, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Surat untuk ayah

Surat untuk ayah

Oleh : Anisa Kuffa
Pedih, seolah ada pisau yang menyayat di hati. Aku merasakannya ketika untuk kedua kalinya aku membaca tulisan salah seorang teman. Kali ini tulisan bercerita tentang kisah nyata seorang anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah kawasan Pasar Minggu.

Banyak hal yang kudapat dari tulisan ini. Sedemikian banyak sehingga sulit diungkap satu demi satu. Bukan hanya pelajaran tentang kehidupan anak jalanan di Jakarta. Melainkan lebih pada kerinduannya pada sang ayah. Ya, pada seorang lelaki yang telah menitipkan benih kepada ibunya sehingga menyebabkan dia ada. Dalam tulisan tersebut, si anak jalanan -sebut saja namanya Ari- merindukan kehadiran ayahnya yang belum pernah dijumpai sejak dia lahir sampai berumur 6 tahun. Saking besar keinginannya untuk menemukan ayah tersebut, Ari meninggalkan ibunya seorang diri dan pergi untuk mencari ayahnya.

Kenyataan ini semakin membuat hatiku pedih, menorehkan luka yang teramat dalam sehingga menimbulkan genangan kecil air yang kemudian mengalir perlahan di kedua pipiku. Kubayangkan Ari, seorang anak berumur 6 tahun, berjalan sendirian di jalan, tanpa orang tua, tanpa teman. Hanya karena kerinduannya untuk menemukan sang ayah. Sampai suatu ketika Ari menuliskan surat kepada ayahnya, ketika temanku memberi pelatihan menulis kepada anak-anak jalanan tersebut. "…Ayah, di manakah kau berada saat ini, tidakkah ayah merindukan ari. Ayah, Ari kangen, ingin bertemu ayah. Ari ingin minta mainan mobil-mobilan dan bisa sekolah seperti teman-teman. Ari mau jalan-jalan dengan ayah ke mall dan makan di restoran kentucky.."
Duhai, betapa pedihnya untaian kalimat yang dituliskan oleh Ari yang merupakan cerminan kerinduannya pada kehadiran sang ayah. Sampai dia melukiskan dalam bentuk surat yang ditulis tidak hanya sekali, melainkan berulang kali. Semuanya bertema sama, tentang kerinduannya pada seorang sosok bernama ayah.
Refleks aku mengambil foto di dompetku. Sebuah foto yang tidak tergantikan kedudukannya sejak Oktober 2003 yang lalu. Sebuah foto bertiga, aku, ibu dan bapak. Sambil memandangi foto tersebut aku merasakan betapa beruntungnya aku dibanding dengan Ari. Aku memiliki seorang ayah dan ibu yang selalu ada untukku.
Walaupun rambut putih sudah mulai menemani rambut hitam yang mereka punya, namun mereka masih selalu dan selalu bisa nyambung ketika berbincang denganku. Walaupun sudah 28 tahun umurku, namun mereka masih selalu mengkhawatirkan aku seperti halnya ketika aku kecil. Bahkan seringkali, ketika aku pulang ke rumah. Ibuku akan menemani aku di kamar sampai aku tertidur, dan barulah beliau akan beranjak keluar dari kamarku setelah terlebih dahulu membenarkan letak selimutku dan mematikan lampu kamarku.
Dan kerinduanku pada kedua orang tuaku menyeruak hadir tanpa kusadari ketika aku membaca kisah perjalanan seorang Ari. Jika saja Jakarta-Kudus merupakan jarak yang bisa ditempuh dalam hitungan menit, tentu aku sudah bergegas untuk pulang untuk menemui mereka.

Aku mengobati kerinduanku dengan dua hal. Pertama, aku meraih Hp di meja belajarku dan mulai mengirimkan sms ke bapakku. Sebuah kegiatan yang setiap hari kulakukan, aku memang setiap hari sms ke orang tuaku, untuk menanyakan kabar mereka dan menceritakan kabarku disini. Kedua, aku berdoa kepada Allah supaya mengampuni dan menyayangi mereka serta membuat mereka berbahagia dunia akhirat.
Setelah melakukan dua hal tersebut, ada kelegaan yang hadir walau tidak sepenuhnya karena aku tidak bisa melihat mereka secara langsung dan memeluk mereka. Rasa syukur mengaliri rongga dada manakala aku selesai membaca tulisan tersebut. Walaupun terpisah oleh jarak, tapi aku mempunyai orangtua dan keluarga yang selalu mendukungku. Aku kemudian berpikir, bagaimana halnya dengan seorang Ari? Adakah menulis surat yang ditujukan kepada orang yang (seolah-olah) dianggapnya ayah tersebut sudah cukup melegakannya?
Tak dapat kubayangkan kepedihan yang melanda hati Ari. Jangankan bertemu dengan ayahnya, gambaran wajahnya saja dia tidak punya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, tidak ada foto, lalu bagaimana Ari bisa menemukan ayahnya dan mengobati kerinduannya?
Wajar saja jika kemudian seorang teman saya tersebut berempati dengan penderitaan Ari. Karena pada hakekatnya semua manusia mempunya hati. Namun apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ari-ari yang ada di jalanan? Untuk meringankan kerinduannya pada sang ayah?


Sa'id bin Haris tak ingin kembali
Belum pernah Hisyam bin Yahya menemukan seseorang seperti Said bin Harits. Said adalah satu dari sekian banyak orang yang ikut berjihad ke negeri Rum—pada tahun 88 H. Pemuda itu kuat beribadah: puasa tiap hari, dan malamnya bangun salat malam. Jika sedang berjalan-jalan, ia membaca Alquran, dan bila sedang berdiam diri di kemah, ia membaca dzikir.

Tepat tengah malam, ketika rombongan itu sangat khawatir dari serangan musuh, Hisyam dan Said sama-sama berjaga. Malam itu memang giliran mereka. Pada waktu itu, benteng musuh telah terkurung. Ketika semalaman dilihatnya Said bin Harits beribadah, maka Hisyam pun menasihatinya, “Engkau harus mengistirahatkan badanmu. Sebab itu hak badanmu.”

Mendengar kata-kata itu, Said malah menangis. Ia menjawab, “Ini hanya beberapa nafas yang dapat dihitung dan umur yang akan habis serta hari akan segera berlalu. Sedang aku hanya menantikan maut dan berlomba menghadapi keluarnya ruh.”
Sungguh, Hisyam bin Yahya merasa sangat pilu. Ia tahu benar pemuda di hadapannya ini tak pernah berhenti melakukan hal-hal kebaikan. Bagi diri dan umatnya. Maka dengan hati yang pilu, ia berkata lagi, “Aku bersumpah dengan nama Allah. Masuklah engkau ke dalam kemah untuk istirahat.” Maka Said pun masuk dan tidur. Sedang Hisyam duduk di luar kemah. Tiba-tiba Hisyam mendengar suara dalam kemah. Padahal selain Said, tiada orang lagi. Ketika Hisyam melihat ke dalam kemah, Said berkata, “Aku tidak suka kembali.”

Ia mengulurkan tangan kanannya. Dan ia melompat bangun dari tidurnya. Hisyam tidak bisa menyembunyikan keheranannya. Ia segera mendekap pemuda itu sambil mendekapnya. “Ada apakah? Kenapa kau berkata begitu?” tanya Hisyam.
“Aku tidak akan memberitahukannya padamu,” jawab Said. Hisyam bersumpah dengan nama Allah supaya Said memberitahukan hal itu padaanya. Said malah balik bertanya, “Apakah engkau berjanji tidak akan membuka rahasia itu selama hidupku?” “Baiklah.”

Said menarik nafas. Sejurus kemudian, ia berkata, “Aku bermimpi, seolah telah tiba hari kiamat. Semua orang telah keluar menunggu panggilan Allah. Dalam keadaan itu tiba-tiba ada dua orang menghampiriku. Tiada orang yang sebagus kedua orang itu. Mereka menyalamiku dan mereka berkata kepadaku: “Terimalah kabar baik. Allah telah mengampuni dosamu dan memuji usahamu. Allah menerima amal baik dan doamu. Karena itu, marilah pergi untuk kami perlihatkan kepadamu nikmat yang tersedia untukmu.”

Lalu, keduanya membawaku keluar dari tempat itu. Mereka menyediakan kuda yang tidak serupa dengan kuda-kuda yang ada di dunia, sebab larinya bagaikan kilat atau angin yang kencang. Dan akupun mengendarainya, sehingga sampai di gedung yang tinggi dan besar. Gedung itu tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, seakan-akan terbuat dari perak yang berkilatan. Ketika aku sampai di muka pintu, tiba-tiba pintu terbuka sebelum diketuk, lalu aku masuk dan melihat segala sesuatu yang tidak dapat disifatkan dan terdetik dalam hati. Dan bidadari-bidadari serta pelayan-pelayan sebanyak bintang di langit. Dan ketika mereka melihat aku, mereka bernyanyi-nyanyi dengan berbagai nyanyian. Seorang dari mereka berkata, “Itu kekasih Allah telah tiba, ucapkanlah selamat datang kepadanya.”
Sampai di situ, Said menghentikan ceritanya sejenak. Hisyam mendengarkan dengan saksama. Said pun melanjutkan, “Lalu aku berjalan hingga sampailah di ruangan tidur terbuat dari emas bertaburan permata, diliputi dengan kursi emas. Tiap-tiap kursi ada gadis yang tidak dapat disifatkan oleh manusia kecantikannya, dan di tengah-tengah mereka ada yang tinggi dan tercantik. Kedua orang yang membawaku berkata, ‘Itu keluargamu dan ini tempatmu.’ Kemudian mereka meninggalkannku. Lalu gadis-gadis itu datang kepadaku memberi sambutan dan mereka mendudukkan aku di tengah, di samping gadis yang cantik sambil berkata, ‘Itu istrimu.’
Aku bertanya kepadanya, "Dimanakah aku ketika itu?" Dan ia menjawab, "Engkau di Jannatul Ma’wa". Lalu aku bertanya "siapa dia?"
Ternyata ia adalah istriku yang kekal. Lalu aku ulurkan tanganku kepadanya, tetapi ditolak dengan halus sambil berkata, ‘Kini kamu harus kembali ke dunia dan tinggal tiga hari’. Nah, aku tidak suka itu. Hingga aku berkata, ‘Aku tidak suka kembali,” Said mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Hisyam tidak dapat menahan air mata. “Beruntung kau Said. Allah telah memperlihatkan pahala amal baikmu.” Said malah bertanya, “Apakah ada orang lain yang melihat kejadian ini?” “Tidak.” Lalu ia berkata, “Tutuplah hal ini selama hidupku.”
Said berwudhu dan berminyak harum. Ia lalu mengambil senjatanya dan menuju ke medan perang sambil berpuasa. Hisyam tak hentinya mengagumi pemuda itu. Orang-orang banyak menceritakan kehebatan perjuangannya, belum pernah mereka melihat perjuangan sedemikian. Ia meletakkan dirinya dalam serangan musuh, dan mengatasinya.
Pada hari kedua, ia bertempur lebih hebat. Pada waktu malam, Said tetap melaksanakan salat dan bangun pagi untuk kembali maju ke medan perang. Pemuda itu tak hentinya menerapkan apa yang ia kerjakan malam dan siang hari. Sepanjang hari itu ia bertempur terus-menerus. Hingga tepat matahari terbenam, tibalah sebuah panah mengenai lehernya. Jatuhlah ia sebagai syahid. Hisyam tetap memperhatikannya, sedang orang-orang mengangkatnya.
“Bahagialah engkau, berbuka malam ini. Sekiranya aku bersamamu,” ujar Hisyam. Said mengginggit bibirnya sambil tersenyum, “Alhamdulillaahilladzi sadaqana wa’dahu,” kemudian dia mengingal dunia.
Saat itu, Hisyam berkata kepada orang-orang. “Hai sekalian orang, seperti inilah kita harus berlomba-lomba.” Orang-orang pun semakin tahu bahwa Said telah mengorbankan waktu dan hidupnya untuk dakwah. Untuk sebuah perjuangan. Tidak ada istilah rugi untuknya. Ia berjuang untuk Allah. Walaupun harus berdarah-darah. Setiap malam, ia khusyuk bermunajat kepada Allah terus mendekatkan diri, meningkatkan kemampuan dan kekuatan dirinya. Siang, ia bertempur menghadapi musuh.

Rindu Rosul
Dan tidaklah kami mengutus engkau Muhammad,
kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Q.S. Al-Anbiya: 107)

Tulisan di bawah ini hanyalah sebuah petikan kecil dari buku berjudul “Rindu Rasul" yang ditulis oleh bpk Jalaludin Rahmat (semoga beliau mendapat berkah atas tulisannya, amin). Sebagian sari dari buku itu cukup membuat hati saya terenyuh.
Rasulullah  bersabda: “Ada 3 hal yang bila semuanya ada pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apapun selain keduanya; kedua, ia mencintai orang semata-mata karena Allah; dan ketiga, ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka." (Shahih al-Bukhari)
Adapun bagi para pencinta Rasulullah saw, Allah akan menganugerahkan:
1. Digabungkan bersamanya
Secara ruhaniyah di dunia dan secara hakiki di akhirat. Prinsipnya sama seperti bila kita mencintai sesuatu, yaitu: akan ada pembenaran atas apa yang diajarkan oleh yang kita cintai, perilaku, pikiran, perasaan dan tindakan juga sangat dipengaruhi oleh siapa yang kita cintai.
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"(Q.S: An-Nisa 69)
2. Kelezatan iman
Lezatnya iman mungkin bisa digambarkan dari kisah sebagai berikut. Terkisah segera setelah Rasulullah  wafat, Bilal tidak mau lagi menyampaikan azan. Beberapa hari angkasa Madinah tidak mendengar suara Bilal. Atas desakan Fatimah, putri Nabi saw, Bilal mengumandangkan azan Subuh. Seluruh Madinah terguncang. Bilal mulai dengan Allahu Akbar, lalu kalimah syahadat yang pertama. Begitu ia ingin menyebutkan kalimat syahadat kedua, suaranya tersekat dalam tenggorokan. Ia berhenti pada "Muhammad" dan setelah itu tangisannya meledak, diikuti oleh tangisan Fatimah dan seluruh penduduk Madinah al-Munawarrah. Ikrar iman dalam ucapan syahadat membuat rasa rindu semakin terasa lezat.
3. Kecintaan Allah swt
Karena Nabi  adalah mahluk yang paling dicintai Allah Ta’ala. Siapapun yang mencintai Nabi, menyayangi, merindui kekasih Allah, tentu akan mendapat pula kecintaan dari Allah swt.
4. Balasan cinta Rasulullah saw
Tidak ada pencinta Nabi saw yang bertepuk sebelah tangan. Dalam riwayat yang telah diceritakan sebelumnya, betapa Rasulullah  merindukan pertemuan dengan umat yang mencintainya.
Terkisah pula pada detik-detik Nabi menjelang wafat, sahabat Ali  mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku?" Betapa cintanya beliau pada umatnya. Akankah kita membalas cintanya dengan menyebut nama beliau disisi Allah Ta’ala menjelang ajal kita ?
5. Mendapatkan syafaat (pembelaan)-nya yang agung.
Yaitu bantuan Nabi  dengan izin Allah untuk meringankan dan bahkan menghapuskan hukuman bagi para pendosa, bukannya tidak mungkin seseorang bisa masuk surga tanpa dihisab bila pembelaan Rasulullah saw diterima oleh sang Khalik.
Mungkin kita masih ingat akan kejadian-kejadian masa lalu ketika tabloid Monitor menulis tentang orang di dunia yang paling dikagumi sementara Nabi Muhammad saw ditulis di urutan ke-sebelas. Bukankah semestinya kita menempatkannya di urutan pertama di hati kita? Apa yang bisa kita petik dari kejadian ini? Masuk golongan mana kita? golongan yang menyalahkan media tersebut? atau golongan yang justru menyalahkan diri sendiri telah melupakan Nabi saw selama ini? Atau ketika Salman Rushdie mencemooh Nabi saw sebagai sumber permainan dengan berlindung atas nama dunia seni kesastraan. Apa hati kita terusik? apa kita merasa kalau Salman Rushdie sudah meludah aqidah kita? Atau kita merasa bahwa hal itu biasa saja? Atau mungkin kita merasa biar saja karena kita jauh dari tempat kejadian dan saat ini Nabi pun sudah tidak ada? Astaghfirullahal 'Adhim.
Semoga petikan ayat Al-Qur’an surat Al-Anbiya 107 di awal tulisan ini bisa membuka hati kita semua, betapa pentingnya kita mencintai dan bersuka cita atas Nabi saw.
Bila kita kaji lagi apa yang bisa kita peroleh jika kita menempatkan Nabi saw pada urutan pertama di hati, maka kita akan mendapatkan "iman yang begitu indah mempesona".

Walaupun Nabi saw sudah tiada, mungkin justru karena itulah kita perlu bersyukur akan keberadaan kita sekarang dengan beriman kepadanya dan menjalankan sunnah-sunnah yang telah beliau contohkan. Sebuah tantangan, perjuangan berat, teramat berat, insya Allah kita termasuk insan yang dinanti dan dijemput sendiri oleh baginda Nabi saw kelak di akhirat, insya Allah keluarga kita akan dimohonkan syafaat oleh baginda Nabi saw, insya Allah kita mendapat tempat spesial di mata Allah swt, tempat yang indah tanpa dihisab, amin.

Sebagai sebuah renungan, mungkin kita sering mengucapkan dan mendengar arti shalawat yang diperuntukkan bagi baginda Nabi saw dan keluarganya. Nah! kalau kita termasuk orang yang beriman pada Rasulullah saw padahal kita sendiri tidak pernah berjumpa beliau, bukankah kita telah menjadi saudara Nabiyallah  ?? Keluarga Rasulullah   juga ?? Saya pribadi berfikir bukannya tak mungkin kalau ucapan shalawat itu juga mengandung makna ucapan shalawat bagi kita-kita yang beriman padanya. Sebuah berita gembira bila kita akhirnya bisa juga bersanding dengan nama Muhammad , kekasih Allah Ta'ala.

Allahumma sholli wa baarik ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali wa shohbihi wasallam. (Ucapkanlah sesering mungkin bila kita mendengar nama beliau disebut)
Ya Allah yang Maha Besar, tanamkan aqidah iman sedalam-dalamnya pada diriku untuk senantiasa mencintai-Mu dan Nabi Muhammad saw, lebih dari apapun di alam semesta ini, amin ya rabbal ‘alamiin.

Belajar dari kegigihan semut
Oleh Taufik
Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya. Seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuh di lantai depan televisi. Kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan dengan sejuknya lantai.
"Aaauww ... brengsek!" gumamku tiba-tiba. Segera kutepis sesuatu yang menggigit lenganku hingga tampak titik hitam terjatuh ke lantai. Ternyata seekor semut hitam.
"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau hancur? Apa dia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku. Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "Addduuhhh!" Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan gigitannyapun lebih sakit.”Heeeh, berani sekali makhluk kecil ini," gerutuku kesal.
Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang diucapkannya.
"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku.
Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya.
Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil–manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.
Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah anak - anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa roti, itu terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung anak ke enamnya" pikirku.

Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.
Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.
Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak–anak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.
Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan qonaah dalam hidup.
Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka.

0 komentar:

Post a Comment