, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

e) Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat Ringannya Putusan Pemidanaan

e)  Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat Ringannya Putusan Pemidanaan


Berdasarkan hal yang telah dikemukakan tersebut mengenai diberinya kebebasan bagi hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya juga harus berdasarkan alat bukti yang sah. Ini merupakan penjabaran dari Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan secara tegas bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidan kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dijelaskan mengenai tujuannya adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini sesuai dengan asas tiada pidana tanpa adanya kesalahan (geenstraf zonder sculd) di dalam hukum pidana yang memiliki arti bahwa pidana hanya dapat dijatuhkan apabila terdakwa benar-benar terbukti melakukan suatu kesalahan yang dibuktikan pada sidang pengadilan.

Maksud dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah adalah adanya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Mengenai alat bukti yang sah ini dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, meliputi :
(1)    Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri atas suatu tindak pidana. Pada umumnya setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi dalam Pasal 186 KUHAP diatur mengenai kekecualiannya, yaitu :
a)    Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b)    Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c)    Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Bagi saksi yang tidak mau disumpah maka dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP memberikan keterangan yaitu seorang saksi yang tidak mau disumpah maka keterangannya tidak dianggap sebagai alat bukti, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan hakim. (Andi Hamzah 2002 :259)
(2)    Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah pendapat yang diberikan oleh seseorang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. (Andi Hamzah 2002 :268)
Seorang ahli mempunyai ciri bahwa ia menguasai suatu ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan yang dipelajari dan ia akan didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus dan mendalam.
(3)    Surat
Alat bukti surat ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu :
a)    Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b)    Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c)    Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d)    Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Jadi yang dikualifikasikan sebagai surat yang dapat dijadikan alat bukti adalah surat yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 187 KUHAP seperti tersebut di atas.
(4)    Petunjuk
Pengertian petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pengertian ini dipandang tidak begitu jelas karena tidak dijelaskan mengenai perbuatan apa, kejadian, atau keadaan apa. Sehingga dalam prakteknya alat bukti petunjuk ini jarang digunakan.
(5)    Keterangan terdakwa
Dalam KUHAP tidak dijelaskan mengenai keterangan terdakwa sebagai salah satu alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan penjelasan yang diberikan oleh terdakwa pada saat dilakukan pemeriksaan terdakwa didepan persidangan. Sehingga keterangan disini termasuk yang berupa pengakuan, penyangkalan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.
                                      
Di dalam bukunya yang berjudul Hukum Hakim Pidana, Oemar Seno Adji menyatakan bahwa dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan disini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia dijadikan landasan untuk memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya, tidak merupakan arti yang essensial lagi. Dalam maxima dan minima tersebut, hakim pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Suatu kebebasan yang berarti kebebasan mutlak secara tidak terbatas. Seorang hakim harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Hakim harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya, tingkatan pendidikan, apakah pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal lain (Oemar Seno Adji, 1984: 8).

Selain alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain di luar faktor yuridis yang harus diperhatikan oleh hakim. Hal tersebut antara lain melihat juga dari faktor modus operandi dan sosiologis yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. Faktor yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan selama persidangan, mengakui perbuatannya dan terdakwa masih muda. Sedangkan faktor yang memberatkan adalah keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan negara, dan lain-lain. (Bambang Waluyo, 2000: 89)

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 28 ayat (2) juga mengatur mengenai kewajiban hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana bagi terdakwa dengan melihat sifat yang baik dan jahat dari terdakwa tersebut. Bahkan hal tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasannya yaitu agar putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Selain itu hal-hal yang meringankan dan memberatkan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyak Indonesia, terutama dalam hal terciptanya persamaan dan kedudukan dalam bidang hukum dan tidak ada diskriminasi.











2.    KERANGKA PEMIKIRAN






















    Bagan 2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah pola pikir yang dimiliki oleh penulis dalam melakukan penelitian ini. Kerangka pemikiran berisi hal-hal yang menjadi pokok penelitian yang dilakukan oleh penulis sehingga nantinya dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Kerangka pemikiran ini diwujudkan dalam suatu skema atau bagan agar lebih mudah dipahami.

Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa adanya tindak pidana  yang dilakukan oleh seseorang.  Dengan adanya tindak pidana dan adanya proses-proses yang mencari siapa pelaku tindak pidana tersebut maka akan ditemukan tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut. Setelah terdakwa ditentukan maka adanya proses peradilan yang dilakukan oleh petugas pengadilan. Proses peradilan ini dilakukan untuk mencari kebenaran apakah benar terdakwa itu melakukan tindak pidana yang didakwakan. Apabila terdakwa tersebut ternyata tidak terbuktimelakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka ia akan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan adanya keputusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka terdakwa tersebut berhak mendapatkan rehabilitasi untuk memulihkan namanya yang tercemar karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

0 komentar:

Post a Comment