, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Makalah Sejarah Pola Hunian Manusia Purba

 sejarah pola - BAB 1 : Pendahuluan
A. Latar Belakang

            Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi. Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal. terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara lain :

    Tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, kondisi tanah yang tidak terlalu lembab
    Tersedianya sumber makanan

B. Rumusan Masalah

    Bagaimana pola hunian pada masa pra aksara?
    Bagaimana Sejarah manusia menemukan api?
    Bagaimana cara manusia praaksara mempertahankan hidupnya?

C. Tujuan Penelitian

    Mampu menjelaskan proses pola hunian manusia pra aksara mulai dari hidup meramu dan mengumpulkan makanan sampai dengan bercocok tanam
    Mampu menjelaskan bagaimana api ditemukan
    Mengetahui kegiatan manusia purba zaman dahulu

    Menganalisis keterkaitan antara pola hunian dengan mata pencaharian manusia praaksara

 

BAB 2 : Isi

A. Pola Hunian


Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :

1. Nomaden

            Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)

2. Sedenter

             Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan

Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :

1. Kedekatan dengan Sumber Air

            Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.

2. Kehidupan di Alam Terbuka

            Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.

            Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.

            Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan

            Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat ti
nggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.

            Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.

            Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.

            Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.



B. Mengenal Api

            Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar pohon-pohon itu.

            Dalam menemukan api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang. Proses tersebut dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak mengalami kegagalan dan mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka menemukan hasil yang mereka inginkan.

            Setelah mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan. Yaitu dengan membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu, sehingga akan menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada ranting atau daun kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api.

            Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga berfungsi untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau binatang buas yang menyerang

            Melalui pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara menebang lalu membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah kebiasan pada zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.



  C. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam


            Diperkirakan awalnya manusia purba hidup dengan berburu dan meramu. Pada umumnya mereka masih bergantung pada alam. Untuk bertahan hidup, mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Al
at-alat yang dibuat terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada masa Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju komunitas ini umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk pantai

            Masa manusia purba berburu dan meramu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya bisa mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara., misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.

            Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien sebagai pendukungnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mulanya, mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok tanam.

            Kegiatan manusia purba bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup, maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.

            Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal.

            Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik. Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.

Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang

            Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan. Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia

Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.

a. Sebagai tempat tinggal

            Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya. Pada awal-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.

b. Sebagai kuburan


            Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat par
a ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur.

            Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun peti kayu dalam berbagai ukuran. Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.

c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu

            Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks.

            Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua).



 BAB 3 : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan :


    Pola hunian manusia purba terbagi 2 yaitu nomaden dan sedenter
    Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis, situs-situs, dan kondisi lingkungan
    Pola kehidupan manusia purba memiliki 2 karakter khas yaitu kedekatan dengan sumber air dan kehidupan di alam terbuka
    Berdasarkan data arkeologi, api kira-kira ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu pada periode manusia homo erectus
    Api ditemukan dengan prinsip trial and error
    Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien

    Ke datanga Rumpun Austronesia dari Yunnan ke Indonesia, mengenalkan rakyat indonesia cara berlayar, bertani, berdagang, dan barter
    Fungai gua hunian pada masa praaksara berdasarkan situs Daeo dan Tanjung Pinang ada 3 yaitu sebagai tempat tinggal, kuburan, dan tempat produksi alat batu




Saran :


Kita harus menjaga dan menyimpan peninggalan-peninggalan zaman dahulu dengan baik agar anak cucu kita juga bisa mempelajari dan melihatnya. Selain itu peninggalan zaman dahulu sangat bermanfaat untuk kemajuan sifat moral dan teknologi zaman sekarang. Lalu, milikilah sifat manusia purba yang menemukan api dengan proses trial and error yaitu walaupun mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak mengalami kegagalan,  mereka akan terus mencoba walaupun gagal dan gagal lagi sampai mereka menemukan hasil yang mereka inginkan. Jangan jadi manusia yang h
anya bisa pasrah dengan hidup.
les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
 Makalah Sejarah Pola Hunian Manusia Purba

Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang sejarah pola

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang KERAJINAN DARI BUNGKUS MIE INSTAN

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : https://dinadesiana.wordpress.com/2013/12/02/makalah-sejarah-pola-hunian-manusia-purba/

0 komentar:

Post a Comment