Dasar-Dasar Teknologi
PENGOLAHAN LIMBAH CAIRBagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas, teknologi
pengolahan limbah cair yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, ...
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_5.htm - 121k
Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu penyumbang limbah cair yang berbahaya bagi lingkungan. Bagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas, teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak demikian bagi industri kecil atau sedang. Namun demikian, mengingat penting dan besarnya dampak yang ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan, penting bagi sektor industri kehutanan untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan.
Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba dan dikembangkan selama ini. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:
1. pengolahan secara fisika
2. pengolahan secara kimia
3. pengolahan secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.
Pengolahan Secara Fisika
Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Gambar 1. Skema Diagram Pengolahan Fisik
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.
Pengolahan Secara Kimia
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi.
Gambar 2. Skema Diagram pengolahan Kimiawi
Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida.
Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia.
Pengolahan secara biologi
Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan sekunder, pengolahan secara biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya.
Pada dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);
2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).
Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses absorbsi di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.
Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga termasuk dalam jenis reaktor pertumbuhan tersuspensi. Untuk iklim tropis seperti Indonesia, waktu detensi hidrolis selama 12-18 hari di dalam kolam oksidasi maupun dalam lagoon yang tidak diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi cukup dengan waktu detensi 3-5 hari saja.
Di dalam reaktor pertumbuhan lekat, mikroorganisme tumbuh di atas media pendukung dengan membentuk lapisan film untuk melekatkan dirinya. Berbagai modifikasi telah banyak dikembangkan selama ini, antara lain:
1. trickling filter
2. cakram biologi
3. filter terendam
4. reaktor fludisasi
Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar 80%-90%.
Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara biologi, proses ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen;
2. Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.
Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
Gambar 3. Skema Diagram pengolahan Biologi
Dalam prakteknya saat ini, teknologi pengolahan limbah cair mungkin tidak lagi sesederhana seperti dalam uraian di atas. Namun pada prinsipnya, semua limbah yang dihasilkan harus melalui beberapa langkah pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan atau kembali dimanfaatkan dalam proses produksi, dimana uraian di atas dapat dijadikan sebagai acuan. [DAW] Pencemaran
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Pencemaran, menurut SK Menteri Kependudukan Lingkungan Hidup No 02/MENKLH/1988, adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara
oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di mana-mana dengan laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk logam berat.
Pencemaran lingkungan dapat dikategorikan menjadi:
• Pencemaran air
• Pencemaran udara
• Pencemaran tanah
Limbah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ada usul agar artikel atau bagian ini digabungkan dengan artikel sampah (diskusikan)
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Karakteristik limbah:
1. Berukuran mikro
2. Dinamis
3. Berdampak luas (penyebarannya)
4. Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
1. Volume limbah
2. Kandungan bahan pencemar
3. Frekuensi pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
1. Limbah cair
2. Limbah padat
3. Limbah gas dan partikel
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
1. pengolahan menurut tingkatan perlakuan
2. pengolahan menurut karakteristik limbah
Indikasi Pencemaran Air
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.
1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari :
Bahan buangan padat
Bahan buangan organik
Bahan buangan anorganik
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah"
Kategori: Artikel yang layak digabungkan | Lingkungan
Tampilan
Halaman
Pembicaraan
Sunting
↑
Versi terdahulu
Peralatan pribadi
Masuk log / buat akun
Navigasi
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman sembarang
Pencarian
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
wikipedia
Perihal Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Kotak peralatan
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Versi cetak
Pranala permanen
Kutip artikel ini
Bahasa lain
English
Suomi
Français
日本語
Português
Türkçe
中文
Teknologi Pengolahan Air Limbah:
http://funnyfree.net/results03/teknologi_pengolahan_limbah_cair.html
By Wahyu Hidayat on 1 January 2008 34 Comments Print this article Email this article
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah tangga) maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari kita lihat Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota yang amat padat sehingga letak septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan sumber air tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari 636 titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara kimiawi, 75% dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang parameternya dinilai dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah akan mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan, blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin, serta sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi (in-pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention). Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume limbah yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya. Sedangkan pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan.
Parameter Konsentrasi (mg/L)
COD 100 - 300
BOD 50 - 150
Minyak nabati 5 - 10
Minyak mineral 10 - 50
Zat padat tersuspensi (TSS) 200 - 400
pH 6.0 - 9.0
Temperatur 38 - 40 [oC]
Ammonia bebas (NH3) 1.0 - 5.0
Nitrat (NO3-N) 20 - 30
Senyawa aktif biru metilen 5.0 - 10
Sulfida (H2S) 0.05 - 0.1
Fenol 0.5 - 1.0
Sianida (CN) 0.05 - 0.5
Batasan Air Limbah untuk Industri
Kepmen LH No. KEP-51/MENLH/10/1995
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang dibayangkan karena pengolahan air limbah memerlukan biaya investasi yang besar dan biaya operasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pengolahan air limbah harus dilakukan dengan cermat, dimulai dari perencanaan yang teliti, pelaksanaan pembangunan fasilitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) yang benar, serta pengoperasian yang cermat.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas yang digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu parameter organik, karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik merupakan ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter total suspended solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi. Sedangkan kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau inorganik.
Teknologi Pengolahan Air Limbah
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
1. Pengolahan Awal (Pretreatment)
Tahap pengolahan ini melibatkan proses fisik yang bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan minyak dalam aliran air limbah. Beberapa proses pengolahan yang berlangsung pada tahap ini ialah screen and grit removal, equalization and storage, serta oil separation.
2. Pengolahan Tahap Pertama (Primary Treatment)
Pada dasarnya, pengolahan tahap pertama ini masih memiliki tujuan yang sama dengan pengolahan awal. Letak perbedaannya ialah pada proses yang berlangsung. Proses yang terjadi pada pengolahan tahap pertama ialah neutralization, chemical addition and coagulation, flotation, sedimentation, dan filtration.
3. Pengolahan Tahap Kedua (Secondary Treatment)
Pengolahan tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat-zat terlarut dari air limbah yang tidak dapat dihilangkan dengan proses fisik biasa. Peralatan pengolahan yang umum digunakan pada pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated lagoon, stabilization basin, rotating biological contactor, serta anaerobic contactor and filter.
4. Pengolahan Tahap Ketiga (Tertiary Treatment)
Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation, serta thickening gravity or flotation.
5. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Lumpur yang terbentuk sebagai hasil keempat tahap pengolahan sebelumnya kemudian diolah kembali melalui proses digestion or wet combustion, pressure filtration, vacuum filtration, centrifugation, lagooning or drying bed, incineration, atau landfill.
Pemilihan Teknologi
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan karakteristik kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan indikator parameter yang sudah ditampilkan di tabel di atas. Setelah kontaminan dikarakterisasikan, diadakan pertimbangan secara detail mengenai aspek ekonomi, aspek teknis, keamanan, kehandalan, dan kemudahan peoperasian. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk:
1. Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
2. Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
3. Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.
Sedimentation. Sebuah primary sedimentation tank di sebuah unit pengolahan limbah domestik. Sedimentation tank merupakan salah satu unit pengolahan limbah yang sangat umum digunakan.
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen. Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri - Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia
T
eknologi Pengolahan Limbah B3
By Wahyu Hidayat on 2 January 2008 46 Comments Print this article Email this article
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
• Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
• Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
• Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
• Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
• jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
• jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
• pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
• peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar
Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
6. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
7. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
8. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
9. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
0. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
1. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
2. Precipitation
3. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
4. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
5. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Penanganan Limbah B3
Hazardous Material Container
Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.
Pembuangan Limbah B3 (Disposal)
Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri - Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia, US EPA
Teknologi Pengolahan Air Limbah
By Wahyu Hidayat on 1 January 2008 34 Comments Print this article Email this article (http://majarimagazine.com/2008/01/teknologi-pengolahan-air-limbah/)
Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah tangga) maupun industri ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila kualitas air limbah tidak memenuhi baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari kita lihat Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota yang amat padat sehingga letak septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan dengan sumber air tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari 636 titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara kimiawi, 75% dari sumber tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang parameternya dinilai dari unsur nitrat, nitrit, besi, dan mangan.
Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.
Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah akan mengandung zat-zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan, blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler dan sistem air pendingin, serta sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus menerapkan prinsip pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi (in-pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention). Pengendalian dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume limbah yang ditimbulkan, juga konsentrasi dan toksisitas kontaminannya. Sedangkan pengendalian setelah proses produksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan.
Parameter Konsentrasi (mg/L)
COD 100 - 300
BOD 50 - 150
Minyak nabati 5 - 10
Minyak mineral 10 - 50
Zat padat tersuspensi (TSS) 200 - 400
pH 6.0 - 9.0
Temperatur 38 - 40 [oC]
Ammonia bebas (NH3) 1.0 - 5.0
Nitrat (NO3-N) 20 - 30
Senyawa aktif biru metilen 5.0 - 10
Sulfida (H2S) 0.05 - 0.1
Fenol 0.5 - 1.0
Sianida (CN) 0.05 - 0.5
Batasan Air Limbah untuk Industri
Kepmen LH No. KEP-51/MENLH/10/1995
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang dibayangkan karena pengolahan air limbah memerlukan biaya investasi yang besar dan biaya operasi yang tidak sedikit. Untuk itu, pengolahan air limbah harus dilakukan dengan cermat, dimulai dari perencanaan yang teliti, pelaksanaan pembangunan fasilitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL) yang benar, serta pengoperasian yang cermat.
Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas yang digunakan. Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu parameter organik, karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik merupakan ukuran jumlah zat organik yang terdapat dalam limbah. Parameter ini terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter total suspended solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi. Sedangkan kontaminan spesifik dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau inorganik.
Teknologi Pengolahan Air Limbah
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat dibagi menjadi 5 (lima) tahap:
1. Pengolahan Awal (Pretreatment)
Tahap pengolahan ini melibatkan proses fisik yang bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan minyak dalam aliran air limbah. Beberapa proses pengolahan yang berlangsung pada tahap ini ialah screen and grit removal, equalization and storage, serta oil separation.
2. Pengolahan Tahap Pertama (Primary Treatment)
Pada dasarnya, pengolahan tahap pertama ini masih memiliki tujuan yang sama dengan pengolahan awal. Letak perbedaannya ialah pada proses yang berlangsung. Proses yang terjadi pada pengolahan tahap pertama ialah neutralization, chemical addition and coagulation, flotation, sedimentation, dan filtration.
3. Pengolahan Tahap Kedua (Secondary Treatment)
Pengolahan tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat-zat terlarut dari air limbah yang tidak dapat dihilangkan dengan proses fisik biasa. Peralatan pengolahan yang umum digunakan pada pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated lagoon, stabilization basin, rotating biological contactor, serta anaerobic contactor and filter.
4. Pengolahan Tahap Ketiga (Tertiary Treatment)
Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation, serta thickening gravity or flotation.
5. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Lumpur yang terbentuk sebagai hasil keempat tahap pengolahan sebelumnya kemudian diolah kembali melalui proses digestion or wet combustion, pressure filtration, vacuum filtration, centrifugation, lagooning or drying bed, incineration, atau landfill.
Pemilihan Teknologi
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan karakteristik kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan indikator parameter yang sudah ditampilkan di tabel di atas. Setelah kontaminan dikarakterisasikan, diadakan pertimbangan secara detail mengenai aspek ekonomi, aspek teknis, keamanan, kehandalan, dan kemudahan peoperasian. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk:
1. Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
2. Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
3. Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.
Sedimentation. Sebuah primary sedimentation tank di sebuah unit pengolahan limbah domestik. Sedimentation tank merupakan salah satu unit pengolahan limbah yang sangat umum digunakan.
Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen. Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya yakin kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Referensi: Pengelolaan Limbah Industri - Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia
Teknologi Membran
http://majarimagazine.com/2007/11/teknologi-membran/
By Wahyu Hidayat on 26 November 2007 39 Comments Print this article Email this article
Teknologi membran telah menjadi topik hangat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal itu mungkin dipicu fakta bahwa pemisahan dengan membran memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki metode-metode pemisahan lainnya. Keunggulan tersebut yaitu pemisahan dengan membran tidak membutuhkan zat kimia tambahan dan juga kebutuhan energinya sangat minimum. Membran dapat bertindak sebagai filter yang sangat spesifik. Hanya molekul-molekul dengan ukuran tertentu saja yang bisa melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran. Selain keunggulan-keunggulan yang telah disebutkan, teknologi membran ini sederhana, praktis, dan mudah dilakukan.
Definisi
Membrane separation yaitu suatu teknik pemisahan campuran 2 atau lebih komponen tanpa menggunakan panas. Komponen-komponen akan terpisah berdasarkan ukuran dan bentuknya, dengan bantuan tekanan dan selaput semi-permeable. Hasil pemisahan berupa retentate (bagian dari campuran yang tidak melewati membran) dan permeate (bagian dari campuran yang melewati membran).
Struktur Membran
Berdasarkan jenis pemisahan dan strukturnya, membran dapat dibagi menjadi 3 kategori:
Membran. Sweep (berupa cairan atau gas) digunakan untuk membawa permeate hasil pemisahan.
• Porous membrane. Pemisahan berdasarkan atas ukuran partikel dari zat-zat yang akan dipisahkan. Hanya partikel dengan ukuran tertentu yang dapat melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan. Berdasarkan klasifikasi dari IUPAC, pori dapat dikelompokkan menjadi macropores (>50nm), mesopores (2-50nm), dan micropores (<2nm). Porous membrane digunakan pada microfiltration dan ultrafiltration.
• Non-porous membrane. Dapat digunakan untuk memisahkan molekul dengan ukuran yang sama, baik gas maupun cairan. Pada non-porous membrane, tidak terdapat pori seperti halnya porous membrane. Perpindahan molekul terjadi melalui mekanisme difusi. Jadi, molekul terlarut di dalam membran, baru kemudian berdifusi melewati membran tersebut.
• Carrier membrane. Pada carriers membrane, perpindahan terjadi dengan bantuan carrier molecule yang mentransportasikan komponen yang diinginkan untuk melewati membran. Carrier molecule memiliki afinitas yang spesifik terhadap salah satu komponen sehingga pemisahan dengan selektifitas yang tinggi dapat dicapai.
Reverse Osmosis
Salah satu teknologi membran yang banyak digunakan saat ini yaitu reverse osmosis (RO). Proses ini merupakan kebalikan dari osmosis. Pada osmosis, pelarut berpindah dari daerah berkonsentrasi rendah (hipotonik) ke daerah berkonsentrasi tinggi (hipertonik) sehingga konsentrasi di kedua daerah menjadi berimbang. Proses ini terjadi secara alami sehingga tidak membutuhkan energi. Contoh osmosis yang terjadi di alam yaitu penyerapan air oleh akar tanaman. Berbeda dengan osmosis, RO terjadi dengan arah yang berlawanan yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Untuk melawan gradien konsentrasi, dibutuhkan energi eksternal berupa tekanan.
Keunggulan dan Aplikasi Reverse Osmosis
Menurut Ir. Teuku Zulkarnain, MT, kandidat doktor teknik lingkungan Institut Teknologi Bandung, Keunggulan RO yang paling superior dibandingkan metode-metode pemisahan lainnya yaitu kemampuan dalam memisahkan zat-zat dengan berat molekul rendah seperti garam anorganik atau molekul organik kecil seperti glukosa dan sukrosa. Keunggulan lain dari RO ini yaitu tidak membutuhkan zat kimia, dapat dioperasikan pada suhu kamar, dan adanya penghalang absolut terhadap aliran kontaminan, yaitu membran itu sendiri. Selain itu, ukuran penyaringannya yang mendekati pikometer, juga mampu memisahkan virus dan bakteri.
Teknologi RO cocok digunakan dalam pemurnian air minum dan air buangan. Di bidang industri, teknologi RO dapat digunakan untuk memurnikan air umpan boiler. Selain itu, Karena kemampuannya dalam memisahkan garam-garaman, teknologi reverse osmosis cocok digunakan dalam pengolahan air laut menjadi air tawar (desalinasi). Pengolahan ini terdiri dari beberapa tahap:
• Pre-treatment untuk memisahkan padatan-padatan yang terbawa oleh umpan. Padatan-padatan tersebut jika terakumulasi pada permukaan membran dapat menimbulkan fouling. Pada tahap ini pH dijaga antara 5,5-5,8.
• High pressure pump digunakan untuk memberi tekanan kepada umpan. Tekanan ini berfungsi sebagai driving force untuk melawan gradien konsentrasi. Umpan dipompa untuk melewati membran. Keluaran dari membran masih sangat korosif sehingga perlu diremineralisasi dengan cara ditambahkan kapur atau CO2. Penambahan kapur ini juga bertujuan menjaga pH pada kisaran 6,8-8,1 untuk memenuhi spesifikasi air minum.
• Disinfection dilakukan dengan menggunakan radiasi sinar UV ataupun dengan cara klorinasi. Sebenarnya, penggunaan RO untuk desalinasi sudah cukup jitu untuk memisahkan virus dan bakteri yang terdapat dalam air. Namun, untuk memastikan air benar-benar aman (bebas virus dan bakteri), disinfection tetap dilakukan.
Sea Water Desalinantion: Concept Drawing of Membrane Distillation Sea Water Desalination.
Selain untuk desalinasi, RO juga digunakan dalam dialisis untuk proses cuci darah penderita penyakit ginjal. Ginjal berfungsi sebagai penyaring darah terhadap pengotor-pengotor hasil metabolisme tubuh seperti urea, yang kemudian dikeluarkan melalui urin. Mesin dialisis berfungsi sebagai “ginjal” tersebut. Darah dikeluarkan dari tubuh menuju mesin dialisis yang di dalamnya terdapat membran. Darah yang telah melewati membran dikembalikan lagi ke dalam tubuh.
Teknologi membran berkembang dengan sangat pesat. Dewasa ini, banyak membran dapat dioperasikan pada tekanan rendah sehingga memungkinkan dioprerasikan di rumah tinggal, tempat pengungsian, bahkan dapat digerakkan dengan genset berskala kecil. Selain itu, kemajuan dalam bidang material membran juga memungkinkan proses pemisahan menggunakan membran dapat dilakukan dengan lebih ekonomis.
Upaya Penanganan Limbah Nuklir dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
Apr 17, '08 2:25 AM
for everyone
Secara umum, pengelolaan limbah nuklir yang lazim digunakan oleh negara-negara maju meliputi tiga pendekatan pokok yang bergantung pada besar kecilnya volume limbah, tinggi rendahnya aktivitas zat radioaktif yang terkandung dalam limbah serta sifat-sifat fisika dan kimia limbah tersebut. Tiga pendekatan pokok itu meliputi:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Limbah nuklir dipekatkan dan dipadatkan yang pelaksanaannya dilakukan dalam wadah khusus untuk selanjutnya disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Cara ini efektif untuk menangani limbah nuklir cair yang mengandung zat radioaktif beraktivitas sedang dan atau tinggi
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Limbah nuklir disimpan dan dibiarkan meluruh dalam tempat penyimpanan khusus sampai aktivitasnya sama dengan aktivitas zat radioaktif lingkungan. Cara ini efektif bila dipakai untuk pengelolaan limbah nuklir cair atau padat yang beraktivitas rendah dan berwaktu paruh pendek.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Limbah nuklir diencerkan dan didispersikan ke lingkungan. Cara ini efektif dalam pengelolaan limbah nuklir cair dan gas beraktivitas rendah (Sofyan, 1998)
Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas rendah (70 – 80
%). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur ulang elemen bakar nuklir bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur ulang, limbah aktivitas tinggi ini jumlahnya sangat sedikit. Penangan limbah radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti tiga prinsip, yaitu :
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi, kompaksi/ditekan.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk memudahkan dalam transportasi dan penyimpanan.
<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi
Pengolahan limbah cair dengan cara evaporasi/pemanasan untuk memperkecil volume, kemudian dipadatkan dengan semen (sementasi) atau dengan gelas masif (vitrifikasi) di dalam wadah yang kedap air, tahan banting, misalnya terbuat dari beton bertulang atau dari baja tahan karat (B,xxxx). Alat untuk proses evaporasi di sebut evaporator. Alat ini mampu mereduksi volume limbah cair dengan faktor reduksi 50. Hal ini berarti jika ada 50 m3 limbah cair yang diolah, maka akan dihasilkan 1 m3 konsentrat radioaktif, sedang sisanya yang 49 m3 hanyalah berupa air destilat yang sudahtidak radioaktif lagi (Sofyan, 1998).
Pengolahan limbah padat adalah dengan cara diperkecil volumenya melalui proses insenerasi/pembakaran, selanjutnya abunya disementasi. Sedangkan limbah yang tidak dapat dibakar diperkecil volumenya dengan kompaksi/penekanan dan dipadatkan dalam drum/beton dengan semen. Sedangkan limbah yang tidak dapat dibakar/dikompaksi, harus dipotong-potong dan dimasukkan dalam beton kemudian dipadatkan dengan semen atau gelas masif (B,xxxx). Proses pemadatan bisa dilakukan dengan semen (sementasi), aspal (bitumentasi), polimer (polimerisasi) maupun bahan gelas (vitrifikasi) (Sofyan,1998)
Selanjutnya limbah radioaktif yang telah diolah disimpan secara sementara (10-50 tahun) di gudang penyimpanan limbah yang kedap air sebelum disimpan secara lestari. Tempat penyimpanan limbah lestari dipilih ditempat/lokasi khusus dengan kondisi geologi yang stabil dan secara ekonomi tidak bermanfaat (B,xxxx).
Tabel 2 berikut ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi sebagai lokasi/tempat penyimpanan sementara bahan bakar nuklir bekas maupun penyimpanan lestari berdasarkan PP No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif.
Tabel 2. Standarisasi Lokasi Penyimpanan Limbah Nuklir
Penyimpanan Sementara
Bahan Bakar Nuklir Bekas Penyimpanan Lestari
Lokasi bebas banjir Lokasi bebas banjir dan terhindar dari erosi
Tahan terhadap gempa Lokasi tahan terhadap gempa dan memenuhi karakteristik materi bumi dan sifat kimia air
Didesain sehingga terhindar dari kekritisan Didesain sehingga terhindar dari terjadinya kekritisan
Dilengkapi dengan peralatan proteksi radiasi Dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi dan radioaktivitas lingkungan
Dilengkapi dengan penahan radiasi Dilengkapi dengan sistem pendingin
Dilengkapi dengan sistem proteksi fisik Dilengkapi dengan sistem penahan radiasi
Dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi Dilengkapi dengan sistem proteksi fisik
Memenuhi distribusi populasi penduduk dan tata wilayah sekitar lokasi penyimpanan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan atau pengukungan limbah antara lain:
a. Keselamatan terpasang
Keselamatan terpasang dirancang berdasarkan sifat-sifat alamiah air dan uranium. Bila suhu dalam teras reaktor naik, jumlah neutron yang tidak tertangkap maupun yang tidak mengalami proses perlambatan akan bertambah, sehingga reaksi pembelahan berkurang. Akibatnya panas yang dihasilkan juga berkurang. Sifat ini akan menjamin bahwa teras reaktor tidak akan rusak walaupun sistem kendali gagal beroperasi
b. Penghalang ganda
Zat radioaktif yang dihasilkan selama reaksi pembelahan inti uranium sebagian besar (>99%) akan tetap tersimpan di dalam matriks bahan bakar, yang berfungsi sebagai penghalang pertama. Selama operasi maupun jika terjadi kecelakaan, kelongsongan bahan bakar akan berperan sebagai penghalang kedua untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif tersebut keluar kelongsongan. Apabila masih dapat keluar dari dalam kelongsongan, masih ada penghalang ketiga yaitu sistem pendingin. Lepas dari sistem pendingin, masih ada penghalang keempat berupa bejana tekan dibuat dari baja dengan tebal 20 cm. penghalang kelima adalah perisai beton dengan ketebalan 1,5 - 2 meter. Bila zat radioaktif tersebut masih ada yang lolos dari perisai beton, masih ada penghalang ke enam yaitu sistem pengukung yang terdiri pelat baja setebal 7 cm dan beton setebal 1,5 - 2 meter yang kedap udara.
c. Pertahanan berlapis
Pertahanan berlapis ini meliputi : lapisan keselamatan pertama, PLTN dirancang, dibangun dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan yang sangat ketat, mutu yang tinggi dan teknologi mutakhir; lapis keselamatan kedua, PLTN dilengkapi dengan sistem pengaman/keselamatan yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi akibat-akibat dari kecelakaan yang mungkin terjadi selama umur PLTN; dan lapis keselamatan ketiga, PLTN dilengkapi dengan sistem pengamanan tambahan (B,xxxx).
Selain itu terdapat juga dua pendekatan utama dalam pengelolaan limbah radioaktif yaitu pendekatan “Dilute and Disperse” dan pendekatan “Concentrate and Contain”. Pada pendekatan Dilute and Disperse, limbah yang mengandung radionuklida dengan konsentrasi rendah di buang secara langsung ke lingkungan. Pembuangan atau pelepasan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui atmosfer (material gas dan partikulat kasar) dan air pada lingkungan perairan maupun lingkungan air tawar (cairan, substansi terlarut dan suspended solid). Biasanya dalam fase cair dan gas yang disebut juga sebagai effluen. Keuntungan pendekatan Dilute and Disperse adalah dimungkinkan untuk melakukan verifikasi dan kontrol. Pada pendekatan Concentrate and Contain, limbah dalam fase padat di isolasi dari lingkungan manusia untuk meminimalkan paparan yang mungkin terjadi. Untuk kasus radionuklida umur pendek (hanya beberapa tahun), dimungkinkan untuk mengisolasi limbah di tempat penyimpanan yang aman sampai waktu peluruhan radioaktif berkurang ke level kurang berbahaya. Hal tersebut berlaku juga untuk limbah radionuklida dalam bentuk cair dan gas. Limbah yang mengandung radionuklida dengan waktu paruh yang lama dalam jumlah besar, harus di isolasi ke tempat penyimpanan (repository). Berbagai alternatif harus di identifikasi dan diperhitungkan termasuk ketersediaan modal, operasional, biaya perawatan, penerapan pengelolaan limbah, dan efek yang diberikan baik secara individual maupun kolektif terhadap masyarakat dan pekerja (Cooper,2003)
Limbah yang mengandung radionuklida dengan level rendah dapat dibuang ke landfill dengan material limbah biasa. Limbah yang mengandung radionuklida level tinggi memerlukan standar isolasi yang lebih besar terhadap lingkungan hidup (biosfer). Limbah bahan nuklir bekas dan hasil belahan berkonsentrasi tinggi, yang mengalami peningkatan selama reprocessing bahan bakar bekas, harus memenuhi standar tertinggi pada saat melakukan isolasi limbah. Pembuangan atau penyimpanan limbah radionuklida dilakukan pada kedalaman ratusan meter di bawah tanah dengan mempertimbangkan pendekatan pengukungan berlapis. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan terhadap pembuangan limbah antara lain bentuk limbah, kontainer, fasilitas lining disposal, formasi geologi dimana fasilitas ditempatkan, perlindungan biosfer terhadap perpindahan radionuklida (Cooper,2003).
Limbah radioaktif dihasilkan dalam fase gas, cair dan padatan melalui proses industri termasuk listrik yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga nuklir. International Atomic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif, yaitu:
1. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tingkat keamanan yang dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
2. Limbah radioaktif harus dikelola dalam hal memberikan level yang dapat diterima guna perlindungan lingkungan
3. Limbah radioaktif harus dikelola untuk menjamin bahwa efek yang mungkin terjadi pada kesehatan manusia diluar batas standar nasional, turut diperhitungkan
4. Limbah radioaktif harus dikelola dalam memberikan prediksi bahwa dampak terhadap kesehatan generasi masa depan tidak lebih besar dari yang sekarang di terima
5. Limbah radioaktif hars dikelola dengan cara tertentu yang tidak memberikan pengaruh atau akibat fatal pada generasi berikutnya
6. Limbah radioaktif harus dikelola dengan tujuan yang sesuai frame work nasinal termasuk pembagian tanggung jawab dan provisi untuk fungsi kelembagaan independen.
7. Limbah radioaktif yang dihasilkan harus minimum practicable.
8. Keterkaitan antara seluruh tahapan dalam menghasilkan limbah radioaktif serta pengelolaannya harus dapat diukur atau diperhitungkan.
9. Keamanan fasilitas yang digunakan dalam pengelolaan limbah radioaktif harus dipastikan selama masa lifetime (Cooper, 2003)
Akan tetapi pelaksanaan 9 prinsip pengelolaan limbah radioaktif tersebut tidak lepas dari aturan perundangan yang berlaku di Indonesia sehingga butuh adaptasi sebelum adanya aplikasi.
Pengolahan Limbah Radioaktif dengan PENUKAR ION (Ion Exchanger)
Dalam pembangkit tenaga nuklir, teknologi penukar ion telah diaplikasikan pada pemurnian air pendingin, pengolahan limbah utama, pemurnian asam boric untuk pemakaian ulang serta pengolahan air buangan dan limbah cair. Beberapa faktor penting yang diperhatikan dalam pemilihan teknologi penukar ion antara lain :
1. Karekteristik limbah. Teknologi penukar ion dapat dilakukan pada limbah dengan kriteria antara lain kandungan padatan terlarut tidak melebihi 4 mg/L, kandungan garam kurang dari 2 g/L, radionuklida hadir dalam bentuk ion, mengandung sedikit kontaminan organik, dan mengandung sedikit senyawa pengoksidasi kuat.
2. Pemilihan penukar ion dan proses pengolahan. Penukar ion harus memiliki kecocokan dengan karakteristik limbah (pH dan ion) selain temperatur dan tekanan.
Ion exchange merupakan proses reaksi kimia bersifat reversibel dimana suatu ion (atom atau molekul) yang telah hilang atau memperoleh suatu elektron dan dengan demikian memperoleh suatu muatan elektrik dalam larutan yang digantikan dengan ion yang bermuatan sama dari partikel butir padat immobile. Partikel padat ion exchange ini bisa dalam bentuk anorganik zeolit (alami) dan juga sintetik dalam bentuk resin organik. Resin organik buatan merupakan jenis yang banyak digunakan saat ini, sebab memiliki karakteristik yang dapat dikhususkan pada aplikasi spesifik.
<!--[if !vml]--> <!--[endif]-->
Gambar 1. Penukar Ion (Ion Exchanger)
Proses Ion Exchange
Reaksi pada proses ion exchange bersifat reversibel dan stoikiometrik, dan sama terhadap reaksi fase larutan yang lain. Sebagai contoh:
NiSO4 +Ca(OH)2 = Ni(OH)2 + CaSO4 (1)
Pada reaksi ini, ion nikel yang terdapat dalam larutan nikel sulfate ( NiSO4) ditukar ion kalsium dari molekul calsium hidroksida (Ca(OH)2). Hal yang serupa terjadi dimana resin yang mengandung ion hidrogen akan mengalami pertukaran dengan ion nikel dalam larutan. persamaan reaksi sebagai berikut:
2(R-SO3H)+ NiSO4 = (R-SO3)2Ni + H2SO4 (2)
R mengindikasikan bagian organik resin dan SO3 adalah bagian yang non-mobile dari kelompok ion aktif. Diperlukan 2 resin untuk ion nikel valensi 2 ( Ni+2). Ion ferric bervalensi tiga akan memerlukan tiga resin.
Di dalam lingkup pengolahan logam, ion exchange biasanya menggunakan satu kolom yang terdiri dari cation exchange bed dan diikuti dengan anion exchange resin. Efluen biasanya merupakan larutan deionisasi yang dapat di recycle dalam proses seperti rinse water.
Resin Ion Exchange
Unsur yang bersifat bersifat ion yang terdapat pada air limbah dapat mengalami pertukaran dengan jenis resin tertentu, dengan demikian akan terjadi pertukaran sampai resin mengalami kejenuhan. Resin diregenerasi melalui proses pelepasan exchanged material dan mengkonsentasikannya dalam pengurangan volume yang banyak. Sebagai contoh, air limbah yang mengandung Cu digantikan dengan logam lain yang tidak berbahaya seperti Sodium. Efeknya adalah air limbah tersebut dapat dibuang dan menempatkan Cu pada resin. Proses regenerasi resin akan melepaskan Cu ke dalam suatu volume kecil konsentrat. Resin mungkin dibuat untuk menukar jenis cationic atau anionic. Resin juga dimungkinkan untuk memindahkan substansi khusus / spesifik seperti single metal dari aliran yang tercampur, tetapi hal ini tergantung dari kondisi sekitar / lingkungannya.
Resin pada ion exchange digolongkan sebagai kation exchanger, yang mana mempunyai ion positif yang mobile digunakan untuk exchange, dan anion exchanger yang mempunyai ion negatif yang mobile. Resin anion dan kation diproduksi dari dasar polimer organik yang sama. Perbedaan terdapat pada kelompok ionizable yang terikat dengan jaringan / ikatan hidrokarbon. Golongan fungsional ini yang menentukan perilaku kimia resin. Resin secara luas digolongkan sebagai kation exchanger asam kuat (contoh SO3H dengan pK=1-2) atau asam lemah (OH dengan pK=9-10) dan anion exchanger basa kuat (N+ dengan pK=1-2) atau basa lemah (NH2 dengan pK=8-10).
<!--[if !vml]--> <!--[endif]-->
Gambar 2. Nodule – nodule resin Ion Exchange
Pengolahan Limbah Radiokatif dengan ZEOLIT
Zeolit adalah mineral dengan struktur kristal alumino silikat yang berbentuk rangka (framework) tiga dimensi, mempunyai rongga dan saluran, serta mengandung ion Na, K, Mg, Ca, Fe serta molekul air. Pada beberapa kasus penurunan zat radioaktif Sr-90 dan ion Fe, dikembangkan zeolit modifikasi yaitu Mn-Zeolit (Zamroni, 2000). Langkah dalam pembuatan Mn-Zeolit adalah sebagai berikut :
1. Zeolit yang digunakan dibersihkan dari kotoran dan batuan lain kemudian dikeringkan di udara. Zeolit alam dihaluskan dan diayak untuk mendapatkan ukuran partikel zeolit 35-50 mesh. Zeolit dimurnikan dengan cara direfluk dengan air demin selama 24 jam untuk mendapatkan zeolit bersih dari pengotor.
2. Zeolit murni yang sudah diperoleh kemudian direndam dengan larutan KMnO4 konsentrasi 0,1M selama 24 jam. Zeolit yang sudah direndam kemudian dicuci dengan air demin sampai bersih dari larutan KMnO4
3. Zeolit yang sudah bersih tersebut merupakan material Mn-Zeolit, yang kemudian dipanaskan dengan temperatur 100oC sampai kering.
Mn-Zeolit yang sudah diaktivasi dikontakkan dengan limbah Sr-90 dan Fe2+ dalam berbagai variasi waktu. Beningan yang didapat kemudian dipisahkan dan dianalisis menggunakan Liquid Scintillation Chromatography (LSC) dan Atomic Absorbsi Spectrometer (AAS). Akan tetapi penelitian penerapan zeolit pada limbah radioaktif perlu dikembangkan lebih lanjut untuk spesifikasi limbah PLTN dengan pertimbangan struktur zeolit, mekanisme difusi ion, termodinamika dan kinetika reaksi pertukaran ion, sehingga dapat diaplikasikan untuk jenis limbah radioaktif selain Sr-90.
Pengolahan Limbah Radioaktif dengan PLASMA TERMAL
Teknologi plasma adalah metode penghasil panas yang digunakan untuk memecah/menghancurkan material limbah. Fraksi hidrokarbon dalam limbah akan dipecah menjadi karbonmonooksida, hidrogen, karbondioksida dan/atau air tergantung kondisi operasi. Limbah logam tetap berada dibawah yang nantinya berpotensi sebagai sisa/bekas logam yang akan di daur ulang. Fraksi anorganik pada limbah akan membentuk lapisan di atas lapisan logam. Jenis limbah yang dapat diolah dengan menggunakan teknologi plasma, yaitu tanah terkontaminasi debu batubara, limbah organik padat dan cair yang mengandung unsur asbestos, limbah organik medis terklorinasi, limbah radioaktif dan lainnya.
Plasma termal telah diaplikasikan pada proses industri di berbagai tempat. Plasma termal adalah gas terionisasi pada suhu tinggi (diatas 10.000 oC) bila dibandingkan dengan suhu yang ditemukan di pembakaran atau yang menggunakan pemanasan elektrik. Plasma termal dibuat dengan menggunakan electric arc, yang diletakkan di antara dua elektroda logam di dalam sebuah alat yang disebut plasma torch. Bila sebuah gas, seperti udara, uap dan lainnya, diinjeksikan ke dalam, molekul / atom gas tersebut akan bertubrukan dengan elektron pada electric arc (elektron terbentuk pada satu elektroda dan diakselerasi dan dikumpulkan pada elektroda yang satunya). Proses ini akan menyebabkan ionisasi gas, menghasilkan sebuah jet plasma yang mencapai suhu tinggi yang disebutkan sebelumnya (Anonim, 1996).
Unit teknologi plasma terdiri dari beberapa unit produksi yaitu tempat masuknya limbah, ruang proses, sistem penanganan dan pemisahan sisa padatan, sistem pengelolaan gas, kontrol operasional dan pemantauan. Bagian ini sama untuk semua jenis proses industri atau jenis limbah. Efisiensi penghancuran dan pemisahan dari teknologi plasma ini mencapai 99,99%. Plasma termal memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan seperti yang terdapat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Keuntungan dan Kekurangan Teknologi Palsma Termal
Keuntungan Kekurangan
Efisiensi energi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 80% dari 20% yang biasanya didapat pada proses pembakaran biasa pada pengolahan denga temperature tinggi,volatile gas (halogen) akan ikut terbawa bersama uap udara
Kemungkinan untuk me-recovery senyawa organik yang mencemari tanah grafit elektroda yang digunakan untuk memproduksi arc dan lining treatment chamber akan terdegradasi selama siklus pelelehan limbah
Tidak menghasilkan gas buangan
Tanah yang telah terolah memiliki kandungan hidrokarbon kurang dari 0.01 % berat diperlukan perawatan unit komponen untuk menghindari penyebaran kontaminasi dari unit tersebut
Operasi yang berjalan secara kontinu
Sumber : Anonim, 1996
Pengolahan Limbah Radioaktif dengan REVERSE OSMOSIS
Reverse osmosis (RO) merupakan suatu proses pemaksaan sebuah solvent dari sebuah daerah berkonsentrasi “solute” tinggi melalui sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan osmotik.
Reverse Osmosis mengaplikasikan tekanan yang lebih besar dari tekanan osmotik (antara 2-10 Mpa) ke dalam larutan konsentrat sehingga menyebabkan larutan mengalir dari sisi konsentrat membran semipermeabel ke dilute side. RO memiliki kemampuan menyingkirkan total dissolved inorganic solid 95-99,5% dan dissolved organic solid 95-97%. Teknologi tersebut telah digunakan untuk menyingkirkan radionuklida dari limbah cair level rendah seperti limbah uap dari pembangkit tenaga nuklir. RO dapat menyingkirkan hampir semua kontaminan sehingga produk air yang dihasilkan dapat dipakai kembali dalam pembangkit tenaga. Air yang telah dimurnikan tersebut memiliki tingkat aktivitas yang rendah sehingga dimungkinkan untuk dibuang ke lingkungan (IAEA, 2004).
Pengolahan Limbah Radioaktif dengan ULTRAFILTRATION
Membran Ultrafiltration memiliki ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan Reverse Osmosis. Koloid, padatan terlarut, molekul organik dengan berat molekul yang tinggi tidak dapat melalui ultrafiltration. Teknologi ini beroperasi pada tekanan 0,2-1,4 Mpa. Hal ini dimungkinkan karena tekanan osmotik koloid dan molekul organik berada dalam jumlah yang sedikit. Ukuran pori ultrafiltration berada pada range 0,001-0,01 m. Unit ultrafiltration beroperasi dengan prinsip cross-flow. Ultrafiltration sering digunakan untuk menyingkirkan aktivitas alfa dari uap limbah. Limbah aktinida dalam bentuk koloid atau pseudo-colloidal pada uap limbah radioaktif dapat disingkirkan secara efektif oleh ultrafiltration dan dapat digunakan untuk menyingkirkan ion logam terlarut dari larutan dilute aqueous apabila sebelumnya ion tersebut mendapat perlakukan awal untuk pembentukkan partikel padatan (IAEA, 2004)
Pengolahan Limbah Radioaktif dengan SOLIDIFIKASI
Solidifikasi merupakan teknik pengolahan dengan menggunakan pencampuran antara limbah dengan agen solidifikasi. Keuntungan dari metode solidifikasi adalah mencegah disperse partikel kasar dan cairan selama penanganan, meminimalkan keluarnya radionuklida dan bahan berbahya setelah pembuangan serta mengurangi paparan potensial (pemecahan jangka panjang). Beberapa properti yang harus diperhatikan dalam solidifikasi antara lain: kemampuan leaching, stabilitas kimia, uji kuat tekan, ketahanan radiasi, biodegradasi, stabilitas termal dan kelarutan (Brownstein, xxxx). Beberapa bahan yang digunakan sebagai agen dalam solidifikasi yaitu semen, kaca, termoplastik dan thermosetting.
Mekanisme solidifikasi dengan menggunakan semen. Selama absorbsi air, senyawa mineral terhidrasi membentuk substansi dispersi koloid yang disebut “sol”. Sol tersebut kemudian di koagulasi dan di presipitasi (pengkondisian akhir). Gel yang terbentuk kemudian dikristalisasi. Tabel 4 berikut ini akan menggambarkan keuntungan dan kerugian teknik solidifikasi menggunakan semen.
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Solidifikasi menggunakan Semen
Keuntungan Kerugian
material dan teknologinya mudah dijangkau peningkatan volume dan densitas yang tinggi for shipping dan disposal
sesuai dengan berbagai jenis limbah dapat mengalami keretakan apabila terekspos dengan air
biaya sedikit
produk sememntasi bersifat stabil terhadap bahan kimia dan biokimia
produk sementasi tidak mudah terbakar dan memiliki kestabilan temperature yang baik
Komposisi bitumen merupakan campuran hidrokarbon dengan berat molekul tinggi. Dua komponen utama terdiri dari senyawa Asphaltene dan senyawa Malthene. Beberapa jenis bitumen antara lain straight run distillation asphalts, oxidized asphalts, craked asphalts dan emulsified asphalts. Berikut ini merupakan keuntungan dan kekurangan dalam aplikasi bitumentasi (Tabel 5).
Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Solidifikasi menggunakan Bitumen
Keuntungan Kerugian
material dan teknologinya mudah dijangkau dapat terbakar
tidak larut dalam air proses memerlukan peningkatan temperature
beban kapasitas limbah yang tinggi adanya endapan partikulat selama pendinginan
biaya sedikit kemungkinan adanya reaksi kimia
kemampuan pencampuran yang baik
Copyright 2008
Oleh :
Adolf Leopold SM Sihombing, ST, MT
The Principle of Ion Exchange
A simple case of exchanging hard water ions for soft water ions.
The most common water softening method called "ion exchange," is a reversible chemical process of exchanging hard water ions for soft water ions.
Calcium and magnesium are the hardness ions, sodium can be considered the "softness" ions and they are exchanged to create soft water.
Ion exchange takes place in a "resin bed" made up of tiny bead-like material often made of styrene and divynlbenzene. The beads, having a negative charge, attract and hold positively charged ions such as sodium, but will exchange them whenever the beads encounter another positively charged ion, such as calcium or magnesium minerals. This ion exchange happens very easily since the sodium ions have a positive charge of only one, while magnesium and calcium have a more powerful positive charge of two.
What is ION Exchange ?
ION Exchange technology has been in limited use for years, primarily for the generation of de-ionized water. Recent advancements and refinements in resin technologies however, make ION Exchange today's best complete wastewater treatment solution.
Simply stated, Ion Exchange is the giving and receiving of ions between an ion exchange material and a process liquid. It takes place as the process liquid flows through the ion exchange material. Mobile ions on the ion exchange material are exchanged with ions in the process fluid. In La Habra Welding's Ion Exchange applications the ion exchange material is an activated copolymer matrix comprised of porous beads (resin) and the process fluid is finishing system wastewater.
Ion exchange resin beads (thousands per cubic inch) are placed in a pressure vessel to makeup the ion exchange resin bed. As process water passes through the resin bed undesirable ions (contaminates) are exchanged for the more desirable mobile ions in the resin. When the ion exchange resin has exchanged all its mobile ions and can no longer remove undesirable ions it is deemed exhausted. Exhausted resins must go through a simple regeneration process before they can remove ions again.
La Habra Welding's ION Exchange Systems
Regardless of all the "hype" you may have heard regarding ION Exchange, at its core it is a simple process. The real science is in the development and manufacturing of the resins that target categorical contaminates. We don't manufacture the resins, we are not scientists. Like our competitors we purchase resin or combinations of resins from vendors for specific applications (as do our competitors).
So then, what makes Our Ion Exchange Systems better?
Experience, engineering, design, and service. Now we have applied our extensive knowledge of metal finishing operations, wastewater treatment, and industrial automation in the development of our Phantom ION Exchange systems.
We have been in and around the metal finishing industry for more than 30 years, as a result, we have a first hand knowledge of the unique needs of today's metal finishing operations and the operational challenges they present.
Ion exchange columns are at the center of our reliable PLC based flow control system that can be either semi-automatic or a fully automated operation. We only use equipment and components that have a proven track record in the field to consistently provide long reliable service.
We have a service organization second to none. Our service contract will provide a guaranteed response time.
ION exchange columns are at the center of our reliable PLC based flow control system that can be either semi-automatic or a fully automated operation. When compared to like capacity precipitation systems, La Habra Welding's Ion Exchange Systems chemical consumption is very low, comprised primarily of relatively small amounts of acid and base (required for the regeneration process). Finally, when compared to like capacity precipitation systems, Our ion exchange system produce 95% less sludge. In fact, Our systems by-product is de-ionized water (that can be recycled back trough the rinse system). Finally, La Habra Welding's Ion exchange systems are designed to require minimum maintenance and operator intervention.
Fill out the form below so we can tell you why La Habra Welding's ION Exchange systems are the best on the market.
0 komentar:
Post a Comment