, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi



kebutuhan manusia semakin kompleks, bahkan sampai kebutuhan pendidikan dari berbagai bidang ilmu. Walaupun pendidikan merupakan setiap warga Negara tidak setiap orang mendapatkan kesempatan belajar. Adapun sistem pendidikan di Indonesia diselenggarakan pemerintah dan swasta, dan jenis pendidikan dibedakan menjadi tiga macam yaitu pendidikan formal, informal, non-formal.

Hak –hak budaya anak, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan, memperoleh informasi yang dibutuhkan, menikmati rekreasi dan turut serta dalam kegiatan kesenian. (UNICEF, 1986) dalam Konvensi Hak Anak pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa negara-negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan mendasarkan pada kesempatan yang sama. Ini berarti bahwa anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa membeda-bedakanstatus dan golongan dan begitu pula dengan pekerja anak. Pekerja anak yang terpaksa harus mendapat kesempatan yang sama seperti anak lainuntuk mendapatkan pendidikan yang murah bagi mereka. Ini merupakan konsekuensi logis ketika Indonesia bersedia meratifikasi Konvensi Hak Anak. (Saptaningtyas, Mulyadi dan Abidin, 2001). UU No 2 Tahun 1989 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan kewajiban belajarpendidikan dasar sembilan tahun. Bahkan Indonesia sering menggembar-gemborkan asas pendidikan sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua (education for all), dengan adanya asas tersebut, maka setiap anak tidak mengalami putus hubungan dengan sekolah sekalipun dia harus bekerja.Meskipun dalam kehidupan seharihari dia mengalami Drop Out dari sekolah formalnya, di harapkan mereka masih aktif di dunia pendidikan,dengan mengikuti kejar paket (baik A atau B) akan tetapi banyak pekerja anak yang tidak mampu mengaksesnya.

 Menurut penelitian Balitbang Diknas, jauh sebelum terjadinya krisis moneter putus sekolah
mempunyai keterkaitan erat dengan kemampuan ekonomi orang tua pemahaman orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak. Seorang panelis dalam diskusi terbatas WVI dan Kompas (17/7-2000) mewakili Diknas, menunjukkan masyarakat yang rendah tingkat penghasilan harus mengeluarkan biaya yang proposinya lebih besar dari warga masyarakat yang lebih tinggi penghasilannya (Sularto, 2000). Ditemukan penyebab anak putus sekolah adalah dari faktor demografi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi. Namun untuk masing-masing wilayah tersebut terdapatperbedaan mengenai faktor mana yang paling dominan. Hal ini tergantung dari kondisi wilayah dan penduduk di wilayah tersebut. Hasil penelitian tersebut bahwa di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen secara umum masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan sebagian lagi adalah faktor keluarga. (Grahacendikia, 2009) Berdasarkan Journal Internasional of drop out problem in Indonesia vol.14 Mendukung dan sebagian Economy is regarded as the highhest main cause of dropu problem, yet presumably culture factor also involved. The first is family that they do not realize the utilityof education, and the second is the accas of students to the school. Based on the both factor, it can be known that the from family factor that must have close correlation to economy factor, by unsupported economy condition lay on. While, the factor of acces to the school, mostly it makes students lazy to have study inschool. Besides, it does not give guarantee that teenagers from sufficient economy family has willingness to go to scholl, may be because they get influence from environment and individual himself or helself in which they do no want to go to school. It is also the factor of droup out. The comprehension of future orientation from droup teenagers will be understood on how they should be treated. It is not apart from their burden as drop out teenagers, life challange they face is commonly different in normative life in the society
Ekonomi disinyalir menjadi penyebab utama tingginya angka putus sekolah, namun rupanya faktor budaya juga mempunyai andil. Pertama faktor keluarga yang masih belum sadar tentang manfaat pendidikan dan faktor kedua akses pelajar ke sekolah.


 Berdasarkan dua faktor yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah tersebut dapat diketahui bahwa dari faktor keluarga terkadang terkait pula dengan faktor ekonomi, dengan adanya ekonomi yang kurang mendukung dapat menyebabkan orang tua kurang sadar akan pentingnya pendidikan yang berorientasi ke masa depan anaknya, sedangkan faktor akses pelajar ke sekolah terkadang menjadikan seorang anak malas untuk belajar ke sekolah. Selain itu, tidak menjamin pula seorang remaja dari ekonomi keluarga yang mampu untuk tetap melanjutkan sekolah, mungkin karena terpengaruh lingkungan dan individu sendiri yang tidak mau lagi melanjutkan sekolah, itu juga merupakan faktor penyebab putus sekolah. Pemahaman terdapat orientasi masa depan remaja putus sekolah akan dapat dipahami bagaimana seharusnya memperlakukan merek. Hal ini terlepas dari adanya beban berat bagi remaja putus sekolah, tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya memang berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Menurut Data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah pengangguran pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) cenderung menurun, dimana TPT Februari 2012 sebesar 6,32 persen turun dari TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen dan TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen. Pada Februari 2012, TPT untuk pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT Sekolah Menengah Atas sebesar 10,34 persen dan TPT Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 9,51 persen. Jika dibandingkan keadaan Agustus 2011, TPT pada hampir semua tingkat pendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD kebawah naik 0,13

persen poin dan TPT untuk tingkat pendidikan Diploma I/II/III naik 0,34 persen poin. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Pendidikan sangat diperlukan oleh setiap penduduk, bahkan setiap penduduk berhak untuk dapat mengenyam pendidikan, khususnya penduduk usia sekolah (7-24 tahun). Jumlah penduduk usia 7-24 tahun yang pada tahun 2011 masih bersekolah sebanyak: SD 106.801 orang, SLTP 24.609 orang, dan SLTA 18.748 orang.Keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pendidikan (guru) yang memadai.

0 komentar:

Post a Comment