Busana Muslim dan Kebudayaan Populer di Indonesia:Pengaruh dan Persepsi
menjahit kebaya kutu baru - Tugas Studi Lapangan Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam program ACICIS Studi Lapangan
Oleh: Elizabeth Raleigh
04210530
Malang, Indonesia
2004
Kata Pengantar
Skripsi ini merupakan puncak program studi lapangan yang dilakasanakan dalam kerjasama di antara Universitas Muhammadiyah Malang dan ACICIS (Australian Consortium for In Country Indonesian Studies). Skripsi ini meneliti industri busana Muslim di Indonesia.
Untuk bantuan menulis dan meneliti laporan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih atas kepada;
Ibu Alphiana Chandrajani dan Mbak Fauzir di Surabaya
Bapak Jusuf Beeran di Agung Muslim Shop
Ibu Indrawati dari Emaku Tata Busana Muslim
Ibu Ninik Sumiati di Toko Hanna
Bapak Drs. H. A Habib M.A., Bapak Drs. A. Masmuh Msi dan Dra. Ibu Tri Sulistyaningsih di Universitas Muhammadiyah
Bapak Tom 'Resident Director' ACICIS
Para Mahasiswi di Kampus Universitas Muhammadiyah
Bapak Amrih Widodo, pembimbing saya di Universitas Nasional Australia
Mbak Janelle Marburg, Esther Walcott dan Lisa Johnson, yang selalu memberi ide-ide baru dan sokongan dari Rumah Hijau Kecil
Pada akhirnya, penyusun ingin minta maaf untuk kekurangan dan kesalahan dalam tulisan Bahasa Indonesia dan kemampuan secara teoretis. Tujuan utama studi lapangan ini untuk mendapat pengalaman sebagai mahasiswi di Malang dan menyumbang pengetahuan di dalam bidang ini.
Malang, Desember 2004
Penyusun
Elizabeth Helen Raleigh
04210530
Abstraksi
Sejak kebangkitan Islam di seluruh dunia yang mulai pada tahun 1970’an, busana Muslim menjadi populer di Indonesia.
Pada masa lalu, hubungan di antara agama Islam dan politik Indonesia kurang begitu harmonis. Pemerintah mencoba menghambat dukungan agar syariah Islam dilaksanakan di Indonesia. Akibatnya, penduduk Indonesia tidak suka fanatisme Islam. Oleh karena itu, perempuan yang berbusana Muslim dianggap sebagai orang fanatik, dan berbusana Muslim dianggap sebagai perlawanan terhadap negara Indonesia. Tetapi, suasana agama menjadi lebih terbuka sesudah kebangkitan Islam. Sejak saat itu semakin banyak perempuan yang berbusana Muslim.
Ternyata berbusana Muslim sudah diterima oleh masyarakat dan sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Busana Muslim menjadi unsur kebudayaan populer di Indonesia, dan industri busana Muslim berkembang pesat. Karena berbusana Muslim menjadi populer di Indonesia, ada orang yang berpendapat arti-arti agama berpendapat bahwa berbusana Muslim sudah hilang, tetapi ternyata pendapat ini tidak benar. Orang-orang ini tidak menyadari bahwa seseorang bisa berbusana Muslim sambil mendapat kesenangan dari tindakan itu, dan kesenangan tidak harus memperkecil alasan agama. Kalau meneliti industri busana, harus memahami semua lapis-lapis industri itu, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi busana Muslim.
Profil-profil tentang orang yang membuat dan mendistribusikan busana Muslim - misalnya perancang mode Islam, seorang tailor busana Muslim, dan pemilik toko busana Muslim - memberi informasi tentang industri busana Muslim di antara konteks agama, sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Cara mengiklankan busana Muslim, melalui majalah, televisi dan koran tabloid dengan jelas memberi kesan bahwa perempuan teladan di Indonesia adalah perempuan yang berbusana Muslim.
Dari profil-profil itu bisa mendapat gambaran yang lebih dari hanya sekedar industri busana Muslim saja, tetapi juga bisa menemukan pikiran perempuan yang berbusana Muslim tentang arti berbusana Muslim, motivasi pribadi dalam berbusana Muslim, dan apa maksud perempuan teladan di Indonesia. Semua orang-orang yang diwawancarai menunjukkan bagaimana berbusana menjadi unsur penting identitasnya, dan bagaimana mereka bisa tetap Muslimah yang taat sambil mendapat kesenangan dari praktek itu secara populer.
Analisasi Busana Muslim di Indonesia: Pengaruh dan Persepsi
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Abstraksi ii
BAB I – Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Alasan Pilihan Topik 1
Masalah dan Tujuan Penelitian 1
Metode 2
BAB II - Busana Muslim: Interpretasi dan Sejarah di Indonesia 4
Definisi Busana Muslim 4
Dasar Jilbab di Al Qur'an 4
Sejarah Busana Muslim 5
Sikap Pemerintah Indonesia terhadap Islam 5
Gerakan Global Islam 6
Popularisasi Busana Islam 8
BAB III - Kebudayaan Populer di Indonesia 10
Kebudayaan Pop: Oppressi atau Perlawanan? 10
Artikel Sian Powell dan Kebudayaan Populer 11
Ideologi Kebudayaan Massa 12
BAB IV - Busana Muslim: Produksi 13
APPMI 13
Seorang Perancang Mode Islam: Alphiana Chandrajani 14
LPTB Susan Budihardjo Surabaya 15
Pengalaman Alphiana Chandrajani sebagai orang yang berbusana Muslim
15
Seorang Tailor Busana Biasa dan Busana Muslim: Ibu Indrawati 17
Analisis 20
BAB V - Busana Muslim: Distribusi 23
Toko Busana Muslim 23
Agung Muslim Shop 23
Toko Hanna 24
Cara Mengiklankan Busana Muslim 26
Majalah dan Buku-buku 26
Koran 27
Kosmetika 28
Televisi 28
Fashion Show 29
Pengalaman di 'Fashion Show' 29
Analisis 31
BAB VI - Busana Muslim: Konsumsi 33
Kampus Universitas Muhammadiyah 33
Profil Mahasiswi Yang Berjilbab 37
Ika 37
Nur 38
Responden Ketiga 39
Rina 40
Dwi 40
Pengalaman Pribadi Berjilbab 41
Analisis 42
BAB VII - Busana Muslim di Masa Depan 45
BAB VIII – Penutup 46
Kesimpulan 46
Daftar Pustaka 48
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak dasawarsa 1970'an, fenomena kebangkitan Islam terjadi di seluruh dunia. Dampak fenomena ini terhadap Islam di Indonesia mempengaruhi agama, politik dan keadaan sosial. Selain perubahan dalam bidang agama, politik dan sosial, salah satu perubahan yang jelas adalah pemakaian busana Muslim.
Alasan Pilih Topik
Dulu, sambil berkuliah di Australia, saya mengambil mata kuliah 'Kebudayaan Populer di Asia Tenggara'. Dari mata kuliah itu, saya menjadi tertarik pada bagaimana mode dan agama digabungkan. Maksud pemakaian jilbab sudah jelas - yaitu, mengapa perempuan Islam berjilbab - tetapi busana Muslim itu belum diteliti sebagai sebuah komoditi di antara kebudayaan populer. Karena busana Muslim sudah menjadi populer di Indonesia, saya ingin mendapat pengertian bagaimana busana Muslim diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi dan juga dipersepsi oleh kebanyakan Muslimah di Indonesia.
Masalah dan Tujuan Penelitian
Pemakaian busana Muslim tidak merupakan bagian dari sejarah di Indonesia. Juga, karena Indonesia adalah negara tropis, busana Muslim tidak logis - cuaca panas (Brenner 1996:673). Namun demikian, mengapa busana Muslim menjadi populer di Indonesia?
Mungkin jawaban dari pertanyaan itu terdapat perasaan identitas di Indonesia, dan bagaimana pendapat wanita Indonesia berubah untuk menerima pemakaian busana Muslim yang sebenarnya tidak cocok untuk iklim di Indonesia.
Ada beberapa tujuan penelitian ini. Yang terutama mendapat pemahami tentang keadaan industri busana Muslim di Indonesia. Sebagai unsur kebudayaan populer Indonesia, penelitian ini memeriksa peran busana Muslim dalam produksi, distribusi dan konsumsi dan bagaimana identitas orang Indonesia diekspresikan melalui pemakaian busana ini. Karena memeriksa industri mode, studi lapangan ini memeriksa unsur berbusana Muslim yang sering diabaikan oleh masyarakat yaitu unsur kesenangan dari berbusana Muslim.
Tujuan lain penelitian ini adalah menemukan pengalaman dan alasan-alasan untuk memakai jilbab. Pada masa lalu, yang dianggap sebagai kebenaran adalah tujuan orang yang memakai busana Muslim (khususnya berjilbab) adalah itu sebagai perlawanan terhadap pemerintah, modernisasi, westernisasi dan sistem patriarkhal di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menilai maksud pemakaian busana Muslim di Indonesia dan ingin mengatahui apakah pendapat yang lalu masih benar di antara konteks sosial, politik, agama dan ekonomi.
Informan dari penelitian ini termasuk orang-orang yang berjilbab, tetapi memakai pakaian dalam gaya Barat, serta orang yang memakai pakaian dalam gaya Islam. Kedua kelompok ini mewakili proses popularisasi busana Muslim di Indonesia. Orang yang diteliti dalam studi lapangan ini kebanyakan diambil dari masyarakat Malang, dan satu dari kota Surabaya.
Metode
Penelitian ini tentang kebudayaan populer di Indonesia. Busana Muslim adalah komoditi dari kebudayaan populer itu. Selanjutnya tujuan penelitian ini untuk mencapai pengertian produksi, distribusi, dan konsumsi busana Muslim. Informasi itu diambil dengan cara menyebarkan kwesioner, wawancara, dan observasi pribadi. Orang yang diteliti dari semua unsur industri busana Muslim, misalnya perancang mode Islam, pemilik toko busana Muslim dan mahasiswi yang memakai busana Muslim. Ada pendapatan yang diambil dari beberapa orang yang lain, misalnya orang asing. Sebelum bab-bab yang tentang produksi, distribusi dan konsumsi, ada latar belakang tentang sejarah busana Muslim di Indonesia, dan keterangan teori kebudayaan populer.
Laporan ini ditulis sebagai kumpulan deskripsi, profil-profil orang yang diwawancarai, dan juga analisis apa yang ditemukan. Walaupun busana Muslim boleh dipakai oleh kelamin laki-laki serta perempuan, studi ini memeriksa perempuan saja. Profil-profil ditulis karena profil itu bisa dimanfaatkan untuk mendapat gambaran yang lengkap dari orang tentang kepercayaannya, nilai-nilai dan peran-perannya. Selain itu juga bisa mendapat bermacam-macam cerita dari kelompok yang berbeda kalau melihat berbagai bagian industri mode.
BAB II
BUSANA MUSLIM: INTERPRETASI DAN SEJARAH DI INDONESIA
Tujuan bab ini untuk mendapatkan pengertian apa tuntunan terhadap busana Muslim dari Al-Qur'an, dan bagaimana sejarah berbusana Muslim terjadi di Indonesia. Pada awalnya, berbusana Muslim tidak dianggap sebagai perilaku yang Islami, tetapi sesudah proses populerisasi terjadi, busana Muslim itu dianggap oleh masyarakat Indonesia sebagai biasa saja.
Definisi Busana Muslim
Dasar Jilbab dari Al Qur'an
Ada beberapa bagian di Al Qur'an yang mewajibkan untuk menutupi aurat.
Dari Surat Al Ahzab:59
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu'min: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(Al-Qur'an:340).
Dari An Nur:31
Katankanlah kepada wanita yang beriman; 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasi) nampak dari padanya. Dan hendakklah mereka menutup kain krudung ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau putra-putra mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangan mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (Al-Qur'an:282).
Meskipun ada kata sepakat apa yang dimaksud dengan aurat ; ada bermacam-macam interpretasi tentang bagaimana dan kapan aurat ditutupi. Ada para aktivis Islam di Indonesia yang percaya bahwa harus menutup badan untuk sholat saja, dan tidak harus sehari-hari (Brenner 1996:674). Juga, ada orang Muslim yang menutupi aurat dengan cadar, dan ada yang lain yang memakai jilbab saja.
Untuk penelitian ini, kata jilbab dan kerudung punya arti yang sama. Busana Muslim adalah pakaian yang tidak ketat dan menutupi aurat.
Sejarah Busana Muslim
Sikap Pemerintah Indonesia terhadap Islam
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, hubungan antara Islam dan negara adalah hubungan yang sulit. Pemerintah Indonesia menolak permintaan menjadi negara Islam sejak kemerdekaan. Sekalipun sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, agama itu tidak ditetapkan satu-satunya agama yang resmi di Indonesia. Ada lima agama resmi di Indonesia, dan kedudukan agama Islam sederajat dengan agama-agama lain. Pemerintah Orde Baru selalu mendorong partisipasi Islam dalam masalah sosial, tetapi Islam politik ditindas, khususnya sumber kekuasaan Islam politik (Brenner 1996:676). Gerakan Darul Islam - gerakan yang berusaha mendirikan negara Indonesia sebagai negara Islam, tetapi dibredel pada tahun 1962 - memberi masyarakat Indonesia dengan perasaan negatif terhadap fundamentalisme di Indonesia (Jenkins 1998).
Oleh karena itu, waktu jilbab menjadi populer pada tahun-tahun 1980'an, berarti dipengaruhi oleh situasi politik di Indonesia (Marcoes-Natsir, 2004). Pada waktu itu, dan beberapa tahun-tahun seterusnya, masih ada banyak perusahaan dan organisasi yang melarang pegawai perempuan berjilbab (Powell 2003).
Kalau berdiskusi pemakaian jilbab biasanya didiskusikan di antara konteks identitas dan politik di Indonesia. Sejak dipakai di Indonesia berjilbab itu menjadi lambang melawan kepada pemerintah, mengekspresikan pilihan sendiri dan cara menunjukkan identitas sendiri (Marcoes-Natsir, 2004).
Pada tahun-tahun 1980'an para pemudi di kota mulai berjilbab. Mereka berhenti memakai kebaya (yang menunjukkan lehernya) dan sarong (yang ketat) dan gaya rambut yang sulit. Reaksi terhadap perilaku ini kebingungan, kemarahan dan kecurigaan. Para pemudi dianggap sebagai orang fanatik atau fundamentalis oleh masyarakat, termasuk keluarga dan teman-teman (Geertz). Pemerintah menciptakan aturan supaya busana Muslim dilarang di kantornya. Pilihan berjilbab pilihan yang berat. Pada 1980'an seorang murid di Bogor, Jawa Barat, diberi pilihan ini: memilih berjilbab atau bersekolah, tetapi tidak bisa melakukan dua-duanya (Marcoes-Natsir, 2004). Seorang Muslimah yang berjilbab dikatakan dengan marah oleh Bapaknya 'kenapa tidak naik unta juga?'(Geertz).
Gerakan Global Islam
Sebagai akibat gerakan revolusi Islam di negara Iran (yang mewajibkan perempuan berjilbab), suasana supaya berjilbab menjadi lebih terbuka di seluruh dunia, termasuk negara Indonesia. Globalisasi Islam terjadi melalui perkembangan televisi dan media massa. Orang Islam mulai merasa anggota masyarakat internasional (Brenner 1996:678). Sebelum itu berbusana Muslim dianggap sebagai hanya untuk Ibu-Ibu taat yang sudah tua yang tinggal di desa (Geertz). Kelihatannya lebih banyak orang Indonesia menjadi senang kalau mengekspresikan sendiri sebagai orang Islam secara berjilbab (Jenkins 1998).
Mengapa terjadi kebangkitan Islam di Indonesia? Sebenarnya, fenomena ini bukan kebangkitan di Indonesia, karena dalam sejarah busana Muslim tidak biasa. Di negara-negara lain ada kebangkitan, misalnya di Timur Tengah, tetapi di Indonesia fenomena ini agak baru. Di Indonesia fenomena ini mungkin terjadi jadi oleh karena keadaan politik dan ekonomi.
AB Shamsul (1997), penulis yang berdiskusi tentang alasan untuk kebangkitan Islam di Malaysia, memberi tiga alasan untuk proses popularisasi Islam di Malaysia:
1. Sebagai jawaban kepada proses modernisasi.
2. Supaya mengekspresikan perasaan anti-imperialisme.
3. Supaya mempromosikan kembali keagamaan di antara sesuatu yang berhubungan agama - misalnya gerakan yang mencoba mengislamisasikan pengetahuan. (Shamsul 1997:211)
Alasan-alasan tersebut juga cocok di antara konteks Indonesia. Sebagaimana di ketahui, keadaan di Indonesia pada dasawarsa 1980'an dan 1990'an tidak stabil. Dasawarsa itu merupakan zaman yang ada perubahan yang cepat sebagai akibat kebijakaan sosial dan ekonomi pemerintah Orde Baru. Presiden Suharto memasukkan negara Indonesia ke dalam dunia kapitalisme dan konsumerisme. Alasan-alasan Shamsul nomor satu dan dua adalah kesimpulan tentang bagaimana masyarakat merasakan terhadap semua perubahan pada saat itu. Hasilnya adalah proses intensifikasi pikiran terhadap agama Islam - alasan Shamsul ketiga. Proses ini didorong oleh kebangkitan Islam di dunia, tetapi terutama oleh kekuasaan-kuasaan di dalam Indonesia. Ada permunculan kelompok intelektual, seniman dan politikus yang semuanya dipengaruhi oleh pikiran Islam (Geertz). Agama Islam menjadi cara supaya tetap bermoral di antara korupsi dan distribusi uang yang tidak adil yang terjadi pada waktu itu (Brenner 1996:677). Pada tingkat pribadi, agama Islam memberi sistem kepercayaan moral yang kuat, dan itu disukai oleh orang-orang yang bingung pada waktu itu (Jenkins 1998).
Pada waktu itu Nasionalisme sebagai kekuasaan yang menyatukan masyarakat Indonesia kurang kuat, tetapi Islam menjadi semakin kuat. Ini dilihat oleh Presiden Suharto dan dia menjadi lebih terbuka kepada Islam.
Sekitar pada tahun-tahun akhir Orde Baru, ada kecaman kepada pemerintah Suharto terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, supaya tetap populer dan terus dianggap sebagai pemimpin yang sah, Presiden Suharto memakai Islam untuk menguatkan wibawanya. Dia menjadi orang Islam yang lebih terbuka, dan dia mendorong program untuk membangun Islam dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, Presiden Suharto tidak mendorong Islam sebagai kekuasaan politik - menurut pendapat dia Islam untuk masyarakat saja, dan tidak untuk pemerintah dan hukum Indonesia (Jenkins 1998).
Popularisasi Busana Islam
Suharto menjalin hubungan dengan pemimpin Islam, untuk mendapatkan sokongan mereka bagi kelangsungan rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memberi pembiayaan kepada pembangunan institusi dan organisasi Islam, misalnya bank-bank, pers Islam, mesjid, dan lembaga pendidikan. Keluarga Suharto ingin dianggap sebagai lebih taat, terus mereka naik haji, dan anak perempuan mulai berjilbab (Marcoes-Natsir, 2004). Mereka sering menghadiri upacara Islam. Anak perempuan Suharto - Tutut - mulai berjilbab dalam gaya yang menarik, dan perempuan-perempuan mencoba mirip gayanya. Ini merupakan permulaan gerakan mode Islam.
Pada awalnya, gaya-gaya dan desain-desain mahal dan akibatnya bisa dibeli oleh orang kaya saja. Tetapi desain yang lebih murah dan gaya yang biasa diciptakan sendiri. Hal ini berarti bahwa mode Islam menjadi tersedia untuk semua tingkat golongan masyarakat (Marcoes-Natsir, 2004). Tidak lama lagi jilbab dan kerudung dimasukkan sebagai pakaian adat.
Sejarah popularisasi busana Muslim dipengaruhi oleh keadaan politik, sosial, dan ekonomi. Tetapi bagaimana pada saat ini? Busana Muslim sudah dipakai oleh banyak warga Indonesia, dan sudah diterima oleh kebanyakan orang Indonesia. Apa peran busana Muslim di antara konteks kebudayaan populer? Kalau berdiskusi kebudayaan populer di Indonesia, harus meneliti teori-teori terhadap kebudayaan populer dulu.
BAB III
KEBUDAYAAN POPULER DI INDONESIA
Dalam bidang busana Muslim ada banyak gaya dan mode. Kalau berjilbab, bisa memakai topi di atas jilbab, bisa memasukkan plastik supaya melindungi kulit dari sinar matahari, dan bisa membeli jilbab yang sudah siap dipakai (misalnya kalau ada elastik dipakai). Pemakaian jilbab ternyata tidak hanya oleh perempuan Muslim yang taat, tetapi juga oleh yang kurang taat. Bahkan ada pelacur yang berjilbab (Powell 2003)! Busana Muslim adalah komoditi yang dibeli, dijual dan dipakai di seluruh Indonesia, terus busana itu bisa dianggap sebagai unsur kebudayaan populer.
Kebudayaan pop adalah budaya masyarakat biasa. Biasanya, budaya yang resmi atau 'tinggi' (misalnya kalau di Jawa, musik gamelan, wayang dan batik) dianggap sebagai budaya masyarakat. Tetapi, walaupun budaya ini memang budaya masyarakat, budaya ini tidak bisa dinikmati oleh setiap orang dari orang kaya sampai orang miskin. Ini untuk bermacam-macam alasan - misalnya pada masa lalu gamelan hanya dimainkan di dalam kraton. Kebudayaan pop terdiri dari komoditi-komoditi dan pengalaman yang dapat diterima oleh semua masyarakat karena itu tidak memerlukan bahan-bahan yang mahal supaya bisa dinikmati. Oleh karena itu budaya pop tidak dianggap sebagai budaya 'tinggi' tetapi masih dianggap bagian dari budaya.
Kebudayaan Pop: Oppressi atau Perlawanan?
Kebudayaan populer bukan tentang apa yang fungsionil atau yang praktis - yang tersebut menutupi aurat di negara-negara tropis tidak logis. Budaya pop itu tentang identitas, kesenangan dan arti-arti (Fiske 1989:1). Kebudayaan pop juga adalah budaya orang-orang bawahan. Oleh karena itu, tanda-tanda terhadap hubungan kekuasaan bisa dilihat. Budaya itu budaya orang-orang bawahan, sambil ada tanda-tanda perlawanan kepada kekuasaan itu (Fiske 1989:4). Kebudayaan populer adalah kontradiksi dan perlawanan kepada sistem kekuasaan terus-menerus.
Karena negara Indonesia adalah negara yang mengikuti ideologi kapitalisme, setiap komoditi mencerminkan sistem ideologi yang menciptakan komoditi itu. Gaya hidup kapitalisme menjadi gaya hidup yang terutama, dan tidak ada gaya hidup alternatif yang bisa dinikmati (Fiske 1989:14).
Kalau belajar kebudayaan populer bisa didekati dari tiga segi. Yang pertama, bisa lihat kebudayaan pop memiliki hubungan dengan sistem kekuasaan, yaitu budaya menjadi biasa dan hampir dianggap sebagai budaya resmi atau tradisional. Yang kedua, kebudayaan pop bisa dilihat di dalam keadaan di mana kekuasaan begitu kuat dan terus bisa melawan kekuasaan itu. Tetapi, kalau begini, kebudayaan populer menjadi kebudayaan massa, yaitu cara supaya tindasan masyarakat saja, dan tidak ada unsur perlawanan. Yang ketiga adalah cara yang paling pas untuk belajar kebudayaan populer. Kebudayaan populer terletak di antara sistem kekuasaan, tetapi masih berusaha melawan sistem itu. Masyarakat bisa melawan pengaturan sambil menerima ideologi (yaitu kapitalisme) dan oleh karena itu selalu beradaptasi diri supaya tetap sah.
Artikel Sian Powell dan Kebudayaan Populer
Dalam artikel Sian Powell (2003), dia menulis bahwa karena proses popularisasi busana Muslim dan proses westernisasi terjadi bersama-sama di Indonesia, maka mode menjadi unsur berpakaian yang sangat penting, dan pada saat ini kalau berjilbab dianggap sebagai orang yang bermode. Oleh karena itu, ada banyak perempuan di Indonesia yang baru berjilbab. Selanjutnya Sian Powell menjelaskan bahwa jilbab bukan lagi sebagai lambang ibadah, tetapi lambang orang yang bermode saja. Maksudnya, kalau berjilbab, menjadi orang yang berpakaian sesuai dengan mode terakhir. Jilbab tidak punya hubungan dengan ketaatan beragama lagi, karena siapa saja bisa berjilbab dan sebagian besar lebih khawatir bagaimana penampilannya kalau berjilbab daripada nilai ketaatan agamanya.
Ideologi Kebudayaan Massa
Artikel tersebut mencerminkan pendapat yang biasa terhadap kebudayaan populer. Yaitu, bahwa kalau ada sesuatu (dalam hal ini, busana Muslim) yang populer, arti agama atau sejarah sudah hilang. Pendapat ini dikenal sebagai 'the Ideology of Mass Culture', atau Ideologi Kebudayaan Massa. Ien Ang (1993), menulis bahwa kebudayaan populer sering dikritik untuk tidak punya arti-arti dan nilai-nilai oleh karena unsur produksi massa. Oleh karena itu orang-orang sering malu kalau mereka menyenangkan bagian kebudayaan populer (karena pendapat bahwa tidak ada arti dalam kebudayaan populer itu) - sedangkan dalam realitas ada banyak arti-arti dan nilai-nilai dari praktek itu - misalnya oppressi, perlawanan ataa kesenangan saja.
BAB IV
BUSANA MUSLIM: PRODUKSI
Supaya bisa mengerti busana di antara konteks kebudayaan populer di Indonesia, industri produksi busana itu harus diteliti juga. Dalam bab ini adalah profil dua orang perancang mode Islam, dan seorang tailor busana wanita (yang termasuk busana Muslim). Sejak busana Muslim menjadi populer di Indonesia, ada industri busana yang juga menjadi berhasil. Ada institusi dan asosiasi untuk memberi sokongan dan bantuan kepada perancang busana Muslim. Salah satu kelompok ini adalah APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia).
APPMI
Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) adalah salah satu kelompok perancang mode yang tujuannya untuk mempromosikan industri mode di Indonesia. Berdiri pada tahun 1993, ada beberapa bagian organisasi ini, misalnya divisi 'ready to wear' (sudah siap dipakai), ekspor, busana konvensional dan divisi busana Muslim. Perancang mode yang menjadi anggota APPMI berada di wilayah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Lampung, Surabaya, Semarang dan Bali (APPMI 2004:66).
Setiap tahun APPMI menjalankan pameran mode atau 'fashion show' yang mempertunjukkan produk perancang mode. Pameran itu dimaksudkan untuk mempromosikan mode di Indonesia, termasuk juga untuk mempromosikan busana Muslim.
Ada beberapa buku-buku yang diterbitkan oleh APPMI bersama Gramedia untuk mempromosikan industri mode di Indonesia, misalnya Ragam Gaya Kerudung (APPMI 2004). Tujuan publikasi ini memberikan inspirasi dan contoh gaya kerudung dan busana Muslim yang memberi tingkat standardisasi tuntunan mengenai apa bagian tubuh yang harus ditutupi (APPMI 2004:3).
Berikut, gambaran tentang profil salah satu perancang mode Islam yang sudah menjadi anggota APPMI dan punya perusahaan yang berhasil di Surabaya dan Jakarta. Dari profil ini bisa dilihat cara untuk memproduksi busana Muslim dan pendapat-pendapat perancang mode Islam terhadap keadaan busana Muslim di Indonesia.
Seorang Perancang Mode Islam: Alphiana Chandrajani
Alphiana Chandrajani adalah seorang perancang mode Islam yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Sebagai perancang mode Islam, Ibu Alphiana diwajibkan menciptakan pakaian yang menutup leher sampai pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Lekuk tubuh tidak boleh dilihat.
Ibu Alphiana menggunakan rumahnya sebagai kantornya, dan setiap hari kecuali hari Minggu, sekitar delapan orang datang ke ruang tamunya dan garasinya untuk menjahitkan pakaiannya. Ada lima belas orang yang bekerja di perusahaannya.
Di dalam garasi, ada beberapa bagian bekerja. Ada bagian untuk orang membuat pola dari halaman surat kabar. Ada bagian yang memakai pola ini dari surat kabar untuk memotong bahan-bahan. Bagian bahan terus diberi kepada dua orang yang menjahit, yang memakai mesin jahit. Sesudah pakaian dijahit, ada orang khusus untuk membuat sulaman dan manik-manik.
Ibu Alphiana menciptakan semua desain pakaian sendiri, tetapi dia mempunyai dua asisten yang membantu dengan mendesain motif untuk perhiasan bahan-bahan. Semua bahan-bahan dibeli dari Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta - tidak ada bahan yang diimpor dari luar negeri. Desain-desain Alphiana Chandrajani untuk wanita karir, yang berumur tiga puluh tahun lebih. Harga desain-desain Alphiana Chandrajani kurang lebih sejuta rupiah.
Perusahaan ini sudah mengirim pakaian ke Singapura dan orang Australia sudah membeli pakaian Alphiana Chandrajani. Ada boutique kecil di rumah Ibu Alphiana (yang namanya Az-Zahra Moslem Gallery), dan ada toko di Jakarta juga yang terletak di Mal Kelapa Gading. Ada keinginan membuka toko di Yogyakarta juga. 2,5% keuntungan perusaha itu diberi kepada yang membutuhkan sebagai amal (zakat).
LPTB Susan Budihardjo Surabaya
Ketika orang bekerja di rumahnya, Ibu Alphiana biasanya mengajar di LPTD Susan Budihardjo (Lembaga Pendidikan Tata Busana Susan Budihardjo). Lembaga itu untuk orang yang ingin menjadi perancang mode, dan ada kursus empat bulan pada tingkat dasar dan tingkat mahir yang mengajar cara membuat pola, jahitan, desain dan desain anatomi.
Pengalaman Alphiana Chandrajani sebagai orang yang berjilbab
Ibu Alphiana sudah berjilbab sejak tahun 1992, tetapi sebelum itu dia sudah memakai topi dan pakaian yang menutup tubuh badannya. Di masa lalu, Ibu Alphiana belum tahu mengapa sebenarnya perempuan harus berjilbab, maka dia tidak pakai jilbab. Tetapi sesudah dia lihat adik suaminya (yang sudah berjilbab), mengaji Qu'ran dan menghadiri kelompok diskusi dia ingin berjilbab. Ibu Alphiana tak mengalami perlakuan yang berbeda dari golongan mode sesudah berjilbab (karena sampai 1992 sudah ada perancang busana Muslim) tetapi dia mengalami perlakuan yang lebih hormat dari laki-laki. Dia tidak mengalami perasaan yang negatif dari teman-teman dan keluarganya. Kalau ditanya bagaimana rasanya saat berjilbab, dia berkata 'legah' dan lebih tenteram dalam hati.
Pendapat Ibu Alphiana terhadap perempuan yang memakai topi tetapi aurat masih dilihat adalah ini lebih baik daripada kalau tidak memakai topi juga. Menurut Ibu Alphiana, pilihan untuk memakai jilbab tergantung pada orang sendiri. Oleh karena itu, kalau seseorang berjilbab, itu tidak berarti bahwa menjadi lebih taat daripada orang-orang yang tidak berjilbab. Kalau berjilbab tetapi berpakaian ketat, mungkin begitu karena orang itu belum tahu banyak tentang tuntunan Islam.
Ketika Ibu Alphiana mulai berjilbab, dia menjadi tertarik pada aspek mode busana Muslim. Sebelum waktu itu, dia menghadiri London School of Fashion (Lembaga Mode London), di negara Inggris selama dua tahun dan menjadi perancang mode gaun malam. Pada waktu itu, dia memakai rok mini, tetapi masih pakai kaos modiste (yang menutup lehernya) dan kaus kaki hitam. Sesudah dia menikah dan berjilbab, pada tahun 1995 dia pindah ke Surabaya dan harus mulai memulai perusahaan lagi. Karena itu, dia berpikir bagaimana membuka perusahaan busana Muslim?
Menurut Ibu Alphiana, busana Muslim menjadi populer pada tahun 1980'an. Memang pada waktu itu dia mempunyai teman-teman di SMA yang sudah berjilbab, tetapi dia pikir hanya berjilbab karena mereka menderita kutu rambut! Pertumbuhan kepopuleran busana Muslim pesat sejak tahun 1980'an, dan tidak lama lagi bahwa pemerintah Orde Baru mengubah peraturan terhadap pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Kalau ditanya mengapa busana Muslim menjadi populer di Indonesia, Ibu Alphiana percaya bahwa karena sudah ada agak banyak perancang busana Muslim, ada lebih banyak pilihan dan kreativitas terhadap busana Muslim, tetapi masih dibatasi oleh kaidah Islam. Juga ada lebih banyak kesadaraan Islam di Indonesia pada waktu ini. Misalnya, permunculan sekolah Islam (pesantren) pada tingkat SD, SM dan SMA. Lembaga pendidikan itu mempunyai reputasi untuk ajaran pada tingkat tinggi.
Ibu Alphiana setuju bahwa memang ada beberapa perempuan yang berjilbab untuk alasan mode saja, tetapi hanya kelompok minoritas. Menurut dia, mungkin begitu karena adalah tren di Indonesia sekarang untuk menjadi dianggap sebagai lebih beragama, tetapi kalau arti berjilbab tergantung pada orang sendiri. Bagaimanapun, di luar batasan tuntunan Islam kalau mengritik orang lain untuk kegiatannya.
Desain-desain Ibu Alphiana diiklankan melalui keanggotaan APPMI. Sejak menjadi anggota pada tahun 1999, desain Alphiana Chandrajani dimasukkan ke dalam pameran mode tahunan APPMI. Karena pameran itu, ada banyak akses ke media massa, dan dia menerima permintaan untuk memfoto desain-desainnya untuk majalah dan koran. Juga, ada promosi desainnya kalau Ibu Alphiana berpidato di konvensi dan acara-acara yang lain.
Pada masa depan, Ibu Alphiana percaya bahwa mode Islam akan dipengaruhi oleh tren Eropa. Juga, negara Indonesia akan menjadi pusat busana Muslim di Asia Tenggara, karena sudah ada langganan di negara Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam untuk desain busana Muslim Indonesia.
Seorang Tailor Busana Biasa dan Busana Muslim: Ibu Indrawati
Ibu Indrawati sudah menjadi Tailor Busana lima tahun, tetapi baru satu tahun saja menjadi pemilik toko Emaku Tata Busana Wanita (sebelum itu dia bekerja di rumahnya). Toko itu tidak punya banyak pakaian, karena itu toko tailor. Oleh karena itu ada ruang tamu di depan, yang orang langganan bisa berdiskusi pesannya sama Ibu Indrawati. Pakaian dijahit di lantai kedua. Ibu Indrawati bukan tailor biasa sebelum menjadi tailor busana Muslim juga, dia selalu membuat dua-duanya. Menurut Ibu Indrawati, ada sasaran besar untuk busana Muslim. Banyak orang mau berbusana Muslim - ada demam busana Muslim.
Ibu Indrawati menyebut bahwa busana Muslim bukan bagian dari tradisi Indonesia, tetapi memang sudah menjadi populer. Menurut Indrawati, hal ini karena negara Indonesia sudah menjadi negara Islam yang penduduknya terbesar di dunia. Oleh karena itu orang-orang Indonesia sudah menjadi tertarik pada busana itu dan sudah menerima busana Muslim karena ada begitu banyak orang yang beragama Islam.
Dibandingkan membuat busana biasa, Ibu Indrawati berpikir membuat busana Muslim lebih mudah - yaitu tidak ada banyak gaya-gaya yang bisa dipakai karena semuanya harus menutupi aurat badan. Oleh karena itu desain-desain busana Muslim agak sama - tidak ada banyak variasi. Kalau busana biasa, bisa menunjukkan lekuk badan dan bagian badan seperti kaki dan tangan. Oleh karena itu desain-desain busana biasa jauh lebih bervariasi, menurut Ibu Indrawati.
Karena desain-desain busana Muslim agak sama, setiap tahun ada berubahan pola-pola di bordir, atau perhiasan berubah. Tetapi menurut Ibu Indrawati gaya berkerudung adalah bagian busana Muslim yang paling sering berubah. Dia berpikir di Indonesia busana Muslim dalam gaya Timur Tengah tidak populer, karena kalau dalam gaya Timur Tengah, harus menutupi semua badannya kecuali mata-mata. Di Indonesia, mode Islam lebih dinamis dan lunak - boleh memakai topi, boleh memakai warna-warna yang cemerlang, dan sebagainya.
Ibu Indrawati bukan perancang mode - para langganan biasanya membawa contoh untuk pesanannya. Tetapi Ibu Indrawati juga mendapat inspirasi dari majalah-majalah dan orang selebriti kalau dia tidak diberi contoh dari langganan. Langganan sering membawa foto dari majalah untuk diduplikasi oleh Ibu Indrawati. Dia mendapat inspirasi dari selebriti karena mereka sering di majalah, koran, dan televisi - dan selalu memakai desain-desain busana Muslim terbaru. Indrawati suka mendapatkan inspirasi dari majalah karena selalu berubah, dan punya gaya-gaya yang paling modern dan bermode. Kalau dari orang yang terkenal, Ibu Indrawati suka Ida Royani dan Inneke Koesherawati. Ida Royani adalah anggota APPMI (yang tersebut di atas) dan adalah orang yang berhasil dalam bidang perancang mode Islam. Indrawati suka Inneke Koesherawati juga karena dia sangat bermode. Inneke Koesherawati didiskusikan dalam Bab V - Busana Muslim: Distribusi.
Sasaran produk Ibu Indrawati kebanyakan Muslimah, tetapi juga ada banyak yang mencari busana biasa. Kalau mau rok malam yang seksi, Ibu Indrawati bisa menciptakan itu. Para langganan biasanya Ibu-Ibu yang dari kalangan atas, atau sudah berhasil dalam karirnya. Ibu Indrawati belum mengiklankan pelayanannya.
Menurut Ibu Indrawati, busana Muslim menjadi populer pada tahun 1980'an, waktu ada orang-orang yang terkenal mulai berbusana Muslim. Orang-orang ingin terlihat cantik dan rapi, tetapi tidak mau mengorbankan rupanya. Mereka juga ingin melindungi identitas individu, terus busana Muslim menjadi lebih kreatif dan individualis. Menurut Ibu Indrawati alasan-alasan mengapa berjilbab begitu populer di kampus pada waktu ini terdiri dari alasan tersebut - yaitu ada banyak pilihan untuk orang yang mau berjilbab tetapi menjadi cantik. Namun, seseorang yang biasanya berjilbab tidak dari kelas sosial tertentu, karena agama Islam belum kenal kelas sosial. Mereka harus menunjukkan tingkah laku yang baik dan beragama dengan taat saja.
Ibu Indrawati berjilbab tetapi belum berbusana Muslim karena dia merasa belum siap untuk melakukan itu. Dia masih memakai jeans karena pakaian itu masih praktis untuk bekerja. Dia baru berjilbab sejak tahun 2000, waktu dia berumur empat puluh satu. Ibu Indrawati merasa lebih anggun dan dihormati sejak berjilbab. Pada tahun 2000, dia ingin menjadi orang yang lebih baik. Untuk itu, dia berjilbab.
Menurut Indrawati, pada masa lalu (sekitar tahun-tahun 70'an dan 80'an), orang yang berjilbab dianggap sebagai agak fanatik, dan busana Muslim dianggap tidak modern. Orang-orang pada waktu itu berpikir perempuan yang berjilbab tidak cantik, dan tidak sampai pada akhir dasawarsa 80'an, busana Muslim menjadi lebih bermode.
Kalau orang mau pakai topi saja, atau kalau orang-orang berpakaian ketat, ini kurang taat, menurut Ibu Indrawati. Tetapi, orang-orang semacam itu mempunyai alasan pribadi untuk pakaiannya. Semuanya bagian perjalanan Islam. Dia berpikir memang ada Istri pejabat dan beberapa perempuan lain yang berjilbab sebagai symbol Islam semata - kalau berjilbab harus untuk alasan-alasan yang baik saja.
Perempuan yang berjilbab untuk alasan mode berkedok dari pemakaian jilbab, menurut Ibu Indrawati. Misalnya, dia melihat perempuan di toko yang berjilbab tetapi dia beli barang-barang yang tidak baik untuk orang Islam (misalnya minuman keras, babi). Dia berkedok saja - mungkin dia bukan Muslimah!
Ibu Indrawati mempunyai banyak jilbab - dia malu menyebutkan berapa. Tetapi alasannya mengapa mempunyai begitu banyak, karena dia harus dilihat sebagai orang yang bermode, rapi dan anggun untuk pekerjaannya.
Analisis
Sekalipun unsur perlawanan tidak kelihatan dalam produksi busana Muslim, ada beberapa poin yang menarik dari profil-profil di atas. Ibu Indrawati benar bahwa berbusana Muslim tidak bagian kebudayaan tradisional atau sejarah Indonesia. Pendapatnya mungkin memberi kesan bahwa perasaan identitas orang Indonesia sebagai orang Islam muncul sejak kebangkitan Islam dan oleh karena itu, busana Muslim menjadi cara supaya mengekspresikan perasaan itu. Pendapat Ibu Alphiana juga menarik - yaitu busana Muslim menjadi lebih populer sesudah pendidikan Islam yang lebih berkualitas.
Munculnya lembaga-lembaga seperti APPMI sudah mempopulerkan busana Muslim dalam lingkungan mode di Indonesia, dan gaya mode itu sudah punya derajat yang sama dengan gaya-gaya mode yang bukan berdasarkan ajaran beragama. Juga, industri memproduksi bukan untuk orang yang berbusana Muslim saja - sebagian besar pekerja di Alphiana Chandrajani serta Emaku tidak berjilbab.
Ibu-Ibu Alphiana dan Indrawati adalah contoh perempuan karir yang berhasil. Ibu Alphiana berbusana Muslim untuk dia sendiri - tidak dari saranan orang lain. Profil-profil di atas memberi gambaran lingkungan dan bagaimana produksi busana Muslim dilakukan. Ibu Alphiana dan Ibu Indrawati bisa menerima bahwa ada orang yang ingin berjilbab sambil berbusana yang ketat, tetapi dua-duanya mengakui bahwa praktek ini kurang taat. Tetapi, menarik bahwa Ibu Indrawati berpikir berjilbab sambil berbusana yang ketat terasa kurang taat, dia juga senang bahwa keadaan mode Islam di Indonesia lebih dinamis daripada di Timur Tengah. Memang di seluruh Asia Tenggara lebih dinamis, misalnya di Malaysia ada Muslimah yang berjilbab sambil berpakai kaus tangan pendek (Irfach 2004:51).
Ibu Alphiana menunjukkan toleransi kepada gaya mode yang lain dari mode Islam. Pekerjaannya di LPTB Susan Budihardjo menunjukkan dia mendorong semua gaya mode - memang ada pelajar di sana yang berjilbab tetapi mendesain pakaian yang sangat seksi dan memang tidak menutupi badan.
Ibu-Ibu tersebut dua-duanya menjadi malu dan tertawa kalau ditanya berapa jilbab yang mereka punyai. Tingkah laku menunjukkan bahwa walaupun mereka menciptakan busana Muslim dalam gaya yang terbaru dan trendi, mereka masih menganggap sendiri sebagai orang yang tidak boleh mendapat terlalu banyak kesenangan dari berbusana Muslim. Perasaan mereka mencerminkan ideologi kebudayaan massa - yaitu kalau busana Muslim menjadi bermode, bukan merupakan lambang dari ibadahnya. Tetapi mereka memang orang yang beragama Islam yang taat.
BAB V
BUSANA MUSLIM: DISTRIBUSI
Supaya bisa mendapat pengertian bagaimana busana Muslim dikonsumsi oleh masyarakat, harus melihat bagaimana busana Muslim dijual dan diiklankan - yaitu, bagaimana busana Muslim didistribusikan.
Toko Busana Muslim
Toko-toko busana Muslim adalah tempat-tempat untuk membeli pakaian, kebutuhan dan perlengkapan Islam. Berikut ini adalah profil dua macam toko busana Muslim. Pertama, ‘Agung Muslim Shop’ - sebuah toko yang juga toko perjalanan. Yang kedua, ‘Toko Hanna’, yang terletak di Pasar Besar - pasar yang terbesar di Kota Malang.
Agung Muslim Shop
Bapak Jusuf Beeran adalah pemilik Agung Muslim Shop , sebuah toko yang menjual busana Muslim tetapi juga merupakan agen wisata. Perjalanan yang ditawarkan semua mempunyai tema Islam, misalnya wisata naik haji dan umroh. Pada awalnya toko itu agen perjalanan saja, tetapi lima tahun yang lalu Bapak Jusuf mului menjual busana Muslim juga.
Sembilan puluh persen pakaian-pakain dibeli dari Jakarta, dan pakaian itu dibeli sekali per dua bulan. Ketika Pak Jusuf ditanya tentang tren-tren berubah dalam mode busana Muslim, dia berkata bahwa pada umumnya walaupun gaya pakaian tetap sama, perhiasan dan motif-motif di pakaian berubah setiap dua bulan. Menurut Pak Jusuf, mode di Malang dan Surabaya semua mengikuti tren-tren di Jakarta. Harga baju Muslim di Agung Muslim Shop mulai dari Rp80.000 sampai Rp200.000.
Agung Muslim Shop menyediakan perlengkapan Muslim untuk Ibu-Ibu, para mahasiswi, anak-anak sekolah, dan anak-anak kecil. Memang semua kelompok memilih gaya yang berbeda. Pak Jusuf belum pernah mengiklankan barang-barang di tokonya, semua pelanggan sudah tahu toko itu dari mulut-kemulut.
Lima tahun yang lalu Pak Jusuf menjadi sadar bahwa berbusana Muslim populer di Indonesia. Sebelum itu, dia berpikir sudah populer di kota-kota besar, tetapi belum di desa-desa dan kota-kota kecil. Untuk melindungi kesatuan perusahannya, Pak Jusuf mulai menjual busana Muslim dan bukan busana biasa. Pak Jusuf menjelaskan bahwa dia mempunyai lima anak-anak, dan mau mewariskan perusahan yang bernuansa Islam tetapi dinamis. Menurut Pak Jusuf, busana Muslim menjadi populer karena semakin banyak orang Indonesia ingin dianggap sebagai orang yang baik dan beragama. Khususnya di antara para mahasiswi, Pak Jusuf percaya bahwa faktor yang mendorong mereka berjilbab terutama supaya diterima di masyarakat kampus.
Pak Jusuf tidak bisa menggambarkan profil dari seseorang yang berjilbab karena tidak ada satu macam orang yang berjilbab. Menurut Pak Jusuf, tidak bisa menilai seseorang dari pakaiannya - ada orang-orang yang tidak baik yang berjilbab, dan ada orang-orang yang baik dan taat yang tidak berjilbab.
Toko Hanna
Di antara ratusan toko-toko di Pasar Besar, Malang, ada beberapa yang menjual busana Muslim. Salah satu toko-toko ini adalah Toko Hanna, yang dipunyai oleh Ibu Ninik Sumiati . Toko Hanna penuh dengan bermacam-macam kebutuhan Muslim, misalnya baju Muslim, topi, kerudung dan mukena. Toko Hanna dipunyai oleh keluarga Ibu Ninik sudah tiga puluh delapan tahun, maka walaupun pendidikan Ibu Ninik sampai Sekolah Dasar saja, dia masih bisa mencari nafkah dari toko itu.
Pakaian di Toko Hanna dibeli dari Malang, Jakarta dan Surabaya. Pakaian itu dibeli untuk toko itu mungkin sekitar satu atau dua kali seminggu - tergantung pada kalau ramai atau tidak. Menurut Ibu, tren-tren tidak sering berubah, biasanya gaya busana Muslim tetap sama. Sasaran Toko Hanna dari semua kelompok sosial, termasuk mahasiswi, dan juga ada orang yang bukan orang Muslim, karena ada busana biasa yang dijual di toko itu juga (tetapi kebanyakan produk di Toko Hanna produk Muslim). Ibu Ninik belum mengiklankan pakaiannya, tetapi dia menegaskan semua pakaiannya sudah dikenal sebagai pakaian yang bermutu.
Menurut Ibu Ninik busana Muslim sudah menjadi populer tiga sampai empat tahun, dan ini karena orang Indonesia menjadi tertarik pada mode sejak pada waktu itu, tetapi masih ingin mengikuti tuntunan Islam. Khususnya di antara para mahasiswi, Ibu Ninik berpikir pemudi lebih sadar terhadap agama Islam sekarang, dan ingin membersihkan diri, terus dia menjelaskan mengapa berjilbab begitu populer di kampus. Menurut Ibu Ninik seseorang yang berjilbab bukan dari kelas sosial tertentu, tetapi memang dia orang yang taat dari umur muda, terus mereka sudah tahu tentang agama Islam kalau mulai berjilbab.
Menurut Ibu Ninik, perempuan yang berjilbab sambil berpakaian yang ketat kurang baik - kalau mau berjilbab, harus sepenuhnya - yaitu tidak boleh berjilbab tanpa menutupi lekuk badannya juga. Kalau belum siap untuk melakukan semua, lebih baik kalau tidak berjilbab sama sekali. Ibu Ninik belum berjilbab, karena dia merasa belum siap - belum kuat untuk itu. Dia memakai topi dan busana yang tidak ketat. Menurut dia, ada banyak Istri pejabat yang berjilbab hanya sebagai simbol Islam semata - mudah-mudahan mereka akan memperbaiki diri sendiri dan berhenti bertingkah laku seperti itu. Memang kalau ada yang begitu, mungkin ada perempuan yang berjilbab untuk alasan mode saja, tetapi dia belum pasti.
Menurut Ibu Ninik, industri mode Islam di Indonesia dinamis dibandingkan negara-negara Islam yang lain karena begitu banyak orang Indonesia orang Muslim. Kalau ada sasaran konsumen yang besar, industri menjadi lebih dinamis.
Cara Mengiklankan Busana Muslim
Tujuan iklan busana Muslim dan artikel yang ditulis tentang busana Muslim adalah menunjukkan bahwa kalau berjilbab, atau berpakaian Islam, tidak harus mengorbankan kecantikannya. Beberapa artikel menulis bahwa memang bisa berjilbab dan masih menjadi cantik.
Majalah dan Buku-buku
Majalah-majalah memberi gambaran tentang kesan perempuan teladan. Sejak abad ke-18, majalah memberi campuran nasihat dan hiburan. Majalah-majalah itu adalah buku yang mengajar bagaimana hidup di antara kebudayaan patriarkhal (Storey 1993). Majalah-majalah menciptakan keinginan untuk merasa penyelasaian, tetapi juga mengakui pekerjaan sehari-hari perempuan (Story 1993). Oleh karena itu, majalah yang mengiklankan busana Muslim menunjukkan bagaimana menjadi perempuan yang teladan, karena majalah itu juga ada artikel tentang kesehatan, pekerjaan, dan keluarga. Busana Muslim menjadi lambang perempuan yang berhasil mencampurkan keluarga, pernikahan, dan pekerjaan (Craik 1994).
Khususnya selama bulan Ramadan majalah-majalah penuh dengan artikel tentang busana Muslim. Dalam satu terbitan Muslimah, yang adalah majalah untuk Muslimah muda, ada beberapa artikel tentang selebriti, pelatihan dan sebagainya, tetapi semua orang yang difoto berjilbab. Ada perkumpulan artikel-artikel tentang obesitas, dan salah satu artikel ini bernama "Gaya Segar Si Cantik" (Yuyun 2004:26-27), yang memberi ide bagaimana berbusana Muslim supaya mengurangi badan gemuk. Juga ada artikel yang memberi nasihat bagaimana memelihara rambut yang ditutup oleh jilbab, dan tren baru untuk mukena (Canti 2004:40-41).
Buku-buku tentang berbusana Muslim juga populer. Buku-buku untuk sasaran konsumen yang bermacam-macam - dari remaja sampai Ibu-Ibu yang sudah tua. Buku-buku itu memberi ide bagaimana trend terbaru berjilbab, dan menjawab pertanyaan tentang busana Muslim. Tetapi, juga ada buku yang berpendapat kalau mengikuti tren busana Muslim, praktek itu buruk. Salah satu buku ini, Bahaya Mode (Khalid 1999) berpendapat bahwa Muslimah tidak boleh mengikuti tren busana Muslim, karena tujuan busana Muslim supaya perempuan tidak dipandang secara bernafsu oleh laki-laki, dan kalau kelihatan cantik dan bermode sambil berbusana Muslim, pasti akan mengundang nafsu. Oleh karena itu, buku itu memberi nasihat bagaimana berbusana Muslim dengan aman, dan apa yang buruk tentang majalah-majalah Muslimah dan tren-tren busana Muslim.
Koran
Koran yang dipakai untuk penelitian ini adalah tabloid yang bernama ‘Aura’ dan ‘Nyata’ - dua koran tabloid khususnya untuk wanita di Indonesia. Karena lebih murah daripada majalah, koran tabloid bisa memberikan semua kelas sosial nasihat yang sama dengan majalah, tetapi lebih murah.
Kosmetika
Sunsilk Hijau adalah contoh bahwa industri kecantikan sudah menyadari bahwa busana Muslim menjadi unsur penting industri mode. Sunsilk Hijau adalah sampo terbaru dari Sunsilk untuk rambut yang gatal dan berminyak di penghujung hari - yaitu rambut yang ditutup oleh kerudung. Yang sangat menarik adalah cara mengiklankan produk ini.
Iklan Sunsilk Hijau dibintangi Inneke Koesherawati - bintang cantik yang pernah terkenal sebagai aktres yang seksi, tetapi sekarang berkerudung. Untuk iklan ini, Inneke berkerudung dan di iklan itu ditulis 'bersih segar berkerudung' .
Televisi
Di televisi, beberapa selebriti berbusana Muslim, dan oleh karena itu, busana Muslim menjadi gaya yang bermode dan 'trendi'. Misalnya, pada bulan Ramadan, bintang dari acara AFI (Akademi Fantasi Indosiar – persaingan nyanyi di televisi) berdiskusi apa maksudnya agama Islam untuk mereka sendiri, sambil berbusana Muslim. Mereka dilihat sebagai selebriti yang paling trendi dan modern, dan pasti menjadi orang teladan dalam bidang tren. Tri Utami, penyanyi terkenal dan salah satu wasit di acara AFI, adalah contoh pemakaian busana Muslim yang bemode dan anggun. Inneke Koesherawati, yang sudah disebut di atas, juga sering di televisi, dan berbusana Muslim yang paling modern.
Fashion Show
Fashion Show (pameran pakaian) adalah cara untuk orang-orang melihat busana Muslim sambil dipakai oleh peragawati. Foto-foto yang diambil dari fashion show sering di dalam koran dan majalah.
Pengalaman di 'Fashion Show'
Sesudah mewawancarai Ibu Alphiana Chandrajani, dia mengajak saya ikut ke fashion show di Supermal di Surabaya. Itu adalah pameran dari siang sampai malam, dan tujuan itu untuk menunjukkan mode dari bermacam-macam perancang mode dari Surabaya.
Kami naik mobil ke mal itu, tetapi berhenti sebentar supaya membeli tabloid Nova, yang ada foto desain Ibu Alphiana di dalam. Kami datang di mal itu dan mengikuti Ibu Alphiana, sedang membawa beberapa pakaian, topi dan kerudung untuk pameran itu. Ketika kami datang ke belakang panggung, ada banyak peragawati yang masuk dengan cepat, mencium para perancang, dan mulai melepaskan pakaian sendiri supaya mulai memakai pakaian dari perancang-perancang, sekalipun ada perancang laki-laki yang bisa lihat. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam.
Saya duduk di depan panggung dan membaca tulisan yang ditulis di atas panggung itu. Ini adalah fashion show untuk bridal fair (pameran pakaian, undangan, bunga-bunga dll. untuk pernikahan) di mal itu. Tetapi karena pakaian Alphiana Chandrajani bukan pakaian pernikahan, ini adalah pameran pakaian malam, yang bisa dipakai di pernikahan, serta pakaian pernikahan. Desain-desain Alphiana Chandrajani satu-satunya desain busana Muslim. Semua desain lain dalam gaya barat, tetapi desainnya termasuk sebagai bagian yang biasa di dalam pameran ini.
Ada musik dari Barat yang terdengar dengan keras. Musik ini adalah musik tentang hubungan seksual, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Inggris, mungkin penonton tidak bisa mengerti. Ada banyak lampu-lampu yang berwarna, dan oleh karena itu, ada suasana gembira dan yang mengandung harapan.
Para penonton adalah orang dari kelas menengah sampai kelas atas, dan karena ini adalah pameran pernikahan, ada banyak pasangan yang berpacaran yang meneliti bagaimana pernikahannya akan dijalankan. Ada banyak Ibu-Ibu juga, yang punya anak perempuan yang akan menikah, tetapi ada banyak keluarga juga, dengan anak-anak kecil.
Ketika pertunjukkan mode mulai, lampu-lampu dimatikan, dan asap muncul dari belakang panggung. Kira-kira enam peragawati muncul dari asap itu, dipakai dalam pakaian Alphiana Chandrajani. Mereka cantik, dan berdansa dan berjalan-jalan di atas panggung supaya para penonton bisa melihat desain-desain itu . Ada tukang potret yang di samping panggung, dan mereka berdesakan supaya bisa mengambil foto yang paling bagus untuk majalah-majalah dan koran-koran.
Sesudah peragawati yang memakai desain-desain Ibu Alphiana menghabiskan waktunya di panggung, ada kelompok peragawati baru yang mulai bermain di panggung. Ibu Alphiana datang dan duduk di samping saya. Ternyata perancang desain-desain yang sedang di panggung diciptakan oleh salah satu murid Ibu Alphiana dari LPTB Susan Budiharjo. Yang menarik adalah desain-desain ini seksi, dan badan peragawati mudah dilihat oleh para penonton .
Ibu Alphiana menjelaskan kepada saya bahwa dia mengajar desain mode - bukan desain mode Islam. Murid-murid boleh mengekspresikan kreativitas sendiri tanpa dikritik oleh Ibu Alphiana. Bahkan waktu saya menonton, perancang desain-desain tadi memasuki panggung supaya menerima tepukan dari para penonton, dan ternyata dia memakai jilbab.
Analisis
Dari semua informasi tersebut, bisa dilihat bahwa industri distribusi busana Muslim adalah industri yang sangat besar. Artikel yang mempertunjukkan bagaimana memakai jilbab, bagaimana menjahit busana Muslim dan bagaimana tetap cantik sementara berbusana Muslim sudah banyak.
Artikel-artikel tentang busana Muslim ditawarkan sama dengan artikel tentang kesehatan, masakan, dan kesantaian dalam satu edisi majalah atau koran tabloid. Perempuan diberi kebutuhan supaya menjadi perempuan yang berhasil dan senang. Oleh karena itu, majalah dan koran memberi kesan bahwa kalau mau menjadi perempuan teladan di Indonesia, bisa. Supaya menjadi perempuan teladan, mengikuti tren yang ada di artikel tentang busana Muslim, dan membaca artikel-artikel yang lain. Busana Muslim ditawarkan sebagai bagian supaya menjadi perempuan teladan di Indonesia.
Tetapi masih ada kesan bahwa busana Muslim tidak baik - yaitu tidak punya arti-arti karena dipengaruhi oleh industri mode. Pendapat ini mengikuti ideologi kebudayaan massa - dan pendapat itu diespresikan dalam buku-buku seperti Bahaya Mode. Tetapi, pendapat ini - bahwa mode dan Islam adalah campuran yang berbahaya - hanya diberikan oleh kelompok minoritas di Indonesia.
Karena busana Muslim tersedia sama busana lain di dalam beberapa majalah dan koran tabloid di Indonesia, ini bukti bahwa industri mode Islam bagian biasa industri mode di Indonesia. Di dalam fashion show, yang dijelaskan di atas, peragawati mencontoh busana Muslim sama busana biasa - peragawati yang tidak beragama Islam atau tidak berbusana Muslim sendiri.
Dari contoh Sunsilk Hijau bisa dilihat bahwa industri kosmetika juga menjadi tertarik pada busana Muslim, karena mereka menjadi sadar bahwa industri ini sudah bertambah cepat. Perusahaan itu meneliti bagaimana menciptakan sampo yang khusus untuk orang berkerudung. Metode mempromosikan sampu itu pandai. Mereka pakai peragawati/pemain yang namanya Inneke Koesherawati. Dulu, dia terkenal sebagai pemain yang seksi, tetapi baru-baru ini dia menentukan berkerudung. Di seluruh iklan Sunsilk Hijau, rambut Inneke Koesherawati tidak bisa dilihat.
Toko Hanna dan Muslim Agung Shop belum mengiklankan barang-barangnya - mereka sudah menerima begitu banyak langganan karena busana Muslim sudah populer. Busana ini diiklankan sering dari majalah, televisi, koran dan industri kosmetika, jadi cara mulut-kemulutnya adalah cara yang baik untuk pedagang busana Muslim. Gaya busana Muslim adalah gaya yang jarang diubah, menurut pemilik toko tersebut, maka orang sudah tahu apa yang di dalam toko busana Muslim. Oleh karena itu, mudah untuk berbelanja busana Muslim.
Yang menarik adalah pendapat para pemilik toko busana Muslim tersebut yang berpikir busana Muslim sudah menjadi populer dari tiga sampai lima tahun yang lalu. Mungkin pendapat ini tergantung pada konteks ekonomi. Menurut seorang tailor dan perancang mode Islam dari bab sebelum bab ini, busana Muslim menjadi populer jauh sebelum waktu itu. Tetapi, yang sudah disebut dalam sejarah busana Muslim di Indonesia, busana Muslim mulai sebagai busana yang agak mahal, terus hanya kelas ekonomi dan sosial yang tertinggi bisa beli. Toko-toko seperti Agung Muslim Shop dan Toko Hanna ternyata juga untuk orang yang kurang kaya. Demikian juga kelas ekonomis dan sosial menengah dan rendah bisa berbelanja di sana.
BAB VI
BUSANA MUSLIM: KONSUMSI
Sebagai kelompok yang memakai busana Muslim, pendapat-pendapat orang yang mengonsumsikan busana Muslim penting. Supaya mengerti mengapa perempuan berbusana Muslim, dan apa pendapatnya terhadap berbusana Muslim dalam konteks agama, sosial, ekonomi dan politik di Indonesia, para Mahasiswi di Kampus Universitas Muhammadiyah diteliti.
Kampus Universitas Muhammadiyah
Kebanyakan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang Kampus Tiga berjilbab . Muhammadiyah adalah salah satu dari dua organisasi Islam yang paling populer di Indonesia (yang lain adalah Nahdlatul Ulama). Walaupun tidak wajib beragama Islam kalau berkuliah di Universitas Muhammadiyah, tetapi mayoritas mahasisiwnya adalah Islam.
Untuk penelitian ini, dua puluh mahasiswi yang biasanya berjilbab diminta mengisi kwesioner tentang busana Muslim. Mahasiswi dipilih dari kampus Muhammadiyah karena organisasi ini mewakili Islam modern di Indonesia. Mahasiswi antara umur lima belas sampai dua puluh empat tahun diberi kwesioner karena kelompok ini biasanya kelompok yang paling mengonsumsi kebudayaan populer di Indonesia. Sebagai mahasiswi, mereka bisa dianggap sebagai perempuan yang berpendidikan dan dari golongan menengah ke atas.
Di antara semua responden, kebanyakan berjilbab sejak SMP atau SMA dan hanya dua dari dua puluh berjilbab sejak Sekolah Dasar. Ketika ditanya tentang apakah dirinya sebagai Muslimah yang taat, sebagian besar menjawab ya, tetapi hampir seperempat menjawab tidak. Alasan-alasan mereka bermacam-macam, misalnya beberapa menulis bahwa mereka mencoba memenuhi perintah-perintah Islam dan menghindari larangan supaya menjadi Muslimah yang taat. Di sisi lain, ada seorang responden yang bilang dia bukan Muslimah yang taat karena dia kadang-kadang keluar rumahnya tanpa jilbab dan dia menyimpang dari perintah Islam.
Mereka berjilbab karena beberapa alasan. Karena mau melindungi sendiri dari hal-hal yang tidak baik dan pergaulan bebas, agar terlihat anggun dan rapi, karena kewajiban, karena perintah oleh Tuhan, supaya tidak diganggu oleh laki-laki dan karena berjilbab nyaman dan aman. Beberapa responden mengatakan bahwa kondisi mereka lebih baik daripada sebelum berjilbab, dan bahkan laki-laki lebih menghormati perempuan yang berjilbab.
Waktu mulai berjilbab, setiap responden didukung oleh keluarganya untuk keputusannya. Pada umumnya, teman-teman mendukung putusan ini juga, tetapi ada beberapa responden yang teman-temanya agak kaget dan heran ketika mulai berjilbab. Ada teman yang bilang lebih cantik kalau berjilbab, ada yang tertawa kepada responden yang berjilbab. Juga ada yang kaget karena sebelumnya perempuan seperti tomboy (gadis kelaki-lakian).
Ketika ditanya, ‘tentang apa fungsi atau makna berjilbab bagi dirinya’? Ada yang mengatakan ‘untuk menutupi aurat', tetapi ada beberapa jawaban yang lain. Sekali lagi, alasan kewajiban ditulis, dan juga supaya tidak diganggu oleh laki-laki. Salah satu responden menulis bahwa artinya dalam hati berjilbab untuk dia adalah supaya dia bisa menjadi dia biasa. Responden lain bilang berjilbab kewajiban supaya menghindari nafsu, dan yang lain lagi bilang dia berjilbab karena mempercantik diri.
Ada beberapa kata-kata yang populer ketika ditanya ‘bagaimana rasanya pada saat berjilbab?’ Mereka mengatakan, senang, tenang, nyaman dan aman kata-kata yang paling populer, tetapi damai, enak, bahagia dan 'asyik-asyik aja!' diucapkan juga. Kata-kata ini dipakai untuk menggambarkan mengapa jilbab dipakai. Responden berpikir pada saat berjilbab mereka dihormati oleh laki-laki, mereka merasa lebih dekat kepada Tuhan, dan kalau berjilbab lebih mudah untuk mengatur perilaku. Tetapi juga ada responden yang percaya sebagai orang muda yang berjilbab, ada beberapa orang-orang tua yang berpikir orang muda berjilbab hanya supaya mengikuti tren.
Kebanyakan responden mempunyai lebih dari lima belas jilbab - bahkan hanya ada satu yang mempunyai kurang dari lima jilbab dan ada dua responden yang mempunyai lebih dari tiga puluh lima. Dari semua responden, hanya tiga tidak senang berbelanja dan mencoba gaya berjilbab yang baru. Dari responden yang lain, ide-ide untuk gaya baru diambil dari majalah atau tabloid (misalnya Nurani, Aura, Nova, Gadis dan Muslimah), orang terkenal, teman, dari ciptakan sendiri, dan televisi atau toko busana Muslim. Semua sumber ini ternyata pilihan yang populer tetapi yang paling populer adalah gaya-gaya dari majalah dan tabloid.
Faktor-faktor yang mendorong berjilbab kebanyakan faktor pribadi, keluarga dan teman, lingkungan masyarakat dan supaya memenuhi perintah Islam. Juga ada responden yang punya faktor-faktor seperti supaya menjadi lebih anggun dan rapi, dari saranan orang tua, lingkunan sekolah. Hanya ada satu responden yang menganggap menjadi lebih dekat kepada Tuhan dan supaya menjadi orang yang lebih baik sebagai faktor pendorong untuk berjilbab. Ada satu responden yang berjilbab untuk beberapa alasan, tetapi salah satu alasan supaya bisa dilihat sebagai perempuan (sebelum berjilbab, pertama kali orang mengenal dia, mereka pikir dia adalah laki-laki). Setiap responden meyakini berjilbab kewajiban dari Al-Qur'an.
Hampir setiap reaksi responden terhadap Muslimah yang berjilbab tetapi pakaiannya ketat adalah reaksi yang negatif. Beberapa menulis bahwa praktek itu tidak baik karena tuntunan Islam berkata bahwa tidak boleh menunjukkan lekuk badan, tetapi kalau berpakaian dengan ketat, lekuk badan bisa dilihat. Yang juga ditulis bahwa busana ketat sambil berjilbab perilaku yang abnormal, dan sama saja memakai topi karena sebenarnya tidak menutupi aurat kalau bisa melihat lekuknya. Ada pendapat dari responden bahwa praktek ini bukan tentang agama, tentang tren dan mode saja. Mereka merendahkan diri kalau memakai pakaian ketat. Akan tetapi, ada beberapa responden yang tidak punya pendapat yang begitu negatif terhadap perempuan yang berjilbab tetapi pakaiannya ketat. Salah satu responden mengucapkan bahwa terserah orang sendiri kalau mau pakaian ketat tetapi masih kurang baik. Ada beberapa lagi yang berpikir bahwa perilaku tergantung pada perasaan orang sendiri - kalau tidak menganggu orang lain tidak apa-apa. Seorang responden percaya bahwa kalau bagian proses belajar cara dan perjalanan berjilbab, tidak apa-apa.
Setiap responden sangat sadar tentang keadaan agama Islam terhadap masyarakat Barat (misalnya Amerika Serikat, Australia dan negara-negara di Eropa). Walaupun persepsi terhadap negara-negara Barat berbeda dari yang positif sampai yang negatif. Ada beberapa responden yang mempercayai persepsi orang-orang Barat kepada orang Islam yang berjilbab positif - yaitu mereka menghormati orang Islam, atau mereka lebih nyaman dengan agama Islam sekarang daripada masa lalu. Kebanyakan responden berpikir bahwa masyarakat dan pemerintah di negara-negara Barat tidak menghormati Islam, dan mereka tidak menghormati gaya hidup, HAM (hak-hak asasi manusia), nilai-nilai dan tujuan Islam. Salah satu responden mengucapkan negara Perancis sebagai contoh - di sana dilarang memakai jilbab. Beberapa responden lagi menyebut tidak boleh berjilbab di sekolah-sekolah di negara-negara Barat.
Kebanyakan responden percaya bahwa Westernisasi sudah terjadi di Indonesia. Mereka memberi pergaulan bebas, narkoba, busana ketat, musik dari Barat jadi populer, gaya berbicara, diskotek dan minuman keras sebagai contoh-contoh kedatangan Westernisasi di Indonesia.
Sesudah kwesioner ini diambil dari para mahasiswi, lima mahasiswi lagi diwawancarai tentang pendapat dan pengalaman mereka supaya mendapat pengertian yang lebih dalam dari seorang yang berbusana Muslim. Yang berikutnya adalah profil kecil dari responden wawancara itu.
Profil Mahasiswi Yang Berjilbab
Ika
Ika adalah mahasiswi dari fakultas Agribisnis yang berjilbab. Dia dibesarkan dalam lingkungan agama yang agak taat, karena Ayahnya mengajar di pesantren. Setiap perempuan di keluarganya berjilbab. Tetapi, Ika menyebut bahwa keluarganya demokratis dan walaupun dia dan saudara-saudaranya diajar tuntunan Islam, mereka diperbolehkan memilih gaya hidupnya sendiri. Ika bukan beranggota kelompok atau aktivitas politik di kampus, dan kalau ditanya tentang pendapat terhadap politik di Indonesia dia percaya bahwa keadaan politik agak baik - yaitu pembangunan cukup baik, dan rakyat punya lebih banyak hak-hak. Kalau rakyat tidak senang dengan hal-hal politik, mereka bisa mengekspresikan perasaannya.
Dulu, Ika menjadi anggota kelompok agama yang bernama Jemaah Mesjid A.R Fachruddin di mesjid kampus, tetapi dia tidak merasa cocok di dalam kelompok itu maka keluar kelompok itu dan mulai belajar Islam sendiri. Ika keluar karena dia ingin tahu mengenai agama Islam tetapi kelompok itu berdiskusi hal-hal tentang struktur organisasi itu dan hal-hal ini tidak penting untuk Ika. Ika bangga menjadi Muslimah Indonesia. Menurut pendapat dia Indonesia bersikap toleran kepada semua agama meskipun beberapa perang agama baru-baru ini.
Kalau menggambarkan diri, Ika adalah pemberontak. Ika tidak suka disuruh-suruh, dan suka semua hal-hal yang demokratis. Ika mengidolkan Ibu Kartini, seorang feminis dilahirkan pada tahun 1879 di antara zaman penjajahan. Karena Ibu Kartini dibesarkan pada zaman yang menganggap perempuan sebagai agak rendah, perempuan disangka belajar di dapur saja. Tetapi Ibu Kartini mempercaya bahwa perempuan dan laki-laki punya kedudukan yang sama di antara masyarakat - yaitu perempuan mempunyai cita-cita, kemampuan dan harapan juga dan bisa menentukan hidupnya. Ika percaya bahwa ide-ide ini membantu memajukan sikap-sikap terhadap perempuan pada saat ini di Indonesia.
Ika sudah mempunyai pacar seorang laki-laki satu tahun. Kalau ditanya tentang pendapat pacarnya terhadap berjilbab, Ika berkata bahwa pacarnya sangat suka dia berjilbab - bahwa dia lebih cantik kalau berjilbab. Juga, walaupun dia sudah menghormati perempuan, pacarnya lebih menghormati perempuan yang berjilbab.
Nur
Nur mahasiswi Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Malang. Walaupun dia diajar tentang agama Islam dari umur yang sangat muda, ajaran itu tidak berat atau fanatik, dan Ibu hanya memakai topi yang tidak menutupi aurat daripada berjilbab. Nur baru memakai jilbab sejak enam bulan sebelum berkuliah. Dia mempunyai kurang lebih empat puluh jilbab.
Nur tidak bisa berkomentar tetang politik Indonesia karena dia tidak belajar keadaan itu - dia hanya punya partai favorit. Dia bukan anggota kelompok-kolompok politik atau agama. Nur memisahkan identitas sebagai orang Indonesia dari identitas sebagai orang Islam. Menurut dia, negara dan agama tidak boleh dicampur, tetapi negara Indonesia masih terlibat dengan agama karena agama bagian gaya hidup di Indonesia.
Nur berusaha menjadi orang yang jujur dan ketulusan hati. Nur menjaga menjalankan hidup yang beragama, tetapi dia sadar bahwa dia belum orang yang sempurna. Kalau ditanya menggambarkan perempuan teladan di Indonesia, dia menyebut perempuan yang berakhlak - yaitu Ibu, Isteri, dan Ibu rumahtangga yang baik. Tetapi yang terutama dia harus menjadi ibu yang taat. Agama harus mengatur semua peran-peran perempuan Indonesia.
Responden ketiga
Responden ketiga adalah mahasiswi dari jurusan Biologi. Dia dibesarkan di antara keluarga yang tidak terlalu fanatik, hanya netral saja. Walaupun ada banyak orang di Jawa Timur yang beranggota Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, keluaraga responden ketiga tetap netral di antara hal-hal agama. Dia berjilbab sejak SD, tetapi kadang-kadang dia tidak memakai jilbab - hanya berjilbab di sekolah. Responden ketiga mempunyai sekitar sepuluh jilbab.
Responden ketiga tidak mengerti politik di Indonesia terus dia tidak mau berkomentar hal-hal itu. Dia tidak mengikuti aktivitas politik atau beranggota kelompok agama di kampus.
Kalau ditanya tentang identitas orang-orang Indonesia dan kalau itu berhubungan Islam, responden ketiga mempercaya bahwa orang Indonesia tidak mengikuti budaya asing, tetapi setiap orang di Indonesia punya identitas yang berbeda dan ada banyak identitas-identitas ini yang bukan Muslim.
Responden ketiga tidak berpikir ada sesuatu hal yang unik atau khas tentang dirinya, tetapi kalau mau menjadi perempuan teladan, harus menjadi berhasil dalam bidang-bidang keluarga dan karir.
Rina
Rina dibesarkan dalam keluarga yang agak taat. Mereka tidak bisa melakukan apa yang dilarang, dan harus mengikuti perintah-perintah Islam, tetapi keluarga itu tidak fanatik. Ibu Rina memakai topi yang menunjukkan auratnya. Rina mulai berjilbab sejak masuk universitas dan sedang punya kurang lebih lima belas jilbab.
Pendapat Rina terhadap politik di Indonesia agak negatif. Mereka tidak melayani kebutuhan masyarakat, hanya keinginan dirinya. Oleh karena itu ada banyak masalah seperti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Rina bukan beranggota kelompok agama atau politik.
Kalau menggambarkan dirinya, Rina adalah orang yang ramai dan ramah. Perempuan teladan di Indonesia bisa berhubungan dengan baik dengan siapa saja, dan bisa menjadi cocok dengan siapa saja. Dia penuh perhatian dan individualis.
Dwi
Semahasiswi ilmu Kommunikasi, Dwi baru berjilbab satu tahun. Pada awalnya dia berjilbab tidak untuk alasan agama, tetapi untuk menjaga diri dan supaya dianggap lebih rapi dan sopan. Tetapi sesudah belajar agama Islam, dia semakin banyak ingin berjilbab untuk alasan-alasan agama dan pada saat ini menganggap berjilbab sebagai wajib. Keluarga Dwi bukan keluarga yang beragama Islam dengan taat waktu Dwi masih anak, tetapi masih didasarkan tuntunan Islam. Ibu Dwi baru berjilbab juga.
Dwi berpikir politik di Indonesia lebih baik daripada masa lalu. Pada awalnya ada banyak perlawanan dari para mahasiswa tetapi pemerintah lebih pandai sekarang. Tetapi menurut Dwi masyarakat Indonesia lebih gelisah dan punya lebih banyak kekuasaan. Oleh karena itu pemerintah lebih dapat dipertanggung jawabkan daripada sebelumnya. Dwi tidak mengikuti aktivitas politik di kampus atau beranggota kelompok agama.
Islam adalah bagian identitas Dwi. Memang harus, karena Islam adalah cara hidup. Supaya bisa tahu cara di antara hidup harus memakai Islam - Islam bisa membantu bagaimana tahu diri sendiri. Dwi berpikir dia orang yang fleksibel dan bukan diktatoris. Dwi sudah tahu batasannya pribadi dan sosial. Kalau berdiskusi perempuan teladan, perempuan itu sudah tahu dirinya tapi tetap sifat feminin. Sebetulnya, orang-orang tidak membatasi dia, tetapi dia tahu keinginan Tuhan.
Pengalaman Pribadi Berjilbab
Karena saya sedang meneliti tindakan berjilbab, maka saya mencoba berjilbab supaya bisa merasa perasaan saat jilbab seperti perempuan-perempuan Indonesia. Saya mencoba berjilbab ketika bulan Ramadan mulai, dan berjilbab menjadi wajib untuk semua perempuan kalau di kampus Universitas Muhammadiyah Malang, tempat yang saya kuliah.
Kami ke kos teman, yang Ibu kosnya adalah dosen di Muhammadiyah dan sudah menawarkan meminjamkan jilbab-jilbab, dan membantu memakai jilbab-jilbab itu. Kami senang memilih warna yang serasi dengan pakaian kami, dan senang mencoba gaya-gaya berbeda.
Sambil dosen antar kami ke kampus saya merasa tidak nyaman - pasti orang menjadi terhina dari percobaan saya untuk menjadi cocok di dalam masyarakat kampus dan menutupi aurat seperti perempuan Islam, tetapi ternyata perasaan ini jauh lebih berbeda. Karena berjilbab saya merasa cocok - seperti saya diberi hak untuk datang ke kampus. Sebagai perempuan asing yang biasanya mendapat banyak perhatian dari laki-laki Indonesia, saya menjadi sadar bahwa ada penurunan perhatian ini. Orang masih lihat terus (mungkin lebih banyak daripada yang biasa karena saya orang asing yang memakai kerudung), tetapi mereka tidak berteriak atau bercanda-canda dan mereka tidak menertawakan. Bahkan, orang Indonesia yang saya ajak bicara dengan menyebut mereka senang sekali bahwa saya berjilbab sementara di bulan Ramadan. Saya merasa kalau berjilbab - dan oleh karena itu menjadi kurang 'berbeda' - saya menjadi lebih cocok dan nyaman di antara para mahasiswa. Dan juga saya merasa lebih nyaman mengekspresikan diri dan menjadi lebih yakin.
Satu teman Australia lagi berkomentar perasaan kekuasaan ketika dia berjilbab di kampus. Dia merasa bisa dianggap sebagai perempuan Indonesia, tetapi ini bermaksud bahwa karena usahanya menjadi cocok, dia minta lebih hormat dan tidak takut untuk mengekspresikan diri kalau terganggu oleh orang lain.
Pengalaman ini memberi kepada saya pengertian mengapa ketika perempuan berjilbab, kebanyakan merasa merdeka dan senang. Ketika berjilbab, saya merasa aman dan yakin, dan walaupun saya tidak merasa takut kalau tidak berjilbab, saya tidak merasa seperti anggota masyarakat Indonesia.
Analisis
Dalam bab ini konsumsi busana Muslim dilihat di antara konteks politik, sosial dan ekonomi. Responden ditanya tentang pendapatnya politik di Indonesia dan di luar negeri, responden diobservasi di antara keadaan sosial, dan karena setiap responden sudah menghadiri universitas, setiap responden dari keadaan ekonomi yang bisa membayar untuk pendidikan di tingkat yang paling tinggi. Oleh karena itu mahasiswi yang ditanya tentang pendapat-pendapat berbusana Muslim bisa dianggap sebagai anggota golongan menengah sampai atas.
Ternyata bisa dilihat ada beraneka macam pendapat-pendapat dan beberapa alasan yang diberikan oleh mahasiswi tentang topik berjilbab dan busana Muslim. Dari semua jawaban dan pendapat-pendapat yang diberikan, tidak ada mahasiswi yang memahami betul tentang topik politik di Indonesia. Tidak ada responden yang menjadi anggota kelompok atau aktivitas politik, oleh karena itu mereka berpendapat bahwa pemakaian busana Muslim tidak perilaku yang melawan politik di Kampus Muhammadiyah Malang.
Tetapi, ada beberapa alasan untuk membuktikan bahwa mungkin ada unsur perlawanan di antara berbusana Muslim. Kata-kata seperti 'nyaman', 'aman' dan 'tenang' sering dipakai supaya menggambarkan perasaan sedang berjilbab, dan hampir setiap responden bilang bahwa mereka merasa lebih dihormati oleh laki-laki kalau berjilbab. Sedangkan perempuan tidak berbusana Muslim sebagai perilaku perlawanan yang terbuka, mungkin mereka merasa lebih yakin dan aman karena mereka lebih pasti terhadap laki-laki. Responden sering menyebut mereka merasa lebih cocok di antara konteks kampus kalau berjilbab. Kalau mereka lebih yakin terhadap laki-laki, perilaku dan perasaan ini adalah lambang mereka melawan ideologi di Indonesia yang ditempatkan di atas masyarakat Indonesia. Perasaan ini dibuktikan oleh jawaban dari para mahasiswi yang diwawancarai. Memang masih ada mahasiswi - dan oleh karena itu masih ada bagian masyarakat - yang berpikir perempuan Indonesia yang teladan adalah Ibu rumahtangga, tetapi pada umumnya responden berkata bahwa perempuan Indonesia pada saat ini bisa menjadi perempuan karir serta Ibu dan Istri.
Tetapi peran mode masih bagian yang agak besar di antara berbusana Muslim. Kebanyakan mahasiswi yang diberi kwesioner senang berbelanja dan mencoba gaya berjilbab atau berbusana Muslim baru. Yang menarik adalah beberapa responden mempercaya bahwa tujuan menutupi aurat supaya tidak diganggu oleh laki-laki, banyak responden mempercayai perempuan yang berjilbab lebih cantik, rapi dan anggun.
Sebagai mahasiswi yang suka berkonsumsi busana Muslim, apa maksud busana Muslim bagi mereka? Dari observasi dan jawaban-jawaban, kebangkitan Islam di Indonesia bisa dilihat dalam konteks kampus University Muhammadiyah Malang sudah terjadi, dan busana Muslim sudah menjadi bagian identitas mahasiswi yang berbusana Muslim itu.
Pengalaman pribadi menunjukkan dan membuktikan bagaimana kebudayaan pop bisa melawan ideologi yang ada di lingkungan. Sebagai perempuan yang belum pernah memakai jilbab, saya merasa perasaan-perasaan sama dengan mahasiswi yang biasanya berjilbab, tetapi dari perspektif yang lain. Saya sadar peran perempuan di Indonesia, sangat berbeda dari pendapat masyarakat Australia terhadap para perempuan. Tetapi saya merasa lebih dihormati kalau berjlbab, oleh karena itu saya merasa lebih yakin dan pasti.
Kalau menunjuk kepada artikel Sian Powell (yang berpendapat bahwa berjilbab tidak lambang ibadah lagi karena sudah pakaian yang populer), bisa dilihat itu tidak benar. Memang setiap responden berpikir ada perempuan yang berjilbab tetapi berpakaian ketat, tetapi sebagian besar tidak begitu, dan orang yang begitu belum pasti tentang tuntunan Islam. Sian Powell memang benar waktu menulis berjilbab itu sudah praktek yang populer, tetapi dia tidak benar kalau mempunyai percayaan bahwa kalau sudah populer, tidak bisa tetap lambang ibadah.
Pendapat ini mencerminkan Ideologi Kebudayaan Massa. Memang ada responden yang dipengaruhi oleh ideologi itu. Kalau ditanya berapa jilbab yang Anda punyai, kalau lebih dari sepuluh, hampir setiap responden menjadi malu dan tidak mau memberitahu berapa jilbab-jilbab dia punyai. Pendapat ini membuktikan bahwa ada pendapat bahwa kalau sebuah komoditi menjadi populer, maksud asli hilang. Tetapi kalau orang merasa begitu, mereka lupa bahwa kalau mendapat kesenangan dari praktek berjilbab, praktek itu tidak salah. Sudah ada bukti dari kwesioner dan wawancara bahwa orang-orang yang berjilbab untuk alasan yang terutama agama.
BAB VII
BUSANA MUSLIM DI MASA DEPAN
Kalau berbusana Muslim sudah menjadi populer di Indonesia, dan pemakaian busana itu sudah dianggap sebagai biasa saja, bagaimana industri busana Muslim di masa depan? Di antara suatu lingkungan, masih ada kesan bahwa busana Muslim untuk orang-orang tua (Kompas 2003). Ada usaha untuk memodernisasikan desain-desain busana Muslim, dan menciptakan desain yang lebih muda dan dinamis (Kompas 2003).
Menurut Ibu Alphiana Chandrajani, busana Muslim akan tetap populer di Indonesia, dan ada kemungkinan Indonesia akan menjadi pusat untuk industri mode Islam. Memang Indonesia mungkin menjadi negara yang penting untuk busana Muslim - busana Muslim di Indonesia sangat dinamis, dan karena penduduk Indonesia penduduk Islam yang terbesar di seluruh dunia, ada sasaran yang sudah siap untuk menambahkan industri mode Islam.
BAB VIII
PENUTUP
Kesimpulan
Skripsi ini meneliti kalangan industri busana Muslim, dan industri itu sebagai unsur kebudayaan populer di Indonesia. Industri busana Muslim sedang berkembang dengan baik, dan Indonesia memang mungkin menjadi pusat busana Muslim di Asia Tenggara. Dari semua responden yang diwawancarai, tidak ada seorang yang bisa menggambarkan perempuan yang berbusana Muslim. Mereka tidak bisa karena tidak ada orang yang khas yang berbusana Muslim - setiap orang memilih berbusana Muslim untuk alasan sendiri yang pribadi. Orang-orang yang diwawancarai menunjukkan alasan yang luar biasa dan khusus untuk berbusana Muslim, memang orang-orang yang lebih tua, misalnya pemilik toko busana Muslim dan perancang mode Islam mengatakan orang-orang boleh berjilbab sambil berpakaian ketat, karena lebih baik daripada tidak berjilbab sama sekali.
Seperti ada stereotip terhadap kebudayaan Barat di Indonesia (misalnya pergaulan bebas dan narkoba), memang ada stereotip tentang busana Muslim yang asal dari negara-negara Barat, dan juga dari dalam Indonesia. Ada orang yang berpendapat berbusana Muslim tidak tindakan kesenangan. Skripsi ini sudah membuktikan bahwa pendapat ini salah di Indonesia - hampir setiap responden senang mengonsumsi busana Muslim, dan mereka merasa lebih taat kalau berbusana Muslim. Skripsi ini juga membuktikan bahwa sekalipun busana Muslim sudah menjadi populer di Indonesia, tetapi masih melindungi arti-arti agama - bukan mode saja. Lingkungan politik dan budaya di Indonesia memperbolehkan mode Islam menjadi bermode dan dinamis. Keadaan ini begitu oleh karena perasaan tidak suka Islam dengan fanatik, dan karena proses popularisasi agak baru. Berbusana Muslim di antara konteks politik, agama, sosial dan ekonomis berubah sejak kebangkitan Islam pada tahun 1980’an. Pada waktu itu konteks politik dan sosial berarti berbusana Muslim menjadi tindakan perlawanan terhadap keadaan di Indonesia. Tetapai pada waktu itu, konteks politik dan sosial menjadi lebih menerima berbusana Muslim. Konteks agama berubah - orang Indonesia ingin dilihat sebagai lebih taat sekarang. Konteks ekonomi berubah juga - yaitu pada masa lalu busana Muslim untuk orang kaya saja, tetapi karena busana Muslim bisa dibeli untuk harga yang murah di pasar, sampai boutique ekslusip dan mahal, siapa saja bisa berbusana Muslim.
Karena orang-orang yang diobservasi dan diwawancarai di dalam studi lapangan ini tidak mewakili setiap orang Indonesia, tidak bisa menganggap kesimpulan dari skripsi ini sebagai benar di seluruh negara Indonesia. Setiap orang mempunyai identitas yang lain, dan alasan-alasan untuk berbusana Muslim semua berbeda karena setiap orang punya tingkah laku yang individualis.
Sekalipun orang-orang tidak mengekspresikan keputusannya untuk berbusana Muslim sebagai tingkah laku perlawanan, mereka bisa mengekspresikan sendiri sebagai perempuan dengan lebih terbuka, karena busana Muslim memberi perempuan di Indonesia kemampuan untuk menjadi lebih yakin di antara masyarakat. Untuk setiap orang, berbusana Muslim merupakan identitasnya - sebagai orang Islam, orang Indonesia, dan perempuan teladan. Berbusana Muslim menjadi secara untuk menemukan diri, dan secara untuk mengekspresikan identitas sebagai perempuan Islam.
Daftar Pustaka
2003 “Harmoni Tropis Busana Muslimah APPMI” Kompas http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/09/keluarga/675181.htm (18 September 2004)
Ang, Ien 1993 "Dallas and the Ideology of Mass Culture." di dalam During, Simon (Redaksi)
The Cultural Studies Reader Routledge, London pp403-420
APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia) 2004 Ragam Gaya Kerudung Gramedia, Jakarta
Brenner, Suzanne 1996 "Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and 'The Veil'" American Ethnologist Volume 23 (pp.673-697)
Canti, 2004 "Aneka Mukena Cantik" Nova Xtra No. 870A/XVII 28 Oktober p.40-41
Craik, Jennifer 1994 The Face of Fashion Routledge, London
Departemen Agama RI Al-Qur'an Dan Terjemahnya CV. Asy Syifa', Semarang
Fiske, John 1989 Understanding Popular Culture Unwin Hyman, London
Geertz, Clifford "Traditional Islamic dress" http://faculty.uccb.ns.ca/philosophy/203/fourth%20reading.htm (18 September 2004)
Goodman, Ellen 13 September 2001 “The Hijab’s Heightened Meaning” The Cincinatti Post http://www.cincypost.com/2001/nov/13/ellen111301.html (18 September 2004)
Irfach, 2004 "Seminggu di Kuala Lumpur" Muslimah Edisi 29/III/Desember pp.50-53
Jenkins, David 1998 'Islam's New Bastion' http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/01/11/0046.html (11 June 2004)
Khalid Bin Abdurrahman Asy - Syayi 1999 Bahaya Mode Gema Insani Press, Jakarta
Lucente, Gregory L “Gramsci, Antonio” http://www.press.jhu.edu/books/hopkins_guide_to_literary_theory/antonio_gramsci.html (18 September 2004)
Marcoes-Natsir, Lies 2004 “Symbol of Defiance or Symbol of Loyalty?” http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-549/_nr-5/_p-1/i.html (18 September 2004)
Powell, Sian 2003 "No helmet, but scarf compulsory" The Weekend Australian Magazine April 12-13 p.45
Shamsul, AB 1997 "Identity construction, Nation Formation and Islamic Revivalism in Malaysia" di dalam Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (Redaksi) Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia Honolulu, University of Hawaii Press pp 207-227
Story, John 1993 An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture Prentice Hall London
Suryakusuma, Julia I 2002 “Indonesian Perceptions of the West” http://www.indopubs.com/perceptions.rtf (18 September 2004)
Yuyun, 2004 "Gaya Segar untuk Si Chubby" Muslimah, Edisi 29/III Desember 2004 p. 26-27
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang menjahit kebaya kutu baru
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Jenis Tusuk Hias
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : https://centerformunawareducation.files.wordpress.com/.../busana-muslim-dan-kebudaya...
0 komentar:
Post a Comment