, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Pengaruh Budaya Melayu Pada Budaya Masyarakat Cina di Pecinan Semarang

Pengaruh Budaya Melayu Pada Budaya Masyarakat Cina di Pecinan Semarang


Titiek Suliyati
(Center for Asian Studies-Faculty of Humanities
Diponegoro University-Semarang )


I.    Pendahuluan

Perkembangan  Semarang sebagai kota besar dan kota pelabuhan  yang cukup penting di Indonesia disebabkan oleh letak geografis  yang strategis dan unik, yang sangat mendukung terbentuknya  pelabuhan. Letak geografis yang unik ini diperlihatkan oleh bukit-bukit yang ada di salah satu wilayah kota  seperti bukit Gajah Mungkur, Candi, Mrican, Mugas, Gunung Sawo, Simongan dan lain sebagainya serta dataran-dataran rendah pada wilayah kota yang lain.
Kota Semarang sampai menjadi bentuk seperti sekarang ini bermula ketika awal tahun 1476 M ( 1398 Caka ) Pandan Arang datang dan bermukim di bukit Bergota di pulau Tirang untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Pada perkembangannya kemudian banyak pengikut Pandan Arang dan pendatang dari luar kota yang  juga bermukim di sana. Semakin lama pemukiman ini semakin  ramai dan membentuk kota , yang kemudian disebut sebagai kota Semarang (Budiman ,1978: 4).
Sebagai suatu kota besar Semarang dipimpin dan diperintah oleh seorang bupati. Bupati  pertama kota Semarang adalah Pandan Arang atau sering disebut Kyai Pandan Arang atau Ki Gede Semarang.
Perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan terkait erat dengan perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Selain itu dalam perjanjian ini juga termuat rencana pemindahan benteng VOC  dari Jepara ke Semarang. Perjanjian ini membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yaitu di daerah sekitar Semarang kemudian  banyak didirikan onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya. Pertumbuhan ekonomi ini menarik minat   pendatang dari berbagai etnis dan daerah untuk mencari penghidupan di Semarang.  Dengan demikian kita dapat  melihat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat di Semarang, baik penduduk setempat, penduduk dari luar Jawa seperti dari Bugis, Sumatra, Kalimantan dan lain sebagainya, maupun penduduk asing seperti  Cina, Arab, India, Eropa dan lain sebagainya. Penduduk Semarang dari berbagai etnis ini menetap sementara dan selamanya pada perkampungan-perkampungan berdasarkan etnis karena mereka lebih merasa nyaman dan aman tinggal dengan orang sedaerah atau sesuku.
Pemukiman penduduk berdasarkan etnis di Semarang dapat kita lihat di beberapa perkampungan seperti Kampung Melayu yang dahulu menjadi pemukiman penduduk yang berasal dari luar Jawa seperti orang Aceh, orang Banjar, orang Melayu, orang Bugis dan orang asing seperti Cina, Arab dan India. Kampung Melayu yang terletak di kelurahan Banjarsari Kecamatan Semarang Barat menjadi pilihan sebagai tempat bermukim karena letaknya yang strategis, yaitu terletak di tepi kali  Semarang yang dapat dilayari oleh perahu-perahu pengangkut barang dari pelabuhan Semarang. Ciri yang masih tertinggal dari pemukiman ini adalah bentuk rumah yang kokoh, tinggi , dikelilingi tembok yang tebal seperti benteng. Beberapa di antaranya berupa rumah panggung. Selain ciri-ciri fisik seperti tersebut di atas ciri yang lain yaitu berupa nama-nama jalan atau kampung memperlihatkan latar belakang pembentukan jalan  atau  kampung tersebut.  Sebagai contoh : Kampung Lawang Gajah untuk menyebut daerah yang dahulu menjadi kandang gajah sebagai hewan untuk pengangkutan. Kampung Banjar untuk menyebut daerah yang dihuni oleh penduduk yang berasal dari Banjarmasin. Kampung Pekojan sebagai pemukiman orang Koja, yaitu orang yang berasal dari  wilayah India atau Gujarat.
Pemukiman penduduk etnis Cina semula terletak di daerah Simongan, yaitu sekitar kelenteng Sam Po Kong. Pemukiman etnis Cina ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dipindahkan ke daerah sekitar kali Semarang di pusat kota yaitu kawasan Pecinan yang kita kenal sekarang ini.  Pemindahan pemukiman ini karena pernah terjadi pemberontakan yang diprakarsai oleh komunitas Cina untuk melawan VOC, sehingga untuk memudahkan pengawasan terhadap komunitas Cina ini VOC menetapkan lokasi pemukiman masyarakat  Cina di Pecinan. Sebagai kawasan yang dihuni oleh kelompok etnis asing yang cukup dominan jumlahnya, kawasan Pecinan berkembang menjadi kawasan yang multi fungsi, yaitu sebagai kawasan ekonomi atau bisnis, kawasan hunian (sosial) dan kawasan budaya. Sebagai kawasan bisnis ciri yang diperlihatkan adalah aspek fisik bangunan yang menunjang kegiatan bisnis yaitu berupa ruko (rumah toko), warung, gudang dan lain sebagainya, sedangkan aspek  yang lain adalah aktivitas bisnis yang berupa transaksi melalui jaringan yang tidak dibatasi oleh etnisitas. Pecinan sebagai kawasan budaya memperlihatkan ciri yang khas yaitu berupa bangunan kelenteng dan kegiatan keagamaan serta tradisi yang sudah berlangsung sangat lama.
Pemukiman orang-orang Eropa semula terletak Kota Lama kemudian berkembang sampai ke Jl. Bojong (sekarang Jl.Pemuda). Untuk menjaga keamanan orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa, pemerintah Belanda membangun benteng  de Vijhoeken ( 5  pojok). Ciri yng diperlihatkan oleh daerah bekas hunian komunitas Eropa adalah pada bentuk fisik bangunan yang kokoh, luas dan besar dengan arsitektur Eropa .
Kehidupan yang harmonis antaretnis yang menjadi penghuni Semarang merupakan suatu aset yang tak ternilai. Keharmonisan ini telah membentuk budaya yang sangat unik dan beraneka ragam, yang memberi sumbangan pada kebudayaan nasional kita.

II.    Masyarakat Cina  di Pecinan Semarang
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  pada umumnya berasal dari   provinsi  Fukien  dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai  suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka  mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda yang nantinya  dikembangkan di tempat baru (Indonesia). Orang Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya  sebagai imigran . Mereka mempunyai budaya dan tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu  yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di bagian timur provinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang  Hakka/Khek  berasal dari daerah yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena kesulitan hidup dan di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  mereka merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat (Koentjaraningrat, 2002: 354).  Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain di Jawa.  Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup, sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya (Tan, 1981:  8-9).
Selain suku-suku tersebut di atas, ada beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu, Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan,  Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia (Gondomono, 1996: 17).  Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya kecil, tetapi menyebar  hampir di  setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor, Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah (Hidayat, 1993: 58).
Khusus penghuni kawasan Pecinan  Semarang adalah orang-orang Cina yang berasal dari suku Hokkian, Hokcia, Hinghwa, Hakka atau Khek, Hainan dan lain sebagainya.  Orang Hokkian dan Hokcia pada umumnya  melakukan  aktivitas ekonomi di bidang tekstil.  Orang Hinghwa membuka usaha /toko sepeda dan pembuatan becak. Orang Hakka/ Khek membuka warung/toko kelontong , membuka warung/toko beras dan bahan-bahan pokok kebutuhan sehari-hari, membuka pabrik tahu dan pembuatan kecap serta membuka rumah makan/restoran. Orang Hainan membuka usaha rumah makan/restoran. Selain bidang-bidang usaha seperti tersebut di atas, ada beberapa bidang usaha  yang dilakukan oleh orang Cina dari berbagai macam suku, yaitu seperti toko emas, pengobatan yang dilakukan oleh Sinshe.
Pada awal kedatangannya ke Indonesia orang-orang Cina ini hanya terdiri dari kaum laki-laki saja,  tidak disertai oleh para perempuan. Perjalanan melalui laut yang penuh hambatan dan dalam waktu yang panjang menjadi penyebab para perempuan Cina tidak ikut serta dalam pelayaran-pelayaran pertama ini. Selain itu tradisi dan adat di Cina tidak membenarka para perempuan melakukan perjalanan jauh. Setelah menetap cukup lama di tempat baru  (Indonesia) orang-orang Cina banyak yang melakukan perkawinan dengan  perempuan pribumi.  Dari perkawinan ini lahir orang-orang yang kemudian disebut dengan Cina Peranakan. Sementara itu ada sebagian orang Cina yang  melakukan perjalanan pulang-pergi  ke negeri asalnya dan membentuk keluarga di Cina. Pada sekitar akhir abad 19 yaitu ketika teknologi pelayaran mulai berkembang, imigran Cina tidak hanya para laki-laki saja, tetapi juga disertai para perempuan (istri dan anak-anak perempuannya). Kedatangan para perempuan Cina ke Indonesia ini menyebabkan terjadinya perkawinan antara para sesama imigran Cina tersebut, yang kemudian melahirkan golongan Cina Totok.
Walaupan orang-orang Cina di Semarang terdiri dari berbagai suku, masyarakat Indonesia hanya membedakan orang-orang Cina berdasarkan keaslian etnisitasnya sebagai Cina Totok dan Cina Peranakan. Dalam pandangan masyarakat Indonesia Cina Totok adalah orang-orang Cina yang dilahirkan oleh ayah dan ibu yang berasal dari Cina, dilahirkan di Cina dan melaksanakan tradisi atau kebiasaan-kebiasaan  sesuai dengan tradidi dan kebiasaan dari negeri asalnya.  Cina Peranakan adalah orang Cina yang dilahirkan dari perkawinan orang Cina dan perempuan setempat (pribumi) dan mereka sudah tidak terlalu ketat melaksanakan adat dan tradisi dari negara asalnya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyesuaikan diri dengan adat, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Budaya dan tradisi Cina di kawasan Pecinan  walaupun sudah mengalami perubahan tetapi masih terpelihara dengan baik. Hal ini merupakan bentuk ethnosentrisme dari masyarakat Cina yaitu perasaan yang menganggap kebudayaan dan tradisi dari negeri leluhur mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan lain. Ethnosentrisme masyarakat Cina didasari oleh ajaran Confusius yang berasaskan familinisme, yaitu anggapan bahwa semua orang Cina adalah satu keluarga besar  yang berpusat di negeri Cina. Ajaran ini bertujuan untuk menyatukan orang Cina di seluruh dunia dan agar mereka selalu ingat dan berbakti kepada  leluhur dan negara asalnya (Hidayat, 1993: 34).
Ethnosentrisme di lingkungan masyarakat Cina  semakin tebal  ketika pada masa penjajahan Belanda telah dibuat suatu kebijakan yang membagi masyarakat dalam tiga golongan, yaitu golongan penduduk  Eropa  (semua orang yang berasal dari negara-negara di Eropa), golongan Timur Asing (etnis Arab, Cina, India) dan golongan pribumi (semua suku bangsa yang terdapat di Indonesia). Pembagian masyarakat menurut suku bangsa ini menimbulkan dampak munculnya sikap ekslusif dan tertutup serta sikap superior orang-orag Cina terhadap pribumi, sehingga hubungan sosial dan  asimilasi budaya dengan masyarakat Indonesia yang tercipta sebelum kedatangan bangsa Belanda menjadi renggang. Sikap ekslusif dan tertutup masyarakat Cina menyebabkan mereka terisolir dan merasa tidak aman sehingga mereka selalu  berupaya untuk mempertegas identitas ke-Cina-annya dan semakin mempererat hubungan dengan sesama golongan Cina (Joe dalam Prisma X, 1981: 89-91). Ethnosentrisme yang hidup dalam lingkungan masyarakat Cina merupakan suatu keuntungan untuk menjaga kestabilan dan kelangsungan kebudayaan dan tradisinya.
Untuk mengurangi arogansi masyarakat Cina terhadap pribumi dan untuk mengikis ketidakloyalan masyarakat Cina terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun melakukan pembatasan terhadap aktivitas budaya dan tradisi  Cina melalui Instruksi Presiden Nomor 14/ 1967 Tentang agama, kepercayaa dan adat istiadat Cina. Instruksi Presiden ini dihapus pada tanggal 17 Januari 2000.
Sejak dicabutnya Instruksi Presiden No. 14/ 1967 yang membatasi aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Cina, maka masyarakat Cina  di Kawasan Pecinan dewasa ini sudah lebih leluasa  melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya mereka.
Sebagai akibat dari pergaulan dan interaksi sosial yang cukup lama antara masyarakat Cina dengan kelompok etnis lain, baik pribumi maupun etnis  dari luar Indonesia, dewasa ini masyarakat Cina di kawasan Pecinan sudah banyak yang menjadi pemeluk agama-agama yang diakui negara seperti Budha, Islam, Kristen /Protestan dan Katolik. Orang-orang Cina di kawasan Pecinan Semarang  seperti orang-orang Cina  yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia, pada umumnya melaksanakan ritual-ritual yang berkaitan dengan pemujaan Budha, Tao dan Confusius. Dalam perkumpulan Tri Dharma atau Tiga Agama yang disebut Sam Kauw Hwee orang-orang Cina memuja sekaligus tiga agama ini. Sebenarnya Confusianisme dan Taoisme merupakan ajaran-ajaran falsafah agar manusia hidup secara baik dan harmonis, tetapi oleh orang-orang Cina di Indonesia ajaran-ajaaran falsafah ini sudah dianggap sebagai agama. (Hartono, 1974: 66).
Inti dari Taoisme adalah keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam,  manusia dengan Dewa-dewi, anak dengan orang tua,  sesama saudara , suami dengan istri, pemimpin dengan rakyat, sesama teman dan sesama anggota masyarakat lainnya.  Hubungan yang harmonis ini harus dilandasi oleh rasa cinta dan kasih, keadilan dan kebijaksanaan, kesusilaan dan sopan santun, kecerdasan dan kewaspadaan, kejujuran dan keiklasan (Hidayat, 1993: 17).Oleh karena itu penghormatan dan pemujaan kepada Tuhan, Dewa-dewi dan leluhur selalu dilakukan melalui upacara-upacara yang dilakukan di  kelenteng maupun di rumah..
Falsafah Cofucianisme lebih menekankan pada etika kehidupan yang bersifat duniawi. Hal ini dapat kita simak pada ucapan Confucius yaitu bahwa bagaimana manusia dapat mengetahui  hal-hal yang berhubungan dengan kematian,  jika hal-hal yang  berhubungan dengan kehidupan belum mereka ketahui (Koentjaraningrat, 2002: 367). Ajaran  Confucianisme merupakan cara pembelajaran menjadi manusia melalui interaksi dengan sesama manusia secara terus menerus.  Pembelajaran menjadi manusia ini mengandung empat dimensi pemahaman  yaitu pertama, berkaitan dengan cara menyatukan dan menyelaraskan antara hati dan pikiran dengan tubuh dan jiwa. Kedua, cara menjalin hubungan yang bermanfaat dengan komunitas manusia secara luas, baik dengan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas global. Ketiga, cara menjalin hubungan yang  harmonis, bermanfaat dan berkelanjutan dengan alam. Keempat, cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan pikiran dengan Tuhan penguasa semesta (Tu  Wei - Ming , 2005: 14)
 Intisari dari Confucianisme terletak pada masalah keluarga dan ketatanegaraan. Keharmonisan keluarga dikaitkan dengan bentuk kebaktian kepada orang tua, yang kemudian konsepsi ini diformulasikan dalam bentuk pemujaan leluhur. Bentuk bakti kepada orang tua dan  leluhur dilakukan dengan merawat abu leluhur di dalam rumah dan melakukan sembahyang untuk pemujaan leluhur yang dipimpin oleh kepala keluarga (Lasiyo. et.al, 1995: 9).
Pemujaan / penghormataan kepada leluhur yang dilakukan oleh masyarakat Cina di kawasan Pecinan Semarang ditandai oleh disediakannya altar/meja pemujaan berwarna merah ( lak ) yang diletakkan di  ruang depan rumah orang Cina.  Di atas meja tersebut ditempatkan hiolo (tempat menancapkan hio atau batang  dupa) dari timah, berkaki empat dan mempunyai pegangan di kiri-kanannya. Pada bagian depan hiolo diukir dengan tulisan hi yang artinya bahagia. Pada kiri dan kanan hiolo diletakkan pelita atau lilin warna merah, yang  saat ini sudah banyak diganti dengan lampu listrik warna merah. Pemujaan kepada leluhur ini dilaksanakan setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Cina. Selain itu juga dilaksanakan pada tahun baru Imlek, perayaan Ceng Beng (upacara membersihkan kubur leluhur), perayaan Peh Cun (perayaan memperingati tokoh/pahlawan Kut Goan dari kerajaan Chou), Cit Gwee (sembahyang untuk para arwah leluhur), upacara Cioko ( sembahyangan yang dilakukan pada tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek, untuk arwah-arwah leluhur yang tidak disembahyangkan oleh sanak keluarganya yang masih hidup di dunia) dan lain sebagainya
Pemujaan kepada leluhur ini masih berlangsung karena orang Cina percaya bahwa kematian tidak memisahkan hubungan batin antara anak dan orang tua/leluhurnya. Selain itu bila hubungan batin antara leluhur dan keturunannya terus dijaga, maka diharapkan arwah leluhur dapat melindungi dan memberikan berkah serta kesejahteraan kepadan keturunannya.
Upacara  pemujaan/penghormatan kepada leluhur ini dilakukan oleh seluruh keluarga, sehingga acara ini juga merupakan reuni keluarga besar. Dalam lingkungan keluarga Cina, terutama Cina totok yang berkewajiban untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur dan merawat meja abu adalah anak laki-laki tertua. Anak perempuan yang sudah menikah tidak berkewajiban membuat altar pemujaan untuk leluhur, karena dia berkewajiban untuk memelihara altar atau meja abu leluhur suaminya.
Selain melakukan sembahyangan untuk penghormatan kepada leluhur masyarakat Cina mempunyai tradisi untuk merayakan tahun baru Imlek. Di negara Cina tahun baru Imlek merupakan pesta musim semi untuk merayakan alam yang hidup kembali setelah mengalami kematian selama musim dingin. Di kawasan Pecinan Semarang tahun  baru Imlek selain dirayakan di rumah juga dirayakan di kelenteng dengan melakukan sembahyangan. Pada hari itu disajikan  hidangan khas yaitu kue keranjang dan ikan bandeng  serta berbagai hidangan lain dan buah-buahan. Beberapa hari sebelum Imlek masyarakat telah mempersiapkan perayaan tersebut dengan membersihkan dan menghias rumah dan kelenteng serta menyiapkan atraksi-atraksi dan pertunjukan yang akan digelar. Sebenarnya masih banyak perayaan, upacara-upacara dan tradisi-tradisi yang hidup di lingkungan masyarakat Cina di kawasan Pecinan Semarang yang berkaitan dengan dewa-dewi, tokoh-tokoh yang dihormati,  yang dianggap dapat memberikan berkah, perlindungan, keselamatan dalam kehidupannya, tetapi dalam tulisan ini  hanya kami sebutkan yang paling penting dan selalu dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Cina. Selain upacara tradisi, masyarakat Cina juga masih menerapkan konsep-konsep feng shui untuk kesejahteraan dan kemakmuran, walaupun penerapannya sudah mengalami perubahan serta tidak menggunakan perhitungan yang terlalu rumit.
Interaksi sosial dengan masyarakat dari berbagai etnis yang ada di Indonesia yang telah berlangsung lama menyebabkan pengaruh budaya dari etnis lain masuk ke dalam budaya Cina. Pengaruh budaya Melayu dan budaya Jawa tampak pada budaya  Cina yang bersifat material (fisik)  dan non material. Berkaitan dengan kegiatan religi, tradisi dan kepercayaan masyrakat Cina tidak mengalami pengaruh yang signifikan dari kepercayaan lain karena masyarakat Cina masih sangat kuat menjalankan aktivitas  kepercayaan Tao dan Confusius.                                                                                                      
Seperti halnya yang terjadi di kota-kota besar  Indonesia pada umumnya, di Semarang orang-orang Cina melakukan kegiatan perdagangan yang sangat maju. Kawasan Pecinan sebagai salah satu kawasan perdagangan/bisnis yang dilakukan oleh orang-orang Cina dapat dikatakan menyediakan semua kebutuhan masyarakat mulai kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Bentuk bangunan ruko di kawasan Pecinan menunjukkan bahwa orang-orang Cina dalam kehidupannya tidak dapat lepas dari aktivitas perdagangan/bisnis. Mereka memanfaatkan ruang yang ada selain untuk tempat tinggal juga untuk aktivitas bisnis.
Bentuk usaha atau pola bisnis yang dilakukan  masyarakat Cina di Pecinan Semarang tidak mengalami banyak perubahan, yaitu masih didominasi oleh pola kekerabatan atau kekeluargaan. Besar-kecilnya usaha juga menentukan anggota keluarga yang terlibat di dalamnya. Bila usaha yang dijalankan berskala kecil, maka seluruh anggota keluarga dapat terlibat dalam usaha tersebut. Untuk mengelola usaha yang skalanya agak besar mereka baru mempekerjakan tenaga buruh dari luar.  Pengelolaan usaha yang berdasarkan kekerabatan ini ada kaitannya dengan bentuk ruko, yaitu usaha yang dilakukan di rumah pengelolaan dan pengawasannya  menjadi tanggung jawab seluruh  anggota keluarga.
Keberhasilan di bidang ekonomi dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain etos kerja yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakar Cina, kebijakan pemerintah Belanda pada jaman penjajahan, kebijakan pemerintah Indonesia pada jaman setelah kemerdekaan dan kondisi lingkungan setempat  (Naveront, 1997: 63)
Etos kerja yang hidup dalam lingkungan masyarakat Cina dipengaruhi oleh kepercayaan Confucius. Ajaran Confucius menyebutkan bahwa realitas kehidupan di dunia harus benar-benar dilaksanakan dan diamalkan sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis, adil, yang akan membawa masyarakat pada kehidupan yang ideal. Ajaran Confucius menekankan penghormatan kepada keluarga, terutama kepada orang tua dan nenek moyang (Fung, 1980: 13). Bila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang harmonis, maka dapat diharapkan kehidupan masyarakat luas juga akan tenteram dan damai. Bakti dan penghormatan kepada orang tua dan keluarga dihubungkan dengan upaya untuk mensejahterakan seluruh keluarga, yang harus dilakukan melalui kerja keras. Bakti dan penghormaran anak kepada orang tua salah satunya  diwujudkan dengan prestasi kerja/karya yang baik (Dawson, 1992: 132).
Kerja keras bagi masyarakat Cina identik dengan upaya untuk membahagiakan orang tua dan leluhur, yang balasannya adalah pahala dan kesejahteran abadi di akherat kelak. Selain itu ajaran Confucius juga mengajarkan kesederhanaan, sikap hemat, disiplin, tekun dan teliti, yang kesemuanya sangat menunjang keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Indonesia.

III.    Masyarakat Melayu di Semarang

Sebelum membahas tentang masyarakat masyarakat Melayu di Semarang, ada baiknya dibahas tentang siapakah masyarakat Melayu itu. Dalam pandangan bangsa Belanda dan Inggris, suku Melayu adalah suku yang mendiami hampir seluruh wilayah Indonesia dan wilayah Semenenjung Malaya. Pandangan tersebut didasari oleh persamaan warna kulit, bentuk tubuh dan penggunaan bahasa yang hampir sama.
Suku Melayu terdapat di beberapa negara Asia, seperti di Indonesia yaitu di  Aceh Timur, pesisir timur Sumatera Utara, Riau, Jambi, pesisir Palembang Kalimantan Barat, Thailand bagian Selatan, Malaysia bagian Barat dan Timur, Singapura, Brunei Darussalam.
Suku-suku Melayu yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, diperkirakan sekitar abad ke 17 mulai datang ke Semarang untuk melakukan kegiatan perdagangan. Di Semarang para pendatang suku Melayu ini membentuk perkampungan yang disebut Kampung Melayu. Di Kampung Melayu ini mereka hidup damai berdampingan dengan suku-suku lain, baik suku-suku asli Indonesia seperti suku Banjar, Cirebon, Aceh dan susu-suku dari luar Indonesai seperti Arab, Cina dan Koja. Keragaman etnisitas di Kampung Melayu ini ditunjukkan oleh penamaan kampung-kampung di sana, yaitu antara lain Kampung Banjar, Kampung Cerebonan, Kampung Pencikan, Kampung Peranakan.
Budaya Melayu secara umum dapat dikatakan  banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, karena mayoritas masyarakat Melayu adalah pemeluk Islam. Budaya yang berkaitan dengan sistim kemasyarakatan, sistim sosial, sistim kekerabatan, aktivitas keseharian dalam pergaulan sosial, aktivitas ekonomi, dan lain sebagainya berlandaskan pada hukum dan aturan-aturan agama Islam. Nilai-nilai keislaman yang demikian kental mewarnai seluruh aktivitas masyarakat, menyebabkan masyarakat memandang masyarakat Melayu identik dengan Islam. Nilai-nilai keislaman yang kental dalam budaya Melayu memudahkan mereka berinteraksi dengan masyarakat Jawa, Banjar, Aceh, Bugis dan lain sebagainya, yang juga merupakan masyarakat pemeluk Islam. Pada perkembangannya kemudian kita tidak dapat lagi membedakan antara masyarakat Melayu dengan masyarakat Jawa, Banjar, Cirebon dan lain sebagainya. Walaupun demikian, ada hal-hal yang menjadi ciri spesifik budaya masyarakat Melayu yaitu salah satunya adalah bangunan rumah panggung yang banyak terdapat di Kampung Melayu. Rumah panggung ini selain merupakan ciri dari suku Melayu, juga merupakan ciri rumah suku Banjar.
Secara umum orang karakteristik orang Melayu dapat digambarkan sebagai berikut :
-    Dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat yang berlainan etnis cenderung melakukan interaksi secara damai dan berusaha menghindari konflik.
-    Karena budi dan bahasa orang Melayu yang halus, maka dalam menyampaikan hal-hal yang dikhawatirkan bisa menciptakan kesalahpahaman dan salah pengertian, orang Melayu dalam mengemukakan pendapat atau masalah sering menggunakan pantun, syair atau perumpamaan.
-    Orang Melayu tidak mau menonjolkan diri, terutama untuk masalah kekayaan dan penghasilan.
-    Orang Melayu secara umum merupakan orang yang sangat peka dan halus perasaannya (sentimentil). Hal ini tercermin dari lagu-lagu khas Melayu yang mengharu-biru perasaan
-    Orang Melayu secara umum adalah orang sangat introvert (tertutup) sehingga dalam pergaulan dengan masyarakat dari etnis lain cenderung memerlukan proses yang lama.
-    Secara keseluruhan sikap orang Melayu sangat toleran dan berusaha menjalin interaksi yang damai dengan kelompok masyarakat lain.
-    Walaupun sikap orang melayu toleran dan cinta damai, tetapi bila harga dirinya direndahkan, mereka dapat berontak dan sering mengakibatkan amuk massa (Koentjaraningrat, 2007 : 441).
Interaksi sosial yang telah berjalan sangat lama antara penduduk suku  Melayu, Cina, Arab dan suku-suku lain yang ada di Indonesia, telah menyebabkan terjadinya akulturasi budaya dari masing-masing suku bangsa ini. Pada tulisan ini penulis hanya menyoroti pengaruh budaya Melayu pada budaya Cina. Alasan penulis memfokuskan tulisan ini pada pengaruh budaya Melayu terhadap budaya Cina adalah bahwa telah banyak tulisan atau kajian yang mengupas tentang pengaruh budaya Cina pada budaya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia (termasuk suku Melayu), tetapi sangat sedikit kajian tentang pegaruh budaya Melayu pada budaya Cina.

IV.    Pengaruh Budaya Melayu pada budaya Cina 

Budaya non material :

-  Bahasa Melayu-Cina

Budaya masyarakat terkait dengan hal-hal yang bersifat  lahiriah , batiniah dan hal-hal yang terkait dengan  ide, termasuk ilmu pengetahuan. Masyarakat Cina yang berdiam di Semarang sejak awal telah membawa budaya dan tradisi dari tanah leluhur dan terus melaksanakan kebiasaan, tradisi dan budaya tersebut sampai saat ini.
    Secara umum masyarakat di belahan dunia manapun memiliki unsur-unsur budaya yang bersifat universal, yaitu bahasa, sistim pengetahuan, organisasi sosial, sistim peralatan hidup, sistim mata pencaharian, sistim religi dan kesenian. Dalam proses akulturasi budaya ini terjadi perubahan-perubahan pada masing-masing unsur budaya ini. Perubahan ini tergantung pada intensitas interaksi sosial yang terjadi pada kedua budaya ini dan sikap penerimaan dari masyarakat pendukung kedua budaya tersebut.
    Dalam interaksi sosial antara masyarakat Cina dan Melayu, baik interaksi dalam perkawinan maupun interaksi dalam bidang-bidang yang lain, bahasa merupakan alat komunikasi yang penting. Ketika orang-orang Cina datang ke Indonesia mereka belum mahir berbahasa setempat yaitu bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini merupakan akar dari bahasa bahasa Indonesia yang berkembang kemudian. Karena bahasa merupakan alat komunikasi yang penting dalam aktivitas keseharian masyarakat, maka orang-orang Cina ini belajar bahasa Melayu secara cepat.
    Bahasa Melayu yang digunakan oleh orang-orang Cina di Semarang cenderung tidak menggunakan kaidah bahasa Melayu standar (Bahasa Melayu Riau). Sementara ahli bahasa menganggap bahasa Melayu yang digunakan oleh orang-orang Cina Peranakan  adalah bahasa Melayu Rendah. Bahasa Melayu Rendah adalah bahasa  Melayu yang sederhana, mudah dimengerti dan banyak digunakan oleh orang-orang Cina Peranakan.  Meluasnya penggunaan bahasa Melayu Rendah atau banyak juga yang menyebut sebagai bahasa ”Melayu Pasar” di kalangan masyarakat Cina Peranakan menyebabkan munculnya karya-karya sastra yang yang berupa novel, prosa, drama, syair, karya terjemahan dan lain sebagainya.  Beberapa orang Cina Peranakan yang sangat memperhatikam perkembangan bahasa, menyebutkan bahwa bahasa melayu yang digunakan oleh orang-orang Cina disebut ”Chineesch Maleisch” yang mempunyai ciri ejaan, gaya bahasa dan mengugunakan kata-kata pinjaman dari bahasa Cina ( Salmon, 1985 : 215). 
    Masyarakat Cina Peranakan dalam mengembangkan karya sastra juga mengikuti tradisi Melayu dalam berpantun dan membuat syair. Syair dan pantun digunakan untuk menyampaikan secara tersamar dan halus hal-hal yang tidak berkenan atau untuk menyampaikan sindiran secara halus. Perkembangan bahasa Melayu Cina berperan pada perkembangan pers dan persuratkabaran di Indonesia  pada sekitar tahun 1890 sampai tahun 1920. Perkembangan pers dan surat kabar membantu masyarakat luas memperoleh informasi  tentang sejarah, ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

-    Pemujaan Leluhur
Salah seorang tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Cina adalah Cheng Ho yang telah merintis pelayaran ke Indonesia. Diyakini oleh masyarakat, bahwa Cheng Ho adalah muslim. Karena jasanya yang sangat besar bagi masyarakat Cina di Indosia umumnya, dan Semarang khususnya, Cheng Ho dipuja hampir di setiap kelenteng di Semarang. Keunikan masyarakat Cina di Semarang adalah bahwa pemujaan kepada tokoh atau leluhur dilakukan tanpa melihat dasar kepercayaan/agamanya.
    Pemujaan kepada Cheng Ho ini unik karena masyarakat Cina tidak memberi sesaji bahan makanan yang diharamkam agama Islam seperti daging babi, makanan yang berbahan darah hewan, swieke (daging katak) dan sebagainya, karena masyarakat Cina menghormati Cheng Ho sebagai muslim.

-    Adat Perkawinan
Adat perkawinan masyarakat Cina di Semarang masih mengikuti adat dari tanah leluhur dengan adat istiadat yang rumit. Dalam melaksanakan perkawinan ini masyarakat Cina berharap kedua mempelai dan keluarganya mendapatkan berkah dan kebahagiaan serta dijauhkan dari malapetaka. Harapan-harapan yang baik ini ditampilkan dalam bentuk makanan-makanan manis dan simbol-simbol lain.
    Salah satu pengaruh budaya Melayu dalam tradisi perkawinan masyarakat Cina di Semarang adalah taburan beras kuning  yang dilakukan ketika pengantin pria memasuki rumah pengantin perempuan. Makna dari taburan beras yang sudah diwarnai kunyit ini adalah untuk menolak bala. Demikian juga dengan acara ”sekapur sirih” yang tujuannya juga untuk menolak bala.


Kesenian :
- Wayang Potehi
Kesenian Cina yang  mendapat pengaruh budaya Melayu adalah Wayang Potehi, yaitu sejenis wayang dari kayu yang dimainkan di panggung kecil. Wayang Potehi ini awalnya menceriterakan tentang cerita-cerita klasik Cina. Pada perkembangannya kemudian cerita-cerita ini ditambah dengan cerita rekaan yang mengambil latar belakang budaya setempat. Kata potehi berasal dari kata  poo yang artinya kain, tay yang artinya kantung dan hay yang artinya wayang. Jadi pengertian Wayang Potehi adalah wayang yang dibuat dari kantung kain.
Wayang ini tercipta pada sekitar abad III yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Jin. Wayang ini tercipta secara tidak sengaja, yaitu ketika ada 3 orang narapidana yang akan dihukum mati, mereka menghibur diri dan mengisi waktu luang dengan memainkan boneka kayu yang diiringi bunyi-bunyian dari barang-barang yang tidak terpakai di penjara. Permainan mereka ini menarik perhatian raja sehingga mereka akhirnya dibebaskan.
    Unsur budaya Melayu pada Wayang Potehi adalah pada pengembangan ceritanya yang mengambil cerita-cerita rekaan dari lingkungan masyarakat Melayu seperti Hang Tuah, Gadis Pingitan, Pendekar Tanah Seberang dan sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam pementasan Wayang Potehi awalnya adalah bahasa Hokkian, tetapi pada perkembangan selanjutnya menggunakan bahasa Melayu-Cina.
    Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pementasan Wayang Potehi antara lain siter, rebab, gong dan sebagainya. Saat ini Wayang Potehi sudah sangat jarang ditampilkan. Hanya pada perayaan-perayaan  dan hari-hari besar saja Wayang ini di tampilkan untuk masyarakat luas.

- Gambang Semarang
Salah satu kesenian tradisional khas kota Semarang adalah Gambang Semarang. Gambang Semarang merupakan seni pertunjukan yan terdiri dari seni musik, seni suara,  seni tari dan lawak. Gambang Semarang  menrupakan pengembangan musik Gambang Kromong dari Jakarta. Perbedaan antara Gambang kromong dan Gambang Semarang adalah pada irama musik Gambang Semarang yang lebih dinamis dalam mengiringi tarian. Ciri khas gerak tari Gambang Semarang adalah pada goyang pinggung, yang masing-masing gerakannya disebut ngondhek, ngeyek dan genjot.
    Irama musik yang mengiringi bernada riang, jenaka dan penuh humor. Nyanyian yang sangat terkenal untuk mengiringi tarian Gambang Samarang adalah lahgu Gambang Semarang.
Penari laki-laki mengenakan busana berupa baju Koko khas model Cina, celana hitam, memakai peci  dan sarung untuk pemanis. Selain itu penari laki-laki juga sering menggunakan busana berupa baju model surjan yang berkrah shanghai dengan bawahan batik dari daerah pantai utara Jawa. Penari perempuan biasanya memakai kebaya encim dan kain batik pesisiran sebagai bawahannya.
Unsur budaya Melayu pada Gambang Semarang adalah pada pakaian penari laki-laki yaitu peci dan sarung serta pada kebaya encim yang dipakai oleh penari perempuan .

Budaya Material :
Kebaya ”Encim”
Kehidupan bersama antara masyarakat Melayu dan masayarakat Cina telah melahirkan percampuran budaya di antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Di lingkungan masyarakat Cina peranakan gaya pakaian perempuan Cina mengikuti model pakaian perempuan Melayu yaitu Sarung dan Kebaya. Kebaya berasal dari  ”habaya”  yaitu pakaian perempuan Melayu muslim. Habaya masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar abad ke 18. Di Jawa habaya dikenal sebagai kebaya yang dipakai untuk menutupi kemben yaitu pakaian perempuan jawa. Kebaya yang dipakai oleh perempuan Cina di sebut ”Kebaya Encim” yang merupakan modifikasi kebaya Melayu yang diberi renda dan bordir di bagian bawah kebaya. Kebaya ini dikenakan dengan sarung. Sarung adalah pakaian bagian bawah, yang dapat dikenakan laki-laki atau perempuan. Kata ”sarung” mengacu pada kata ”sari” ( dari bahasa India). Motif sarung dahulu berupa garis simetris atau kotak-kotak seperti sarung songket dan kemudian berkembang motifnya dengan motif batik.
Kebaya dan sarung batik ini dikenakan perempuan Cina peranakan dalam kegiatan sehari-hari maupun acara-acara resmi. Bahkan pada masa-masa berikutnya kebaya ”encim” ini juga banyak dikenakan oleh para perempuan indo Belanda.
Masakan
    Makanan dan masakan Cina sudah banyak yang disesuaikan dengan masakan setempat termasuk mengadaptasi masakan Melayu. Masakan asli Cina yang cenderung tidak memakai bahan santan, ada beberapa yang memakai bahan santan. Salah satu masakan yang menjadi menu favorit dalam perayaan Cap Go Meh yaitu lontong Cap Go Meh. Lontong Cap Go Meh adalah makanan yang terdiri dari lontong di capur dengan sayur lodeh (masakan Jawa), opor ayam (masakan Melayu-Jawa), sambal goreng daging/ayam (masakan Malayu-Jawa), diberi taburan bubuk kedelai dan bubuk poyah (kelapa yang disangan dan ditumbuk) serta diberi docang (semacam urap mentah yang terdiri dari kacang panjang yang diiris halus dan dicapur dengan kelapa muda berbumbu).
    Jenis makanan yang berupa kue-kue untuk sesaji leluhur juga banyak dipengaruhi oleh jenis kue-kue Melayu seperti wajik, bingka, kue talam, kue koci, kue lumpur dan lain sebagainya.

V.    Kesimpulan

Akulturasi budaya yang terjadi dalam masyarakat Melayu dan  Cina yang telah lama hidup berdampingan, sesungguhnya memberikan gambaran bahwa akulturasi merupak an proses yang alami dan wajar. Perubahan pada masing-masing budaya merupakan suatu tanda penghargaan dan torenransi yang terbina indah.
    Perubahan-perubahan dalam kebudayaan masyarakat  merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari. Yang menjadi masalah adalah bahwa bila budaya-budaya asli masyarakat Melayu maupun masyarakat Cina tidak terlacak jejaknya sehingga masing-masing kelompok masyarakat ini seakan telah tercerabut akar budayanya.
     Perbedaan budaya hendaknya dimaknai sebagai keanekaragaman dan kekayaan dari budaya Indonesia secara keseluruhan, bukan sebagai sumber konflik atau faktor pemisah antara masyarakat Cina dengan masyarakat Indonesia, sebab bagaimanapun masyarakat Cina adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai peran di bidang sosial budaya, ekonomi dan politik.



VI. Daftar Pustaka

Budiman,Amen.  1978. Semarang  Riwajatmoe Doeloe. Semarang : Penerbit Tanjung Sari.
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Fung Yu Lan. 1980. Sejarah Pendek Filsafat Tiongkok. Yogyakarta : Taman Siswa
Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta  (Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Hartono, Chris. 1974. Ke-Tionghoaan dan Kekristenan. Jakarta : Penerbit BPK Gunung Mulia
Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung : Penerbit Tarsito
Koentjaraningrat. 1977. Lahirnya Konsesi Asimilasi. Jakarta : Penerbit Yayasan Tunas Bangsa
Lasiyo( dkk). 1995. Konfusianisme Di Indonesia. Pergulatan Mencari Jati Diri.  Yogyakarta : Penerbit INTERFIDEI

Naveront, Jhon K.1997. Jaringan Masyarakat Cina. Jakarta : PT Golden terayon Press.
Prisma. X. 1981
Salmon, Claudine, 1985.Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu

Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta  : PT Gramedia.

Tu Wei-Ming. 2005.Etika Konfusianisme. Terjemahan  Zubair. Jakarta : Penerbit Teraju PT Mizan Publika.




0 komentar:

Post a Comment