, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

THE CALM EYES

THE CALM EYES

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi,  kursus menjahit
THE CALM EYES

baju kebaya putih jarik coklat atau hitam yang pantes warna kerudungnya - Part 24 [End]

Perhatian! Cerita ini diketik secara spontan, alur maju mundur dan tolong dikaitkan. Typos, salah kata, out of character dan juga irasional merupakan salah satu kandungan didalamnya karena tidak mengedit lagi (plak). Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Dilarang mengopas, menyadur ataupun memperbanyak dengan cast yang berbeda. Tuhan selalu melihatmu.

Copyright by Ike Amelias.

*oke sip, gue kebanyakan bicara-____-

***

(Namakamu) mematut dirinya di cermin. Disana, terdapat perempuan dengan dandanan yang simple, kepalanya tertutupi jilbab putih dengan model yang ia sendiri tidak ketahui, ia memakai kebaya putih, serba putih tapi entah dengan hatinya, sementara kaki jenjangnya tertutupi jarik bermotif batik berwarna cokelat.

“Nggak usah pakai high heels kan, mbak?” Tanya Pipit, perias itu sambil menunjuk high heel yang ada dikotak disampingnya. (Namakamu) tidak menjawab, ia mengangguk. “Ya udah kalau gitu, semuanya udah nunggu.”

Usai itu, digandengnya (Namakamu) dari ruangan ta’mir masjid—disewanya untuk ruang rias melangkah menuju pintu masjid. Orang-orang undangan yang lebih pada kerabatnya, kolega ayahnya dan Aldi sudah berkumpul mengelilingi pelaminan. Disana, kyai Abdulllah duduk disamping Jason sementara disampingnya, terdapat wali Aldi—assisstant yang dianggapnya seperti saudara sendiri. (Namakamu) melangkah hati-hati dituntun Pipit. Mata (Namakamu) berpendar mengelilingi rongga masjid. Salsha, James dan istrinya, Helen, duduk dibarisan kedua.

Ah, Salsha. (Namakamu) mendesah panjang dalam hati. Perempuan itu masih marah padanya? Apa gara-gara Aldi menikah dengannya atau Iqbaal? Bukankah seharusnya ia berbahagia karena Iqbaal bersamanya? (Namakamu) kembali melangkah pelan-pelan takut tersandung dituntun Pipit. (Namakamu) baru saja akan duduk, sekali lagi, ia mengendarkan pandangannya kea rah pintu masjid.

Dia tidak datang…
Tidak untuk mencegah atau sekedar berbagi kebahagian…

Kebahagiaan? Setelah (Namakamu) menghancurkannya? (Namakamu) tahu, maka dari itu ia tidak pantas untuk Iqbaal. Iqbaal jauh lebih baik darinya, tidak harus bersamanya.

(Namakamu) menghela napas, semuanya sudah berakhir.

Setelah (Namakamu) duduk, semuanya hening.

Seorang wanita datang dengan pakaian yang tertutup kali ini, duduk samping Salsha. Salsha mengengoknya sebentar, dilihatnya James dan Helen tengah hikmad dengan suasana yang hening. Dengan mengesot, alias menggeser duduknya, Salsha dan Bella menjauh.

“Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau Alvaro Maldini Siregar bin Maldini Siregar dengan (Nama lengkap kamu) Lane binti Jason Lane dengan mahar muallafnya engkau beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Suara Kyai Abdullah terdengar dipenjuru masjid. Allah bersaksi, malaikat bersaksi, semuanya bersaksi dan terakhir, tempat dan suasana menjadi saksi buta.

“Saya terima, nikah dan kawinnya, (Nama lengkap kamu) Lane binti Jason Lane dengan mahar muallafnya saya beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Aldi menghela napas legah setelah mengucapkan janji sucinya, jadinya kepada Allah, pada diri sendiri dan janjinya pada (Namakamu) yang duduk disampingnya.

(Namakamu) semakin deg-degan, jantungnya berdegup kencang sementara tubuhnya serasa lemas. Pandangannya seolah kabur dan yang terdengar hanyalah suara-suara penyeru kesakitan didalam tubuhnya. Ia sakit, ya, sakit. Sakit lahir batin. Susah sekali untuk ikhlas?

“Sah?”

Sah, Alhamdulillah

(nggak jadi deng :p)

“STOP!”

(Namakamu) yang kini menunduk , menengadah tak menyadari air matanya yang sudah menetes dan membasahi pipinya. Dilihatnya orang-orang yang juga sama dengannya, hening melihat sumber teriakan dari pojokan masjid.

Salsha dan Bella.

“Pernikahan ini harus dibatalkan,” kata Bella tegas. Tapi dilihat dengan berpuluhan mata tak urung suaranya bergetar. “Semuanya harus tahu, ini semua nggak bisa dipaksakan. (Namakamu) cinta sama orang lain, bukan Aldi.”

Yang tadinya hening kini berbisik-bisik. Jason dan Jarrel hampir sesak napas melihatnya. Sementara Aldi, dia diam—Itu benar. Semuanya benar. Dan (Namakamu) hanya menunduk tak bisa menahan air matanya dan tenggorokannya yang tercekat. Perempuan itu terisak, bahunya sedikit terguncang ketika semua pandangan terlanjur kabur.

“Yang menyebabkan (Namakamu) gila dulu itu karena Aldi,”

Deg. (Namakamu) menengok, terkesiap dengan ucapan Salsha yang… benar. Ya Allah, apalagi ini?

“Salsha,” desis James kaget. Awalnya ia diam menyadari anaknya duduk disana, tapi ketika ikut-ikutan dengan perempuan disampingnya, James menggeram.

“Ini semua harus diluruskan, Pa!” Balas Salsha dengan suara keras. Ditatapnya Jason yang juga menatapnya, diam. “Oom, Oom harus ngerti. Ini kisah (Namakamu) dulu sama Aldi. Aldi yang buat (Namakamu) gila, kita bisa jelasin semuanya, Oom. Sebelum terlambat.”

Jarrel meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekat pada (Namakamu) yang kini terisak, menangis, bahunya terguncang dan dadanya sesak. “Sabar, sayang,” katanya bergetar sambil memeluk (Namakamu). Disandarkannya kepala (Namakamu) dipundaknya, diusapnya bahu (Namakamu) lembut.

“Apa benar itu, Aldi?” Jason menggeram, tapi tetap tenang menatap Aldi.

“Benar, Oom,” katanya tegas. Suasana semakin ramai dan bisik-bisik tetangga pun meluas(?).

Jason terpekur diduduknya. Ia selama ini tidak menyangka, Aldi yang dulu dibangga-banggakan tega membuat anaknya gila. Lalu pergi tanpa kabar dan kembali dengan (Namakamu) yang keadaannya lebih parah. Hingga kemudian (Namakamu) memberontak bertemu dengan Aldi, yang Jason sangka, (Namakamu) kehilangan Aldi dan marah dengannya. Tapi marah itu kata ambigu, dalam arti lain, marah, kecewa dengan perbuatannya. Lalu apa yang dilakukan Aldi? Sampai (Namakamu) menghilang hingga dua bulan dari rumah. Jarrel, istrinya sampai harus terkena serangan jantung dan bypass jantung karena kehilangan anaknya. Bagaimana bisa seorang ibu harus menahan semuanya?

“Ma’af, shahib,” kata Kyai Abdullah menginterupsi terpekurnya Jason. Seolah pandangannya pada Jason meminta keterangan, ia agak keberatan dengan semua ini. Ini pernikahan seperti terpaksa? Beliau juga tidak tega dengan mempelai wanita, (Namakamu), putri Jason yang menangis terisak dipundak Ibunya, Jarrel.

Jason menoleh dan tersenyum. “Pernikahan ini tetap dilaksanakan.”

***

END.

Sekali Allah berkata Kuun fayakuun, maka semuanya akan terjadi.

***

“Aku masih nggak nyangka, (Namakamu). Apa aku mimpir?” Katanya sambil mengubah posisinya yang semulanya berbaring, kini menindih perempuan yang ada disampingnya. “Aww!” Teriaknya ketika perempuan dihadapannya ini mencubit keras-keras hidungnya.

“Sakit?”

“Banget,” ia mengercut sebal sementara perempuan dibawahnya terkekeh.

“Iqbaal, sesak tahu, bangun ah,” katanya manja. Didorongnya tubuh lelaki bernama Iqbaal itu hingga akhirnya ia terbaring diatasnya. Berbalik, dan itu karena Iqbaal. “Iqbaal!” Jeritnya sambil tertawa pelan.

“Iya, istriku?”

Pipi (Namakamu) bersemu merah mendengar godaan itu. Ia menunduk, pasrah, akhirnya ia berbaring didada suaminya. “Aku tahu, ini jalan-Nya. Jalan yang selama ini dipisahkan kebutaan ego seseorang, kemunafikan seseorang. Andai aku lebih berani, dulu.”

“Benar,” kata Iqbaal menyetujui. “Semuanya unyu pada waktunya.” Ia tertawa pelan disambut (Namakamu).

“Waktu itu…” bisik (Namakamu) menggantung. Ditengadahkan kepalanya untuk menatap mata Iqbaal. “… apa yang terjadi?”

Iqbaal tersenyum, ia beringsut duduk sambil membiarkan tangan satunya yang memeluk pinggang (Namakamu) lalu bersender didashboard ranjang. “Kita harus bilang makasih sama Salsha sama Bella. Mereka udah mau jadi perantara Allah buat nyatuin kita.”

(Namakamu) terkesiap,rahangnya jatuh sejenak kemudian tersenyum lebar. “Gimana ceritanya?”

Iqbaal menyeringai, ia menggeleng sambil terkekeh pelan kemudian melorot dan pindah disisi ranjang yang kosong. Ditindihnya (Namakamu), seringaiannya semakin lebar. “Gimana kalau kita lanjutin?”

“Lanjutin?” Sahut (Namakamu) gelagapan, seringaian Iqbaal selalu membuat dirinya lemah tak berdaya. Ketika ia baru ‘ngeh’, ia tersenyum. Ia memejamkan mata ketika Iqbaal mendekat wajahnya, hembusan napasnya terasa dipipi (Namakamu) membuatnya merinding untuk yang kesekian kalinya. Baru saja ia hendak merasakan sesuatu yang membuatnya terbang diawang, ia mendengar jeritan…

“Iqbaaaaaaaal, (Namakamuuuuuuu)! Masih ada tamu! Kenapa didalam lama bangeeeettt?”

… dengan gedoran yang membuatnya Iqbaal menggeram sambil menjauhkan wajahnya.

“Baal,” (Namakamu) bergumam tak enak hati. Ia baru saja bangun ketika Iqbaal mengunci pergerakan tubuhnya dan kembali menunduk.

“Iqbaal kalau nggak keluar bunda dobrak pintunya!”

Lalu semuanya gagal. Kali ini, ia menggeram kesal mendengar gedoran semakin keras dan suara Teh Ody—kakaknya yang baru pulang dari Jerman—Salsha, Bella dan Bundanya beradu.

Dug dug dug

(Namakamu) dan Iqbaal sama-sama kelabakan. Mereka celingak-celinguk sambil memilah tumpukan kebaya digantungan.

“(Namakamu), kaos aku mana?”

(Namakamu) menggeleng.

“Celana aku mana, sih?”

“Engga, kamu lihat—“

Brak!

Iqbaal menarik (Namakamu) lalu melompat ke ranjang dan menutupi tubuh keduanya dengan selimut. Tak memedulikan pintu yang engselnya sudah lepas menampakkan Bunda, teh Ody, Salsha, Bella dan Jarrel mendelik melihat kelakuan mereka.

“(Namakamu)—Iqbaal!!!!”

‘Malam pertama lama banget, sih.’

***

“Sebenarnya gue nggak tega,” kata Salsha pelan. Ia menoleh pada Bella yang berada dihadapannya. “TAPI MAU BAGAIMANA LAGI? (NAMAKAMU) CINTANYA SAMA—“

“BERISIK!”

Pletak! Kunci mobil meleset mengenai wajah Salsha. Sebenarnya gadis itu sudah mendapat ancang-ancang untuk menghindar. Salsha mengendus-ngendus melirik Bella yang terperangah dengan apa yang dilihatnya. Salsha terpaksa menoleh.

“AKHIRNYAA!! IQBAAL UDAH BANGUN!” Teriak mereka bebarengan lalu dihadiahi tatapan paling dingin, tajam dan menusuk dan sang raja galau, Iqbaal.

Lelaki itu diam, wajahnya yang kusut datar, seolah tidak mau mengakui jika wajahnya kusut tetap lah kusut seperti bajunya. Bangun perlahan, Mata Iqbaal yang mengantung menyipit, seolah baru menyadari Bella dan Salsha yang sudah berada di sini selama tiga jam. TIGA JAM!

Ya… siapa sangka duo lampir ini malah akur. Walaupun mereka terlihat galak, tapi sebenarnya, sisi dari mereka ada yanga baik.

“Udahlah, Baal,” Bella menghela napasnya. Ia menarik selimut Iqbaal cepat-cepat ketika lelaki itu hendak menutupnya. Dibuangnya selimut itu hingga bantal guling yang basah, ya ampuuuun, cowok nangis! Walaupun sempat menggerutu dalam hati, Bella akhirnya menatap Iqbaal sayu.

“Kamu nggak mungkin terus-terusan kaya gini. Life must go on! Atau enggak kamu harus perjuangin itu!” Salsha mengakhiri pidatonya dengan mengepalkan tangan.

“Kita bisa bantu kamu!” Bella tak kalah semangat. Dengan mata yang menyipit dan semangat yang mengepul, mereka berdua nyengir.

Iqbaal masih diam. Patung salju. Lalu cengiran Bella dan Salsha luntur seketika. “Kita bisa bantu, kok, swear!”

“Sudah terlambat,” lirih Iqbaal nyaris bisikan. Baru saja tubuhnya mau tumbang ketika Salsha dan Bella sigap menangani.

“Iqbaal!” Suara Teh Ody menginterupsi. Dihampirnya adik semata wayangnya itu dengan wajah prihatin. Salsha dan Bella menurunkan bahunya, menghela napas. “Kalian ngapain disini?” Diliriknya Salsha dan Bella yang kini nyengir.

“Mau bantuin Iqbaal, teteh,” jawabnya bersamaan.

“Teteh juga mau!”

Lalu akibat kobaran api mereka, kedinginan Iqbaal pun leleh. Mereka bertiga duduk menghadap Iqbaal yang berdiri lemah seolah lullaby pengantar tidur.

***

(Namakamu) berdiri menatap Iqbaal yang berjalan dituntun Aldi dengan mata tanpa berkedip. Lelakinya masih sama, tapi ada yang berbeda, keadaannya begitu memprihatinkan.

“(Namakamu),” kata Aldi nyaris bisikan. Betapa (Namakamu) melihatnya dengan perasaan yang sulit diartikan. Lelaki ini… lelaki yang juga mengisi hidupnya, mewarnai hidupnya selama dulu ia masih belum mengenal. Hingga akhirnya suatu hal terjadi, membuat dia bertemu dengan Iqbaal. Lelaki macam apa Aldi ini? “Aku udah ikhlasin kamu buat dia, buat Iqbaal.”

(Namakamu) tak menjawab, mengeleng ataupun mengangguk saja tidak. Dilihatnya semua orang menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. Jarrel sudah menangis terisak dipelukan Jason sementara kyai Abdullah tersenyum.

“Baiklah kita mulai,” kata kyai Abdullah.

Jantung (Namakamu) nyaris melompat ketika ia duduk berdampingan dengan Iqbaal. Mereka masih dalam keheningan, dalam pikiran masing-masing hingga tak menyadari dua perempuan berjilbab berbeda generasi tergopoh-gopoh dengan seorang pria paruh baya berjas sama seperti Iqbaal—bedanya ia memakai jas hitam sementara Iqbaal jas putih, sama seperti kebaya (Namakamu). Mereka kemudian duduk disamping Iqbaal lalu berbasa-basi sejenak dengan kyai Abdullah, hingga akhirnya (Namakamu) sadar, disamping kyai Abdullah, ada ayah Iqbaal, Herry. Dan disamping nya lagi ada Jason, Ayahnya.

Setelah mengucap syahadat dan istighfar, kyai Abdullah menjabat tangan Iqbaal dengan hikmat. “Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau, Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan bin Herry Hernawan dengan (Nama Lengkap Kamu) Lane binti Jason Lane dengan seperangkat alat sholat, dibayar tunai.”

“Saya terima, nikah dan kawinnya, (Nama Lengkap Kamu) binti Jason Lane dengan seperangkat alat sholat, dibayar tunai.” Iqbaal berkata dalam satu tarikan napas.

“Bagaimana para saksi? Sah?” Kyai Abdullah mengangguk pada wali disampingnya.

“Saaah…”

“Alhamdulillah,”

Detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun itu juga, janji itu lisankan.

‘Maka aku tanggung dosa-dosanya dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat.
Semua yang berhubungan dengan dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa calon anak-anakku.

Dan jika aku gagal,
Maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku.’[1]

Semuanya belum berakhir, hidup akan selalu berjalan pada garisNya, garis sang esa. Cerita ini mungkin berakhir, tapi kehidupan mereka belum berakhir.

Maka, nikmat tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan? [2]

~‘Karena aku melihat, ada Allah dimatamu,’
~You can’t start the next chapter of your life, if you keep re-reading the last one. –The Calm Eyes.

+++
[1] HR Muslim
[2] QS. Ar-Rahmaan; 13 (yang diulang tiga kali dalam surahnya)

+++

Akhirnyaaaaaaaa makasih yang udah mau cerita gaje saya *tobat*
Tau kok ceritanya freak, wierd, ewh atau apalah itu.
Ada kok mahar muallaf itu, contohnya Abu Thalhah yang ngasih mahar muallafnya ke Ummu Sulaim.

Jangan lupa tinggalkan KESAN, KOMEN DAN LIKE setelah bacaaaa, bakalan ngenang banget baca komentar kalian yang jadi jejak disiniiiii...

ps: promosi, cerbung Hey, Soul Sister dan Daydreaming Beauty ya, yg belum baca dari awal, cari digoogleXD

Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang baju kebaya putih jarik coklat atau hitam yang pantes warna kerudungnya

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga

anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya

tentang  Gambar Dan Nama Pakaian Adat Tradisional Dari 33 Provinsi di Indonesia

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : https://id-id.facebook.com/KetikanImajiasiku/posts/330171133798797

0 komentar:

Post a Comment