembelajaran menjahit di LKP NAVITA banyak ditemukan
permasalahan, seperti hasil karya peserta yang kurang memuaskan, mereka belum
mampu menyalurkan bakat yang dimiliki dengan sepenuhnya, rasa takut
melakukan kesalahan dalam menjahit sehingga cenderung mengikuti teman yang
dianggap lebih pandai, kurang mandiri dalam menyelesaikan masalah yang
berhubungan menjahit, rendahnya minat belajar, tidak berani menyalurkan ide
atau gagasan baru dan sebagainya. Permasalahan tersebut merupakan bagian dari
rendahnya kepercayaan diri. Menurut De Angelis (2005:15): ”Kurang percaya diri
adalah problem yang rumit dan sulit, merupakan konflik pribadi yang ditandai
dengan perasaan tidak berharga, tidak diterima oleh orang lain dan merasa dirinya
lebih rendah dari orang lain”.
Salah satu langkah utama dalam membangun rasa percaya diri dengan
memahami dan meyakini bahwa setiap peserta didik memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Pemahaman terhadap kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya ini akan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu
sehingga pada akhirnya dapat menentukan partisipasi atau keikutsertaan mereka
dalam kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.

0 komentar:

Post a Comment