, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Sumatera Barat yang Tak Terlupakan

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
Sumatera Barat yang Tak Terlupakan

Sumatera Barat yang Tak Terlupakan


Di ujung jalan kecil Koto
Gadang yang permai,
saya menghentikan langkah
sebentar, menarik
nafas dalam sambil memandangi
gunung biru
yang menjulang di belakang
sawah-sawah hijau.
“Sumatera Barat memang
sangat cantik,” gumam
saya pada diri sendiri.
Sangat cantik sehingga
saya seperti tersihir, seperti
baru saja melakukan
perjalanan ajaib dalam kisah
dongeng anak-anak
yang terkenal itu, Alice in
the Wonderland atau “Alice
di Negeri Ajaib”


Betapa tidak? Bak kaleidoskop
yang menyuguhkan berbagai
gambar yang berganti-ganti
dalam satu rangkaian perjalanan,
sejak pagi kaki ini telah melangkah
memasuki berbagai dunia yang berbeda-
beda. Ada dunia indah yang
menyuguhkan pemandangan ngarai
yang luar biasa. Lalu ada dunia gelap
lorong-lorong bawah tanah yang menyimpan
cerita pilu.
Kemudian ada pula pemandangan
menawan dasar ngarai yang dikelilingi
tebing-tebing curam dengan
sungai kecil mengalir berliku. Lalu
ada jembatan kayu yang bergoyanggoyang,
yang membuat saya gamang
tapi tetap harus melaluinya. Kemudian
ada “tangga seribu” yang membawa
kaki letih ini mendaki dan terus
mendaki ke atas, seperti ingin menaklukkan
“nirwana” di puncaknya.
Selanjutnya, tiba-tiba “kaleidoskop”
berubah lagi menjadi sebuah desa
mungil yang asri dan sunyi, yang di
tepian jalan kecilnya dipenuhi deretan
rumah-rumah tua dan bunga-bunga
cantik. Di ujung jalan ini, ada sebuah
rumah adat indah yang masih terpelihara
apik. Di situlah, sambil memotret
keindahannya, saya mengambil nafas
sejenak, dan di dalam hati mengucapkan
syukur atas anugerah Sang Pencipta
yang tiada tara.
Itu adalah hari kedua perjalanan kami
menjelajahi Sumatera Barat yang indah.
Saya bersama 16 teman alumni
SMA Negeri 8 Jakarta seangkatan,
mempunyai target sederhana saja.
Kami ingin berjeda sejenak sambil
menikmati dan mensyukuri kehidupan
ini. Kemarin, saat pesawat kami menukik
untuk mendarat di ranah Minangkabau
ini, kami disambut oleh deretan
pegunungan Bukit Barisan yang
indah, yang sebagiannya terselimuti
awan.
Dari Bandar Udara Internasional Minangkabau
yang berjarak 23 km dari
Padang, kami segera melanjutkan
perjalanan dengan bus ke Bukittinggi,
sambil tentu saja menyinggahi beberapa
tempat istimewa di sepanjang
jalan. Yang pertama, tak terlupakan,
dan tak boleh terlewatkan, adalah
melahap ikan bakar super lezat di
restoran Lubuk Sikoci di Sicincin, Padang
Pariaman.
Awalnya, kami semua terbelalak karena
masing-masing mendapatkan
satu ikan nila bakar, dan kami raguragu
apakah bisa menghabiskannya
sendiri. Namun hanya dalam hitungan
menit, ternyata semua langsung
tandas bersih tinggal tulang-belulang
belaka. Ikan nila bakar di restoran ini
memang sangat lezat. Menikmatinya
bersama teman-teman sambil memandang
kolam asri yang dipenuhi
bunga-bunga teratai, sungguh menimbulkan
kebahagiaan tersendiri.
Kebahagiaan itu juga yang menyebabkan
para penumpang bus berceloteh
riang tak henti-henti, sampai tak menyadari
ketika tiba-tiba bus menepi. Di
depan kami, mengalir dengan deras
air terjun Lembah Anai yang terkenal
itu, yang terletak persis di tepi jalan.
Butiran-butiran air yang tertiup angin
ke wajah kami, terasa sangat sejuk.
Beberapa dari kami segera mendekat
ke dasar air terjun yang berketinggian
60 meter ini, dan membasuh wajah
dalam air yang jernih dan sejuk.
Menurut pemandu kami, sesungguhnya
semuanya ada sebelas tingkatan
air terjun yang mengalir dari Gunung
Singgalang. Yang kami kunjungi ini
adalah tingkatan terakhir. Tingkatantingkatan
air terjun di atasnya masih
tertutup oleh lebatnya hutan, sehingga
sangat sulit dicapai dan belum
banyak dirambah manusia. Di sekitar
air terjun Lembah Anai ini, banyak
warung yang menjajakan camilan
khas Sumatera Barat, seperti keripik
pedas sanjay, kacang kulit garing,
atau beras rendang. Perjalanan kami
teruskan sambil mengunyah kacang
kulit garing yang berukuran besar-besar,
yang tentu saja gurih lezat.
Lalu meski belum lapar, tahu-tahu
kami sudah harus mengisi perut lagi.
Kali ini kami berhenti di Pondok Sate
Mak Syukur di Padang Panjang yang
tersohor itu. Sate Padang yang dimakan
bersama saus kental kuning beraroma
kari, memiliki rasa pedas khas.
Tak perlu dipertanyakan lagi, meski
tak sungguh-sungguh lapar, namun
karena kelezatannya kami langsung
menandaskan semua sate yang terhidang.
Sudah lama saya mendengar
popularitas sate Mak Syukur ini, dan
baru kali ini berhasil menyobanya.
Sehabis menyantap sate yang lezat,
kami meneruskan perjalanan ke Pusat
Informasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Minangkabau di Padang
Panjang. Di dalam rumah adat gadang
indah yang terawat baik, kami
mendengarkan penjelasan rinci tentang
adat-istiadat Minangkabau yang
pada umumnya matriarchal kuat.
Perempuan memiliki suara dominan
dalam keluarga. Rumah adat gadang
sendiri adalah rumah klan yang biasanya
ditinggali beberapa keluarga.
Di situ kami menyempatkan diri
berdandan dalam pakaian warnawarni
“anak daro”, atau pengantin minangkabau
perempuan, dan berpose


gembira dengan latar belakang rumah
Gadang. Sungguh kenangan yang tak
terlupakan.
Lalu sisa hari itu pun seperti terbang
cepat. Yang jelas, kami menghabiskan
waktu lumayan lama berbelanja
di desa Pandai Sikek yang terkenal
dengan kerajinan songketnya. Di situ
kami dibiarkan “berkelana” dari satu
toko ke toko lainnya. Saya menyelinap
ke belakang toko-toko itu untuk
memotreti kebun-kebun sayur Pandai
Sikek yang indah, yang dibingkai oleh
gunung-gunung berwarna biru.
Matahari sudah nyaris pulang ke peraduannya
ketika bus kami berhenti
di warung bika Talago di Koto Baru
sebelum memasuki Bukittinggi. Bika
adalah makanan ringan khas Sumatera
Barat yang terbuat dari tepung
beras, gula, kelapa parut dan santan.
Rasanya manis dan gurih, nikmat disantap
selagi hangat sebagai teman
minum teh atau kopi. Yang unik adalah
cara pembakarannya dengan api
atas dan api bawah dari kayu bakar,
di dalam anglo-anglo tanah liat yang
tertutup. Kami menikmati bika hangat
sambil berfoto di antara api pembakaran
yang menari-nari. Tak heran
jika beberapa orang menyebut bika,
“kue neraka”.
Malam sudah jatuh ketika kami memasuki
Bukittinggi. Namun semangat
kami masih membara saat menjejakkan
kaki di depan Jam Gadang,
ikon kota Bukittinggi yang terkenal
ini. Suasana di sekitar Jam Gadang
sangat ramai. Muda-mudi bercengkerama,
para turis berpotret, dan para
pedagang menjajakan dagangannya
masing-masing.
Jam Gadang selesai dibangun pada
tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu
Belanda kepada Rook Maker, sekretaris
Fort de Kock atau kota Bukittinggi
pada waktu itu. Menara Jam
Gadang kemudian dijadikan sebagai
marka atau penanda titik nol kota
Bukittinggi. Setelah berfoto bersama
di depan Jam Gadang, kami menyantap
makan malam di restoran Family,
yang konon inilah tempat pertama kalinya
ayam pop dilahirkan.



Lalu kami menyempatkan diri menonton
aneka tari-tarian dan pertunjukan
kesenian tradisional Sumatera Barat.
Bukan main! Sebagian dari kami yang
sudah terkantuk-kantuk, langsung
membelalakkan mata begitu para
penari tari piring menginjak-injakkan
kaki dan melemparkan dirinya di
dalam tumpukan pecahan piring yang
tajam berserakan! Saya juga sempat
merasakan hawa api yang panas begitu
salah satu penarinya menyembur-
nyemburkan api dari mulutnya!
Ini adalah pertunjukan kesenian yang
luar biasa!
Namun, semua itu ternyata bukan apaapa
dibandingkan dengan penjelajahan
kami keesokan harinya. Berdiri
di taman Panorama yang menghadap
Ngarai Sianok yang indah, ditemani
kera-kera yang berseliweran dengan
santainya, kami memandang ke
bawah, ke dasar ngarai yang dipenuhi
pepohonan, sawah-sawah hijau, kampung
mungil, dan sungai kecil yang
melingkar-lingkar. Tiba-tiba seorang
teman di sebelahku bertanya, “Bagus
mana jika dibandingkan dengan Grand
Canyon di Amerika?” Saya tersenyum.
Keduanya memiliki keindahannya
masing-masing. Yang jelas, di dasar
tebing-tebing Grand Canyon yang
gersang, tidak ada sawah-sawah hijau
dan kampung mungil.
Sumatera Barat memiliki
keindahannya yang
unik. Seperti di negeri
dongeng, tiba-tiba kaki
kami melangkah turun,
terus turun, menuruni
anak-anak tangga
yang seperti tak ada
habis-habisnya, terus
turun ke dalam bumi
yang gelap.
Dan, tibalah kami di
terowongan bawah
tanah yang sering disebut
dengan “Lubang
Jepang”. Terowongan
bawah tanah ini sebenarnya
adalah bunkers
Jepang yang bercabang-
cabang, yang
memiliki lebar sekitar
2 meter dan panjang
mencapai 1400 meter.
Jepang membangun
terowongan ini sekitar
tahun 1942 dengan
mengerahkan ribuan romusha
Indonesia, yang semuanya akhirnya
dibunuh. Di dalam cabang-cabang
terowongan ini dijumpai beberapa ruangan
khusus yang dulunya digunakan
sebagai penjara, gudang senjata,
ruang pengintaian, dan ruang penyergapan.
Pemandu kami menunjukkan sebuah
lubang di sudut dinding yang digunakan
sebagai lubang pembuangan
mayat. Tempat itu menyimpan banyak
kesedihan. Namun sejarah selalu
seperti itu. Di satu sisi memiliki kisah
heroik jiwa-jiwa besar yang berjuang
membela kebenaran, di sisi lainnya
mengandung banyak kisah penderitaan
dan air mata dari rakyat jelata
yang jadi tumbal sejarah.
Keluar dari terowongan bawah tanah,
kaki kami melangkah menyusuri jalan
setapak menuju dasar Ngarai Sianok.
Di dasar ngarai, dikelilingi tebingtebing
curam, kami dikelilingi keindahan
sawah-sawah hijau, kampung
mungil, dan sungai kecil yang meliukliuk.
Setelah menyeberangi jembatan
yang bergoyang-goyang, sampailah
kami di “Janjang Saribu”, atau “tangga
seribu”, atau yang sering disebut
juga The Great Wall of Bukittinggi.
Dengan perlahan namun pasti, kami
mendaki dan terus mendaki, sambil
tak henti-hentinya mengagumi keindahan
alam. Di ujung Great Wall, tibalah
kami di Koto Gadang yang asri. Koto
Gadang adalah wilayah permukiman
yang tertata rapi, yang di kiri-kanan jalan
kecilnya terdapat deretan rumahrumah
kuno buatan jaman Belanda.
Karena Koto Gadang berhawa sejuk,
banyak bunga-bungaan ditanam di
sana. Kami semua puas dan gembira
berhasil menyelesaikan pendakian
“tangga seribu” dan menyeberangi
Ngarai Sianok dari Bukittinggi menuju
Koto Gadang.
Akhirnya, yang tak boleh tidak dilakukan
di Sumatera Barat, kami menyusuri
“Kelok 44” yang terkenal sangat
indah itu, menuju danau Maninjau.
Perjalanan ini harus dilakukan dengan
sangat hati-hati, karena jalannya
sempit dengan kelokan-kelokan yang
sangat tajam. Kami beruntung karena
sore itu cerah. Di sepanjang “Kelok
44” kami bisa memandangi kecantikan
Danau Maninjau dengan jelas,
tanpa tertutup kabut. Semua tempat
yang kami kunjungi setelah itu, seperti
Danau Atas dan Danau Bawah,
Danau Singkarak, Istana Pagaruyung
di Batu Sangkar, dan Pantai Air Manis
yang memiliki Batu Malin Kundang,
semuanya indah.
Semua makanan yang kami santap
selama di Sumatera Barat, mulai
dari ikan bakar restoran Lubuk
Sikoci Sicincin, sate Mak Syukur
Padang Panjang, bika Talago, ayam
pop restoran Family Bukittinggi, Pical
Sikai, nasi kapau Uni Cah, gulai itik
lado mudo di lembah Ngarai Sianok,
es duren, dan ikan bakar Joni Kun di
Padang, semuanya juga sangat lezat.
Sumatera Barat menyimpan potensi
pariwisata yang luar biasa. Jika infrastrukturnya
diperbaiki dan sarana
pariwisatanya ditingkatkan sesuai
standard internasional, Sumatera
Barat akan bisa disandingkan dengan
Bali. Yang pasti, perjalanan kami
ke Sumatera Barat kali ini membawa
kenangan indah yang akan selalu
kami simpan dalam hati, dan tak akan
pernah kami lupakan.

0 komentar:

Post a Comment