, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Menumbuhkan empati anak

Menumbuhkan empati anak

Oleh Kurnia Wahyudi

Ada sebuah fenomena yang sering terjadi, yaitu orang tua yang begitu mengekang kebebasan anak, walaupun memang di mata kita, para orang tua, adalah baik maksudnya. Tapi apakah anak-anak dapat menangkap pesan atau maksud baik tersebut? Bisa jadi mereka masih teramat kecil untuk dapat mengerti.
Contoh sederhana, kita sering mendapati anak berlari ke sana ke mari hingga kurang memerdulikan keselamatan mereka sendiri. Kita sebagai orang tua akan merasa "ngeri" kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti jatuh, menabrak benda keras, dan lain sebagainya, yang dapat membahayakan keselamatan sang anak. Melihat kondisi anak seperti itu (suka berlari-lari), biasanya kita sebagai orang tua akan langsung menasehatinya, atau melarangnya, bahkan memarahinya.
Andaikan akhirnya anak Anda yang sedang berlari-lari tersebut jatuh, padahal sebelumnya sudah berbusa mulut Anda menasehatinya agar jangan berlari-larian, apa yang akan Anda lakukan?
Menurut pengalaman saya pribadi ada dua perlakuan yang umum dilakukan oleh para orang tua.
Pertama, respon refleks umumnya orang tua adalah langsung memarahi anak akibat tidak mau mendengar perkataan mereka. Kalau pun tidak memarahinya, mereka melakukannya dengan cara lain yakni mengingatkannya dengan nada tinggi. Mungkin kira-kira begini,
"Tuh kan apa Ibu/Ayah bilang! Jangan lari-lari...jadi jatuh, kan! Anak bandel, tidak mau mendengar kata-kata orang tua! Huh!"
Kondisi yang lebih ekstrem yang lain adalah berkata atau membentak dan terkadang dibarengi dengan kekerasan tangan (memukulnya), hingga anak pun menangis karenanya. Kemungkinan besar sang anak menangis bukan akibat dari jatuhnya, melainkan karena bentakan atau pukulan orang tua.
Kedua, berusaha untuk tampil empati tapi tetap memarahi atau membentaknya. Misalnya dengan perkataan sebagai berikut,
"Aduh adik jatuh, ya! Sakit? Makanya apa Mama/Papa bilang. Nggak mau dengar sih perkataan Mama/Papa. Jadi begini akibatnya! Makanya lain kali dengar kata-kata Mama, ya!" dengan suara yang cenderung datar tanpa intonasi tinggi.
Ungkapan kondisi pertama adalah bentuk contoh "judgement" (penghukuman). Artinya, anak langsung diberi hukuman akan tindakan pelanggaran yang dilakukannya (karena tidak mendengar perkataan orang tuanya). Sedangkan, ungkapan kondisi kedua adalah bentuk contoh "semi judgement dan empati". Kondisi ini agak lebih baik, tapi tetap dapat meninggalkan kesan kejadian berulang pada anak. Maksudnya adalah anak kemungkinan besar akan melakukan perlakuan yang sama yang dilakukan oleh orang tua kepada dirinya, terhadap situasi serupa yang dihadapinya dengan orang lain.
Sekarang coba Anda bayangkan (dari hasil perlakuan kondisi pertama dan kedua di atas) bila sang anak memiliki seorang adik, dan ternyata adiknya melakukan tindakan yang persis dilakukannya, yakni berlari-larian. Sang anak akan mengingatkan si adik untuk jangan berlari-larian, dengan cara persis seperti yang dilakukan orang tua terhadap dirinya. Kira-kira berdasarkan pengalaman sebelumnya, perlakuan apa yang akan dilakukan sang kakak terhadap adiknya?
Seorang anak adalah perekam yang sangat kuat. Anak memiliki kemampuan photo-memory yang sangat tinggi. Bila kita mengharapkan seorang anak yang memiliki sifat dan sikap empati yang tinggi, maka seyogyanya dilatih sejak dini. Jadi, bila kita berharap sang anak bersikap empati apabila melihat adiknya terjatuh, maka kita diharapkan untuk bertindak serupa terhadap dirinya.
Kisah di atas akan lain ceritanya bila sang ayah atau ibu bersikap empati terlebih dahulu ketika mendapati anaknya terjatuh, bukan langsung melakukan "judgement" terhadap dirinya. Contohnya adalah dengan mengatakan, "Aduh ... adik jatuh ya! Sakit? Mana yang sakit? Sini ayah/ibu obati," sambil memberikan perhatian terhadap lukanya, jikalau perlu mengobatinya. Baru kemudian setelah selesai mengobati kita dapat menasehatinya,  "Makanya, lain kali lebih hati-hati ya! Tolong dengarkan apa kata ayah/ibu ... Adik mau janji?"





Manusia yang Tidak Pernah Mati
Oleh Chandra Kurniawan
Salah satu kesenangan saya adalah membaca buku-buku sejarah. Dari sejarah, saya memperoleh banyak pelajaran, yang dengannya membuat saya berhati-hati dalam melangkah. Saya semakin menyadari akan satu hal, bahwa jalan di dunia ini tidak selamanya mulus dan indah. Ada kalanya berlubang, bergelombang, penuh onak dan duri. Dari sanalah saya mengetahui mengapa seseorang dapat sukses, dan mengapa yang lain tidak.
Saya mengagumi ulama-ulama besar seperti Imam al-Ghazali, Imam Ibnu al-Jauzy, Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Hasan al-Banna karena ilmu yang mereka miliki, ketekunan mereka dalam beribadah, keluhuran akhlak mereka dan penghargaan mereka terhadap waktu. Imam Hasan al-Banna pernah mengatakan, kewajiban yang ada lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Pernyataan ini bukan pernyataan yang main-main, melainkan sebuah pernyataan yang keluar dari mulut seorang insan yang “bergelut” dengan waktunya dan sadar akan pentingnya waktu.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan mulai dari fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, tarikh, tasawuf, filsafat, sastra Arab, hingga ilmu kedokteran, mereka kuasai dengan baik. Bahkan mereka ahli pada semua bidang itu. Tak heran jika seorang Roger Garaudy sangat mengagumi ilmu yang dimiliki para ulama Islam, yang sangat banyak itu, yang tidak dimiliki ilmuwan-ilmuwan Barat. Kekagumannya itu membuatnya masuk Islam. Ya, ini sungguh luar biasa. Siapapun orangnya, yang tentu saja masih berakal sehat, pasti akan menyadari hal ini. Bagaimana mereka menguasai banyak ilmu pengetahuan dalam usia mereka yang tergolong pendek? Inilah pertanyaan yang mesti di jawab di sini.
Saya berpikir, semua itu terjadi karena mereka sangat menghargai waktu. Sedetik pun waktu tidak pernah mereka sia-siakan. Kalaupun ada waktu yang terbuang percuma, mereka akan menyesal dan berusaha dikemudian hari hal itu tidak terulang lagi. Setiap hari, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk jiwa, raga, dan pikiran mereka. Ada seorang ulama yang menunggu kedatangan gurunya dalam sebuah majelis, lantas kemudian ia isi waktu luang itu dengan shalat sunah.
Imam Ibnu al-Jauzy pernah kedatangan tamu yang membicarakan hal-hal yang tak berguna. Dia meladeni mereka sembari menyerut pensil untuk menulis buku. Siang dan malam beliau tidak henti-hentinya berpikir, menulis, mengajar dan membaca. Imam Ibnu al-Jauzy pernah berkata, “Dari tanganku lahir dua ribu jilid buku dan di tanganku juga telah bertaubat seratus ribu orang, dua puluh ribu orang di antaranya masuk Islam.” Di antara karya-karyanya, Durratul Ikliil 4 jilid, Fadhail al-Arab, al-Amstaal, al-Manfaat fi Madzahib al-Arba’ah 2 jilid, al-Mukhtar min al-Asy’ar 10 jilid, at-Tabshirah 3 jilid, Ru’us al-Qawariir 2 jilid, Shaidul Khathir, Kitab al-Luqat (ilmu kedokteran) 2 jilid, dan sebagainya.
Imam Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang waktunya tidak pernah luput dari berbuat kebaikan. Hingga dipenjara sekalipun, ia tetap berusaha menulis, berceramah kepada para napi, dan lain sebagainya. Beliau pernah berkata, “Apakah yang akan diperbuat musuh-musuh terhadapku? Jika aku dipenjara, penjaraku adalah khalwah. Jika aku diasingkan, pengasinganku adalah tamasya. Dan jika aku dibunuh, kematianku adalah syahadah.” Sekalipun pena-penanya disingkirkan oleh pemerintah tirani, dia tetap saja menulis walaupun dengan arang.
Jika diberi umur yang panjang, niscaya mereka akan terus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Namun kenyataan tidaklah terjadi demikian. Karena ilmu di dunia ini sangatlah banyak dan tak mungkin umur manusia yang pendek, dapat menguasai semuanya, para ulama akhirnya membuat pengurutan ilmu-ilmu apa saja yang “wajib” dikuasai oleh kaum muslimin. Imam Ibnu Qudamah dalam bukunya berjudul Mukhtashar Minhajul Qashidin mengomentari hadits yang berbunyi, “Mencari ilmu itu wajib atas setiap orang muslim,” dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ilmu wajib di sini adalah ilmu muamalah hamba terhadap Tuhannya. Muamalah yang dibebankan di sini meliputi tiga macam: Keyakinan, perbuatan dan apa yang harus ditinggalkan.
Saya kemudian merenung tentang diri saya sendiri dan kebanyakan orang pada umumnya, betapa banyak waktu yang telah kita buang percuma. Mungkin satu atau dua jam waktu luang yang terbuang dalam sehari tidak akan kita rasakan dampak negatifnya. Namun jika dikumpulkan dalam setahun atau bahkan dalam seumur hidup, akan sangat terasa, betapa kita telah melalui banyak momen dengan hal yang tidak berguna. Waktu-waktu itu begitu cepat berlalu dan tak dapat kembali lagi. Sedetikpun ia tak mau. Pada akhirnya semua itu membuahkan penyesalan yang berkepanjangan. Kita hanya membawa amal yang sedikit kehadapan-Nya.
Seorang ulama shalih bernama Taubah bin ash-Shimmah biasa mengintrospeksi dirinya sendiri. Suatu hari dia menghitung-hitung, selagi sudah berumur enam puluh tahun. Dia menghitung-hitung hari-hari yang pernah dilewatinya, yaitu sebanyak sebelas ribu hari lebih lima ratus hari. Tiba-tiba saja dia tersentak dan berkata, “Aduhai celaka aku! Apakah aku harus bertemu Allah dengan membawa sebelas ribu limaratus dosa?” Setelah itu dia langsung pingsan dan seketika itu pula dia meninggal dunia. Pada saat itu orang-orang mendengar suara, “Dia sedang meniti ke surga Firdaus.” (Lihat Kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Sebagian orang terlalu banyak berharap dengan amal yang sedikit, mudah-mudahan dapat masuk surga. Mereka mengacu pada hadits qudsi yang berbunyi, “Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Karena itu hendaklah dia menyangka terhadap-Ku menurut kehendaknya.” Mengomentari hadits ini, Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya, ad-Daa’ wad-Dawaa, mengemukakan, memang Allah akan melaksanakan sangkaan hambanya. Namun tidak dapat diragukan bahwa baik sangka hanya terjadi jika ada kebaikan. Orang yang berbuat kebaikan adalah orang yang berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari janji-Nya serta akan menerima taubatnya.
Adapun kezhaliman, kedurhakaan dan hal-hal haram yang dilakukan orang yang buruk dan intens dalam melakukan dosa-dosa besar, menghalanginya untuk berbaik sangka terhadap Allah. Yang demikian dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang budak yang melarikan diri dan tidak lagi taat kepada tuannya, tentu tidak berbaik sangka kepadanya. Dia tidak bisa memadukan tindakan yang tidak baik dengan baik sangka. Orang yang buruk tentu merasa tidak respek, tergantung dari keburukannya. Maka orang yang paling berbaik sangka terhadap Allah ialah yang paling taat. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya orang mukmin adalah orang yang berbaik sangka terhadap Tuhannya dan yang baik amalnya. Sedangkan orang keji ialah yang berburuk sangka terhadap Tuhannya dan buruk pula amalnya.”
Bagi mereka yang menyadari sangat dekatnya kematian, niscaya akan sangat menghargai waktu. Waktu kita yang berlalu dengan sia-sia, hendaklah menjadi cambuk, agar kelak, dikemudian hari, tidak melakukan hal yang serupa. Kita bertekad kuat untuk mengisi hari-hari dengan amal yang berkualitas guna memperoleh pahala dan ganjaran yang abadi. Bagi seorang yang kaya harta, maka ia akan berusaha untuk mewakafkan kekayaannya dan mendarmabaktikan dirinya untuk dakwah dan jihad fi sabilillah. Sedangkan bagi seorang penulis, ia akan menulis buku yang bisa dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan pelbagai kebaikan. Dari karya-karyanya, banyak orang yang dapat mengikuti jejak amalnya. Itulah manusia yang tidak pernah mati. Betapa banyaknya manusia yang mati, namun pada hakikatnya mereka selalu hidup.

Akhirnya, ia mati seperti keledai
Kisah ini terjadi di Universitas 'Ain Syams, fakultas pertanian di Mesir. Sebuah kisah yang amat masyhur dan dieksposs oleh berbagai media massa setempat dan sudah menjadi buah bibir orang-orang di sana.
Pada tahun 50-an masehi, di sebuah halaman salah satu fakultas di negara Arab (Mesir-red.,), berdiri seorang mahasiswa sembari memegang jamnya dan membelalakkan mata ke arahnya, lalu berteriak lantang, "Jika memang Allah ada, maka silahkan Dia mencabut nyawa saya satu jam dari sekarang!."
Ini merupakan kejadian yang langka dan disaksikan oleh mayoritas mahasiswa dan dosen di kampus tersebut. Menit demi menitpun berjalan dengan cepat hingga tibalah menit keenampuluh alias satu jam dari ucapan sang mahasiswa tersebut. Mengetahui belum ada gejala apa-apa dari ucapannya, sang mahasiswa ini berkacak pinggang, penuh dengan kesombongan dan tantangan sembari berkata kepada rekan-rekannya, "Bagaimana pendapat kalian, bukankah jika memang Allah ada, sudah pasti Dia mencabut nyawa saya?."
Para mahasiswapun pulang ke rumah masing-masing. Diantara mereka ada yang tergoda bisikan syaithan sehingga beranggapan, "Sesunguhnya Allah hanya menundanya karena hikmah-Nya di balik itu." Akan tetapi ada pula diantara mereka yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengejeknya.
Sementara si mahasiswa yang lancang tadi, pulang ke rumahnya dengan penuh keceriaan, berjalan dengan angkuh seakan dia telah membuktikan dengan dalil 'aqly yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya bahwa Allah benar tidak ada dan bahwa manusia diciptakan secara serampangan; tidak mengenal Rabb, tidak ada hari kebangkitan dan hari Hisab. Dia masuk rumah dan rupanya sang ibu sudah menyiapkan makan siang untuknya sedangkan sang ayah sudah menunggu sembari duduk di hadapan hidangan. Karenanya, sang anak ini bergegas sebentar ke 'Wastapel' di dapur. Dia berdiri di situ sembari mencuci muka dan tangannya, kemudian mengelapnya dengan tissue. Tatkala sedang dalam kondisi demikian, tiba-tiba dia terjatuh dan tersungkur di situ, lalu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
Yah…dia benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Ternyata, dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa sebab kematiannya hanyalah karena ada air yang masuk ke telinganya!!.
Mengenai hal ini, Dr.'Abdur Razzaq Nawfal -rahimahullah- berkata, "Allah hanya menghendaki dia mati seperti keledai!."
Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian ilmiah bahwa bila air masuk ke telinga keledai atau kuda, maka seketika ia akan mati ?!!!.
Sumber: Majalah "al-Majallah", volume bulan Shafar 1423 H. Di nukil oleh Ibrahim bin 'Abdullah al-Hâzimiy dalam bukunya "Nihâyah azh-Zhâlimîn", Seri ke-9, h.73-74)


            Pantaskah berharap Jannah
Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah ?
Padahal Rasulullah  dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.
Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman ?
Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah ?
Rasulullah  adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak ?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu ? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri ?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah ?
Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.
Astaghfirullaah ... Astaghfirullaah ...Allohummaghfir


Nikmat...begitu banyak yang telah terlewatkan tanpa mensyukurinya
Oleh Bunda Shafiya
Saat itu kami; aku, bapak dan Shafiya sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami baru saja pulang dari menikmati semangkuk Soto Lamongan Cak Har *slruup* yang terkenal itu. Tepat di traffic light menuju ke arah Margorejo, mobil berhenti karena traffic light menunjukkan warna merah. Aku melayangkan pandangan ke seberang jalan. Nampak olehku sosok ibu pengemis dan anaknya yang sedang mesra bersenda gurau. Si anak rupanya haus dan alhamdulillah saat itu sang ibu ada rezeki untuk membelikan sekantung plastik es teh bagi si anak.
Dengan penuh rasa kasih sayang kantung plastik es teh itu dibuka dari ikatannya dan diminumkan ke si anak dengan menggunakan sedotan. Tampak si anak sangat menikmatinya, kehausan barangkali. Setelah si anak puas, ibu itu pun mencicipi es teh itu sedikit dan ternyata walaupun es teh itu hanya bersisa sangat sedikit, mungkin hanya satu tegukan lagi sisanya, sang ibu itu tetap menyimpan sisa itu dengan hati-hati dengan mengikat kembali kantung plastik es teh itu.. Subhanallah! Betapa orang seperti mereka sangat menghargai dan mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka serta menjaganya dengan sangat hati-hati.
Dadaku terasa sesak, bersamaan dengan itu air mata mulai menetes.. Teringat akan percakapanku dengan Shafiya di depot soto itu, "Nak, udah deh, ice tea-nya nggak usah dihabiskan. Ayo.. cepetan, Bapak sudah menunggu di mobil." Betapa bodohnya aku yang malah mengajarkan anakku untuk berbuat suatu hal yang mubazir yang mencerminkan rasa tidak bersyukur padaNya. Astagfirullah.
Bagi orang lain, peristiwa ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Tapi saya memaknainya lain. Alhamdulillah.Allah memberi saya petunjuk untuk selalu mensyukuri nikmatNya dalam ketaatan kepadaNya. Syukur Alhamdulillah. Ibu pengemis itu telah mengajarkan kepada saya cara untuk menghargai nikmatNya.
Fabiayyi aalaa rabbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang engkau dustakan? Pertanyaan retoris ini membuat saya tertunduk malu tiap kali mendengarnya. Betapa tidak! saya sering kali iri dengan nikmat yang ada pada orang lain. Saya memang tidak pernah sampai dalam tahap merasa dengki dan menginginkan agar nikmat orang lain itu hilang. Naudzubillah min Dzalik.. Tapi rasa iri saya membawa saya menjadi orang yang kufur nikmat. Padahal Allah selalu baik kepada saya. Dalam studi dan karir insya Allah saya selalu lancar. Ketika saya berdoa agar mendapat pendamping hidup yang sholeh, Allah dengan cepat mengabulkan permintaan saya. Ketika saya berdoa agar dikarunai anak yang menyejukkan pandangan orang tuanya, Allah dengan berbaik hati mengabulkan permohonan saya itu.. Namun.dari banyak nikmat yang ada, sedikit sekali saya mampu menyentuhkan dahi bersujud pada Allah untuk menyampaikan rasa terima kasih saya.
Nikmat.. begitu banyak yang saya lewatkan tanpa mensyukurinya. Ya Allah.. janganlah golongkan saya menjadi orang-orang yang merugi karena kufur terhadap nikmatMu... (Tuhan) yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNya. Dan Allah meninggikan langit dan Dia melektakkan neraca keadilan. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluknya, di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bungaan yang harum baunya.
Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan ?
(Surat Ar Rahman: 1-13)


Nabi Ayub pun Tersenyum
Oleh Bayu Gawtama
Allah mencintai hamba-hamba-Nya dengan cara yang unik dan berbeda-beda. Semakin tinggi ketakwaan seorang hamba, semakin unik cara Dia mencintainya. Salah satunya adalah Nabi Ayub. Lelaki yang diamanahkan Allah untuk mengemban misi ketuhanannya itu dicintai Allah dengan penyakit yang sangat parah. Tak tanggung-tanggung, karena penyakitnya itu, Ayub alaihi salam dijauhi sahabat dan kerabatnya. Mereka tak tahan berdekatan lantaran aroma tak sedap dan takut tertular.
Maha suci Allah yang telah menciptakan manusia semulia Ayub. Ia tak pernah membenci Allah dengan takdirnya, tak pula ia merasa bahwa Tuhan yang dicintainya itu tak adil terhadapnya. Semakin berat sakit yang dirasa, semakin cinta Ayub kepada Allah. Dan mulianya Ayub, semakin parah penyakitnya semakin ia tersenyum. Allah dan para malaikat pun kan tersenyum oleh kesabaran lelaki mengagumkan itu.
Memang takkan sebanding jika sekarang saya mengajukan sebuah nama untuk menyandingkannya dengan Nabi Allah itu. Namun teramat banyak saya harus belajar tentang arti kesabaran dan cinta kepada Allah dari sahabat yang satu ini. Hesti, alias Titi yang lima belas tahun menderita radang sendi sehingga ia kini hanya bisa tergolek tak berdaya di kamar tidurnya. Namun ia tetap terlihat ceria dan bersemangat menjalani hidupnya. "Saya ingin terlihat tetap bersyukur, dan saya ingin tersenyum saat harus menghadap-Nya," ujar gadis itu.
Kemarin saat bertelepon dengannya, saya bertanya satu hal yang paling tidak ingin saya tanyakan kepadanya karena khawatir menyinggung perasaannya. "Mbak, tak inginkah mbak Titi sembuh?"
Saya tak pernah menyangka jawabannya. "Tidak, sebaiknya saya tetap seperti ini sambil Allah memberikan kehendaknya."
Titi pun menjawab penasaran saya yang seolah bertanya, "kenapa." Menurutnya, ia amat bersyukur Allah menimpakan penyakit ini kepadanya, meski sudah sangat lama ia menjalani hari-harinya di kamar tidur. Hidup dengan bantuan orang lain, bahkan untuk ke kamar kecil sekali pun. Radang sendi yang dideritanya membuat seluruh persendiannya sakit tak berdaya. Ia membutuhkan bantuan orang lain untuk seluruh aktivitasnya.
Tapi Titi tetap tersenyum. "Kalau saya sembuh, saya tidak yakin akan tetap sedekat ini dengan Allah. Saya tak pernah yakin akan tetap khusuk beribadah, akan menangis di setiap sujud panjang saya jika saya bisa berdiri dan sehat. Boleh jadi saya akan menjauh dari-Nya, hidup dalam kesenangan yang membuat saya lupa akan kematian," tuturnya.    "Jadi, mbak tidak ingin sembuh?" tambah saya yang semakin termangu oleh kata-kata ajaibnya.
"Biarlah saya tetap seperti ini. Saya yakin Allah sedang mencintai saya dengan takdirnya. Jujur, saya tak ingin sembuh karena saya takut Allah tak lagi mencintai saya." Duh, Titi rasanya tak ada alasan Allah tak mencintaimu. Sungguh saya iri kepada Titi, karena saya yakin Nabi Ayub akan pun tersenyum melihat Titi.  Subhanalloh.

0 komentar:

Post a Comment