KEBUDAYAAN JAMBI
KEBUDAYAAN JAMBI |
contoh motif ragam hias fauna untuk baju - 1. JAMBI : SYMBOL OF SUMATERA
Tanpa kita sadari, ternyata sebagian besar kekayaan alam Sumatera itu berada di Propinsi Jambi. Kita boleh berbangga, coba kita bandingkan dengan bebarapa Propinsi lainnya yang ada di Sumatera bahkan Indonesia, saya yakin tidak ada satupun Propinsi yang mempunyai empat wilayah Taman Nasional dalam satu wilayah Propinsi selain Propinsi Jambi. Kita mempunyai Taman Naisonal Berebak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas, dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Tentunya sebagian besar kekayaan alam Sumatera tersimpan di Taman Nasional ini.
Jambi mempunyai vegetasi alam yang lengkap mulai dari vegetasi hutan mangrove di daerah Taman Nasional Berebak, sampai vegetasi hutan dataran tinggi di Taman Nasional Kerinci Seblat yang di dalamnya tersimpan flora dan fauna asli Sumatera. Keberadaan Taman Nasional ini saat ini menjadi benteng terakhir bagi keberlangsungan hidup satwa langka asli Sumatera seperti Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan satwa-satwa langka lainnya. Sehingga sudah sepantasnya Propinsi Jambi kita sebut symbol of Sumatera bagi kekayaan flora dan fauna-nya.
contoh ragam hias fauna
2. INTRODUKSI BAHASA DALAM BAHASA JAMBI
Bahasa Jambi umumnya tidak jauh beda dengan bahasa melayu lainnya. Selain mempunyai ciri khas tersendiri, bahasa Jambi juga tidak lepas dari pengaruh bahasa luar daerah yang ikut membangun bahasa Jambi itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika orang Jambi menyebut kata “Bola” yang dalam bahasa Jambi disebut dengan kata “Bal”. Ini adalah introduksi dari bahasa asing yang sebagaimana kita ketahui bahwa orang Inggris juga menyebutnya dengan kata “Ball”. Demikian juga dengan menyebutkan pintu, yang dalam bahasa Jambi di sebut “Lawang”, kata ini kemungkinan introduksi dari bahasa Jawa pada masa lalu yang kemudian membaur dengan bahasa Jambi..
Introduksi bahasa merupakan bagian dari akulturasi budaya. Ini lumrah terjadi, apalagi dengan pesatnya arus teknologi dewasa ini. Kemungkinan akan masuknya pengaruh bahasa luar ke Jambi akan semakin besar. Setidaknya dengan adanya introduksi bahasa luar ke dalam bahasa Jambi, kita harapkan bahasa Jambi itu sendiri tidak kehilangan identitasnya..
3. PAKAIAN ADAT MELAYU JAMBI
A. Busana Tradisional Melayu Jambi
Suku Melayu Jambi adalah sebutan bagi orang-orang Melayu yang mendiami daerah sepanjang sungai Batang Hari, propinsi Jambi. Dalam berbusana kaum wanita sehari-hari pada awalnya hanya dikenal dengan kain dan baju tanpa lengan. Sedangkan kaum prianya mengenakan celana setengah ruas yang melebar pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga lebih leluasa geraknya dalam melakukan kegiatan seharihari. Pakaian untuk pria ini dilengkapi dengan kopiah sebagai penutup kepala. Pada perkembangan berikutnya dikenal adanya pakaian adat. Pakaian adat ini lebih mewah daripada pakaian sehari-hari yang dihiasi dengan sulaman benang emas dan pemakaian perhiasan sebagai pelengkapnya.
B. Pakaian Adat Pria
Laki-laki suku Melayu Jambi dalam berpakaian adat mengenakan lacak di kepalanya.Lacak ini terbuat dari: kain beludru warna merah yang diberi kertas tebal di dalammnya agar menjadikannya keras. Tutup kepala ini memiliki dua bagian yang menjulang tinggi, dengan julangan yang lebih tinggi pada bagian depannya. Sebagai hiasan terdapat lukisan flora dari daun, tangkai clan bunga yang akan mekar. Bagian pinggir sebelah kanan diberi lukisan tali runci, yang diimbangi oleh penempatan bungo runci di sebelah kiri. Bungo runci ini berwarna putih dirangkai dengan benang, dapat berupa bunga asli atau tiruannya. Bajunya disebut baju kurung tanggung berlengan panjang. Disebut tanggung karena panjangnya hanya sedikit di bawah siku tidak sampai ke pergelangan tangan. Hal ini mengandung makna seseorang harus tangkas clan cekatan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan. Bahannya terbuat dari beludru warna merah diberi sulaman benang emas.Bagian tengahnya terdapat motif kembang bertabur atau kembang tagapo dan kembang melati, sedang bagian pinggirnya bermotifkan kembang berangkai atau pucuk rebung. Penutup bagian bawah disebut cangge (celana). Bahannya masih dari beludru yang dilengkapi dengan tali sebagai ikat pinggang. Sudah menjadi kebiasaan di daerah Jambi mengenakan kain sarung songket yang dililitkan di pinggul. Tutup dadanya disebut teratai dada, karena bentuknya seperti bunga teratai dipasang melingkar leher sehingga menyerupai kerah. Kedua tangan dihiasi gelang kilat bahu terbuat dari logam celupan berlukiskan naga kuning. Lukisan naga ini mengandung makna bila seseorang telah diberi kekuasaan janganlah diganggu. Dikenakan pula selempang yang menyilang badan terbuat dari songket warna merah keungu-unguan sebagai pasangan kain sarung dengan motif bunga berangkai clan beranting. Bagian pinggangnya dihiasi dengan selendang tipis warna merah jambu yang pada ujung ujungnya diberi umbai-umbai warna kuning. Untuk memperkuat bagian pinggang ini digunakan pending berupa rantai dengan sabuk sebagai kepala terbuat dari logam. Kelengkapan lainnya adalah keris clan selop. Biasanya diselipkan di perut menyerong ke kanan melambangkan kebesaran sekaligus untuk berjaga-jaga. Sedangkan selop atau alas kaki yang berbentuk setengah sepatu berfungsi untuk melindungi kaki saat berjaalan.
C. Pakaian Adat Wanita
Busana untuk perempuan terdiri dari kain sarung songket clan selendang songket warna merah. Bajunya disebut baju kurung tanggung bersulam benang emas dengan motif hiasan bunga melati, kembang tagapo, dan pucuk rebung. Tutup kepalanya disebut pesangkon yang terbuat dari kain beludru merah dengan bagian dalam diberi kertas karton agar keras. Ada juga yang menyebut duri pandan karena pada bagian depan tutup kepala ini diberi hiasan dari logam berwarna kuning berbentuk duri pandan. Untuk lebih memperindah diberi sulaman emas dengan motif bunga melati pecah. Kelengkapan busana perempuan lebih banyak dibandingkan dengan yang dikenakan oleh pria. Pada perempuan dikenakan anting-anting atau antan dengan motif kupu-kupu atau gelang banjar. Kalungnya terdiri dari tiga jenis, yaitu kalung tapak, kalung jayo atau kalung bertingkat dan kalung rantai sembilan. Pada jari-jarinya terpasang cincin pacat kenyang dan cincin kijang atau capung. Jumlah gelang yang dipakai pun lebih banyak meliputi gelang kilat bahu masing-masing lengan dua buah. Masih ditambah dengan gelang kano, gelang ceper dan gelang buku beban. Kesemuanya di pasang di lengan. Khusus untuk gelang buku beban bahannya berasal dari permata putih. Sementara untuk kaki dikenakan gelang nago betapo dan gelang ular melingkar. Disebut demikian karena bentuknya yang menyerupai naga dalam dongeng sedang tidur clan ular yang melingkar membentuk bulatan. Sedangkan unsur-unsur kelengkapan yang lain seperti teratai dada (tutup dada), pending dan sabuk (ikat pinggang), selendang, dan selop hampir sama dengan yang dikenakan pria. Bedanya bentuk motif yang lebih besar pada teratai dada dan pending.
- contoh ragam hias flora beserta asalnya
4. RUMAH ADAT JAMBI
Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.
Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.
Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.
Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.
Bentuk Rumah
Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.
Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.
- contoh ragam hias flora yang mudah digambar
Bubungan/atap biasa juga disebut dengan 'gajah mabuk,' diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.
Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.
Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.
Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.
Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.
Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.
Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.
Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.
Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.
Susunan dan Fungsi Ruangan
Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.
Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah.
Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan.
Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.
Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita.
Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.
Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang adalah 2x9 m, sama dengan ruang gaho.
Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.
Ragam Hias
Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang).
Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk.
Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.
Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan.
Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.
B. Rumah Tuo
Identitas Rumah Tuo
Jambi pernah berada pada masa-masa gundah pencarian identitas diri. Bahkan, gubernur sampai harus menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah adat macam apa untuk dijadikan identitas negeri "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah" ini.
Jambi agak unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Jika banyak rumah adat daerah lain mulai menghilang seiring dengan kemajuan zaman, masyarakat Jambi justru tengah menikmati eforia membangun rumah-rumah berarsitektur adat Sebenarnya, kegairahan ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tatkala Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan konsep arsitektur rumah yang menjadi ciri khas Jambi. Gambaran jelas tentang wujud rumah adat tersebut dapat kita temukan saat bertandang ke kompleks Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura, Kota Jambi.
Tepat pada sisi kanan bangunan kantor kita akan temukan rumah adat bertiang, berwarna hitam, lengkap dengan tanduk kambing bersilang ke dalam pada ujung atapnya. Bangunan dengan arsitektur ini merupakan hasil sayembara yang dimenangi salah seorang arsitek, yang juga pejabat daerah setempat.
Dalam penelusuran Kompas di sebuah permukiman tertua di Jambi belum lama ini, diperoleh data bahwa dari sinilah sesungguhnya identitas Jambi melalui rumah adatnya terkuak. Permukiman ini berlokasi di Dusun Kampung Baru, Kelurahan Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi.
Masih terdapat 60-an rumah adat berusia sekitar 600 tahun di sana. Permukiman tertua itu dikelilingi ratusan rumah adat sejenis, tetapi usia rumah-rumah tersebut sudah jauh lebih muda. Sangat mengagumkan, betapa masyarakat setempat masih sangat menghargai warisan adat leluhurnya.
Rumah Jambi identik dengan adat Melayu Kuno. Di dalam rumah tergambar tentang hubungan manusia dalam sebuah keluarga inti, keluarga besar, dan masyarakat. Ada penghormatan terhadap nini mamak, jaminan perlindungan bagi anak-anak, hidup berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam masyarakat. Di sini, etika hidup pun sangat dijunjung.
Rumah tertua di sana disebut Rumah Tuo milik Umar Amra (67), keturunan ke-13 dari Undup Pinang Masak. Ia adalah salah seorang bangsawan Melayu Kuno yang eksodus dari Desa Kuto Rayo, Tabir. Rumah bertiang ini masih kokoh meski tiang-tiang dan kerangkanya dari kayu kulim, yang sangat keras dagingnya itu, sudah berusia 600 tahun.
Menurut pemiliknya, rumah ini dulunya dibangun atas hasil kesepakatan dan gotong royong dari semua anggota keluarga besar. "Ada 19 keluarga pelarian dari Kuto Rayo yang bersama- sama membangun rumah ini. Setelah jadi satu rumah, mereka bersama-sama membangun rumah keluarga yang lain. Begitu seterusnya sampai tuntas dibangun 19 rumah," paparnya.
Kesepakatan para leluhur menetapkan 20 tiang dipancang untuk menegakkan sebuah rumah. Atapnya semula dari daun rumbia, namun kini telah berganti seng. Kolong rumah jadi gudang penyimpanan kayu bakar untuk memasak dan tempat ternak.
Rumah tuo melebar tampak dari muka, dengan tiga jendela besar yang selalu dibuka pemiliknya hingga sore. Begitu cermatnya nenek moyang mereka, sampai-sampai etika diatur melalui penataan jendela.
Etika bertamu diatur oleh hukum adat. Tamu yang bertandang akan masuk ke rumah lewat tangga di sebelah kanan. Untuk tamu yang masih bujang, panggilan anak laki-laki belum menikah yang hendak bertamu, hanya boleh duduk sampai batas jendela paling kanan. Artinya, ia hanya boleh duduk paling dekat pintu masuk dan tidak boleh lebih ke dalam lagi.
Sedangkan yang dapat duduk sedikit lebih dalam, setidaknya sampai ke batas jendela kedua, adalah bujang dari keluarga besar alias punya ikatan keluarga dengan pemilik rumah. Yang dapat masuk ke rumah hingga ke bagian dalamnya adalah kaum pria yang telah menikah dan kaum perempuan.
- contoh lukisan figuratif
Bilik melintang pada sisi dalam yang paling kiri adalah wilayah khusus bagi tetua kampung atau tamu kehormatan. Panjang bilik sekitar empat meter. Pada acara-acara rembuk warga, mereka yang duduk dalam bilik melintang akan dapat melihat seluruh tamu, atau tamu-tamu yang baru akan masuk rumah melalui tangga.
Satu Bilik
Rumah adat Jambi hanya memiliki satu bilik sebagai ruang tidur. Ini dimaksudkan ada kebersamaan, termasuk saat beristirahat, juga dalam satu ruang. Namun, sebagian besar masyarakat di sana lebih memilih tidur bersama di ruang tamu karena tempatnya lebih luas.
Rumah tuo dibangun tidak hanya sebagai tempat hunian, tetapi juga sebagai jaminan akan keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya. Terdapat lumbung-lumbung padi pada bagian belakang rumah. Satu keluarga bisa memiliki dua hingga tiga lumbung yang menyimpan berton-ton gabah hasil panen, dan tahan selama puluhan tahun. Selama itu masyarakat setempat tak pernah kekurangan pangan.
Sejumlah peralatan tradisional juga masih ditemukan di sana. Ada ambung terbuat dari anyaman rotan, dipakai untuk mengangkut hasil tanaman, selalu dipanggul di belakang punggung. Makanan dinikmati bersama dari tapan, bakul nasi yang juga dari hasil anyaman. Sedangkan peralatan dari kayu-kayuan adalah lesung, dan wadah penerangan yang biasa mereka sebut lampu Aladin.
- ragam hias figuratif wikipedia
Menurut Rio Kasim, pemangku adat setempat, rumah-rumah tersebut dibangun oleh para eksodan warga Melayu Kuno yang sebelumnya menempati kampung lain di kecamatan yang sama. Tujuannya mencari tempat aman.
Permukiman ini kemudian semakin berkembang. Namun, dalam perkembangannya, masyarakat tetap menjaga kelestarian rumah adat. Warga yang hendak membangun rumah baru juga mengacu kepada arsitektur adat setempat. Hanya saja kayu yang digunakan tidak lagi kayu kulim karena sudah semakin langka.
- contoh gambar figuratif
Meski terkesan tidak jauh berbeda dari arsitektur rumah adat Minang, ciri khas rumah adat Jambi dapat ditemukan pada sudut atapnya yang dipasang tanduk kambing, yaitu kayu bersilang menghadap ke dalam. Tanda ini menandakan rumah tersebut memiliki nini mamak sebagai pengayom.
Umar Amra mengungkapkan, tak ada keinginan dari dirinya untuk mengubah wujud rumah, kecuali mengganti atapnya menjadi seng, sekadar alasan kepraktisan. "Kalau atap dari rumbia harus diganti terus tiap dua atau tiga tahun sekali. Seng lebih awet," tuturnya.
Ia mengaku bangga dengan rumah yang dimilikinya. Rumah yang masih kokoh ditempati bersama istri dan anak-anaknya tersebut kini sering menjadi tempat studi kalangan mahasiswa, peneliti, atau pejabat daerah yang ingin mengenal lebih jauh tentang rumah adat Jambi.
Setiap kali memasuki permukiman rumah tua itu, kita seakan kembali ke masa lalu. Keklasikan rumah-rumah yang saling berderet, lengkap dengan cara hidup dan tradisi masyarakatnya, sungguh memberi kesempurnaan akan gambaran adat Jambi. Di sinilah identitas Jambi kami dapatkan.
5. SELOKO DALAM MASYARAKAT ADAT JAMBI
Apa itu seloko adat? Saya yakin masih banyak generasi muda Jambi yang belum tau dan bertanya-tanya. Padahal sebagai generasi penerus (generasi muda), kita wajib untuk mempelajarinya agar budaya Seloko di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini tidak terancam punah.
Seloko yang dalam bahasa Indonesia berarti seloka atau pepatah atau dengan kata lain bisa juga disebut sebagai petuah adat. Di Jambi, Seloko adat ini merupakan bagian dari tuntunan bermasyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat adat Jambi itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam hal pengambilan keputusan dalam pemerintahan, seloko adat Jambi menyebutkan “berjenjang naik bertanggo turun, turun dari takak nan di atas, naik dari takak nan di bawah” seloko adat tersebut mempunyai pengertian bahwa dalam pengambilan keputusan terdapat tingkatan-tingkatan pengambilan keputusan,. Mulai dari pengambil keputusan tertinggi “Alam nan Berajo” sampai pengambil keputusan di tingkat paling bawah “Anak nan Berbapak, Kemenakan nan Bermamak”.
Selanjutnya, begitu juga dalam hal bekelompok atau berorganisasi, di dalam masyarakat Jambi mengenal nilai-nilai kegotong-royongan, hal ini tergambar dalam seloko adat “Ringan samo dijinjing, berat samo dipikul, ke bukit samo mendaki, ke lurah samo menurun, malang samo merugi, belabo samo mendapat”. Dalam berorganisasi ini, juga senantiasa mengacu kepada nilai-nilai kemufakatan. Banyak seloko adat Jambi yang menggambarkan pentingnya bermufakat dalam berorganisasi, antara lain “Bulat aek dek pembuluh, bulat kato dek mufakat, Kato sorang kato bapecah kato besamo kato mufakat, duduk sorang besempit-sempit duduk besamo belapang-lapang”.
Beberapa Seloko adat ini juga mengatur dalam hal pergaulan sehari-hari. “Bejalan Peliharo kaki, jangan sampai tepijak kanti, becakap peliharo lidah, jangan sampai kanti meludah, jangan menggunting kain dalam lipatan, menohok kawan seiring”.
Seloko adat ini berfungsi sebagai penuntun untuk berbuat baik bagi masyarakat Jambi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kebaikan. Itulah mengapa Seloko Adat tidak bisa lepas dari keseharian masyarakat Jambi. Orang Jambi sering juga menyebutnya sebagai pepatah-petitih/ petuah adat.
Sebagai penutup ada sebuah seloko yang ingin saya sajikan:
“Batang pulai berjenjang naik, meninggalkan ruas dengan buku, Manusio berjenjang turun meninggalkan perangai dengan laku”.
Jadi, berbuat baiklah selalu sesuai dengan akar budayo kito orang Jambi
- ragam hias flora dan penjelasannya
6. SELOKO ADAT JAMBI
Silahkan cermati dan maknai beberapa seloko adat Jambi berikut:
-Adat selingkung negeri, undang selingkung alam
-Kampung bepagar adat, tepian bepagar bahaso
-Sawah dalam ado mutlaknyo, ladang panjang ado batasnyo
-Kato sorang kato bapecah, kato basamo kato mufakat
-Ambik contoh kepado yang telah sudah, ambik tuah kepado yang menang
-Rami ngeri di nan mudo, elok negeri di nan tuo
-Duduk sorang besempit-sempit, duduk basamo balapang-lapang
-Berjenjang naik bertanggo turun, turun dari takak nan diatas, naik dari takak nan
dibawah
-Ringan samo dijinjing berat samo dipikul, ke bukit samo mendaki ke lurah samo
menurun, malang samo merugi belabo samo mendapat.
-Tepijak di benang arang, itam tapak. Tersuruk di bukit kapur, putih tengkuk.
-Naik idak bepucuk, turun idak berakar, tengah-tengah diakuk kumbang, ke rimbo
diterkam harimau, ke air ditangkap buayo.
-Jangan sampe bepanas dalam belukar.
-Anak dipangku, ponakan dibimbing.
-Kalo aek keruh di muaro cubo tegok ke hulu
-Ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo rimbo adolah hak rajo
-Nan buto penumbuk tepung, nan pekak pelepas meriam, nan lumpuh penunggu
rumah, nan patah pengalau ayam
-Jatuh ke aek hanyut, jatuh ke api hangus
- gambar motif figuratif
-Jerat idak kan lupo pado pelanduk
-Mahal rumput daripado kudo
-Batang Pulai bejenjang naik meninggalkan ruas dengan buku, manusio bejenjang
turun meninggalkan perangai dengan laku
-Arang habis, besi binaso
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang contoh motif ragam hias fauna untuk baju
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang MENGGAMBAR RAGAM HIAS
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : pusdatin.rri.co.id/konten.php?nama=Docs&sta=1&op=download_http&id...
0 komentar:
Post a Comment