Menyusuri Jejak Mustika Keramik Klampok
Menyusuri Jejak Mustika Keramik Klampok |
Dimana saya bisa membeli guci mini dari tanah liat yang di cetak - Sepeda motor yang kami berdua naiki kini tengah menyusuri jalanan Klampok yang pagi ini tidak terlalu ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Beberapa jalanan terlihat tidak terlalu mulus saat kami lewati sehingga sepeda motor kami laju dengan perlahan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Saya dan travel blogger asal Pingit-Rakit, Faizhal Arif Santosa yang beberapa waktu lalu pernah bertemu saat fam trip bareng blogger dari berbagai kota yang diselenggarakan oleh dinas pariwisata Banjarnegara, kini sengaja menyempatkan waktu kembali guna memenuhi permintaan saya untuk menemani berpetualang menjelajahi warisan kejayaan sentra keramik Klampok yang sudah ada sejak tahun 60-an.
Berada
di jalur lalu lintas Banyumas-Banjarnegara-Wonosobo, sepeda motor kami
parkir persis di depan halaman sebuah toko sekaligus galeri berbagai
macam karya seni yang terbuat dari tanah liat. Deretan toko nan panjang
berderet memenuhi pinggiran jalan raya yang sekilas terlihat jelas
dimiliki oleh satu generasi keluarga penghasil keramik ini.
Mustika
Keramik 1,2 dan 3 yang saling berhadapan di seberang jalan kini
menyambut kami berdua. Kami pun bertanya kepada penjaga toko seorang
perempuan muda berkerudung dan juga bertubuh tambun yang dengan sangat
ramah menjawab pertanyaan kami mengenai lokasi pembuatan keramik yang
masih eksis hingga detik ini. Tidak butuh waktu lama untuk mengetahu
dimana lokasi yang kami cari karena berada persis di seberang jalan dan
berada pada bagian belakang toko.
Suasana
begitu sepi saat langkah kami mulai memasuki toko yang dipenuhi aneka
macam hasil karya seni dari bahan tanah liat mulai dari guci berukuran
besar hingga teko-teko berukuran kecil nan penuh warna. Seorang
perempuan berusia senja menyambut kami dan menanyakan maksud dan tujuan
kami datang ke sini. Awalnya saya mengira bakalan tidak diijinkan saat
kami hendak melihat proses pembuatan keramik-keramik Klampok karena dari
gelagat kami yang menunjukan bukan seorang yang hendak ingin membeli
sesuatu.
Si ibu
mengira kami berdua adalah seorang mahasiswa yang sedang mencari bahan
tulisan untuk penelitian. Kami pun tersenyum dan menjelaskan jika kami
adalah seorang blogger. Si ibu pun sedikit kurang paham apa itu blogger,
namun saat kami menjelaskan lebih lanjut jika intinya kami ini orang
yang suka menulis, si ibu pun sedikit paham dan mengira kami adalah
seorang wartawan. Kami pun mengiyakan saja daripada harus menjelaskan
lebih lanjut lagi dan membuat si ibu semakin bingung.
Kami
dipersilahkan masuk dan mengikuti si ibu tadi menuju belakang toko yang
berfungsi sebagai lokasi pengolahan tanah liat hingga menjadi karya seni
bernilai tinggi nan cantik dan dipajang di etalase toko. Beberapa
pekerja wanita yang saat itu berjumlah 6 orang terlihat tengah sibuk
mengamplas berlusin-lusin cangkir teh mini yang sekilas terlihat
merupakan pesanan dari salah satu produsen merek teh terkenal di
Indonesia.
Berlusin-lusin
teko, cangkir, nampan hingga pasangan tutupnya terlihat menumpuk di
keranjang-keranjang. Dengan telaten ibu-ibu di sini menggosok satu
persatu permukaan barang-barang tadi secara perlahan. Sebenarnya si ibu
pemilik toko ini sudah mewanti-wanti agar kami jangan banyak bertanya
saat kami diijinkan masuk ke sini, katanya nanti mengganggu konsentrasi
para pekerja. Belakangan saya paham mengapa si ibu berkata demikian.
Menurut si ibu, biasanya pada hari kerja terdapat banyak pekerja yang
datang ke sini, tetapi saat ini merupakan hari minggu maka banyak
pekerja yang libur dan hanya terlihat beberapa saja yang masih bekerja.
***
Klampok merupakan salah satu desa di Kabupaten Banjarnegara yang menjadi pusat pembuatan keramik. terdapat tidak kurang dari 50 pengrajin keramik yang mengolah tanah liat menjadi barang yang mempunyai karya seni tinggi. Industri keramik di Desa Klampok memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya dikenal luas. Ini berawal dari kerja keras Kandar Atmomihardjo.Pada 1935, Kandar –yang saat itu menjadi guru di Kebumen– mendapat kesempatan dari Pemerintah Belanda untuk belajar ilmu keramik di Keramische Laboratorium di Bandung. Selama setahun di sana Kandar mendalami seluk-beluk perkeramikan. Usai dari Bandung, Kandar diserahi tugas memimpin perusahaan keramik Banjarnegara. Namun, tugas tersebut hanya dipegangnya lima tahun. Sebab, setelah itu ia ditugaskan ke Magelang. Di sini pun ia tak tinggal lama, karena beberapa tahun kemudian dia kembali ke Klampok dan mendirikan Sekolah Teknik, yang salah satu jurusannya adalah teknik membuat keramik.Tahun 1957, Kandar keluar dari Sekolah Teknik dan mendirikan perusahaan industri keramik yang diberi nama Meandallai. Nama itu sebenarnya merupakan singkatan dari Mendidik Anak Dalam Lapangan Industri. Tenaga kerjanya, kebanyakan adalah anak-anak putus sekolah dan para pengangguran. Dari sinilah awal tumbuh dan menjamurnya perusahaan keramik di Klampok. Kandar Atmomihardjo sendiri meninggal pada 1977 lalu. Namun, usaha yang dirintisnya tidaklah sia-sia. Selain menjadi mata pencaharian bagi warga Klampok, produksinya juga dikenal luas ke berbagai penjuru dunia.Booming keramik asal Klampok pernah terjadi sekitar 1980-an. Banyak orang asing yang datang ke Indonesia hanya untuk ke Klampok dan memesan keramik. “Intensitas ekspor keramik ke luar negeri kini memang agak berkurang,” kata salah seorang pengusaha keramik yang sukses, Budi Santosa, (33 tahun). Namun, pengusaha pemilik sanggar Prisma Keramik yang memiliki sekitar 15 cabang yang kini tersebar di Jakarta, Surabaya, Bali, dan Yogyakarta, itu mengaku masih mengirim keramiknya ke Prancis, Jerman, Belanda, Swiss, dan beberapa negara Asia lainnya.
***
Sebuah
bangunan tua yang berada di belakang toko inilah yang menjadi dapur
utama dari semua hasil karya yang dipajangkan di etalase toko maupun
yang dikirim ke berbagai kota di Jawa Tengah. Oh ya lupa, si ibu pemilik
toko sekaligus pabrik pembuatan keramik ini tak lain dan tak bukan
adalah beliau ibu Siti Juriyah, perempuan yang sudah berusia senja dan
sekilas terlihat galak namun aslinya sangat baik hati ini merupakan
generasi ke 3 penerus warisan pembuatan keramik khas Klampok ini. Saat
masih muda, beliau merupakan seorang bidan yang berasal dari daerah Jawa
Barat dan menikah dengan pemuda asli Klampok yang memiliki keahlian
membuat berbagai macam karya seni dari bahan tanah liat. Kini setelah
suaminya itu meninggal dunia, semua warisan usaha turun temurun ini
beliau pegang dibantu anak-anaknya. Ibu Siti Juriyah ini masih ikut
turun tangan memoles keramik-keramik cantik sambil mengontrol para
pekerjanya.
Pada
ruangan lain juga terlihat 3 orang ibu-ibu yang tengah mengamplas
keramik setengah jadi. Sebuah meja panjang nan berdebu dari hasil
amplasan terlihat dari kejauhan. Saat ditanya sudah berapa lama kerja di
sini, seorang ibu menjawab jika dia sudah bekerja mulai dari tahun 2006
atau sudah hampir sepuluh tahun. Memang kebanyakan yang dikerjakan oleh
para pekerja saat kami ke sini adalah barang-barang pesanan pelanggan
untuk keperluan perlengkapan restoran hingga berbagai macam piring dan
mug yang dikhususkan untuk souvenir pernikahan maupun acara penting
lainnya. Tak heran jika ada sebuah mug yang tertulis angka tahun 2017,
yang bisa saja sengaja dipesan untuk tahun depan yang tinggal sebulan
lagi ini.
Kami
menyusuri kembali pintu-pintu yang mengarah menuju ruangan paling
belakang sebagai tempat pengolahan tanah liat yang sudah siap dibentuk.
Pada beberapa bagian terlihat tungku-tungku raksasa dan juga cerobong
asap jadul yang masih dalam kondisi bagus namun saat ini sudah tidak
digunakan lagi. Pada masa awal, pemilik memakai oven atau tungku raksasa
yang terbuat dari batu bata dan berbahan bakar kayu. Seiring semakin
susahnya mencari kayu bakar yang berasal dari pohon kayu keras maka
diganti menggunakan minyak tanah dengan dibuat sedemikian rupa. Saat
minyak tanah langka, pemilik pun mau tidak mau akhirnya menggunakan
bahan bakar berupa gas-gas LPG berukuran besar dengan oven yang sudah
modern. Dulu saat masih menggunakan oven jadul tiap kali proses
pembakaran memakan waktu 24 jam, kini bisa dipangkas menjadi hanya 8 jam
saja dan bisa diatur berapa suhunya agar bisa menghasilkan keramik yang
sempurna dan tidak retak maupun pecah.
Persis
di belakang cerobong asap dan tungku raksasa, terlihat seorang bapak
berusia setengah abad yang tengah memainkan jari jemarinya di atas
sebuah alat yang diputar manual menggunakan tangan satunya. Perlahan
kami mendekat dan menyaksikan secara seksama bagaimana proses demi
proses dilakukan dengan suasana tenang dan juga hening penuh perasaan.
Setelah meminta ijin untuk sedikit bertanya, dengan senang hati si bapak
sudi melayani pertanyaan demi pertanyaan yang saya ajukan.
Marto
Gimin, bapak yang tengah bermain tanah liat ini dengan tekun membentuk
gumpalan-gumpalan tanah yang semi basah dan sudah dibuat bulatan-bulatan
sebesar jeruk Bali untuk kemudian dilenturkan sedemikian rupa di atas
sepotong lantai keramik yang terus berputar dengan bantuan tangan ini.
Semakin berputar, bulatan tanah liat itu perlahan berubah menjadi sebuah
bentuk mug yang belum sempurna. Ada teknik khusus untuk memainkan jari
jemari hingga bisa membentuk lekukan yang sempurna. Teknik kunci siku,
begitulah yang bapak Gimin sampaikan kepada kami. Teknik dimana siku
berada di atas paha bagian kanan guna menjadi tumpuan utama agar tangan
tidak bergerak kemana-kemana hingga bisa menghasilkan bulatan mug yang
sempurna seperti sebuah cetakan buatan.
Pada
mulanya, bahan tanah liat yang digunakan berasal dari 3 tempat yang
berbeda, mulai dari Pinggiran kali Serayu, Wonosobo hingga dari daerah
Ajibarang, Banyumas. Tanah liat yang digunakan berwarna cokelat dengan
kelenturan yang mirip lilin mainan. Namun seiring berjalannnya waktu,
kini pemilik hanya menggunakan bahan tanah liat yang dipasok dari
Ajibarang saja. Untuk sekali pengiriman bisa berpuluh karung yang
merupakan tanah liat dalam kondisi masih mentah alias belum dipisahkan
dari berbagai macam kotoran. Tanah liat yang masih mentah tersebut
lantas diolah sedemikian rupa hingga dicetak menggunakan alat pres
hingga menghasilkan tanah liat yang lentur serta mudah dibentuk untuk
kemudian menjadi siap pakai.
Menurut
pemilik, untuk saat ini mereka hanya membuat gerabah sesuai pesanan.
Saat ditanya apakah ada ciri khas khusus yang membedakan gerabah Klampok
dengan daerah lain, beliau pun menjawab bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan khusus hanya saja teknik yang digunakan antara pengrajin satu
dengan yang lainnya yang kemungkinan berbeda. Sebenarnya ada 2 jenis
gerabah atau keramik yang dihasilkan di tempat ini menurut kehalusan
tiap-tiap hasil akhirnya. Ada yang tanpa menggunakan pelapis supaya
mengkilat dan ada juga yang menggunakan pelapis tertentu agar hasilnya
mengkilat dan menarik. Yang membedakannya adalah proses pengovenan yang
waktunya berbeda.
Jika
anda pernah berkunjung ke kawasan Guci Tegal atau di kota Tegal sendiri
yang terkenal akan teh pocinya, sebenarnya hampir semua guci-guci, teko,
nampan dan penutupnya merupakan produk yang berasal dari Klampok ini
namun diberi label baru saat dipasarkan di sana. Sayang…itulah yang
terbersit dalam pikiran saya saat itu, karena di Klampok ini hanya
dijadikan sebagai tempat pembuatannya saja sedangkan untuk proses
pemasaran dan merk tergantung dari lokasi si pemesan. Menurut ibu Siti
Juriyah inilah yang menjadi kendala pemasaran hasil keramik Klampok ini.
Kegelisahan ibu Siti Juriyah ini beralasan karena saat kami ke sini,
galeri dan toko sekaligus merangkap lokasi pembuatan keramik Klampok ini
begitu sepi. Tak terbayangkan sehari bisa laku berapa buah guci-guci
maupun pernak-pernik yang ada di sini.
Selain
bapak Marto Gimin, terdapat juga pekerja laki-laki yang usianya lebih
tua bernama pak Dimin yang dalam sehari mampu membuat mug sebanyak 20
buah dan mulai bekerja dari jam 8 hingga jam 4 sore setiap harinya
kecuali hari minggu yang hanya setengah hari saja.
Saat
hendak mengakhiri kunjungan siang itu, kami pun berbincang-bincang
kembali dengan ibu Siti Juriyah. Mulai dari sejarah berdirinya Mustika
Keramik ini hingga perjalanan hidup beliau berdua dengan almarhum bapak.
Dari situ saya pun paham jika Mustika Keramik ini awalnya hanya
dijadikan sebagai pengisi waktu luang almarhum bapak yang saat masih
muda membantu pelajaran membuat gerabah atau keramik di Sekolah Teknik
atau sekolah kejuruan tingkat menengah pada masanya. Dari peluang dan
keterampilan akhirnya bapak memberanikan diri untuk membuka sendiri
usaha pembuatan gerabah atau keramik di Klampok ini.
Waktu
hampir menunjukan pukul 10 dan kami pun berpamitan sembari mengucapkan
terima kasih atas diperkenankannya kami berkunjung ke sini. Kami memang
tidak membeli apa pun saat ke sini, namun kami membawa cerita untuk bisa
disebarluaskan kepada seluruh pembaca melalui tulisan di blog ini.
Sejatinya Klampok sendiri merupakan daerah yang kaya sejarah, budaya dan
juga potensi lokal yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Itu semua bisa
terlihat dari banyaknya bangunan-bangunan bersejarah yang masih terjaga
dengan baik di sini. Selain itu juga di sepanjang jalan kita bisa
melihat banyak tempat pembuatan batu bata merah yang tiap pembakarannya
mengeluarkan asap yang membumbung tinggi ke langit.
Sampai jumpa lagi Klampok sebagai kota pusaka nan kaya sejarah serta Mustika Keramiknya.
Referensi : situs web dinas pariwisata kabupaten Banjarnegara
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang Dimana saya bisa membeli guci mini dari tanah liat yang di cetak
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Bikin sendiri celana jeans robek mu
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : https://ndayeng.wordpress.com/2016/12/01/menyusuri-jejak-mustika-keramik-klampok/
0 komentar:
Post a Comment