Antropometri modern
Istilah “antropometri” pertama kali
dikemukakan oleh Johann Sigismund Elsholtz (1623-1688). Elsholtz menciptakan
antropometer, sebuah alat untuk mengukur tinggi dan panjang bagian-bagian badan
seperti lengan dan tungkai. Elsholtz sangat tertarik dan ingin menguji
pernyataan dokter Yunani kuno Hippokrates yang menyebutkan bahwa ukuran badan
yang berbeda-beda ada hubungannya dengan berbagai penyakit yang berbeda pula.
Pada tahun 1881 antropolog Prancis
bernama Paul Topinard (1830-1911) menggunakan antropometri untuk studi mengenai
“ras” manusia untuk melihat perbedaan antarmanusa dan menetapkan hubungan
mereka satu sama lain (Topinard, 1881, h. 212).
Cabang antropometri yang digunakan
dalam penelitian rasial adalah kraniologi (studi tentang tengkorak). Seorang
dokter Belanda Petrus Camper (1722-1789) dan para pengikutnya mengukur berbagai
sudut tulang muka untuk menentukan ras dan seks berdasarkan tengkorak.
Johann Friedrich Blumenbach
(1752-1840), antropolog berkebangsaan Jerman, mengidentifikasi lima “ras”
berdasarkan pengamatan visual terhadap bentuk dan ukuran tengkorak. Salah satu
“ras” tersebut diberi nama “ras Kaukasia” yang didapat berdasarkan
pengamatannya atas tengkorak dari Pegunungan Kaukasus di wilayah Georgia
(Rusia). Blumenbach meyakini bahwa orang-orang Georgia yang masih hidup adalah
yang paling dekat dengan bentuk original tipe Kaukasia primordial, dan orang
Kaukasia Eropa berada di urutan kedua.
Di Amerika Serikat, Samuel George
Morton (1799-1851) memperbaiki metode dan peralatan kraniometri. Dia
menciptakan alat untuk menghitung dua belas jenis pengukuran pada tengkorak.
Menurutnya pengukuran lebih akurat dibandingkan metode visual yang dilakukan
oleh Blumenbach. Berlawanan dengan Morton.
Antropolog Swedia Anders Adolf
Retzius (1796-1860) mereduksi pengukuran-pengukuran Morton menjadi dua (panjang
dan lebar), dan dia menerapkan hal ini pada kepala manusia hidup juga. Dengan
demikian dia dapat menghitung sebuah rasio sederhana: panjang kepala dibagi
dengan lebarnya yang disebut indeks kepala (cephalic index). Salah satu aliran
ahli kraniometri berpendapat bahwa ras yang “inferior” ditandai dengan
kepala bulat, atau rasionya lebih besar daripada 0,80. Orang Eropa utara, yang
dianggap ras “superior” memiliki kepala relatif panjang dan sempit dengan rasio
kurang daripada 0,75.
Ahli
kraniometri lain, seperti Paul Broca (1824-1880) tidak sependapat dengan
pernyataan yang dianggapnya fantasi tersebut. Broca menunjukkan bahwa semua
kelompok manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, memiliki semua
tipe indeks tengkorak. Untuk menggantikan indeks kepala (sebagai satu-satunya
indikator – penerj.), Broca menyebutkan bahwa ukuran dan bentuk otak bervariasi
di setiap “ras”, jenis kelamin (seks) dan antara individu yang berkecerdasan
tinggi dan rendah. Seiring dengan berjalannya waktu, pernyataan ini terbukti
salah tetapi keyakinan bahwa bentuk kepala dan ukuran otak merupakan penentu
“ras” dan kecerdasan masih berlaku hingga abad kedua puluh.
Gb.1.
Satu Set Peralatan Antropometri
Pada awal abad ke-21 para ahli
menyadari bahwa jumlah ras sosial sangat tidak terbatas, dan variasi genetis
dan antropometris lebih banyak didapati pada individu-individu dalam satu “ras”
dibandingkan dengan individu-individu dari “ras” yang berbeda. Dengan demikian,
pemahaman biokultural mengenai perkembangan manusia menggantikan antropometri
yang sudah ketinggalan zaman. Antropometri baru sekarang digunakan untuk
mengukur sejarah sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat; tingkat
kesehatan individu, dan kesejahteraan populasi manusia.
Sumber: www.encyclopedia.jrank.org
Menurut Sritomo (1989), salah satu bidang keilmuan
ergonomis adalah istilah anthropometri yang berasal dari “anthro”
yang berarti manusia dan “metron” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometri
dinyatakan sebagai suatu studi yang menyangkut pengukuran dimensi tubuh manusia
dan aplikasi rancangan yang menyangkut geometri fisik, massa, dan kekuatan
tubuh.
Pengertian anthropometri menurut Stevenson (1989)
dan Nurmianto (1991) adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan
karakteristik tubuh manusia berupa ukuran, bentuk dan kekuatan, serta penerapan
dari data tersebut untuk penanganan masalah desain.
Untuk
memudahkan dalam melakukan pengukuran dalam anthropometri, pengukuran
dibagi menjadi dua bagian antara lain:
1. Anthropometri statis, yaitu
pengukuran dilakukan pada saat tubuh dalam keadaan diam.
2. Anthropometri dinamis, yaitu
dimana dimensi tubuh yang diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang
bergerak.
Dimensi yang
diukur pada anthropometri statis diambil secara linier (lurus)
dan dilakukan pada permukaan tubuh, agar hasilnya representatif maka pengukuran
harus dilakukan dengan metode tertentu terhadap individu.
Antropometri modern |
Manusia pada
umumnya akan berbeda-beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Disini
ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi dimensi tubuh manusia sehingga
semestinya seorang perancang harus memperhatikan faktor-faktor tersebut, yang
antara lain adalah:
1. Umur, digolongkan pula atas beberapa
kelompok:
a. Balita
b. Anak-anak
c. Remaja
d. Dewasa
e. Lanjut usia
2. Jenis kelamin
Secara distribusi statistik ada
perbedaan yang signifikan antara dimensi tubuh pria dan wanita yang terletak
pada rata-rata dan nilai perbedaan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
3. Suku bangsa
Variasi diantara beberapa kelompok
suku bangsa telah menjadi hal yang tidak kalah penting terutama karena
meningkatnya jumlah angka migrasi dari satu negara ke negara lain.
4.
Jenis pekerjaan atau latihan
Beberapa jenis pekerjaan tertentu
menuntut adanya persyaratan dalam seleksi karyawan atau rekan kerjanya.
Untuk mengukur data anthropometri
dinamis terdapat tiga kelas pengukuran yaitu sebagai berikut:
1. Pengukuran tingkat keterampilan
sebagai pendekatan untuk mengerti keadaan mekanis dari suatu aktivitas,
contohnya mempelajari performansi kerja.
2. Pengukuran
jangkauan ruang yang dibutuhkan saat bekerja.
3. Pengukuran variabilitas kerja.
0 komentar:
Post a Comment