, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

31. DIMAS ARYA PAMBUDI KATIM


31. DIMAS ARYA PAMBUDI KATIM

      Peristiwa ini terjadi pada hari Minggu, 28 September 2008. Pada hari itu saya berkesempatan melakukan buka puasa bersama teman-teman SMA saya di kota asal saya, Bogor. Selesai berbuka puasa, salah satu teman saya mengajak menonton film Laskar Pelangi, yang saat itu baru diputar di bioskop selama beberapa hari. Ada beberapa teman saya yang sudah menonton film itu sebelumnya, namun lebih banyak lagi yang belum menonton film tersebut. Jadi, yang sudah menonton film Laskar Pelangi pun berpamitan pulang terlebih dahulu dan sisanya termasuk saya langsung bergegas ke bioskop. Kami mengetahui fenomena membludaknya penonton yang ingin melihat film tersebut, sehingga kami sedikit bergegas agar tidak kehabisan tiket. Apalagi saat itu rombongan saya dan teman-teman saya ini tidak bisa dibilang sedikit, sekitar 15 orang. Sayangnya saat saya sampai ke dalam bioskop, film baru saja dimulai. Saat itu sekitar pukul 20.40 WIB dan film Laskar Pelangi yang jadwalnya paling dekat dimulai pada pukul 20.30 WIB. Saya dan beberapa teman saya yang lain mengusulkan untuk menonton Laskar Pelangi pada keesokan harinya saja, hari Senin siang. Namun beberapa teman saya yang lain bersikukuh untuk menonton pada hari itu juga. Tidak apa-apa telat sedikit, yang penting mereka dapat menonton film itu. Setelah saya menanyakan tempat duduk yang tersisa di dalam teater bioskop, hanya tersisa sekitar kurang dari 20 kursi di dua baris terdepan. Tentu tidak nyaman menonton di barisan paling depan seperti itu karena kita harus menenggak saat menonton. Namun beberapa teman saya tetap berpendirian teguh pada keinginannya, tetap ingin menonton saat itu juga. Saat saya tanyakan lebih lanjut pada mereka, mereka malas kembali lagi ke bioskop pada hari Senin, karena hari Senin adalah hari nomat (nonton hemat) dimana harga tiket bioskop lebih murah daripada harga saat weekend sehingga pasti akan sangat ramai. Mereka juga takut akan kehabisan tiket jika menonton besok. Saya pun mengusulkan agar bagaimana kalau kita memesan tiket saja dari sekarang. Saya menanyakan siapa yang tidak berhalangan jika menonton filmnya besok, dan ternyata hanya dua teman saya yang berhalangan dan tidak dapat ikut menonton pada hari Senin. Untungnya mereka tidak termasuk dalam golongan ‘memaksa menonton hari itu juga’ dan mengatakan mereka akan menonton bersama pacar masing-masing saja. Saya pun mengatakan pada teman saya yang tersisa, memesan tiket untuk besok tentu lebih enak, karena selain harga tiketnya sedikit lebih murah, kursinya pun tentu masih banyak yang tersedia sehingga tidak perlu berpayah-payah menonton di baris terdepan. Setelah sedikit berembuk, akhirnya teman saya yang tadinya bersikukuh menonton hari itu juga, mau ikut menonton hari Senin.
    Isu kali ini adalah menonton film. Saya dalam posisi ingin menonton keesokan harinya saja agar dapat menonton film dari awal hingga selesai, dapat duduk di barisan tengah dan dengan harga tiket yang lebih murah. Sedangkan posisi teman saya adalah ingin menonton saat itu juga karena kepentingannya adalah ia tidak ingin kehabisan tiket jika menontonnya besok, karena asumsinya penonton hari Senin pasti akan sangat banyak.
    Gaya berkonflik saya kali ini bisa dibilang kolaborasi, saya memperhatikan kepentingannya yang tidak mau mengantri terlalu lama keesokan harinya hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa tiket telah habis, dengan cara memesan tiket sehari sebelum menonton. Ia pun mau memperhatikan keinginan saya yang ingin menonton dengan nyaman di kursi barisan tengah, dan membeli tiket dengan harga yang lebih murah. Setelah saya memberikan berbagai alasan persuasif yang mendukung opini saya bahwa menonton besok lebih menyenangkan, teman-teman saya yang sebelumnya tidak setuju akhirnya menyanggupinya.
    Melihat tahap-tahap perundingan di atas, walaupun mungkin posisi saya lebih dimenangkan kali ini, namun saya merasa negosiasi saya kali ini tergolong problem solving, karena saya dan teman saya dapat menyelesaikan negosiasi dengan win-win solution serta memeperhatikan apa  kepentingan dan keinginan masing-masing.
    Jika ditilik, kepentingan saya yang paling utama: menonton di barisan tengah dengan enak, mendapat harga tiket yang sesuai dan dapat menonton dari awal hingga akhir, tidak setengah-setengah, Dan kepentingan teman saya: tidak ingin kehabisan tiket jika menonton pada hari Senin, karena biasanya hari Senin bisokop ramai oleh pengunjung dengan sistem nonton hematnya itu. Karena itu, saya menggunakan taktik logrolling, dimana saya mementingkan prioritas utama masing-masing. Prioritas teman saya dapat terpenuhi, dengan cara membeli tiket sejak sehari sebelum menonton sehingga terjamin tidak akan kehabisan tiket, dan kepentingan saya pun juga dapat terpenuhi.

32. (rahasia)

33. PIJAR R. 21999
Seorang teman saya sedang belajar menjalankan suatu bisnis sepatu kecil-kecilan dan menawarkan saya untuk menjadi salah satu pelanggan pertamanya. Produk yang ia tawarkan adalah sepatu-sepatu berjenis kanvas biasa namun memiliki motif atau gambar yang dapat dipesan sesuai permintaan pelanggan yang nantinya akan dicoba dilukis oleh teman saya itu sendiri. Teman saya menawarkan harga Rp 75.000 untuk sepasang sapatu yang dilukis. Saya menawar harga Rp 65.000 (goals) dengan alasan harga teman dan promosi pelanggan pertama. Namun teman saya tetap agak keberatan dan meminta saya untuk menaikkan harga tawaran. Limit saya adalah Rp 70.000, setelah meminta pertimbangan seorang teman yang lain tentang harga dan jenis produk yang sedang dipromosikan, harga tersebut adalah harga yang paling pas. Setelah tawar menawar cukup lama, teman saya menurunkan harga menjadi Rp 70.000. Dengan niat membantu teman dan menjadi penglaris saya menyetujui harga Rp 70.000 namun dengan permintaan tambahan: gambar/motif yang berbeda pada sepasang sepatu. Produk sepatu itu awalnya hanya menawarkan satu jenis motif saja per sepasang sepatu. Misalnya, sepasang sepatu bergambar kartun Mickey Mouse saja. Sedangkan saya meminta sepasang sepatu, yang satu bergambar Mickey Mouse dan yang satu lagi Goofy. Teman saya menyetujui permintaan tersebut karena sekarang karena cukup unik dan sesuai dengan trend sekarang ini, selain itu ia mendapatkan banyak pilihan untuk ditawarkan nantinya. Bargaining range negatif karena saya mendapatkan harga di atas tawaran pertama, namun menjadi problem solving karena masing-masing pihak mendapatkan keuntungan. Akhirnya kami deal harga Rp 70.000, saya mendapat sepasang sepatu sesuai pesanan dengan harga cukup murah dan teman saya tetap mendapatkan keuntungan serta ide baru untuk menawarkan produk-produknya.


34. DESI ROSITA
Minggu lalu saya melakukan negosiasi dengan orang tua  saya mengenai waktu kembali saya ke Jogja. Saya menginginkan kembali ke Jogja pada hari selasa, sedangkan kedua orang tua saya menginginkan saya untuk kembali ke Jogja pada hari kamis, sehingga tidak setuju jika saya kembali pada hari selasa. Alasan kedua orang tua saya tidak mengijinkan saya kembali hari selasa adalah mereka menginginkan saya untuk menemani adik saya yang sendirian dirumah karena orang tua saya sedang sibuk bekerja. Saya menjelaskan alasan saya kepada orang tua saya antara lain saya ingin mengerjakan tugas yang harus segera dikumpulkan, selain itu juga karena saya memiliki janji dengan teman lama pada hari kamis. Meskipun mengetahui alasan-alasan tersebut orang tua tetap tidak setuju. Akhirnya saya mengusulkan untuk mengajak adik saya pergi ke Jogja untuk satu hari dan mengajaknya jalan-jalan disana daripada sendirian dirumah, mendengar usul yang saya ajukan tersebut orang tua saya setuju dan mengijinkan saya untuk kembali ke Jogja pada hari selasa dengan mengajak adik saya untuk ikut pergi.
Negosiasi yang saya lakukan tersebut menggunakan taktik memecahkan masalah ( problem Solving) yakni Bridging (menjembatani) dimana kepentingan saya maupun kedua orang tua saya terpenuhi, meskipun pada awalnya kepentingan saya tidak tercapai tetapi saya memikirkan kepentingan orang tua saya juga sehingga kepentingan kami sama-sama tercapai.

35. M Rifat
Libur Lebaran merupakan liburan yang diunggu seiap orang, termasuk saya. Tanggal 27 September saya pulang mudik bersama adik saya naik bus antar provinsi. Di dalam jadwal, seharusnya kami sampai tanggal 28 September pada malam hari, namun di Pelabuhan Merak terjadi kemacetan selama 12 jam. Hal ini tentu saja menyebabkan keterlambatan, sehingga kami sampai di Palembang tanggal 29 September pagi.
      Sebelum pulang, saya sempat berjanji dengan teman akrab saya untuk buka bareng di Palembang tanggal 29 September. namun karena pada tanggal 28 September saya belum sampai di rumah, Saya tidak mungkin meninggalkan buka di rumah di hari pertama saya sampai di Palembang.
      Awalnya teman akrab saya sangat ingin saya menepati janji karena dia tampaknya hanya mempunyai waktu cuma pada hari itu. Namun setelah melakukan negosiasi yang cukup lama akhirnya dia membiarkan saya untuk buka puasa di rumah tanggal 29 September, dan sebagai gantinya saya akan buka puasa bersama dengannya tanggal 30 September.
        Posisi saya pada saat itu adalah menunda berbuka bersama teman saya pada tanggal 29 September. dan posisi dia adalah tetap ingin berbuka bersama saya tanggal 29 September. Kepentingan saya di dalam posisi tersebut ialah karena saya ingin berbuka bersama keluarga saya di hari pertama saya sampai di Palembang. Sedangkan kepentingannya adalah bertemu dan berbincang-bincang dengan saya. Gaya berunding yang saya gunakan adalah problem solving dengan menggunakan kompensasi fisik karena saya berjanji untuk lebih bisa mengobrol dengannya lebih lama

36. (RAHASIA)

37.    Angga Kusumo Harwinindyo
Pulang Kota Yuukk….
      Ramadhan berlalu, lebaran pun juga berlalu. Tak terasa lebih dari 30 hari sudah kita menjalani ibadah puasa dilengkapi dengan hari raya Idul Fitri 1429 H pada tanggal 1 Oktober 2008.
      Aku yang kuliah di Jogja pun sepertinya tak ingin kalah dengan “budaya” mudik oleh orang Indonesia kebanyakan. Setelah menjalani lebaran di Solo dan juga kembali mempererat tali temali silaturahmi selama kurang lebih satu minggu, aku berpikir masih aka ada waktu satu minggu untukku belajar di rumah. Tercetus dalam benakku kalau aku ingin pulang ke kota, yakni Jakarta. Hehe, sepertinya yang satu ini bukan pulang kampung ya.. Okelah aku memutuskan untuk pulang dan karena ada mobil juga yang harus dibawa pulang ke rumah, aku akhirnya mengendarai mobil itu.
      Orangtuaku meminta omku yang ada di Semarang untuk menemaniku sekaligus ada beberapa pekerjaan yang akan diberikan di rumah. Pikirku, oke bukan masalah besar juga bagiku. Setelah mengantar orangtuaku ke Bandara Adi Sumarmo Solo, aku dan kakak tertuaku pulang ke rumah Semarang.
      Proses negosiasi terjadi ketika aku dan omku akan pulang ke Jakarta. Aku punya tuntutan bahwa aku ingin berangkat jam 5 pagi dari rumah Semarang dengan tujuan sampai Jakarta kira-kira jam 2 siang. Batasku setidaknya jam 6 pagi sudah harus berangkat agar tidak terlambat. Dan aku adalah orang yang sebenarnya malas berhenti di perjalanan untuk istirahat. Oke tidak masalah kata omku dan kamipun berangkat jam setengah 6. Namun ketika di perjalanan, omku meminta berhenti sebentar untuk sarapan. Batinku berperang untuk itu. Dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi supaya tidak berhenti aku mencoba untuk meyakinkan omku. Namun omku tetap ingin sarapan terlebih dahulu. Oke kita berhenti pikirku, namun aku mengatakan kita akan berhenti saat mendekati jam makan siang agar bisa sekalian sholat sehingga tidak perlu dua kali berhenti. Sarapan tertunda dan aku pun harus mau untuk berhenti dulu. Sebelum berhenti pun aku juga mengingatkan bahwa tidak untuk berlama-lama berhenti karena waktu yang ada harus dimanfaatkan di perjalanan supaya tidak terjebak macet. Untuk mencapai hal itu, aku mencari tempat makan yang sudah masuk daerah Jawa Barat agar lebih dekat ke arah Ciakmpek sehingga perasaan pulang pun semakin dekat. Omku kemudian memberikan tawaran bahwa aku akan ditraktirnya makan. Cukup asyik, namun yang jelas aku tetap bersikukuh meskipun berhenti kami harus cepat.
      Setelah makan, sholat dan sebagainya dengan waktu yang cukup, kami melanjutkan perjalanan. Aku langsung menginjak pedal gas mobil. Namun, tak disangka tak dinyana keadaan pulalah yang menggagalkan tujuanku dan aku sudah sempat bernegosiasi dengan omku sebelumnya. Banyak kecelakaan dan jalanan bagaikan lautan motor sehingga cukup menghambat laju kendaraan roda empat atau lebih. Yasudah mau bagaimana lagi. Dan kamipun sampai rumah pas dengan adzan maghrib.
      Dalam hal ini, negosiasi terjadi ketika aku dan omku harus menentukan jam berangkat serta apakah harus dengan berhenti atau tidak. Tuntutanku adalah berangkat jam 5 pagi, namun akhirnya harus berangkat jam setengah 6 tapi tidak masalah karena belum mencapai limit. Tujuannya adalah supaya lebih cepat sampai ke rumah. Di sisi yang lain juga aku sebenarnya tidak ingin berhenti. Dengan menggunakan persuasive arguments dan time pressure aku bernego dengan omku. Kami sempat dalam posisi sama-sama positional commitments. Namun akhirnya aku mencoba bridging dengan kami saling mengorbankan prioritas kami, jadi berhenti namun dengan waktu yang tak lama. Di sisi yang lain, omku memberikan kompensasi ketika aku akhirnya mau untuk berhenti meski sebentar.  

38.     Bela Reza Tanjung
Pengalaman negosiasi saya kali ini adalah dengan sahabat-sahabat saya. Kejadiannya terjadi hari Selasa minggu ini. Waktu itu kami (sahabat-sahabat) saya sedang ada masalah yang cukup menghawatirkan, beberapa bulan belakangan ini ada kejanggalan tinkah laku salah satu teman sahabat saya. Intinya ia ingin memisahkan diri dengan kami. Sebenarnya masalahnya sudah lama terbentuk, akan tetapi permasalahan tersebut menapai puncaknya kira-kira 2 minggu sebelum saya menulis NL saya ini. Salah satu sahabat saya ini ingin memisahkan diri ini sangat-sangat sulit diajak berkomunikasi ia terkesan lebih memilih langsung untuk menjauh dengan kami semua tanpa ada suatu hal yang di bicarakan kepada kami semua. Belakangan setelah akhirnya kami tahu alasan dia kenapa dia berbuat seperti itu, adalah ia merasa terpojok oleh kami semua dan merasa kurang nyaman dengan salah satu diantara kami ini karena yang pada intinya sering mengejek Ia yang sudah mempunyai pacar baru, dan bahkan ia menyatakan salah satu teman yang ia rasa tidak nyaman tersebut sering mengusili pacarnya, karena juga sering mengejek. Memang sebenarnya kami semua kalau sudah bercanda kadang-kadang sering terlewat batas, akan tetapi kami bisa menerima semua itu, karena memang sebenarnya kami sudah saling mengetahui karakter masing-masing orang.  Akan tetapi perlu diketahui sebelum kami mengetahui alasan tersebut, ia sangat sulit di ajak berkomunikasi secara langsung, ia lebih melakukan tindakan menghindar saya merasa ini seperti tindakan ia (withdrawal) untuk sesuatu yang menyerang, karena ia sangat tahu jika dari kita saja tidak hadir jika ada acara kumpul-kumpul kami pasti selalu merasa “kurang”, oleh karena itu saya pribadi berfikir seperti itu. Saya disini akan menceritakan bagaimana saya melakukan suatu hal yang membuat ia akhirnya berbicara secara langsung terutama pribadi kepada saya dan juga kepada teman-teman saya yang lain.
Pada awalnya saya bingung harus melakukan apa, karena saya sangant tahu teman saya yang satu ini sangat keras egonya dan wataknya, terlebih lagi ia tidak mau bercerita kalau pun ia tidak suka ataupun apa?, sehingga saya lebih bingung,. Akan tetapi setelah bebrapa lama hal tersebut membuat saya berfikir, dia juga tidak akan berbuat seperti ini jika tidak ada yang salah. Saya mulai berfikir bagaimana cara agar membuat ia bercerita secara langsung kalaupun ada yang salah dari kami atau diri saya. Oleh karena itu kemudian saya berfikir untuk melakukan “harrastment terselubung” gangguan-gangguan saya ini saya buat dengan cara mennyindir dan sedikit membangun opini public tentang dia, memang stidak baik, akan tetapi saya tegaskan disini saya bukan bermaksud “bergosip”(menggosipi dia) saya hanya membangun opini dengan sahabat-sahabat saya ini, dan tidak membangun opini dengan orang-orang di luar sahabat saya. Dengan cara membicarakan tentang kehidupannya, seperti bagaimana kehidupan-kehidupan dia sekarang, misalanya hanya berdua terus saja dengan pacaranya yang mungkin mempengaruhi ia menjadi berbuat seperti itu(menjauh dari kami, sulit di temui dan diajak berbicara). Disini saya berfikir karena jika saya menjadi dia ada hal yang tidak enak di dengar dan di pikirkan seperti itu buat orang seperti dia yang egonya besar tentu saja sangat akan merasa terganggu, apalagi kami semua tidak pernah mendengar langsung tentang dia langsung dari mulutnya. Sekian lama sekitar 1 minggu keadaan ini berjalan akhirnya ia menunjukan diri juga dan mulai mau berbicara, ia kemudian meng-kontak saya mengajak ingin berbicara. Di sini negosiasi kami dimulai. Kemudia saya mendengarkan cerita dan argument-argumen dia, ternyata setelah ia bercerita saya mengerti, seperti yang saya katakana di awala tadi yaitu ia merasa terpokjok dan merasa tidak nyaman dengan salah satu dari kami. Kemudian ia juga menyampaikan kepentingannya, yaitu keadaan kita semuanya sekarang ini telah berubah, ia mau ia di hargai secara pribadi, urusan-urusan yang pribadi yang menjadi privasi masing-masing tidak selalu bisa di utarakan. Memang dari dulu kami, jika salah satu dari kami mempunyai masalah pribadi pasti kami selalu bercerita semua, karena kami semua merasa wajib untuk membantu satu sama lain apapun itu masalahnya. Di sini saya mulai berfikir jika saya menjadi dia, saya kemudian mengeri kalau memang mungkin keadaanya yang sudah mulai berubah, tidak semua hal yang bersifat privasi juga bisa di utarakan semuanya walapun itu dengan sahabat, saya berfikir kalau suatu saat nanti mungkin saya juga megalami hal seperti dia. Kemudia saya menyetujui permintaannya. Akan tetapi saya juga mempunyai permintaan, karena dia juga tidak bisa seperti ini terus. Karena menurut saya kita semua adalah sahabat, jadi jngan sampai kita memutuskan tali silaturahmi, kalupun memang keadaannya yang memang sudah berubah sampai kapanpun kita adalah “sahabat”. Dan saya meminta kepada dia untuk membicarakannya juga kpada teman-teman saya yang lainm, agar semua mengeri bagaimana yang sebenarnya, dan juga meegaskan kepada dia, kalau jngan samapai dia berbuat seperti ini lagi, karena yang kita butuhkan adalah komunikasi untuk menjaga silaturahmi ini. Kemudia di sini saya mulai berhasil memcahkan masalah ini (problem solving), karena di sini “bridging” (menjembatani) dengan kepentingan semua pihak terpenuhi sekaligus, karena pada saat yang sama ketika saya memeinta kepentingan itu ia juga langsung ia penuhi, mingkin di pikiran dia argument saya ini juga benar, “sahabat adalah untuk selamannya”. Dan akhirnya beberapa hari kemudian kami semua berbicara secara langsung dan masalah terselesaikan dengan kepentingan masing-masing terpenuhi.

39. Syarifah Asriani
Lebaran kemarin saya pulang ke Jakarta. Sudah lebih dari 6 bulan saya tidak pulang ke Jakarta, karenanya saya ingin memanfaatkan momen silahturahmi saat lebaran untuk melihat-lihat keadaan Jakarta sekarang ini.Setelah puas berkumpul dan bersilahturahmi dengan sanak famili, kami sekeluargapun harus kembali pulang kerumah. Namun, karena hari belum terlalu sore saya meminta kepada orang tua saya untuk tidak langsung pulang kerumah tapi pergi muter-muter lihat-lihat kota Jakarta dulu baru kemudian pulang kerumah. Namun, karena pertimbangan akan mengeluarkan ongkos tambahan, orang tua saya menolak ajakan saya(kami sekeluarga ada 4 orang dan tidak memiliki kendaraan pribadi).Akhirnya saya memberi usulan lain yaitu, kami tetap pulang dengan bis yang bertujuan akhir terminal senen namun dengan bis bernomor lain yaitu bis 77,tapi memeng bis ini lama datangnya(sebelumnya kami naik bis p100 yang langsung menuju terminal senen).Rute bis 77 sebelum masuk terminal senen harus memutar atau melewati beberapa daerah di Jakarta, dengan demikian kepentingan semua pihak akan tercapai. Saya bisa keliling Jakarta dan orang tua saya tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan. Orang tua saya pun setuju,walaupun kami harus menunggu datangnya bis tersebut sekitar 10-15menit.
Strategi :problem solving
Taktik    : bridging (menjembatani)
Hasil      :win-win

40. Sekar Sari
             Ketika itu adalah hari ketiga setelah lebaran. Keluarga saya berkumpul di rumah eyang dalam rangka pertemuan trah. Biasanya pertemuan trah keluarga memang merupakan ajang kumpul-kumpul semua sanak keluarga yang ada dalam keluarga besar tersebut. Mulai dari yang tua, dewasa, remaja, juga anak-anak dan jumlahnya mencapai ratusan. Namun, trah keluarga saya ini jumlahnya baru puluhan, yaitu terdiri dari sekitar sepuluh kepala keluarga muda dan anak istrinya, karena baru saja dirintis. Lebaran kali ini barulah pertemuan yang kedua. Trah baru ini bisa dibilang berasal dari dua wilayah, yaitu wilayah utara dan selatan. Setelah acara inti selesai, barulah kami membahas tentang rencana pertemuan tahun depan, terutama masalah waktu pertemuan. Karena dirasa pertemuan hari itu tidak begitu lancar karena beberapa keluarga terlambat hadir. Saat itu, Om Joko menginginkan kalau harinya disepakati dari awal saja dan diterapkan pada pertemuan seterusnya kelak, yaitu H+3 pukul 10.00. Saya dan beberapa orang yang lain menanggapi jika masalah waktu tidak perlu dipastikan, karena masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda dan tidak pasti,(termasuk saya yang biasanya ada syawalan organisasi yang menemui jajaran pemkot dan lain sebagainya) dan itu tidak dapat diprediksikan dari sekarang. Jadi masalah waktunya tidak perlu ditentukan dari sekarang, akan tetapi mengacu pada waktu yang disepakati jika memang sudah mendekati lebaran tahun berikutnya. Berdasarkan wacana tersebut saya mencoba usul yaitu di awal ini kita memang menentukan waktunya terlebih dahulu, akan tetapi jika memang besok ada keperluan lain ya bisa diubah, toh tiap daerah ada koordinator wilayahnya. Akhirnya keputusan akhir adalah jadwal pertemuan trah tiap tahunnya ditentukan terlebih dahulu yaitu H+3 pukul 10.00, akan tetapi tidak mutlak, karena kesepakatan koordinator wilayah tiap tahunnya memiliki andil yang sama besar dalam menentukan waktu pertemuannya.
         Dari perundingan tersebut, maka posisi Om Joko adalah waktu ditentukan dari awal dan digunakan seterusnya. Posisi saya adalah tidak perlu ditentukan dari sekarang, tetapi berdasarkan penentuan beberapa hari sebelum lebaran saja. Kepentingan Om Joko adalah supaya pertemuan berjalan lancar tanpa ada yang terlambat, masing-masing orang dalam keluarga tersebut bisa mempersiapkan diri dengan mengosongkan hari itu dan hanya dipergunakan untuk pertemuan trah, juga supaya tiap tahun tidak perlu koordinasi berkepanjangan lagi masalah waktu pertemuannya. Kepentingan saya adalah pertemuan berjalan lancar dan acara lain tetap terpenuhi tanpa harus mengkhususkan hari, tanpa harus membatalkan agenda pada H+3 yang siapa tahu juga penting. Taktik yang digunakan dalam perundingan ini adalah bridging, karena keinginan kedua belah pihak terpenuhi dengan adanya hasil tersebut. Gaya berkonfliknya merupakan kolaboratif karena kesepakatannya mempedulikan kepentingan kedua pihak, sehingga kualitas kedua perunding tetap tinggi dan relatif mudah mencapai kesepakatan karena ada kepentingan yang sama yaitu lancarnya pertemuan trah itu sendiri. Gaya kolaboratif ini memang cocok apalagi kedua pihak yang terlibat memiliki hubungan masa depan persaudaraan dan itu dianggap penting. Selain itu yang penting dalam perundingan ini adalah menempatkan diri. Kita harus menempatkan diri sebaik mungkin. Karena berhadapan dengan orang yang lebih tua maka kita harus menjaga agar tidak seperti menggurui, tetapi tetap memposisikan bahwa seolah-olah beliau tetap di atas kita. Penggunaan bahasa jawa krama (tingkatan yang lebih tinggi atau halus) merupakan salah satu trik khusus yang saya gunakan, karena dalam keluarga saya yang beretnis jawa itu artinya merupakan suatu bentuk penghormatan.

41. Yuliana Putri Anggraini / 21631
 Perundingan terpenting saya edisi keempat ini adalah mengenai menonton film di bioskop. Ceritanya begini, saya sangat ingin sekali menonton film Laskar Pelangi yang baru-baru ini sedang booming di bioskop, lawan berunding saya adalah dengan pacar saya, sebut saja si A. Semula kami berdua mempunyai posisi yang sama yaitu sama-sama ingin menonton filmnya, namun setelah kejadian antri-mengantri tiket selama 2 hari dan tidak berbuah apa-apa maka posisi kami berubah. A yang sudah 2 hari rela mengantri demi 2 tiket Laskar Pelangi tidak berminat lagi nonton dalam waktu dekat karena antriannya yang luar biasa panjangnya, tapi saya yang tidak merasakan secara langsung bagaimana capeknya mengantri selama berjam-jam masih berniat untuk mendapatkan tiket nonton itu dalam waktu dekat ini, karena kepentingan saya adalah mumpung masih ada sisa uang angpaw lebaran dan masih dalam masa libur kuliah juga.
Karena saya tahu A akan meninggalkan perundingan karena jengkel tidak dapat tiket dengan mengembalikan uang nonton yang sudah saya kasih ke dia, maka saya menggunakan gaya kolaboratif atau problem solving  dengan taktik expanding the pie yaitu dengan membujuknya agar mau meneruskan perundingan dengan cara mengajaknya makan bersama dan rencana nonton film Laskar Pelangi bisa dilakukan minggu depannya lagi agar antriannya tidak terlalu banyak seperti sekarang. Disitu kepentingan dan posisi saya sedikit berubah dari awal, yaitu masih dapat nonton walaupun tidak dalam waktu dekat, namun hubungan saya dan A masih tetap bisa harmonis. Di samping itu, uang 40ribu untuk nonton 2orang juga dapat saya gunakan dulu untuk membayar uang listrik kost yang belum saya bayar.

42. Ahmad Syifa’ Rifa’i
      Hari Kamis malm tanggal 9 oktober 2008 saya dengan adik saya jalan-jalan hanya untuk sekedar mencari sepatu futsal. Di jalan pramuka saya menemukan sepatu yang saya sukai. Tetapi setelah saya lihat ukurannya masih terlalu kecil dan saya meminta ukuran yang lebih besar kepada si penjual. Spontan si penjual bilang bahwa ukuran itulah yang terbesar. Bergegas saya langsung ingin pergi dari toko itu untuk mencari di toko lain. Tetapi si penjual tidak membiarkan saya pergi begitu saja. Penjual beralasan akan mencarikan barangnya lagi dan sedikit memakasa saya untuk tetap di toko itu. Sembari menunggu sepatunya dicarikan, si penjual menawarkan sepatu-sepatu yang lainnya.  Si Penjual bilang kepada saya kalau sepatu yang saya sukai tadi adalah sepatu yang model lama, dan sekarang inovasi-inovasi baru telah dikeluarkan. Dia menawarkan sepatu-sepatu inovasi barunya kepada saya.
      Dan disinilah perdebatan dan negosiasi dimulai. Pada dasarnya saya memang tidak suka sepatu inovasi tersebut. Si penjual menyebutkan kelebihan-kelebihan sepatu inovasi baru dan kelemahan-kelemahan sepatu model lama. Dia bilang sepatu inovasi baru tidak licin dan lebih enak untuk menendang bola daripada sepatu model lama. Lalu saya bertanya kenapa penjual itu tahu sepatu inovasi baru tidak licin dan lebih enak untuk menendang bola daripada sepatu model lama. Dia menjawab, “lo kan saya penjualnya jadi pasti tau”.
      Saya bertanya “emang pernah maen futsal(si penjual sudah terlihat tak muda lagi)”. Penjual menjawab,”ya jelas pernah”. Saya membalas, “Dimana mas?”. Lalu si penjual terdiam sebentar dan mengelak, “ya dicoba di lantai aja kan bias mas” Spontan saya bilang, “waaa bapak bohong ya belum pernah maen futsal? Lagipula aneh masa sepatu inovasi baru lebih berkualitas kok harganya sama”. Si penjual terdiam sebentar dan masi saja menjawab, “ya memang sama mas”, tanpa argument lain dan terlihat berhenti melebih-lebihkan sepatu yang dianggapnya inovasi baru. Saya hanya tersenyum, dan untuk mengakhiri negosiasi ini saya bilang, “kapan pak kluar yang baru lagi?”. “Selasa depan mas” jawabnya. “ ya sudah pak kalau begitu selasa depan saja saya kesini lagi” jawab saya dan akhirnya pun saya dibiarkan pergi.
      Analisa saya adalah untuk menjadi negosiator yang bagus, selalu berpegang teguh pada pendirian kita walaupun posisi kita sulit. Lalu patahkanlah argument-argumen lawan yang tidak ada bukti yang jelas, dan hanya bilang “Katanya”. Dan pikirkanlah sebuah negosiasi dari berbagai sudut agar bias memenangkan negosiasi tersebut.

43.  Amalina Luthfiani
Negosiasi terpenting yang saya lakukan pada minggu ini adalah ketika saya berangkat ke Jogja kembali setelah libur hari raya. Pada hari Senin tanggal 6 saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja naik Travel. Seperti biasa pada saat membeli tiket di agen, telah terjadi kesepakatan harga bahwa harga travel naik dari yang semula hanya 40ribu menjadi 50ribu karena arus lebaran. Harga tersebut merupakan harga resmi agen dan tidak dikenakan biaya tambahan karena saya tidak meminta untuk dijemput, melainkan datang ke agen pada hari keberangkatan. Sesampainya di Jogja, saya turun tepat di depan kos di jalan kaliurang km5. Sopir meminta uang tambahan sebanyak 10ribu yang membuat saya kemudian bertanya untuk apa saya harus menambah ongkos karena saya tidak dijemput. Ternyata, karena alamat tujuan saya telah melebihi batas antar, maka saya harus membayar tambahan. Saya bertanya, sebenarnya dimanakah batas alamat tujuan yang tidak dikenakan biaya antar, dan dari sopir saya tahu bahwa batas di utara adalah selokan mataram. Saat itu tuntutan saya tentu saja adalah tidak membayar ongkos tambahan, sedangkan sasaran saya adalah setengah dari tuntutan sopir, yaitu 5ribu rupiah dan saya tidak akan mau membayar lebih dari 7500 rupiah. Dengan pertimbangan bahwa jarak dari selokan ke kos saya kira – kira hanya 1km kurang, saya meminta ongkos tambahan tersebut dikurangi, lagipula sebelumnya saya tidak pernah dimintai ongkos tambahan. Namun, sopir beralasan bahwa jalan kaliurang yang macet turut memakan bahan bakar dan ongkos tersebut tidak dapat ditawar. Saya tetap meminta sopir untuk mengurangi ongkos antar karena sebenarnya harga tiket juga telah naik, dan sebelumnya tidak pernah ada aturan tertulis dalam tiket maupun pengumuman di agen bahwa akan ada ongkos antar untuk daerah yang melebihi batas. Dengan alasan tersebut, kemudian barulah sopir menjelaskan alasan sebenarnya ia meminta ongkos tambahan adalah bahwa karena jatah bahan bakar yang diberikan pada sopir dari daerah kota asal saya adalah yang paling minim dibanding kota – kota lainnya yang menuju ke Jogja. Seringkali sopir terpaksa menggunakan uangnya sendiri untuk menambah bahan bakar yang kurang, oleh karena itu jalan satu – satunya untuk menutup kerugian sopir adalah dengan meminta ongkos tambahan penumpang. Lalu, dengan pertimbangan daripada tidak mendapat ongkos sama sekali untuk menutup uang bensin, ia berkata bahwa saya boleh membayar baerapapun asal dia mendapatkan uang untuk tambahan membeli bensin. Akhirnya kami sepakat saya membayar ongos tambahan sebanyak 5ribu rupiah.
Dari negosiasi saya dengan pak sopir travel, posisi saya adalah tidak membayar ongkos tambahan, sedangkan pak sopir mempunyai posisi mendapat tambahan uang 10ribu sebagai ongkos antar. Kepentingan sopir adalah ia ingin mendapat uang tambahan untuk ongkos bensin, sedangkan kepentingan saya adalah meminimalisir ogkos karena sebelumnya telah membei tiket yang telah dinaikkan harganya. Dengan perhitungan jarak dan konsumsi bahan bakar serta alasan penerapan ongkos yang tidak resmi, saya menentukan tuntutan, sasaran dan batas harga, yaitu tuntutan = 0, sasaran=5ribu dan batas saya = 7500. Dari sisi lawan negosiasi, yaitu sopir diketahui tuntutannya adalah 10ribu rupiah, sasaran=5ribu, dan batasannya adalah mendapat sejumlah uang untuk menutup tambahan uang bensin, berapapun jumlahnya. Hasil negosiasi tersebut dapat dikatakan win – win, karena walaupun tidak dapat memenangnkan posisi masing – masing, namun negotiators sama – sama dapat terakomodasi kepentingannya dengan kesepakatan yang dicapai.

44. Benediktus Priyo Pratomo
      Negosiasi ini terjadi ketika liburan lebaran kemarin. Ketika itu, saya dan adik saya berada di Yogya. Saya berkeinginan untuk membeli sebuah kemeja di toko A yang hanya berjarak kurang lebih 2 km dari tempat saya. Dan pada saat yang sama juga adik saya, ingin membeli sepasang sepatu merek (sebut saja) “Omega” yang ukuran kakinya, hanya di toko B yang menjual. Masalahnya adalah toko tersebut berjarak cukup jauh, sekitar 8 km dari tempat saya. Dan kebetulan kami hanya memiliki satu sepeda motor, dan kebetulan juga, sepeda motor saya sangat boros pemakaian bahan bakarnya sehingga saya sangat keberatan, jika harus ke toko B yang jauh itu. Maka dengan segenap kemampuan saya, saya pun meyakinkan adik saya tersebut agar membeli sepatu di toko A saja, karena lebih dekat. Namun adik saya masih keras kepala, ingin membeli sepatu dengan merek
“Omega” tersebut di toko B. Lalu saya juga meyakinkan adik saya tersebut bahwa di toko A juga ada sepatu yang ukuran kakinya (kakinya gede, lho), walaupun bukan dengan merek “Omega”. Adik saya tetap kukuh ingin ke toko B dan saya juga tak kalah kukuhnya berbicara panjang lebar tentang merek, kesamaan kualitasnya, juga tentang borosnya motor saya, tentunya. Walaupun pada awalnya adik saya tidak mau menerima pendapat saya, lama-kelamaan dia mulai terpengaruh oleh argumen saya,dan akhirnya kita pergi ke toko A, saya membeli kemeja yang saya inginkan, dan dia membeli sepatu, walaupun tidak yang bermerek “Omega”.
      Pada negosiasi di atas, posisi saya adalah membeli kemeja di toko A, dengan kepentingan hemat bensin. Posisi adik saya membeli sepatu di toko B, dengan kepentingan ingin sepatu merek “Omega”. Isu-isu yang timbul adalah, merek sepatu, jarak tempuh, keterbatasan alat transportasi. Taktik berunding yang terlihat di atas, adalah problem solving, yaitu dengan cara kompensasi spesifik. BATNA yang sempat terpikirkan oleh saya adalah meminjam motor ke teman kos saya, untuk adik saya sehingga dia bisa pergi ke toko B sendiri.

45. Wahyuningsih
 Saat premier film laskar pelangi, saya dan teman - teman mengantri tiket sejak pagi hari. Kami sudah berada di pusat perbelanjaan sebelum tempat tersebut buka. Ternyata sesuai dengan perkiraan kami, calon penonton membludak. Namun karena kami telah mengantisipasi dengan datang lebih awal maka kami mendapatkan antrian di bagian depan loket.
      Kami ( waktu itu 3 orang ), berpencar mencari posisi antrian yang paling baik. Akhirnya saya mendapatkan posisi yang lumayan di depan dibanding dengan salah satu teman saya. Ketika telah berada tepat di depan loket, tiba - tiba ada seorang perempuan mendekati saya dan berniat untuk menitip di belikan tiket. Namun karena saya telah membeli tiket untuk 9 orang, maka saya tidak mau di titipi oleh mbak tersebut. Mbak tersebut berusaha melobi saya dengan sedikit paksaan. Dia beralasan bahwa dia hanya menitip 3 tiket saja. Namun saya tetap menolak, karena saya berpikir dia mau enaknya saja menitip pada orang, saya juga kasihan dengan sesama pengantri yang sejak pagi hari telah antri dan berlari - lari. Jika semua orang yang berada diantrian paling depan mau di titipi maka mereka yang dibelakang akan kehabisan tiket. Mbak tersebut kembali memaksa saya, kali ini dengan imbalan uang jika saya mau membelikan tiket untuknya. Saya tetap tidak mau. Saya berusaha mempertahankan pendapat saya.
      Karena mbak tersebut tidak mau mengalah juga, akhirnya saya memberikan penawaran bagaimana kalau dia mengambil tempat antrian teman saya yang ada di belakang. Teman saya tidak perlu mengantri lagi karena tiket sudah saya beli. Tempat antrian teman saya juga tidak terlalu di belakang sehingga kemungkinan untuk mendapat tiket juga besar. Akhirnya mbak tersebut menyetujui usulan saya.
      Dalam kasus ini, saya berusaha mempertahankan keinginan saya yaitu tidak di titipi membeli tiket orang lain. Saya berusaha meyakinkan orang yang menitip bahwa saya tidak mau karena alasan - alasan diatas. Dalam perundingan itu saya berusaha bersikap tegas dengan pendirian saya, namun juga tetap berpikir agar perundingan berakhir tanpa ada yang kalah. Saya bersikap langsung mengutarakan keinginan saya sehingga lawan berunding mengerti apa yang saya inginkan. Straight - forward terhadap tujuan yang ingin di capai merupakan salah satu taktik yang saya gunakan agar perundingan tidak berjalan alot serta lawan mengetahui sejak awal apa yang saya inginkan, karena dalam kasus ini saya telah mengetahui keinginan lawan sejak awal perundingan.
      Dengan mengetahui keinginan ( interest ) masing - masing, maka kami yang beruding dapat memikirkan cara - cara lain agar keinginan kami dapat terwujud. Pada akhirnya dalam kasus di atas, saya mengeluarkan alternatif agar saya hanya membeli tiket yang saya butuhkan, serta mbak - mbak yang berniat menitip mendapat tiket dengan mengantri juga tidak merugikan pengantri yang lain. 

46. Vitya Hanum
Tanggal 6 Oktober 2008, saya berniat untuk bertemu dengan teman SMA saya. Saya meminta ijin kepada orang tua saya untuk pergi ke rumah teman saya. Posisi saya pergi ke rumah teman saya. Kepentingan saya ingin bertemu teman saya. Posisi orang tua saya tetap di rumah. Kepentingan orang tua saya membantu orang tua di rumah makan milik keluarga. Demand saya, saya harus ke rumah teman saya hari itu juga.
    Melihat kondisi tersebut, saya langsung menggunakan taktik menyerang persuasive arguments. Saya mengutarakan beberapa alasan mengapa saya harus pergi ke rumah teman saya saat itu juga. Diantaranya, saya sudah lama tidak bertemu teman saya dan saya ingin bersilaturahmi; saya sudah punya janji bertemu hari itu; dan rumah makan siang itu tidak begitu ramai pengunjung. Namun orang tua saya juga menyerang dengan persuasive arguments. Mereka mengatakan bahwa bertemu dengan teman saya tidak harus hari itu; dan hari ini orang tua saya ingin saya bantu-bantu di rumah makan.
    Kemudian saya memakai taktik menyerang time pressure dengan mengatakan bahwa tanggal 8 Oktober, teman saya sudah harus kembali ke Bandung. Sementara tanggal 7 Oktober, rumah makan keluarga saya telah di booking untuk 2 acara besar sekaligus. Dimana rumah makan akan lebih ramai dari biasanya dan saya akan benar-benar dibutuhkan sebagai tenaga tambahan untuk mengurus rumah makan. Sehingga kesempatan yang saya punya untuk bertemu dengan teman saya hanyalah hari itu.
    Saya menyerang sekali lagi dengan positional commitment. Saya mengatakan, pilih saya pergi hari ini dan saya bisa bantu besok, atau saya bantu hari ini tapi besok saya pergi dan tidak bisa bantu. Orang tua saya nampak bingung menanggapi situasi itu.
    Kebetulan kakak saya yang setiap hari selalu sibuk urusan kampus, hari itu sedang menganggur. Jadi saya mengusulkan BATNA dengan meminta kakak saya menggantikan saya bantu-bantu di rumah makan. Kakak saya setuju dan akhirnya menjadi penyelesaian masalah kompensasi spesifik. Karena saya bisa pergi ke rumah teman saya hari itu dan orang tua saya mendapatkan bantuan tenaga hari itu oleh kakak saya.

47. Ardaiyenne S
Menjelang lebaran tiba, saya mengajak saudara saya untuk ikut menemani saya belanja atau sekedar window shopping di Galeria. Sebenarnya kala itu saya berniat mencari sepatu sandal atau selop untuk keperluan dadakan. Namun, saya ingin mengajak salah seorang teman yang dapat menemani saya berbelanja. Ketika saya mengajak dan menawarkan kepada saudara saya, ternyata saudara saya tersebut langsung menyanggupi karena ternyata saudara saya juga ingin mencari sandal dan membelikan adiknya sepatu. Namun, saudara saya tersebut menawarkan pergi ke Galeria di sore hari karena dia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah sampai siang hari. Namun, saya menawarkan di siang hari saja mengingat di sore hari saya mempunyai acara buka puasa bersama dengan teman-teman saya. Mengetahui hal tersebut, saudara saya mencoba untuk menyanggupinya dan meminta saya untuk menunggu kedatangannya di rumah saya siang hari tanpa menyebutkan spesifikasi jam kedatangannya. Dan selepas zuhur setelah menunggu di rumah, kami bertiga (saya, saudara saya, dan adiknya) berangkat ke Galeria.
       Dari kasus di atas, diketahui bahwa posisi pihak pertama dan pihak kedua (saudara pihak pertama) sama, yaitu berbelanja. Namun, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Pihak pertama dapat dikatakan mempunyai lebih dari satu kepentingan, yaitu mencari teman untuk diajak jalan, mencari sepatu sandal/selop untuk keperluannya. Sedangkan pihak kedua mempunyai kepentingan membeli sandal untuk dirinya dan sepatu untuk adiknya. Dalam hal ini kepentingan kedua pihak dapat kita petakan sebagai berikut:
       Pihak pertama:     Pihak kedua:
o    Mencari dan mengajak teman (prioritas)  -   Membeli sandal dan sepatu
o    Mencari/membeli sepatu sandal
       Karena mengetahui kondisi pihak pertama yang mempunyai acara di sore hari, akhirnya pihak kedua menyanggupi tawaran pihak pertama untuk pergi belanja di siang hari. Dan pihak kedua terpaksa meninggalkan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan seluruhnya. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi pihak kedua karena pihak kedua juga mempunyai kepentingan yang sama dengan pihak pertama, yaitu belanja (membeli sandal dan sepatu) dan sekaligus dapat memanfaatkan momentum yang ada (karena ada yang mengajaknya jalan bersama-pihak pertama). Sedangkan pihak pertama dapat memenuhi kepentingannya yaitu mencari teman belanja bersama sekaligus dapat mencari sepatu sendal.
       Taktik berunding seperti ini disebut dengan logrolling, di mana berunding dengan melihat kepengtingan masing-masing terlebih dahulu lalu bertukar kepentingan (prioritas). Jika ada pihak yang mempunyai lebih dari satu kepentingan, maka prioritas dari kepentingan-kepentingan itu yang akan didahulukan. Taktik berunding seperti logrolling merupakan salah satu taktik dalam gaya berunding yang collaborating / problem solving. Dari kasus di atas, semua pihak mendapatkan kepentingannya masing-masing. Pihak pertama dapat mengajak teman berbelanja untuk dapat menemaninya berbelanja sedangkan pihak kedua dapat membeli sendal dan sepatu.
       Jika dikaitkan dengan matching-mismatching, suatu reaksi menanggapi perilaku pihak lawan, maka kasus di atas mengalami mismatching pada awal negosiasi yaitu ketika pihak kedua menawarkan pergi belanja sore hari, sedangkan pihak pertama menginginkannya di siang hari. Proses matching terjadi di tengah-tengah negosiasi ketika pihak kedua berusaha menyesuaikan/menyeimbangkan pihak pertama yang tidak bisa pergi belanja di sore hari karena telah mempunyai acara lain. Dan pihak pertama juga berusaha untuk menunggu pihak kedua di rumahnya untuk pergi belanja bersama

48. Destania Sagitarisheyla
Kali ini saya melakukan negosiasi bersama orangtua saya. Ibu saya memutuskan untuk membelikan saya tiket pulang pada tanggal 11 Oktober di karena kan kuliah saya masuk tanggal 13 Oktober. Tiket pun di beli dan dicetak karena ibu saya beranggapan tanggal tersebut tidak akan berubah lagi. Namun saya berubah pikiran. Saya memutuskan pulang ke Jogja lebih awal, yaitu tanggal 9 Oktober, karena alasan belum mengerjakan tugas dan tidak membawa bahan untuk belajar ke rumah. Saya pun menyampaikan hal tersebut kepada Ibu saya. Awalnya ibu saya tidak setuju, dia beranggapan bahwa tugasnya bisa langsung dikerjakan begitu saya pulang ke Jogja nanti, belum lagi tiketnya sudah di bayar sehingga  Ibu saya berkeberatan untuk membeli tiket baru. Saya mencoba meyakinkan ibu saya bahwa saya memang harus pulang tanggal 9 dengan alasan apabila saya ke Jogja terlalu mepet dengan jadwal masuk maka saya tidak sempat lagi mengulang bahan-bahan pelajaran dan tidak sempat lagi mengerjakan tugas. Akhirnya Ibu saya mengalah membiarkan saya ke Jogja lebih awal dengan syarat saya diharuskan membayar tiket pengganti tersebut dengan tabungan saya sendiri. Saya pun menyetujui syarat tersebut dan kesepakatan pun berhasil kami capai.
Negosiasi kali ini saya memakai taktik menyerang persuasive arguments sekaligus time pressure untuk meyakinkan Ibu saya agar memperbolehkan saya pulang ke Jogja lebih cepat. Hasil yang dicapai adalah problem solving. Gaya konflik yang saya pakai adalah compromize dengan taktik memecahkan masalah Kompensasi nonspesifik yaitu Ibu saya setuju saya kembali ke jogja lebih cepat namun saya diharuskan membayar tiket pengganti dengan memakai  uang tabungan saya sendiri.

49. Elisabeth Nasution
Sepuluh hari ini saya berbagi kamar kos dengan seorang teman (A) yang tidak berani tinggal di kosnya sendiri karena ketakutan ditinggal teman-teman kos. Saya sih santai saja. Kami lantas menghabiskan libur Lebaran bersama.
      Beberapa hari yang lalu kami meminjam empat DVD film yang ternyata dua diantaranya tidak bisa diputar di laptop saya namun bisa diputar di DVD. Sayang sekali piker saya kalau film ini dikembalikan begitu saja. Untuk sementara saya piker kami tonton saja dua film lainnya. Sebenarnya teman saya yang lain (B) sedang ke Jakarta, dia menitipkan kunci kosnya kepada saya, dan dia memiliki DVD. Hanya saja saya tidak mengajukan ide untuk menonton di sana. Karena beberapa hari sebelumnya kami juga sudah menonton di sana dan A membuat kamar itu terlihat seperti kapal pecah. Saya sudah meminta A untuk membersihkannya namun ia menolak dan malah meninggalkan saya sendiri di kamar itu. Saya berpikir biar saja kamar itu berantakan, nanti saat B pulang dan menanyakan siapa pelakunya, saya akan mengatakan A pelakunya. Mungkin dengan cara seperti itu A akan jera. Saya akan ke kos B kalau kos itu sudah bersih.
      Besoknya, A mengajukan ide untuk menonton di tempat B. langsung saja saya menolak. Namun ia tetap memaksa karena satu diantara dua film yang tidak bisa diputar di laptop saya adalah film yang sudah lama sekali ingin ia tonton. Sejenak berpikir sayapun berkata “Ok, kita nonton di sana, tapi dengan satu syarat dan kamu tidak boleh menolak.” Dengan wajah menyerah dia lantas menanyakan apa syaratnya. Saya berkata lagi “Kamu harus merapikan kamarnya, mencuci piring, dan menyapu lantainya. Kan kamu yang buat jorok. Kalo ga mau ya sudah, filmnya dikembalikan aja!” Hore! Saya berhasil “memaksanya”. Kami lalu ke kos B, dia merapikan kos, saya ngemil snack. Setelah selesai beres-beres, kami pun menonton dengan hati gembira.
      Posisi saya, mau ke kos B kalau kosnya sudah bersih, teman saya  menonton film di kos B. Kepentingan saya  tidak suka dengan keadaan kamar yang berantakan akibat ulah A. Kepentingan A  film tersebut tidak bisa diputar di laptop saya. Negosiasi ini diakhiri dengan win-win solution.

50. Fauzia Ariani
Saya butuh membeli charger HP. Di toko, penjual menawarkan harga Rp 35 ribu. Bagi saya harga itu terlalu mahal untuk sebuah charger. Saya menawarnya menjadi Rp 15 ribu. Mas penjual dengan tegas menolak. Saya menawar lagi Rp 20 ribu, si mas tetap bersikukuh dengan tawaran awal, sembari mengatakan harga itu pantas karena kualitasnya bagus dan bergaransi 2 minggu. Saya sudah hampir pergi ketika si penjual akhirnya bilang, “Mbak, 25 ribu deh!”. Akhirnya saya sepakat. Tapi saya merasa hanya membawa Rp 20 ribu, tanpa mengecek dompet lagi saya pun bilang ke si mas saya mau ambil uang dulu ke ATM. Sekembalinya saya ke toko tersebut, saya kaget ketika membayar, uang saya Rp 50 ribu hanya diberi kembalian Rp 20 ribu oleh karyawan toko yang lain. Saya bilang kalau mas yang tadi melayani saya sudah sepakat Rp 25 ribu. Lalu datanglah mas yang saya maksud, sambil berkata, “Iya mbak ,25 ribu gak pake garansi”.  Saya merasa dicurangi, seketika itu saya protes, sebab tadi mas tersebut menyepakati harga Rp 25 ribu tanpa syarat apapun. Akhirnya si mas memberi garansi 3 hari. Karena menurut saya 3 hari sudah lebih dari cukup untuk mengetes charger yang saya beli berfungsi baik atau tidak, saya pun sepakat. Rp 25 ribu dengan garansi 3 hari. ****
isu tunggal => beli charger HP
Posisi penjual (demand) : menawarkan Rp 35 ribu, garansi 2 minggu
Posisi saya (demand) : menawar menjadi Rp 15 ribu (tak terlalu mementingkan garansi berapa lama)
Goal saya : 20rb,  Limit saya: 25rb
Kepentingan penjual => untung banyak ; Kepentingan saya => harga murah
Taktik dan analisis perundingan saya: awalnya contending dengan tetap kukuh pada posisi. Ternyata si penjual juga sama2 contending. Saya hampir melakukan withdrawal dengan pertimbangan BATNA yaitu saya keluar dari perundingan ini dan punya opsi masuk ke perundingan dengan penjual2 HP lain dan akan mendapat lebih murah, dimana saya juga tidak perlu merasa rugi jika melakukan BATNA (capek jalan kaki, keluar masuk toko) karena sepanjang jalan toko-tokonya menjual HP. Ketika saya hampir pergi, mungkin si penjual mempertimbangkan cost of failure berupa bayangan keuntungan yang malah tidak jadi didapat sama sekali, sehiingga kemudian menurunkan tuntutan menjadi 25 ribu. Setelah sepakat, baru saya ketahui ternyata si penjual mau menurunkan tuntutan karena menurunkan kualitas penawaran berupa pengurangan masa garansi. Dengan isu pengurangan masa garansi, penjual memperbesar sumber daya yang dirundingkan, dari isu harga ditambah dgn isu masa garansi, sehingga posisi juga berubah pada titik ini, penjual di posisi garansi 3 hari, saya di posisi 2 minggu seperti tawaran awal. Tapi meski tidak sesuai tuntutan awal (25ribu garansi 2 minggu), tapi saya tetap merasa menang/untung karena sudah ada garansi 3 hr yg cukup untuk menguji berfungsinya charger, sementara harga yang saya dapat sudah lebih rendah dari tawaran awal mereka.
Setelah negosiasi benar-benar selesai, dapat saya simpulkan bahwa perundingan yang tadinya contending dan hampir terjadi withdrawal, lalu berakhir dengan problem solving berupa mediocre-mediocre (sifat perundingan menjadi kompromi), dimana saya mendapat harga lebih rendah dengan mengorbankan sebagian masa garansi, sementara si penjual mendapat untung uang lebih sedikit tapi tidak merasa menang/tidak terlalu rugi karena berhasil mengurangi masa garansi.

0 komentar:

Post a Comment