, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Menyusuri Jejak Mustika Keramik Klampok

Menyusuri Jejak Mustika Keramik Klampok

baju jahit, batik, belajar, guru, indonesia, jahit, jogja, kaos, kebaya, konveksi, kursus, kursus menjahit, les, mesin jahit, obras, private, sekolah, terbaik, usaha, yogyakarta
Menyusuri Jejak Mustika Keramik Klampok

Dimana saya bisa membeli guci mini dari tanah liat yang di cetak - Sepeda motor yang kami berdua naiki kini tengah menyusuri jalanan Klampok yang pagi ini tidak terlalu ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Beberapa jalanan terlihat tidak terlalu mulus saat kami lewati sehingga sepeda motor kami laju dengan perlahan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Saya dan travel blogger asal Pingit-Rakit, Faizhal Arif Santosa yang beberapa waktu lalu pernah bertemu saat fam trip bareng blogger dari berbagai kota yang diselenggarakan oleh dinas pariwisata Banjarnegara, kini sengaja menyempatkan waktu kembali guna memenuhi permintaan saya untuk menemani berpetualang menjelajahi warisan kejayaan sentra keramik Klampok yang sudah ada sejak tahun 60-an.

Berada di jalur lalu lintas Banyumas-Banjarnegara-Wonosobo, sepeda motor kami parkir persis di depan halaman sebuah toko sekaligus galeri berbagai macam karya seni yang terbuat dari tanah liat. Deretan toko nan panjang berderet memenuhi pinggiran jalan raya yang sekilas terlihat jelas dimiliki oleh satu generasi keluarga penghasil keramik ini.
20161120_095625[1]

Kami disambut oleh hasil karya seni tanah liat yang begitu cantik
Mustika Keramik 1,2 dan 3 yang saling berhadapan di seberang jalan kini menyambut kami berdua. Kami pun bertanya kepada penjaga toko seorang perempuan muda berkerudung dan juga bertubuh tambun yang dengan sangat ramah menjawab pertanyaan kami mengenai lokasi pembuatan keramik yang masih eksis hingga detik ini. Tidak butuh waktu lama untuk mengetahu dimana lokasi yang kami cari karena berada persis di seberang jalan dan berada pada bagian belakang toko.
Suasana begitu sepi saat langkah kami mulai memasuki toko yang dipenuhi aneka macam hasil karya seni dari bahan tanah liat mulai dari guci berukuran besar hingga teko-teko berukuran kecil nan penuh warna. Seorang perempuan berusia senja menyambut kami dan menanyakan maksud dan tujuan kami datang ke sini. Awalnya saya mengira bakalan tidak diijinkan saat kami hendak melihat proses pembuatan keramik-keramik Klampok karena dari gelagat kami yang menunjukan bukan seorang yang hendak ingin membeli sesuatu.
20161120_095609[1]

Berbagai macam guci, vas bunga, kursi-meja yang dipajang pada bagian etalase toko
Si ibu mengira kami berdua adalah seorang mahasiswa yang sedang mencari bahan tulisan untuk  penelitian. Kami pun tersenyum dan menjelaskan jika kami adalah seorang blogger. Si ibu pun sedikit kurang paham apa itu blogger, namun saat kami menjelaskan lebih lanjut jika intinya kami ini orang yang suka menulis, si ibu pun sedikit paham dan mengira kami adalah seorang wartawan. Kami pun mengiyakan saja daripada harus menjelaskan lebih lanjut lagi dan membuat si ibu semakin bingung.
Kami dipersilahkan masuk dan mengikuti si ibu tadi menuju belakang toko yang berfungsi sebagai lokasi pengolahan tanah liat hingga menjadi karya seni bernilai tinggi nan cantik dan dipajang di etalase toko. Beberapa pekerja wanita yang saat itu berjumlah 6 orang terlihat tengah sibuk mengamplas berlusin-lusin cangkir teh mini yang sekilas terlihat merupakan pesanan dari salah satu produsen merek teh terkenal di Indonesia.
20161120_090139[1]

Beberapa pekerja wanita tengah mengamplas keramik semi basah sebelum dioven
Berlusin-lusin teko, cangkir, nampan hingga pasangan tutupnya terlihat menumpuk di keranjang-keranjang. Dengan telaten ibu-ibu di sini menggosok satu persatu permukaan barang-barang tadi secara perlahan. Sebenarnya si ibu pemilik toko ini sudah mewanti-wanti agar kami jangan banyak bertanya saat kami diijinkan masuk ke sini, katanya nanti mengganggu konsentrasi para pekerja. Belakangan saya paham mengapa si ibu berkata demikian. Menurut si ibu, biasanya pada hari kerja terdapat banyak pekerja yang datang ke sini, tetapi saat ini merupakan hari minggu maka banyak pekerja yang libur dan hanya terlihat beberapa saja yang masih bekerja.
***
Klampok merupakan salah satu desa di Kabupaten Banjarnegara yang menjadi pusat pembuatan keramik. terdapat tidak kurang dari 50 pengrajin keramik yang mengolah tanah liat menjadi barang yang mempunyai karya seni tinggi. Industri keramik di Desa Klampok memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya dikenal luas. Ini berawal dari kerja keras Kandar Atmomihardjo.
Pada 1935, Kandar –yang saat itu menjadi guru di Kebumen– mendapat kesempatan dari Pemerintah Belanda untuk belajar ilmu keramik di Keramische Laboratorium di Bandung. Selama setahun di sana Kandar mendalami seluk-beluk perkeramikan. Usai dari Bandung, Kandar diserahi tugas memimpin perusahaan keramik Banjarnegara. Namun, tugas tersebut hanya dipegangnya lima tahun. Sebab, setelah itu ia ditugaskan ke Magelang. Di sini pun ia tak tinggal lama, karena beberapa tahun kemudian dia kembali ke Klampok dan mendirikan Sekolah Teknik, yang salah satu jurusannya adalah teknik membuat keramik.
Tahun 1957, Kandar keluar dari Sekolah Teknik dan mendirikan perusahaan industri keramik yang diberi nama Meandallai. Nama itu sebenarnya merupakan singkatan dari Mendidik Anak Dalam Lapangan Industri. Tenaga kerjanya, kebanyakan adalah anak-anak putus sekolah dan para pengangguran. Dari sinilah awal tumbuh dan menjamurnya perusahaan keramik di Klampok. Kandar Atmomihardjo sendiri meninggal pada 1977 lalu. Namun, usaha yang dirintisnya tidaklah sia-sia. Selain menjadi mata pencaharian bagi warga Klampok, produksinya juga dikenal luas ke berbagai penjuru dunia.
Booming keramik asal Klampok pernah terjadi sekitar 1980-an. Banyak orang asing yang datang ke Indonesia hanya untuk ke Klampok dan memesan keramik. “Intensitas ekspor keramik ke luar negeri kini memang agak berkurang,” kata salah seorang pengusaha keramik yang sukses, Budi Santosa, (33 tahun). Namun, pengusaha pemilik sanggar Prisma Keramik yang memiliki sekitar 15 cabang yang kini tersebar di Jakarta, Surabaya, Bali, dan Yogyakarta, itu mengaku masih mengirim keramiknya ke Prancis, Jerman, Belanda, Swiss, dan beberapa negara Asia lainnya.
***
Sebuah bangunan tua yang berada di belakang  toko inilah yang menjadi dapur utama dari semua hasil karya yang dipajangkan di etalase toko maupun yang dikirim ke berbagai kota di Jawa Tengah. Oh ya lupa, si ibu pemilik toko sekaligus pabrik pembuatan keramik ini tak lain dan tak bukan adalah beliau ibu Siti Juriyah, perempuan yang sudah berusia senja dan sekilas terlihat galak namun aslinya sangat baik hati ini merupakan generasi ke 3 penerus warisan pembuatan keramik khas Klampok ini. Saat masih muda, beliau merupakan seorang bidan yang berasal dari daerah Jawa Barat dan menikah dengan pemuda asli Klampok yang memiliki keahlian membuat berbagai macam karya seni dari bahan tanah liat. Kini setelah suaminya itu meninggal dunia, semua warisan usaha turun temurun ini beliau pegang dibantu anak-anaknya. Ibu Siti Juriyah ini masih ikut turun tangan memoles keramik-keramik cantik sambil mengontrol para pekerjanya.
Pada ruangan lain juga terlihat 3 orang ibu-ibu yang tengah mengamplas keramik setengah jadi. Sebuah meja panjang nan berdebu dari hasil amplasan terlihat dari kejauhan. Saat ditanya sudah berapa lama kerja di sini, seorang ibu menjawab jika dia sudah bekerja mulai dari tahun 2006 atau sudah hampir sepuluh tahun. Memang kebanyakan yang dikerjakan oleh para pekerja saat kami ke sini adalah barang-barang pesanan pelanggan untuk keperluan perlengkapan restoran hingga berbagai macam piring dan mug yang dikhususkan untuk souvenir pernikahan maupun acara penting lainnya. Tak heran jika ada sebuah mug yang tertulis angka tahun 2017, yang bisa saja sengaja dipesan untuk tahun depan yang tinggal sebulan lagi ini.
20161120_085944[2]
Terlihat piring, teko, dan cangkir setengah jadi setelah diamplas
Kami menyusuri kembali pintu-pintu yang mengarah menuju ruangan paling belakang sebagai tempat pengolahan tanah liat yang sudah siap dibentuk. Pada beberapa bagian terlihat tungku-tungku raksasa dan juga cerobong asap jadul yang masih dalam kondisi bagus namun saat ini sudah tidak digunakan lagi. Pada masa awal, pemilik memakai oven atau tungku raksasa yang terbuat dari batu bata dan berbahan bakar kayu. Seiring semakin susahnya mencari kayu bakar yang berasal dari pohon kayu keras maka diganti menggunakan minyak tanah dengan dibuat sedemikian rupa. Saat minyak tanah langka, pemilik pun mau tidak mau akhirnya menggunakan bahan bakar berupa gas-gas LPG berukuran besar dengan oven yang sudah modern. Dulu saat masih menggunakan oven jadul tiap kali proses pembakaran memakan waktu 24 jam, kini bisa dipangkas menjadi hanya 8 jam saja dan bisa diatur berapa suhunya agar bisa menghasilkan keramik yang sempurna dan tidak retak maupun pecah.
20161120_092853[1]
Tungku pembakaran atau oven yang kini sudah menggunakan bahan bakar gas LPG
Persis di belakang cerobong asap dan tungku raksasa, terlihat seorang bapak berusia setengah abad yang tengah memainkan jari jemarinya di atas sebuah alat yang diputar manual menggunakan tangan satunya. Perlahan kami mendekat dan menyaksikan secara seksama bagaimana proses demi proses dilakukan dengan suasana tenang dan juga hening penuh perasaan. Setelah meminta ijin untuk sedikit bertanya, dengan senang hati si bapak sudi melayani pertanyaan demi pertanyaan yang saya ajukan.
20161120_092413[1]
Bapak Marto Gimin sedang membuat mug dengan teknik kunci siku
Marto Gimin, bapak yang tengah bermain tanah liat ini dengan tekun membentuk gumpalan-gumpalan tanah yang semi basah dan sudah dibuat bulatan-bulatan sebesar jeruk Bali untuk kemudian dilenturkan sedemikian rupa di atas sepotong lantai keramik yang terus berputar dengan bantuan tangan ini. Semakin berputar, bulatan tanah liat itu perlahan berubah menjadi sebuah bentuk mug yang belum sempurna. Ada teknik khusus untuk memainkan jari jemari hingga bisa membentuk lekukan yang sempurna. Teknik kunci siku, begitulah yang bapak Gimin sampaikan kepada kami. Teknik dimana siku berada di atas paha bagian kanan guna menjadi tumpuan utama agar tangan tidak bergerak kemana-kemana hingga bisa menghasilkan bulatan  mug yang sempurna  seperti sebuah cetakan buatan.
Pada mulanya, bahan tanah liat yang digunakan berasal dari 3 tempat yang berbeda, mulai dari Pinggiran kali Serayu, Wonosobo hingga dari daerah Ajibarang, Banyumas. Tanah liat yang digunakan berwarna cokelat dengan kelenturan yang mirip lilin mainan. Namun seiring berjalannnya waktu, kini pemilik hanya menggunakan bahan tanah liat yang dipasok dari Ajibarang saja. Untuk sekali pengiriman bisa berpuluh karung yang merupakan tanah liat dalam kondisi masih mentah alias belum dipisahkan dari berbagai macam kotoran. Tanah liat yang masih mentah tersebut lantas diolah sedemikian rupa hingga dicetak menggunakan alat pres hingga menghasilkan tanah liat yang lentur serta mudah dibentuk untuk kemudian menjadi siap pakai.
Menurut pemilik, untuk saat ini mereka hanya membuat gerabah sesuai pesanan. Saat ditanya apakah ada ciri khas khusus yang membedakan gerabah Klampok dengan daerah lain, beliau pun menjawab bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan khusus hanya saja teknik yang digunakan antara pengrajin satu dengan yang lainnya yang kemungkinan berbeda. Sebenarnya ada 2 jenis gerabah atau keramik yang dihasilkan di tempat ini menurut kehalusan tiap-tiap hasil akhirnya. Ada yang tanpa menggunakan pelapis supaya mengkilat dan ada juga yang menggunakan pelapis tertentu agar hasilnya mengkilat dan menarik. Yang membedakannya adalah proses pengovenan yang waktunya berbeda.
20161120_085718[1]
Teko-teko yang dibuat sesuai pesanan pelanggan dalam jumlah lumayan banyak
Jika anda pernah berkunjung ke kawasan Guci Tegal atau di kota Tegal sendiri yang terkenal akan teh pocinya, sebenarnya hampir semua guci-guci, teko, nampan dan penutupnya merupakan produk yang berasal dari Klampok ini namun diberi label baru saat dipasarkan di sana. Sayang…itulah yang terbersit dalam pikiran saya saat itu, karena di Klampok ini hanya dijadikan sebagai tempat pembuatannya saja sedangkan untuk proses pemasaran dan merk tergantung dari lokasi si pemesan. Menurut ibu Siti Juriyah inilah yang menjadi kendala pemasaran hasil keramik Klampok ini. Kegelisahan ibu Siti Juriyah ini beralasan karena saat kami ke sini, galeri dan toko sekaligus merangkap lokasi pembuatan keramik Klampok ini begitu sepi. Tak terbayangkan sehari bisa laku berapa buah guci-guci maupun pernak-pernik yang ada di sini.
20161120_085800[1]
Teko-teko setengah kering dan telah selesai melewati proses pengamplasan
Selain bapak Marto Gimin, terdapat juga pekerja laki-laki yang usianya lebih tua bernama pak Dimin yang dalam sehari mampu membuat mug sebanyak 20 buah dan mulai bekerja dari jam 8 hingga jam 4 sore setiap harinya kecuali hari minggu yang hanya setengah hari saja.
20161120_093521[1]
Usia boleh senja namun semangat pak Dimin dalam totalitas bekerja patut dicontoh
Saat hendak mengakhiri kunjungan siang itu, kami pun berbincang-bincang kembali dengan ibu Siti Juriyah. Mulai dari sejarah berdirinya Mustika Keramik ini hingga perjalanan hidup beliau berdua dengan almarhum bapak. Dari situ saya pun paham jika Mustika Keramik ini awalnya hanya dijadikan sebagai pengisi waktu luang almarhum bapak yang saat masih muda membantu pelajaran membuat gerabah atau keramik di Sekolah Teknik atau sekolah kejuruan tingkat menengah pada masanya. Dari peluang dan keterampilan akhirnya bapak memberanikan diri untuk membuka sendiri usaha pembuatan gerabah atau keramik di Klampok ini.
20161120_085536[2]
Ibu Siti Juriyah (bercelemek hijau) pemilik Mustika Keramik generasi ketiga
Waktu hampir menunjukan pukul 10 dan kami pun berpamitan sembari mengucapkan terima kasih atas diperkenankannya kami berkunjung ke sini. Kami memang tidak membeli apa pun saat ke sini, namun kami membawa cerita untuk bisa disebarluaskan kepada seluruh pembaca melalui tulisan di blog ini. Sejatinya Klampok sendiri merupakan daerah yang kaya sejarah, budaya dan juga potensi lokal yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Itu semua bisa terlihat dari banyaknya bangunan-bangunan bersejarah yang masih terjaga dengan baik di sini. Selain itu juga di sepanjang jalan kita bisa melihat banyak tempat pembuatan batu bata merah yang tiap pembakarannya mengeluarkan asap yang membumbung tinggi ke langit.
Sampai jumpa lagi Klampok sebagai kota pusaka nan kaya sejarah serta Mustika Keramiknya.
Referensi : situs web dinas pariwisata kabupaten Banjarnegara



Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  Dimana saya bisa membeli guci mini dari tanah liat yang di cetak

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang  Bikin sendiri celana jeans robek mu

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : https://ndayeng.wordpress.com/2016/12/01/menyusuri-jejak-mustika-keramik-klampok/

0 komentar:

Post a Comment