, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Balada Gadis Berjilbab Dengan Pakaian Membungkus Ketat

 kaos panjang yang sapek nutup leher sby - “Saiki soyo montok e, Joe.”
“Bajigur, bokonge apik tenan!”
“Opo sok dirempon karo bojone sing saiki?”
“Masih dengan style-nya, jilbab dan baju ketat.”
Atau yang baru aja kudengar tadi siang, “Mau aku ketemu *****, tapi kok kethoke saiki cara berpakaiannya rodo medeni, Cah.”
Yo’a, yang di atas itu cuma pembuka. Kalo aku nggak ngobrol sama seorang temenku waktu di lab inovasi siang tadi, mungkin aja tulisan ini nggak bakal pernah ada. Jadi intinya, kalimat di atas itu adalah kalimat yang paling sering kudengar dari anak-anak Ilkomp sejak setahun terakhir ini. Obyeknya apalagi kalo bukan tentang gaya berpakaian seseorang yang dulu pernah akrab sama aku. Biasanya kalo aku nerima komentar semacam di atas, maka aku cuma menjawab, “Wah, mbuh yo. Mbiyen pas karo aku biasa wae, kok. Ra tau nggatekke, Dab” atau dengan nada guyon tapi kepengen aku bakalan ngomong, “Omongi wae, entuk salam seko aku. Bilang, bocahe ta’enteni neng kamar.”

Dan selanjutnya maka komentarku bakal dibalas, “Gayane… Ra kelingan jaman semono,” atau juga, “Rupamu, Joe. Koyo wani-wanio wae.” (Mohon maaf, bagi yang tidak menguasai J2SE, J2ME, JDK, ataupun Javascript, maka tidak bakal mengerti isi dialog di atas.)

Balik ke judul. Ini sebenernya bukan pengen mendiskreditkan seseorang. Sebenernya malah aku sudah prihatin sama hal yang kayak gitu sejak dulu. Tapi ya gimana ya, wajar kan kalo kekritisan seseorang itu baru muncul ketika sesuatu yang (sempat) dimiliki terusik keberadaannya? Alasan lainnya, lama-lama ya aku bosen juga ndengerin komentar-komentar buat seseorang yang sudah nggak ada hubungannya sama aku. Kayaknya memang sudah saatnya aku merilis pendapatku tentang hal ini kepada publik. Alhasil, kalo waktu dulu, ngeliat orang lain yang kayak gitu aku cuma bisa senyum-senyum ngenyek. “Sido ora e?” Begitulah komentarku dalam hati kalo boleh mengutip istilahnya Topik, temen KKN-ku yang kebetulan anaknya Warek UGM.

Jilbab, tapi pakaiannya ketat, celana model hipster (kadang kalo lagi mbungkuk cawetnya sampe keliatan), menonjolkan lekuk-lekuk tubuh yang bisa dibanggakan, kayaknya jadi makin sering aja kuliat di sepanjang keramaian Jogja. Prihatin sekaligus dongkol aja ngeliatnya. Mbak-mbaknya ini sebenernya ngerti esensi dari perintah berji
lbab atau enggak, tho?

Aku sering sinis aja kalo ngeliat cewek-cewek yang kayak gitu (dan celakanya aku jadi tambah sering sinis akhir-akhir ini). Dalam pandanganku aku berpikir, “Halah, Mbak… Nek pengen pamer bodi mbok mending ra sah nganggo jilbab, opo sisan wae udo. Mbangane ngisin-ngisini Islam.” Jujur, aku berpendapat kalo hal-hal yang mereka lakukan itu memperkeruh citra agama Islam.

Aku berpendapat lebih baik mereka-mereka yang nggak berjilbab tapi kelakuannya baik. Lebih baik nggak berjilbab daripada berjilbab tapi pamer bodi. Lha piye, menurutku esensi berjilbab itu untuk menjaga pandangan kaum pria, untuk mencegah wanita dilecehkan dan dijadikan obyek seksual kaum pria. Nah, kalo berjilbab tapi pakaiannya tetap ketat dan menonjolkan lekuk-lekuk tubuh yang khusus dipunyai oleh seorang wanita, ya tetap aja jadi obyek seksual!

Aku nggak tau kalo temen-temenku cowok yang lain gimana. Tapi aku sendiri, aku hampir nggak pernah terangsang sama cewek hanya karena masalah rambut (secara kasat mata, jilbab cuma terlihat menutupi rambut dan leher, kan?). Aku jauh lebih sering terangsang kalo ngeliat cewek yang bodinya mbentuk, mencetak bagian-bagian khusus milik wanita sampai menonjol, nggak peduli dia pake jilbab atau enggak, dan aku pikir mungkin aja temen-temen cowokku yang lain juga kayak gitu. Gampangannya, dibanding cewek nggak berjilbab tapi pakaiannya nggak ngepress, aku lebih terangsang sama cewek berjilbab yang pakaiannya ngepress! (Jangan tuduh aku mesum. Aku cuma bicara realita aja.)

Ini permasalahan umat, menurutku. Apa gunanya mereka berjilbab tapi nggak paham tentang esensi dari berjilbab itu sendiri? Bagiku, jauh lebih mulia mereka yang tidak berjilbab dalam masalah ini.

Mungkin ada yang berpendapat cara berpikirku salah. Fine, nggak pa-pa. Aku sendiri pendukung setia kebebasan berpendapat. Karena aku pernah membaca sebuah pendapat tentang Jilbab Hati vs Jilbab Fisik. Di situ ditulis, lebih baik jilbab fisik duluan ketimbang jilbab hati. Penulisnya bilang, jilbab fisik itu lebih mudah, maka dahulukanlah yang mudah, setelah itu baru pikirkan tentang jilbab hati. Karena juga, siapa yang bisa menjamin umur manusia? Takutnya, ketika jilbab hati belum sanggup dipakai dan jilbab fisik juga belum dikenakan, kita terlanjur dipanggil sama Pemilik Nyawa kita. Nah, kalo gitu takutnya dosa kita jadi dobel. Jilbab hati enggak, jilbab fisik juga belum.

Yup, betul! Tapi entar dulu, kita nggak bisa menggeneralisir semua masalah. Bahkan dalam hal apapun kita tetap perlu melihat dari banyak sudut pandang. Mas
ih banyak yang perlu dikaji lebih dalam dari masalah ini. Bukan sekedar mana yang lebih gampang.

Liat dulu apa motivasi seseorang dalam memakai jilbab. Kalo memang motivasinya bener-bener buat memperbaiki diri, bolehlah pake jilbabnya bertahap: fisik dulu, terus lama-lama levelnya makin meningkat sampe ke jilbab hati.

Tapi kalo motivasinya lain, ya nanti dulu. Sedikit cerita aja dalam kasusku ^_^, dulu si ***** jilbabannya juga bisa dibilang biasa-biasa aja. Pakaiannya nggak ngepress. Normal. Bukan gara-gara dia dulu pernah deket sama aku kalo aku bilang dulu caranya dia berjilbab sangat serasi. Tapi lama kelamaan, lhadalhah…, kok bukannya makin baik, malah sekarang jadi suka menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya (dan jujur ta’akui kalo dia dulu kurus, nggak semontok sekarang).

Mungkin normal kalo dia pengen jadi pusat perhatian cowok-cowok sekarang. Aku pun juga gitu, kok. Masih seneng kalo jadi pusat perhatian cewek-cewek. Cuma ya, akhirnya aku mendefinisikan kalo dia nggak paham atas esensi berjilbab itu sendiri. Atau malah aku jadi meragukan motivasinya berjilbab dulu. Lha gimana, lha wong bukannya makin baik malah makin “binal”! Gimana mau menjaga pandangannya cowok-cowok kalo gitu? Yang ada ya dia malah dapet komentar-komentar kayak di atas tadi. Dan aku nggak tau, apakah dia justru bangga dapet komentar-komentar kayak di atas itu?

Nah, inilah dia. Ini Jogja, Dab! Kota pelajar. Karena sebutan kota pelajar itu akhirnya banyak orangtua yang merelakan anaknya merantau ke Jogja buat nuntut ilmu. Di lain pihak, selain menuntut ilmu, si anak kadang-kadang jadi ngerasa lepas dari pengawasan. Berbuat seenaknya. Toh nggak ada yang ngawasin ini. Nggak ada yang cerewet dan nggak ada yang tau kalo dia mau ngapain.

Buat yang dasar agamanya kurang bagus, jadinya sulit membedakan mana yang sebenernya boleh mana yang nggak. Atau boleh jadi malah keenakan terus ketagihan ngelakuin hal yang sebenernya nggak boleh dilakuin. Lha iya, mana ada dosa yang nggak enak?

Sekali lagi ini Jogja, Dab. Aku akuin, kadang-kadang aku masih terlibat dengan dunia malam. Lebih jujur lagi, aku ngelakuin itu pada dasarnya cuma penasaran sama apa yang membuat mereka ketagihan dengan dunia malam, selain nggak pengen dibilang ndesit ^_^

Dan ternyata aku memang bertemu dengan bermacam-macam karakter setelah kenalan dengan mereka-mereka yang lebih dulu terlibat di situ. Yang aku tau, ada yang kalo siang kita bakal nemuin dia berjilbab dan bertatus sebagai mahasiswi tukang nyembuhin orang sealmamater dengan aku, tapi ketika malam jangan heran kalo kita nemuin dia pake rok mini banget dan tanktop di Hugo’s atau TJ’s. Jangan bertambah heran juga kalo dia pernah ngadain private party di rumahnya dengan tamu yang semuanya cowok sedangkan dia cewek satu-satunya. Lagi-lagi jangan heran kalo dia bilang alasannya berjilbab sekedar, “Ya, biar aku nggak dinilai a
nak nakal aja di kampus.” Atau oknum lain yang pernah hampir berhasil menjebak aku di kamar kosnya (Astaghfirullah!) dengan entengnya bilang sambil senyum-senyum nakal, “(Jilbab) Ini cuma buat nutupin cupang, kok.”

Masih banyak contoh yang lainnya lagi. Dan inilah realita lain dari motivasi seorang cewek untuk berjilbab! Tentang pendapat Jilbab Hati vs Jilbab Fisik tadi, aku nggak tau mana yang harusnya lebih dulu dilakukan dan mana yang lebih mulia. Aku nggak berhak nge-judge seseorang bener atau salah. Biar Tuhanku yang nentuin. Dia lebih tau. Maka kalo aku pribadi disuruh milih mana yang lebih baik, sebagai seorang manusia yang sudah diberi hak prerogatif oleh Tuhan untuk memilih, aku bakal lebih milih cewek nggak berjilbab tapi kelakuannya nggak minus daripada cewek berjilbab tapi dengan entengnya ngajak aku tidur dalam keadaan setengah mabuk.

Yang jelas, sekarang aku sudah cukup tenang dengan seorang gadis berjilbab di dekatku. Dan, Insya Allah, dia benar-benar berjilbab.

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
Balada Gadis Berjilbab Dengan Pakaian Membungkus Ketat
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang kaos panjang yang sapek nutup leher sby

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Gunting Zig Zag, gunanya buat apaan ya ?

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : https://joesatch.wordpress.com/2006/08/05/balada-gadis-berjilbab-dengan-pakaian-membungkus-ketat/

0 komentar:

Post a Comment