SEJARAH GERAKAN PEMUDA ANSOR
GP ANSOR Masa Pra dan Pasca Kemerdekaan
TERBENTUKNYA GP ANSOR (Pra Kemerdekaan)
Sejarah lahirnya GP Ansor tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kelahiran dan gerakan NU itu sendiri. Tahun 1921 telah muncul ide untuk mendirikan organisasi pemuda secara intensif. Hal itu juga didorong oleh kondisi saat itu, di mana-mana muncul organisasi pemuda bersifat kedaerahan seperti, Jong Jafa, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Minahasa, Jong Celebes dan masih banyak lagi yang lain.
Dibalik ide itu, muncul perbedaan pendepatan antara kaum modernis dan tradisioonalis. Disebabkan oleh perdebatan sekitar tahil, talking, taqlid, ijtihad, mashab dan masalah furuiyah lainnya. Tahun 1924 KH. Abdul Wahab membentuk organisasi sendiri bernama Syubbanul Wathan (pemuda tanah air). Organisasi baru itu kemudian dipimpin oleh Abdullah Ubaid (Kawatan) sebagai Ketua dan Thohir Bakri (Peraban) sebagai Wakil Ketua dan Abdurrahim (Bubutan) selaku sekretaris.
Setalah Syubbanul Wathan dinilai mantap dan mulai banyak remaja yang ingin bergabung. Maka pengurus membuat seksi khusus mengurus mereka yang lebih mengarah kepada kepanduan, dengan sebutan “ahlul wathan”. Sesuai kecendrungan pemuda saat itu pada aktivitas kepanduan sebagaimana organisasi pemuda lainnya.
Setalah NU berdiri (31 Januari 1926), aktivitas organisasi pemuda pendukung KH. Abdul Wahab (pendukung NU) agak mundur. Karena beberapa tokoh puncaknya terlibat kegiatan NU. Meskipun demikian, tidak secara langsung Syubbanul Wathan menjadi bagian (onderbouw) dari organisasi NU.
Atas inisiatif Abdullah Ubaid, akhirnya pada tahun 1931 terbentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Meski ANO sudah diakui sebagai bagian dari NU, namun secara formal organisasi belum tercantum dalam struktur NU, hubungannya masih hubungan personal.
Baru pada muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 21-26 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai Departemen Pemuda NU, satu tingkat dengan bagian da’wah, ekonomi, mubarrot dan ma’arif. Adapun struktur ANO pertama: President: H.M. Thohir Bakri; vice President: Abdullah Oebaid; dan secretaris : H. Acmad Barawi, Abdussalam
Kongres I di Surabaya
Foto: Suasana Kongres I ANO di Surabaya 30 April s/d 2 Mei 1936
Kongres pertama di Surabaya baru dihadiri 8 Cabang dari Jawa Timur dan 2 Cabang dari Jawa Tengah. Disebabkan karena saat itu sebagian besar cabang NU bukan belum memiliki inisiatif, tetapi juga masih muncul pro-kontra pendirian ANO. Pada saat Muktamar NU ke-11 (9-13 Juni 1936), baru kemudian merekomendasikan agar masing-masing NU membentuk ANO.
Kongres II di Malang
Setelah ANO berdiri di berbagai daerah, PB ANO kemudian mengambil insiatif untuk melaksanakan Kongres II. Salah satu keputusan penting kongres adalah mendirikan Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kemudian disebut Banser. Selain itu juga menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama menyangkut Banoe.
Kongres III 1938
Langkah ANO sebagai organisasi pemuda semakin berkembang, dan Kongres III ini dianggap sebagai Kongres paling bersejarah dan menyedot perhatian luas. Waktu itu, setiap peserta kongres mengenakan pakaian seragam kebesaran. Sementara Banoe menunjukkan keterampilannya dalam baris berbaris dan olah raga pencak silat, terkesan solid dan tema yang diangkat sangat aktual. Memutuskan beberapa hal penting: (1) meningkatkan pengamalan reglement; (2) memperingati hari lahir ANO setiap tahun di semua cabang; (3) mendirikan banoe di semua cabang dan mengaktifkan Riyadlatul Badaniyah serta latihan baris berbaris; (4) mengusahakan terwudnya taman bacaan di setiap cabang; (5) mengesahkan Mars ANO al iqdam; (6) berusaha bersama NU mendirikan poliklinik; (7) menginstruksikan kepada setiap cabang untuk mengaktifkan confrentie found; (8) mengutus Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid ke Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten.
Kongres IV: Gabungan 1939
Bahwa kongres ANO IV rencananya dilaksanakan di Madura (Pemekasan), oleh Muktamar NU ke-13 di Menes, agar digabung dengan Muktamar NU ke-14 di Magelang (15-21 Juli 1939). Pada kongres kali ini, pro kontra tentang eksistensi ANO sudah bisa dikatakan berakhir.
GP ANSOR PASCA KEMERDEKAAN
Seperti diketahui bahwa setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tersiar berita bahwa pemerintah Inggris dan kerajaan Belanda telah sepakat bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Persetujuan tersebut terkenal dengan nama Civil Affair Agreement.
Atas dasar itu, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Jawa dan Madura. Dalam undangan tersebut disebutkan agar tanggal 21 Oktober 1945, para undangan datang ke Kantor PBNU di Jl. Sasak, No.23. Malamnya, 23 Oktober 1945, rapat PBNU yang dihadiri seluruh konsul NU se-Jawa dan Madura dimulai. Rais Akbar KH. Hasyim Asy’arie menyampaikan amanatnya berupa pokok kaidah kewajiban umat islam dalam berjihad membela tanah air. Rapat yang dipimpin Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, yang diberinama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”. Intinya, mewajibkan setiap umat Islam (Fardlu ‘Ain) mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan musuh.
Resolusi jihad tersebut telah membakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo dan menjadi sumber inspirasi dan motifasi dalam mengusir penjajah, peristiwa 10 Nopember 1945 tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, ANO kembali konsentrasi memikirkan persoalan internal oragnisasi. Mohammad Chusaini Tiway (Tokoh ANO Surabaya) yang pertama kali melempar ide untuk mengadakan reuni Pemuda bekas ANO. Waktu itu, Chusaini baru saja kembali dari medan tempur menghadapi agresi II Militer Belanda di seputar Jombang, Mojokerto dan Tuban. Pada tanggal 14 Desember 1949 reuni yang direncanakan itu pun berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh menteri agama RIS KH.A. Wahid Hasyim. KH.A Wahid Hasyim mengemukakan pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: (1) Untuk membentengi perjuangan umat Islam Indonesia; (2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.
Dari pengarahan KH.A. Wahid Hasyim kemudian lahir kesepakatan: Membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru: Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor, hanya kemudian dipergunakan GP Ansor karena lebih populer, disepakati Pucuk Pimpinan berkedudukan di Surabaya.
Perubahan ANO menjadi Ansor itu juga tercermin dalam Anggaran Dasar (AD), pasal I sebagai berikut: Organisasi ini bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat Pemuda Ansor didirikan kembali di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1949 sebagai kelanjutan dari ANSOR NAHDLATUL ULAMA yang didirikan pada tanggal 10 Muharram 1353 atau tangal 24 April 1934.
Karena itu, setelah terjadi kesepakatan, beberapa tokoh menghubungi aktivis Ansor di daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting, Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen) pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki aturan rumah tangga sendiri.
Namun demikian, induk organisasi ini tak henti-hentinya memberikan bimbingan dan panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja, Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.
Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua umum PP GP Ansor periode pemula itu.
Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan.
Kongres Ansor 1951
Pesatnya perkembangan organisasi ini mendorong Ketua Umum Chamid Widjaja untuk secepatnya mengadakan kongres. Sebab, hanya dengan kongreslah masa depan Ansor dapat dibicarakan secara mendalam, maka pada tahun 1951 diadakan kongres pertama dikota Surabaya. Berbagai masalah, baik yang menyangkut AD/ART, program kerja maupun arah kegiatan serta target yang ingin dicapai, berhasil dirumuskan. Lebih dari itu, kongres juga berhasil menyusun risalah Ansor I dan II (berisi riwayat singkat organisasi), membuat tuntunan Kepanduan Ansor dan memilih kembali Chamid Widjaja sebagai Ketua Umum PP GP Ansor periode dua tahun mendatang.
Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor
Roda organisasi terus berputar. Semua jajaran, mulai dari Ranting Anak Cabang, Cabang dan Wilayah, juga terus berkembang. Namun, suatu ketika, ternyata macet lagi. Penyakit lama (kesalahpahaman antara anak dan bapak) rupanya kambuh lagi dan sempat menyumbat roda organisasi. Sebab-musababnya kambuh, juga tak jelas. Yang terang, kedua belah pihak kemudian sepakat mencari resep. Maka lahirlah Persetujuan Bersama PBNU-PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951.
Persetujuan bersama ini menunjukkan adanya keretakan hubungan antara NU dan Ansor. Tapi tidak sampai berlarut-larut karena cepat diatasi dengan persetujuan yang ditandatangani bersama antara KH.Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH. M. Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP.Ansor). Adapun isi persetujuan itu seperti berikut ini:
1. Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah.
2. Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU
3. Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah Wal jamaah.
Dilihat dari isi persetujuan, agaknya pada masa itu dikalangan GP Ansor mulai tumbuh benih-benih ketidaksetiaan kepada partai. Atau paling tidak, berbeda persepsi politik. Sehingga jika dibiarkan justru menjadi blunder bagi NU yang tegah berhitung dengan Masyumi. Agar perhitungan dengan Masyumi berjalan dengan mulus, maka diperlukan kondisi interen yang sehat.
Kongres V 1956
Kongres V berlangsung pada 29 Oktober – 2 November 1959 di kota Malang. Kota dingin itu tidak mampu meredam suasana kongres. Seperti tadi disinggung, medan kongres telah menjadi ajang pertarungan memperebutkan pengaruh untuk kedudukan. Keadaan ini terbaca jelas dari sambutan Ketua GP Ansor Jawa Timur, Moh Saleh yang wanti-wanti agar suasana kongres tidak dirusak oleh penyakit hub-bur-riasah dan hub-bul-jaah.
Penyakit gila pangkat kedudukan, agaknya tengah terjangkit dikalbu Pemuda Ansor waktu itu. Sehingga, Moh Saleh, merasa perlu mengemukakan pandangannya agar semua pihak menahan diri. Ia juga menyarankan, hendaknya pembicaraan dan perdebatan dalam kongres dititik beratkan pada masalah program kerja bagi meningkatkan kualitas anggota gerakakan. Lebih jauh ia mengingatkan, bahwa GP Ansor bukan lagi organisasi kecil, melainkan sudah menjadi organisasi pemuda terbesar di Tanah Air ini. Karenanya, pengurus GP Ansor di semua jajaran hendaknya insafi akan dirinya bakal memikul amanat ummat yang kini tengah berada di pundak NU.
Kongres VI 1963
Kongres VI GP Ansor berlangsung pada 20-25 Juli 1963 di Surabaya. Namun seperti telah disinggung, sebelum memasuki medan kongres ini grafik Ansor justru meluncur ke bawah. Di bidang politik, kritik-kritik panas dikemukakan buat mengoreksi realitas politik NU. Sehingga penampilan Ansor terlihat lesu dalam aktivitas, tapi segar dalam menyuguhkan kritik maupun koreksi.
Perkembangan politik sebelum dan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menuntut NU untuk lebih berhati-hati, dan lebih banyak menggunakan pertimbangan politis, tanpa mengorbankan prinsip sebagai gerakan Islam. Misalnya, peristiwa politik (sebelum Dekrit) mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari jabatan Wakil Presiden (1 Desember 1956) disusul sikap politik Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet Ali-Roem-Idham (21 Januari 1957) dan, selanjutnya (14 Maret 1957) kabinet Ali-Idham menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Semua peristiwa itu, sungguh mebikin panik partai NU.
Pihak yang kontra (KH. Bishri Syansuri, KH. M. Dachlan, Imron Rosyadi dan Achmad Siddiq) mendasarkan alasannya bahwa, lembaga tersebut dibentuk secara demokratis dan tidak memberi kesempatan golongan oposisi. Karena itu, aliran kontra ini berpendapat : NU lebih baik berada di luar dulu, jangan keburu masuk.
Sedangkan pihak yang pro (KH. Wahab Hasbullah, KH. Masykur KH. Idham Chalid, Zainul Arifin, Saifuddin Zuhri dan H.A.Syaikhu), mendasarkan alasan bahwa kalau berada di luar justru tidak bisa melakukan hak control dan amar ma’ruf nahi mungkar. Oposisi di luar lembaga jelas tak mungkin, dan salah-salah bisa dicap reaksioner dan dibubarkan. Lebih baik masuk dulu, lalu manggil Dewan Partai bersidang. Kalau Dewan memutuskan setuju masuk, kita sudah di dalam. Tapi, jika Dewan Partai tidak setuju apa susahnya menarik keluar?
Dekalarasi Sala 1962
Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi Besar (Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Sala. Dalam konbes ini berbagai kendala yang menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan Ansor-NU yang cenderung memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidak setiaan Ansor terhadap induknya, juga dibahas secara mendalam.
Nama-nama tokoh pucuk Pimpinan yang hadir dalam konbes antara lain, Yusuf Hasyim (Ketua II PP.GP Ansor) Aminuddin Aziz (Ketua III) Chalid Mawardi (Sekretaris Umum), Mahbub Djunaidi (anggota) Ansori Syam (anggota), Danial Tanjung (Anggota) dan H. Qosim A. Gani (Anggota). Sedangkan dari pimpinan Wilayah yang hadir tercatat 17 Propinsi, antara lain: Sumatera (semua wilayah ), Kalimantan (semua wilayah), Sulawesi (semua wilayah), Djambi, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Sala, yang isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2 September 1951, yang ditandatangani KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH.M Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP Ansor).
Inti dari persetujuan bersama itu terdiri dari tiga point: (1) Bahwa dalam bidang politik GP. Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah; (2) Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU; dan (3) Bahwa GP. Ansor tetap taat dan setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah.
Deklarasi tertanggal 27 Desember 1962 itu, ditanda tangani Yusuf Hasyim, Moh. Saleh dan Chalid Mawardi atas nama Konferensi Besar.
Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951-1962) Ansor telah dua kali mengatakan Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu 11 tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai kader NU dan kader Ahlussunnah wal jamaah.
Di Tengah Masa Sulit
Peristiwa G/30/PKI merupakan sejarah suram bangsa yang tidak bisa dilupakan oleh Ansor terutama NU. Sebab, pengalaman pahit yang menimpa warga NU (Pemuda Ansor) dalam aksi PKI di Madiun 1948, puluhan bahkan ratusan warga NU menjadi korban keganasan palu arit. Karma itu seperti dikemukakan oleh KH.Saefuddin Zuhri, Perlawanan NU terhadap PKI di lakukan di semua medan juang.
Antara PKI dan NU berhadapan sebagai lawan. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi Pemuda Ansor dan Banser-nya. PKI mengerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyajikan lagu Genjer-genjer yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan Salawat Badar. NU mengobarkan semangat perlawanan terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948.
Di Jawa Timur misalnya, aksi sepihak PKI selalu gagal, Pemuda Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serbaguna)-nya senantiasa selalu berada di barisan paling depan dalam menghalau aksi PKI seperti di kemukakan oleh Haji Yoesoef Zakaria. Bahwa sejak 1961, GP. Ansor Jawa Timur di bawah pimpinan Hizbullah Huda, mengadakan kosolidasi organisasi secara intensif. Bahkan sampai dengan tahun 1963, hampir seluruh Ranting Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.
Peristiwa G/30/S/PKI di tahun 1960-an dipahami oleh banyak pihak, sebagai gerakan terselubung yang berlindung di balik nama besar Bung Karno. Para kader dan anggota Biro Khusus menyusup kedalam organisasi politik. Kader lainnya mengerakkan organisasi buruh di berbagai bidang profesi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sebagai wadah induk. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) juga tak putus-putusnya mengeluarkan semboyan menarik; Seni Untuk Rakyat, Seni Untuk Revolusi.
Bahkan dalam buku Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, bahwa saat itu PKI memainkan kartu “As”, sutradara politik yang memainkan hampir semua kekuatan untuk mendukung cita-citanya. Infiltrasi politik di tubuh PNI misalnya, berlangsung mulus hingga partai terbesar itu terbelah menjadi dua: PNI ASU (Ali Surachman) dan PNI Osa-Usep. Keduanya saling berhadapan, bertarung dalam menghadapi setiap isu-isu politik yang, notabene, diciptakan oleh PKI.
PKI benar-benar di atas angin, Bung Karno berhasil dikuasai. Partai politik saat itu tidak bisa berbuat banyak lantaran takut terkena cap sebagai kontra revolusioner. Golongan atau kekuatan apa saja yang menghalagi PKI di cap kontra revolusi. Akibatnya tentu saja, dimusuhi Bung Karno, jika tidak dihabisi atau diberangus seperti lembaga kebudayaan asing dan pencetus Manifes Kebudayaan tadi.
Masyarakat Indonesia sangat tidak sepakat dengan dasar-dasar pikiran PKI. Kalimat DN Aidit yang selalu di jadikan pegangan, ketika DN Aidit berpidato di depan peserta Pendidikan Kader Revolusi (1964), antara lain DN Aidit mengatakan bahwa sosialisme jika sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Padahal, Pancasila bagi kebanyak masyarakat Indonesia adalah dasar Negara yang masih tetap ideal.
Secara perlahan dan pasti masyarakat juga curiga dengan Sukarno, karena dianggap manuver politik PKI tidak jauh beda dengan pikiran Bung Karno. Sebagaimana isi pidato Bung Karno dalam Kongres X PNI (28 Agustus-1 September 1963) di Purwokerto, antara lain Bung Karno menegaskan: Marhaenisme dan Marxisme yang diterapkan di Indonesia, yang intinya adalah sosialisme Indonesia Marhaenisme macam inilah yang akan dijadikan dasar perjuangan.
Karena aksi massa PKI tidak terbendung lagi dan membuat masyarakat merasa khawatir. Membuat ormas-ormas NU termasuk GP Ansor seperti yang telah dikemukakan Chalid Mawardi juga khawatir dengan manuver PKI. Maka tidak heran jika bangkit mengimbangi aksi-aksi itu. Kendati dengan resiko perkelahian, penculikan dan pembunuhan. Kontra aksi massa dari ormas NU dipelopori oleh GP Ansor dengan backing massa dari Pertanu (Persatuan Tani NU), Sarbumusi (Sarekat Buruh NU) dan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya NU) di bidang kebudayaan.
NU (termasuk didalamnya GP Ansor) semakin menemukan kebenaran perhitungan politiknya, setelah RRI kembali menyiarkan berita bahwa Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil merebut kembali RRI dan kantor telekomunikasi serta berhasil mengiring para pelaku G 30 S/PKI ke Lubang Buaya, yang lebih menyakinkan lagi adalah penegasan Mayjen Soeharto, bahwa Gestapu PKI adalah perbuatan Kontra Revolusi yang harus diberantas. (pengumuman dikeluarkan pada malam tanggal 1 Oktober 1965).
Sejak itu PKI mulai kedodoran. Operasi penumpasan G 30 S/PKI digerakkan di mana-mana. Tidak terkecuali juga dilakukan di lingkungan NU, tepatnya tanggal 2 Oktober, pimpinan muda NU HM. Subchan ZE, membentuk organisasi Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September disingkat dengan KAP GESTAPU. Menyusul kemudian kesatuan-kesatuan aksi hingga melahirkan Front Pancasila. Di dalamnya bergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI (berdiri 25 Oktober) disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), serta kesatuan-keasatuan lainnya yang anti komunis.
Kemudian, pada 5 Oktober 1965, NU dan semua ormas pendukungnya terutama GP.Ansor mengeluarkan pernyataan resmi: Mendesak Presiden Soekarno untuk segera membubarkan PKI dan antek-anteknya; Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) semua media cetak langsung maupun tak langsung membantu Gestapu PKI; menyerukan kepada seluruh Ummat Islam agar sepenuhnya membantu kepada ABRI dalam upaya memulihkan keamanan akibat Gestapu PKI.
Agaknya dikalangan Ormas Pemuda Gerakan Pemuda Ansor yang tak mungkin bisa melupakan perannya ketika menumpas PKI. Sebab tidak sedikit anggota gerakan yang gugur. Peristiwa Banyuwangi misalnya, menelan korban mati 40 anggota Ansor. Satu kampung dikepung oleh PKI yang rata-rata dipersenjatai. Terjadilah pertempuran berdarah hingga banyak menelan korban. Pertempuran penumpasan sisa-sisa PKI terus berlangsung di semua daerah di Jawa Timur. Dan setiap penumpasan, GP.Ansor merupakan tulang punggungnya. Tulang punggung bukanlah yang menumpang dipunggung. Karena itu, jasa Ansor seringkali tidak terlihat kendati tak satu pun yang berani menginkari peran Ansor kala itu. Dan bukan penghargaan yang dicari, melainkan yang utama adalah komunis tetap musuh agama. Dan harus diberantas.
Aparat keamanan segera mengkoordinasikan kekuatannya. Ansor tentu tak ketinggalan. Kapten Hambali Pasi I Kodim Blitar menemui Kayubi Komda GP. Ansor Kediri diruang BPH Blitar. Hambali meminta agar GP.Ansor bersedia mengenakan pakaian Hansip dan ikut ke Blitar Selatan membantu Operasi Trisula. Mengapa Ansor? Jawab Hambali. Sebab Pemuda Ansor tidak diragukan lagi ke-pancasilaannya. Kalau menggunakan hansip regular, masih perlu penyaringan. Dan itu sulit, Kayubi segera memberangkatkan Banser-nya ke gunung-gunung batu di selatan sungai Brantas, di wilayah Blitar Selatan.
Catatan dari redaksi Ansor Online:
Bahwa kekerasan yang pernah dilakukan oleh Ansor tidak perlu menjadi kebanggan bagi pengurus dan warga GP Ansor, sebab bagaimanapun juga yang dilakukan oleh Ansor adalah suatu tindak kekerasan, yang dilakukan karena upaya balas dendam gerakan PKI. Bahkan sekalipun pemberontakan PKI diakui oleh banyak pihak telah nyata-nyata melakukan pelanggaran terhadap konstitusi RI.
Sebagaimana sikap kemanusiaan yang lebih humanis ditampilkan Gus Dur berhubungan dengan pertistiwa 30 September 1965 bisa menjadi contoh buat keluarga besar NU. Bahwa Gus Dur secara ikhlas meminta maaf kepada keluarga PKI terhadap peristiwa 30 September 1965, termasuk keterlibatan NU dalam pembantaian PKI.
Sikap kesatria Gus Dur bukan untuk mengakui kebenaran PKI dan menyalahkan kelompok lain, tetapi semata-mata dilandasi dengan pemikiran yang lebih rasional, bahwa kekerasan yang pernah dilakukan dengan sesama warga bangsa karena bingkai konflik poltik, tidak perlu terulang lagi apalagi menjadi kebanggaan warga yang melekat di ingatan warga Ansor.
GP ANSOR DALAM SEJARAH ORDE BARU
Mencoba Berpolitik Praktis
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII 1967
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.
Penegasan Politik Gerakan
Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Menolak Kembalinya Kekuasaan Totaliter
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
Masalah Toleransi Agama
Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.
Dalm Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen Ansor terhadap ideology Pancasila.
Bidang Organisasi
Dalam hal penyempurnaan organisasi, Jahja Ubaid mengemukakan, “Ansor hanya bergantung pada kekuatan Gerakan Sendiri. Tekad untuk mandiri ini sesungguhnya sudah tercetus sejak Kongres VII. Jika kini GP.Ansor selalu menyatakan gagasan kemandiriannya, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tekad yang telah dikobarkan sejak lama itu.
Tekad itu tercermin dari beberapa keputusan, baik mengenai pemberian wewenang maupun otonomi Pimpinan Wilayah dan Cabang serta upaya pembentukan badan usaha Ansor. Sejak Kongres VII Pimpinan Wilayah diberikan wewenang mengesahkan pengurus departemen di tingkat cabang, dan begitu pula Pimpinan Cabang terhadap pengurus (departemen) di bawahnya. Selain itu, Pimpinan Wilayah di beri hak mengeluarkan kartu anggota di wilayah masing-masing dengan petunjuk dari pucuk pimpinan (untuk keseragaman).
Di bidang dana, Pimpinan Wilayah diperbolehkan mendirikan badan usaha untuk menghidupi organisasi, sedang, di Pucuk Pimpinan telah dibentuk Yayasan Dharma Pemuda yang akan mengusahakan dana bagi pembiayaan PP GP Ansor. Sedangkan pengurus yayasan adalah: H. Anwar Hadisujanto (ketua), HA. Chalid Mawardi (Wakil Ketua), H.Abdul Aziz (Wakil Ketua), H.M. Danial Tanjung (Sekretaris), Hadi Wurjan SH (Wakil Sekretaris), dan Drs. Djawahir (Bendahara).
Federasi Pemuda Indonesia
Seperti di ketahui bahwa saat penumpasan G 30 S/PKI, Ketua Umum GP Ansor, Jahja Ubaid adalah juga Ketua Presidium Front Pemuda Pusat. Beranggotakan sembilan organisasi pemuda. Dalam kongres VII sikap kepeloporan Ansor bagi pembentukan wadah federatif itu dipertegas kembali. Kongres mengamanatkan kepada PP GP Ansor agar secara terus menerus meningkatkan kepeloporannya dalam mempersatukan pemuda Indonesia.
Bertolak dari amanat itu, maka pada tanggal 28-30 Januari 1968 di Jakarta diadakan rapat kerja Presidium Front Pemuda pusat. Hasilnya, nama front Pemuda yang berbau revolusioner itu diubah menjadi Federasi Gerakan Pemuda Indonesia. Jahja Ubaid terpilih kembali sebagai ketua umumnya. Sedangkan sembilan organisasi yang membentuk federasi itu adalah: Pemuda Ansor, pemuda Pancasila, pemuda Muhammadiyah, Pemuda Khatolik, Pemuda Muslimin, P31/Soksi, GAMKI, Pemuda Islam dan Pemuda Marhaenis. Adalah fakta bahwa Ansor merupakan pelopor terbentukannya federasi Pemuda Indonesia. sebuah federasi yang tentunya menjadi embrio KNPI. Sebagai organisasi pemuda, dengan demikian, GP Ansor telah mengimplementasikan komitmen kepemudaannya, yakni pemuda Indonesia.
Konverensi Besar 1969
Tidak banyak yang dilaporkan pada konbes, kecuali mengulangi penegasan politik gerakan yang diputuskan di kongres. Hal menarik, agaknya, soal hubungan Ansor dengan NU. Dalam laporan kebijaksanaan politik GP Ansor pada konbes disebutkan, antara lain, pengulangan ikrar GP Ansor, pembela dan penjunjung tinggi yang setia dan terpercaya dan cita-cita partai NU, dan arena itu ia harus ikut menentukan garis politik Partai NU.
Atas dasar itu, Pucuk Pimpinan tak henti-hentinya menyampaikan appeal kepada Ketua PBNU. Juga dalam setiap pertemuan dengan NU, PP GP Ansor senantiasa berupaya untuk mencapai dua sasaran: a) menghilangkan syakwasangka yang mungkin ada terhadap gerakan dan dengan demikian berusaha menyakinkan ata maksud baik Gerakan; b) menyarankan agar tetap menjaga kepemimpinan yang kompak dan kolegial dalam PBNU.
Konverensi Besar 1979
Lingkungan internal, mendorong GP Ansor untuk tampil sebagai pembela dan penjunjung tinggi cita-cita partai NU. Sebagai pembela, tentu mengerahkan segala daya untuk keselamatan yang dibela. Bahkan dalam segala peristiwa apapun, si pembela harus mampu menunjukkan kesungguhannya sebagai pembela. Bila perlu, ia harus melawan tuntutan jaksa.
Lingkungan eksternal waktu itu, hanya menginginkan kokohnya pemerintahan Orde Baru. hal ini wajar karena kesalahan pemerintah Orde lama menuntut pembenahan secepatnya di segala sektor. Untuk itu, sejak pengukuhan Jenderal Soeharto sebagai Presiden (Maret 1968), format politik mulai ditata. Menurut Alfian, dalam menciptakan format politik baru itu, Soeharto banyak berorientasi pada pengalaman sejarah.
Harus diakui bahwa perjalanan memantapkan format politik baru itu, banyak terjadi benturan keras�terutama dari NU. Puncaknya pada pemilu 1971 (3 Juli) di mana NU berhadapan dengan GOLKAR, selanjutnya disusul pembentukan KORPRI (29 November 1971) dan seterusnya (5 Januari 1973) fusi 5 Partai Islam menjadi PPP, maka lengkaplah penderitaan NU dan tentu juga GP.Ansor.
Sebagai ilustrasi, peran GP.Ansor sebagai pembela patut dipertanyakan. Sebab, nyatanya, bukan yang dibela saja yang tergulung, tapi juga dia sendiri ikut pingsan. Setelah fusi menjadi PPP, eksistensi organisasi NU maupun GP.Ansor seperti lenyap bahkan dimana-mana (termasuk dikalangan pemerintah) muncul anggapan bahwa NU maupun GP Ansor sudah tiada. Masyarrakat takut menyebut dirinya NU, mengaku dirinya Ansor. Inilah zaman NU phobi dan Ansor phobia.
Kongres IX 1985
Kongres IX ini berlangsung sejak tanggal 19-23 Desember 1985 di Bandar Lampung. Seperti telah disinggung, bahwa Kongres GP Ansor tak pernah sepi dari konflik memperebutkan kedudukan Pucuk Pimpinan. Tidak terkecuali Kongres IX, persaingan itu berlangsung begitu ketat. Baru berakhir setelah kongres memilih Drs.Slamet Effendi Yusuf sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Drs. Slamet Effendi Yusuf (sebelumnya Wakil Sekjen) adalah jawaban dari adanya konflik.
Meski begitu, bukan berarti kongres pasca asas tunggal ini hanya didominasi konflik. Beberapa keputusan penting, baik yang menyangkut program kerja, penyempurnaan AD/ART (penetapan pancasila sebagai asas organisasi) dan pokok-pokok pikiran tentang ideologi, pemilihan umum, pendidikan dan kepemudaan berhasil dirumuskan. Bahkan sikap GP.Ansor terhadap ketiga kekuatan social politik pun digariskan dengan istilah popular eguil-distance. Membikin jarak yang sama (dekat atau jauh) secara aktif.
Hal menarik dari kongres IX adalah dikukuhkanya Deklarasi Semarang dan Triprasetya Ansor, dalam pokok program GP.Ansor periode 1985-1989 pada bidang doktrin dan kepribadian. Ini berarti arah gerakan akan senantiasa mengacu pada tiga komitmen dasar tadi. Konsekuensinya terhadap pengelolaan organisasi mesti ditempuh secara profesional kepemudaan. Artinya, semua pengurus Gerakan di setiap eselon harus bersungguh-sungguh mengelola organisasi, tapi tetap berpijak pada kepentingan kepemudaan, ke- Indonesiaan dan ke- Islaman atau keagamaan. (Diambil dari Buku Choirul Anam Mantan (Ketua PWAnsor Jawa Timur), dengan judul “Gerak Langkah Pemuda Ansor; Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran”, Oleh: Tim Redaksi GP-Ansor Online)
GP ANSOR Masa Reformasi
PERAN GERAKAN PEMUDA ANSOR PADA MASA REFORMASI / TRANSISI (1999 – Sekarang)
GP Ansor pada masa reformasi menghadapi tantangan yang sangat berat, berada di tengah situasi eksternal organisasi yang berkembang dengan dinamika dan dialektika yang sangat rumit sehingga tidak mudah untuk diikuti. Di satu pihak, geopolitik dunia sedang mengalami pergeseran signifikan setelah terjadi serangan terorisme terhadap Pentagon dan Menara Kembar di Amerika Serikat. Gerakan International memberantas terorisme, telah merubah peta politik dan ekonomi internasional yang kurang menguntungkan bagi umat Islam, karena kampanye anti terorisme tersebut oleh sebagian pihak telah dimanfaatkan sebagai sentimen anti Islam.
Gerakan Keagamaan Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia menghadapi trauma. Jika kurang berhati-hati tentu akan terkena stigma teroris yang sedang menjadi musuh dunia. GP Ansor tak luput dari stigma tersebut, meskipun kita senantiasa mengembangkan paham Islam Ahlussunnah wal jamaah yang mengedepankan prinsip toleransi, keseimbangan, jalan tengah dan prinsip keadilan.
Salah satu ensiklopedi yang terbit di Perancis bahkan nyata-nyata menyebut bahwa Banser adalah organisasi teroris. Tentu kita melayangkan protes keras kepada Pemerintah Perancis seraya mendesak agar ensiklopoedi tersebut ditarik dari peredaran, karena senyatanya GP Ansor dan Banser adalah bagian dari komunitas gerekan Islam Indonesia yang senantiasa menyerukan perdamaian dan menghindari rasa permusuhan. Dalam hal ini Sahabat Rofiq, Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, kita tugaskan ke Perancis khusus untuk menjelaskan tentang posisi Ansor dan Banser sebagai bagian dari gerakan Islam yang cinta damai dan toleran.
Dipihak lain, dari dalam negeri kita sendiri GP Ansor menghadapi masalah yang tidak kalah rumitnya. Krisis multi-dimensi terus terjadi dan mengakibatkan berbagai kerawanan dan ancaman. Begitu tidak pastinya situasi di dalam negeri, sampai-sampai kepengurusan Ansor periode 2000-2005 telah mengalami 3 kali pergantian kepemimpinan nasional, yakni sejak Presiden BJ. Habibie, Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden ini Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.
Situasi transisional yang dihadapi bangsa ini telah menimbulkan berbagai masalah serius dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam kehidupan sosial politik, telah terjadi konflik horisontal antar sesama kelompok masyarakat, terjadi antagonisme regional sebagai dampak dari penerapan sistem otonomi daerah, terjadi gejolak disintegrasi untuk memisahkan diri dari pangkuan NKRI dan terjadi berbagai kasus anarkhisme dan pemaksaan kehendak yang mencedarai proses transisi menuju demokrasi.
Meskipun berbagai perubahan tak jarang membuat GP Ansor dihadapkan pada situasi sulit, namun secara umum perubahan konstelasi nasional justru semakin kondusif bagi pengembangan GP Ansor saat ini maupun ke depan, dibandingkan 5 atau 25 tahun silam. Kondisi makro yang makin menguntungkan organisasi massa besar seperti Ansor adalah semaking meningkatnya kelembagaan demokrasi di Indonesia. Kemajuan besar tatatanan demokrasi tampak jelas dari pergeseran aturan main pemilihan presiden hingga Kepala Daerah yang semula dipilih melalui Perwaklan (Parlemen) kini dipilih langsung oleh rakyat.
Bagi GP Ansor, semakin terlembaganya tatanan politik partisipatoris yang diwujudkan dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, merupakan perkembangan sangat positif, sebab, kekuatan Ansor selama ini memang terletak pada jumlah pendukung yang besar. Kendati Ansor bukan organisasi politik, mau tidak mau dalam tatanan yang demokratis seperti itu mereka yang punya latar belakang organisasi massa besar seperti Ansor memiliki nilai tawar yang besar dalam proses pemilihan pejabat publik secara langsung.
Diantara manfaat yang telah dirasakan GP Ansor dari kondisi tersebut, adalah tersebarnya kader GP Ansor di banyak posisi strategis. Kondisi ini berbeda dengan era 1970-an sampai 1990. Pada era tatanan politik yang monolitik itu sangat sulit menemukan kader Ansor mendapat posisi strategis di Pusat atau di daerah. Paling banter kader Ansor menduduki jabatan di Departemen Agama atau menjadi anggota DPR dengan jumlah yang sedikit dan itupun sekedar pinggiran.Tapi kini di era demokrasi yang terbuka, kader Ansor sangat mudah ditemukan memegang jabatan penting seperti Bupati/Wakil Bupati, anggota DPR atau DPRD dan lain-lain.
Dalam wilayah politik praktis efek penyebaran ini terlihat dari terekrutnya kader Ansor di hampir semua partai besar hasil Pemilu 2004. Penyebaran kader Ansor juga dapat diartikan sebagai tingginya kepercayaan masyarakat terhadap organisasi kepemudaan NU ini yang senantiasa konsisten menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada.
Berbagai perkembangan positif ini tidak membuat GP Ansor terlena. Sebaliknya, ini memacu Ansor untuk meningkatkan potensi diri dan mengembangkan kiprah pengabdiannya di masyarakat. Di sinilah kita semua menyadari bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia kader Ansor masih banyak yang perlu ditingkatkan. Para kader yang lebih banyak berbasis di daerah, memiliki kelemahan dalam hal kualitas sumberdaya manusia dan kelemahan dalam hal penguasaan sumberdaya ekonomi.
Kualitas sumberdaya manusia di tingkat Pimpinan Cabang, Wilayah dan Pusat memang menunjukan gejala peningkatan. Bahkan tidak sedikit jajaran pengurus yang menempuh jenjang pendidikan Pasca Sarjana. Mereka tentu membawa berbagai kemajuan baik ditingkat pengayaan wacana maupun pelaksanaan program kerja, meskipun potensi yang cukup baik tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Ansor.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan tersebut, selama 5 tahun terakhir GP Ansor telah merealisasikan berbagai program yang diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia kader Ansor, dengan tujuan utama untuk mendukung eksistensi dan peranan Ansor agar dapat terus mengkhidmatkan diri bagi upaya perbaikan peri kehidupan bersama dalam bingkai negara yang bersatu dan bersaudara.
Sementara untuk mengimbangi masa transisi demokrasi yang berjalan cepat selama masa 5 tahun terakhir, GP Ansor melalui aksi-aksi nyata dan pengayaan wacana berusaha turut menjaga agar perubahan itu dapat berjalan dinamis dan konstruktif. Ansor senantiasa berada dalam posisi menjaga keseimbangan diantara berbagai keeseimbangan diantara berbagai kesikap berimbang sulit ditemukan kejernihan dan kearifan dalam menyikapi perubahan, sehingga bukan tidak mungkin wahana-wahana kebebasan yang diberkan oleh zaman berubah menjadi lahan anarkhirme yang merusak tatanan hukum dan tatanan kemasyarakatan kita.
Atas dasar kearifan dan kejernihan sikap Ansor, dan tentu saja komponen masyarakat yang lain, akhirnya kita bersyukur bahwa kita semua dapat melewati masa-masa sulit tersebut dengan tanpa pernah mengorbankan harga diri dan komitmen-komitmen dasar organisasi.
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pengurus PP GP Ansor masa khidmat 2000-2005 senantiasa bertumpu pada hasil-hasil� permusyawaratan pada Kongres XII GP Ansor di Surakarta tahun 2000, yang terangkum dalam Sapta Khidmat GP Ansor yang merupakan pokok-pokok program pengkhidmatan GP Ansor selama lima tahun masa kepengrusan kami. Sapta Khidmat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatan pelaksanaan kesadaran dan tanggungjawab berwarganegara dalam wadah NKRI.
2. Pengembangan partisipasi aktif dalam pelaksanaan otonomi daerah.
3. Peneguhan pelaksanaan khittah nahdliyah secara utuh, konsisten dan konsekuen.
4. Pemberdayaan sumberdaya manusia dibidang ekonomi, politik, Iptek, sosial budaya dan hukum.
5. Penguatan dan pengembangan institusi serta peningkatan kualitas organisasi dan kader.
6. Pengembangan paham ahlussunnah wal jamaah yang sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban umat manusia.
7. Perintisan pembuatan jaringan kerjasama dan pelaksanaan program kerjasama dengan badan-badan internasional di bawah naungan PBB serta Ormas dan LSM luar negeri.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang pertama, GP Ansor menjalankan kiprahnya dengan mengedepankan hakekat keberadaan kita sebagai ummatan wasatho atau kaum yang berdiri di tengah dan mempersatukan semua golongan masyarakat. Kita senantiasa berupaya sekuat tenaga turut mewujudkan persatuan dan persaudaraan kebangsaan yang menurut hemat kami sedang mengalami ancaman serius dari dampak euforia reformasi, yang bukan tak mungkin mengarah pada disintegrasi dan konflik komunal yang tak kunjung berhenti. Oleh karena itu selama lima tahun kepemimpinan saya GP Ansor senantiasa bergelut dengan situasi sulit lengkap dengan sejumlah masalah yang dihadapinya, dengan tetap menjaga kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dengan komponen-komponen masyarakat lainnya.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat kedua, Pimpinan Pusat berusaha konsisten mengikuti semangat dan kehendak politik bangsa ini untuk mewujudkan otonomi daerah tidak saja dalam konteks desentralisasi administratif beberapa kewenangan pemerintah ousat ke pemerintah daerah, melainkan juga berupaya sekuat tenaga mewujudkan kemandirian dan otonomi masyarakat daerah untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri, dengan cara turut merangsang tumbuhnya atmosfer sosial yang aman dan daman, sehingga proses peralihan kewenangan tersebut dapat berjalan dengan menghindari semaksimal mungkin timbulnya antagonisme regional dan konflik horisontal antar kekuata-kekuatan masyarakat di daerah itu sendiri.
Dalam kaitan ini, Pimpinan Pusat telah melaksanakan kajian dan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah pada forum diskusi di Kantor PP GP Ansor, dan melaksanakan Rakor Regional GP Ansor se-Kalimantan dengan tema “Meningkatkan Partisipasi Aktif GP Ansor dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” yang antara lain dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro.
Dalam pelaksanaan Sapta Khidmat yang ketiga, selam lima tahun Pimpinan Pusat senantiasa berupaya sekuat tenaga menjaga netralitas sikap institusional GP Ansor di tengah berbagai tarik-menarik kepentingan politik yang berkembang dinamis di tengah situasi transisional. Hal ini kami lakukan untuk memperteguh keputusan Muktamar NU di Lirboyo tahun 2000 dan Muktamar NU di Surakarta tahun 2005, yang menggariskan agar NU (dan tentu saja termasuk didalamnya GP Ansor) menjaga hubungan yang sama dengan semua partai politik sebagai implementasi dari khittah 1926.
Sebagai pelaksanaan khittah ini GP Ansor tidak saja menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik, melainkan juga menjaga jarak yang sama dengan kekuasaan dan pemerintahan demi pemerintahan yang telah berganti selama era reformasi. Ketika KH. Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai Presiden RI, GP Ansor tak pernah menempatkan diri sebagai “anak emas” pemerintahan meskipun kita semua mengetahui bahwa beliau adalah mantan Ketua Umum PBNU.
Demikian pula ketika era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tiba. Meskipun saat itu diri saya masih menjadi anggota DPR dari F-PDIP, GP Ansor tetap berupaya bersikap netral dan kritis terhadap pemerintah. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki jabatannya sejaka lima bulan yang lalu dimana saya diberi kepercayaan untuk menjadi salah seorang anggota Kabinet Indonesia Bersatu, sikap GP Ansor insya Allah tetap terjaga untuk senantiasa taat dan patuh pada amanat khittah tersebut.
Netralitas dan sikap kritis GP Ansor terhadap kekuasaan niscaya kita lakukan mengingat GP Ansor didirikan dan dibesarkan oleh sejarah bukan untuk mendukung atau menjatuhkan kekuasaan politik, melainkan sebagai bagian dari upaya dan cita-cita NU untuk berkhidmah kepada perjuangan bangsa dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peran politik GP Ansor adalah sebuah keniscayaan, namun peran tersebut dilaksanakan dalam kerangka “politik kebangsaan”, yakni matra politik yang tidak ditujukan untuk mencapai kepentingan golongan maupun kepentingan sesaat, melainkan matra politik yang bertujuan jangka panjang melaksanakan amanat Pembukaan PD/PRT GP Ansor yang mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengembangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah.
Terhadap Sapta Khidmat keempat, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal mungkin menjalankan tugasnya dalam kerangka pencapaian salah satu tujuan organisasi, yakni membentuk dan mengembangkan generasi muda Indonesia sebagai kader bangsa yang tangguh, memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, berkepribadian luhur, berakhlak mulia, sehat, terampil, patriotik, ikhlas dan beramal sholeh. Hal ini kita lakukan dalam berbagai bentuk kegiatan riil seperti penguatan dan pemberdayaan Koperasi Wirausaha Nasional (Kowina) baik ditingkat pusat maupun di beberapa wilayah dan cabang, menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Nasional Manajemen Koperasi, diskusi bulanan untuk umum yang membahas berbagai tema dan penyelenggaraan kegiatan peringatan hari besr keagamaan Islam secara kontinyu.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang kelima, Pimpinan Pusat meletakan masalah konsolidasi organisasi sebagai sesuatu yang utama. Dalam lima tahun masa khidmat ini tidak kurang dari 180 kegiatan konsolidasi ke daerah telah kami lakukan sehingga jika dihitung secara statistik maka rata-rata dalam setiap bulan terdapat tiga kali kunjungan ke daerah. GP Ansor juga telah menyelesaikan perumusan modul pelatihan kader dan penyempurnaan perangkat aturan serta moedul pelatihan Banser. Berbagai peraturan organisasi juga telah diputuskan pada forum Konferensi Besar di tempat ini pula pada bulan April 2002 guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi yang kita cintai ini.
Diatas semua itu, seiring dengan pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota di beberapa daerah di Indonesia, GP Anspr telah berhasil membentuk 93 Pimpinan Cabang baru dan 5 Pimpinan Wilayah yang baru (Banten, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Gorontalo dan Maluku Utara). Dua Pimpinan Wilayah baru sekarang dalam proses pembentukan, yaitu Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Alhamdulillah, seluruh Cabang dan Wilayah baru tersebut saat ini dapat berada di tengah-tengah kita semua dan menjadi peserta penuh Kongres XIII karena telah memenuhi kualifikasi sebagaimana peraturan-peraturan yang berlaku.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat keenam, Pimpinan Pusat senantias menghadapi setiap perubahan kehidupan kemasyarakatan yang beberapa waktu lalu diwarnai oleh konflik horisontal bernuansa keagamaam di beberapa daerah, dengan tetap mempertahankan sikapnya yang anti kekerasan dan menghindari pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama.
Pimpinan Pusat berkali-kali mengeluarkan seruan dan pernyataan sikap agar seluruh warga GP Ansor pada khususnya dan umat Islam Indonesia pada umumnya mengembangkan kehidupan beragama Islam yang toleran, damai, mengutamakan kebersamaan, sesuai dengan faham ahlussunnah wal jamaah yang mengutamakan prinsip dasar keseimbangan, toleransi, jalan tengah, dan prinsip keadilan. Pimpinan Pusat senantiasa menjaga agar kita semua senantiasa berdiri di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik ini dengan tanpa pernah memandang perbedaan-perbedaan primordialisme keagamaan dan kesukuan.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang ketujuh, GP Ansor tidak saja menjalin hubungan sinergis dan dialogis dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang lainnya, melainkan bahkan kita telah berkali-kali melaksanakan kegiatan bersama organisasi-organisasi kepemudaan yang lain. Bersama Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), GAMKI, Peradah, Gema Budhi dan lain-lain GP Ansor melaksanakan program Pelatihan Resolusi Konflik yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Inggris.
Pimpinan Pusat juga telah melaksanakan kegiatan Dialog Politisi Muda Indonesia Amerika dan berbagai kegiatan kunjungan ke kedutaan besar negara-negara sahabat seperti Kedutaan Besar Qatar, Australia, Amerika Serikat, China, Inggris dan lain-lain.
Disamping melaksanakan program dengan berpedoman pada Sapta Khidmat GP Ansor hasil Kongres XII di Surakarta, Pimpinan Pusat juga melaksanakan beberapa program improvisasi sebagai apresiasi GP Ansor atas berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini, khususnya terhadap keadaan darurat dan bencana alam. Dalam hal ini, segera setelah terjadi bencana gempa bumi dan gelombang tsunami dahsyat yang menimpa saudara-saudara kita di Nanggaro Aceh Darussalam, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal mungkin turut meringankan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara mengirimkan bantuan pangan, bantuan obat-obatan, bantuan dana dan mengirim ratusan personel Banser secara periodik selama beberapa angkatan ke beberapa daerah pusat bencana. (Lihat juga Jejak Pengabdian Banser/Hernoe)
Tim Administrasi PAC. GP. ANSOR Kec. Krian
SUMBER : http://gp-ansor.org/
0 komentar:
Post a Comment