PENGEMBANGAN PRODUK FASHION ( GARMEN) PASKA KUOTA |
PENGEMBANGAN PRODUK FASHION ( GARMEN) PASKA KUOTA
MEMASUKI ERA HIGH FASHION DAN HIGH VALUE ADDED
Setidaknya ada 9 point permasalahan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) yang mendesak
dan memerlukan penanganan sesegera mungkin. Kesembilan pokok permasalahan tersebut
meliputi :manajemen kuota TPT; bahan bakar dan minyak, perpajakan (PPh), impor ilegal,
transportasi dan infra struktur, keuangan, keamanan, otonomi daerah dan restrukturisasi
mesin. Ditambah lagi pada tahun 2005 aturan kuota tekstil dunia dihapuskan yang berarti
pasar bebas pertekstilan dunia dimulai. Hal ini perlu diantisipasi dengan baik untuk
meningkatkan kualitas dan pelayanan produk garmen Indonesia di pasar internasional agar
mampu tetap survive di pasar global. Trend produk garmen ke depan adalah pada high fashion dan high value added product. Produk fashion tidak hanya cukup dengan indah untuk
menambah fungsi penampilan (fashionable) namun juga dituntut untuk memiliki berbagai
fungsi lainnya seperti kesehatan, perlindungan, keamanan dan sebagainya. Sebagai contoh
beberapa produk garmen inovatif yang ditawarkan melalui TV media, seperti mampu
membentuk (memperbesar) bagian tubuh tertentu, memperindah bentuk tubuh dan sebagainya.
Kemajuan bidang teknologi material, permesinan, kimia, nanoteknologi dan bioteknologi
memungkinkan berbagai rekayasa pada produk fashion sehingga memiliki nilai fungsi yang
lebih dari sekedar penutup badan dan penampilan semata. Untuk itu menyongsong era high
fashion dan high value added product perlu dirancang produk garmen yang memiliki nilai
tambah di bidang desain, material, teknologi dan nilai fungsinya dengan mengaplikasikan
berbagai perkembangan teknologi di segala bidang pada produk garmen.
Dalam makalah ini akan dibahas aspek-aspek perancangan produk garmen yang
memiliki nilai tambah fungsi di berbagai bidang kehidupan dengan berbagai aplikasi
kemajuan teknologi dan kerjasama pihak-pihak terkait guna menyongsong era high fashion
dan high value added product.
Kata kunci: Fashion, tekstil, Industri garmen, value added
Awal tahun 2005 ini menjadi tahun yang sangat berat bagi industri garmen nasional. Jika
tidak ada penundaan, dari penghapusan kuota (MFA:Multi Fiber Agrement) tekstil dunia hingga
kenaikan harga BBM sebesar 40% akan semakin memukul industri garmen. Belum lagi berbagai
persoalan retrukturisasi mesin, ekonomi biaya tinggi, impor illegal dan lainnya yang tak kunjung
terselesaikan sejak dipicu oleh datangnya krisis hingga saat ini.. Seperti diketahui hasil karya
pabrikan/industri besar notabene hanya menghasilkan produk pesanan negara pemesan, di mana
segala spesifikasi produk sudah ditentukan. Jadi, memang betul bahwa industri garmen besar hanya
sebagai tukang jahit negara pemesan. Dengan perkataan lain, pengembangan aspek desain pada
produk sangat terbatas (Kusmayadi,Kompas Minggu 27 Juni 2004). Bisnis garmen dijalankan
berdasarkan order dan sub kontrak sehingga keuntungan yang diraihpun sebatas mendapatkan
ongkos jahit saja. Dengan potensi tenaga kerja yang besar di Indonesia, dengan hanya menjadi
tukang jahit, pengusaha kita mungkin merasa lebih save. Mereka tidak perlu pusing-pusing
memikirkan disain, memilih material, mengerjakan hingga pemasarannya. Dengan dihapuskannya
kuota maka sangat mungkin sektor ini tidak lagi kelimpahan order/subkontrak dari luar karena
tidak ada lagi batasan kuota sehingga produk tersebut akan diproduksi sendiri oleh pemberi order.
Suyudi dan Dona (2003) menyatakan berakhirnya aturan Multi-Fiber Agreement (MFA) pada
Desember 2004 memang seperti membuka mata kita bahwa selama ini, industri tekstil kita ternyata
berdiri di atas landasan yang rapuh, hanya mengandalkan sistem kuota yang pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan sistem kerja subkontrak dengan tiga aktornya, pemesan, penerima pesanan,
dan order. Akibatnya jelas sekali. Begitu order selesai, selesailah segalanya. MFA berakhir,
kebingungan melanda. Saat ini industri TPT masih terkendala teknologi atau peralatan yang sudah
usang sehingga menyebabkan utilisasi kapasitas produksi rendah. Ini diperparah oleh kurangnya
tenaga terampil di manufaktur maupun garmen, khususnya di bidang knitting, weaving, finishing
serta pemasaran. Industri TPT nasional dinilai masih kurang mengikuti tren desain serta minim
inovasi dan kreativitas.
Terkait dengan permasalahan tersebut Ade Sudrajat dari Assosiasi Pertekstilan Indonesia
dalam Bisnis Indonesia, 13 Mei 2003 menyatakan ada sejumlah strategi agar industri kecil pakaian
jadi kecipratan kue pasar tekstil dan produk tekstil domestik yang diperkirakan bisa mencapai Rp20
triliun per tahun, apalagi kalau ingin menikmati pasar garmen dunia yang mencapai US$199 miliar.
Pertama menciptakan pola sinergi antara unsur terkait mulai dari pemerintah, industriawan, dan
lembaga pendidikan. Kedua, kaitan yang lebih produktif antara designer, industri tekstil, produsen
serat dan benang serta dyeing perlu dioptimalkan agar upaya menciptakan fashion image di dunia
internasional dapat tercapai. Ketiga, kerja sama lebih berkualitas antara media cetak dan elektronik
dengan dunia fashion perlu segera diwujudkan dalam rangka menciptakan Indonesia fashion image
di dunia internasional. Hingga kini keterkaitan usaha dan industri hulu ke hilir juga terkotak-kotak,
mulai dari bahan baku hingga produk jadi. Industri hulu TPT belum dapat menunjang industri hilir
dalam pemenuhan bahan baku sehingga harus impor.
0 komentar:
Post a Comment