Belajar Menjahit
"Belajar Menjahit" |
Niua Kapalo Koto, 4 Mei 2013. Hari ini saya mulai belajar menjahit. Permintaan ibu saya hampir 13 tahun yang lalu. Ketika itu saya baru menyelesaikan pendidikn dasar. Semasa itu saya menolak keras belajar menjahit. Saya berpikiran untuk apa belajar menjahit, tukang jahit kan banyak. Pikiran itulah yg menutupi keinginan belajar menjahit. Setiap kali ada di rumah, ibu dengan didik menyuruh saya belajar dengan tetangga saya yang seorang penjahit. Dengan didik pula saya memberi alasan penyelamat dan pembelaan.
Belakangan muncul dorongan untuk melirik jahit menjahit. Munculnya doröngan ini meruntuhkan keyakinan saya bahwa, “jika semua orang pandai dan jago menjahit maka dari mana rezeki tukang jahit”. Dan ternyata sangat merugi sekali jika di masa depan tidak memiliki keterampilan menjahit.
Saya pikir keterampilan menjahit itu mutlak dimiliki setiap orang, minimal perempuan, dan minimal lagi menjahit baju robek atau jahit lurus. Kalau dipilah-pilah, barangkali yang mendasari saya belajar menjahit karena saya merasa rugi banyak ketika memperkecil baju yang baru saya beli. Perawakan saya yang berkategori kecil mengharuskan saya merubah ukuran pakaian yang saya beli. Apalagi yang dipesan secara online. Jika merombak pakaian yang saya beli maka model pakaian baru saya membengkak dari 15.000 sampai 30.000. Coba bayangkan kalau baju yang saya kecilkan itu jumlahnya banyak. Sepuluh misalnya, kan membengkak jadi 300.000. (*memang pertimbangan saya sekarang didominasi pikiran ibu-ibu rumah tangga. Maklumlah, saya kan juga calon ibu rumah tangga yang mesti mempertimbangkan banyak hal. Terutama soal hemat dan penghematan. Dan salah satu jalan untuk hemat adalah dengan memperkecil pakaian sendiri dan keluarga sesuai keinginan. Atau kalau mampu, belajar gunting pola malah lebih OK.
Setelah dijalani, ternyata belajar itu jika diiringi dengan kata MAU malah jadi mudah. Menjahit itu ternyata mudah-mudah sulit. Untuk mesin jahit goyang mesti berhati-hati karena kalau sampai rodanya bolak balik, benang jahit bisa kusut atau jarum jahitnya bisa patah. Belajar menjahit perdana ini saya belajar menjahit menggunakan mesin jahit goyang kaki, bukan mesin jahit listrik. Tujuannya adalah jika bisa yang manual yang lebih canggih bisa penyesuaian. Sama halnya dengan belajar sepeda motor. Jika punya keahlian mengendarai bebek, matic mah lewat…
Instruktur saya dalam menjahit adalah ayah sendiri. Panggilan ayah tentu untuk laki-laki. Meski beliau laki-laki beliau bisa menjahit. Beliau bukan pula seorang tukang jahit, tapi kesadaran pentingnya menjahit mengantarkan beliau mampu menjahit. Dan saya sangat cepat menerima apa yang diinstruksikan beliau.
Soal mesin jahit yang ada di rumah, umi, nenek saya berkenang bahwa mesin jahit itu dibeli ketika ibu gadis. Beliau pun lupa berapa harganya, karena mesin jahit itu dibeli dari honor ibu mengajar di sebuah sekolah dasar.
Pelajaran pertama adalah bagaimana mengendalikan roda agar berputar konsiten dan konstan. Aduh…, saya masih menggunakan bahasa ilmiah di sini. Tetapi tak apalah, logika keilmiahan itu pula yang membuat saya saat ini lebih cepat menerima bagaimana teknik menjahit ketimbang logika yang saya miliki 13 tahun silam. Pada waktu itu saya mematahkan jarum hahit dan tidak mau mengulangi hingga hari ini. Pelajaran yang kedua dari instruktur saya adalah urutan jalur benar dan sekoci dan pelajaran ketiga aku mulai menjahit. Lurus saja. “Pembiasaan dulu”, kata si Papa.
Betul, manusia itu bisa karna terbiasa.
sumber : http://ulfiarahmi.wordpress.com/2013/05/05/belajar-menjahit/
0 komentar:
Post a Comment