, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Mandikan aku, mom…

Mandikan aku, mom…

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!''
Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.
''Bunda, mandikan aku !'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga. Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah; tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Janda Tua di Gubuk Tak Berjendela
Jika di antara Anda ada yang sulit menangis, tak bisa menitikkan air mata, dan sudah terlalu lama kelopak mata Anda kering tak terbasahi air mata sendiri, datanglah ke Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Carilah rumah Ibu Laeni, janda berusia 64 tahun yang tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik seluas 5x7 meter. Bangunan beralas tanah tak berpenerangan itu memiliki jendela, namun tak ada penutup jendela sehingga angin maupun cipratan air hujan leluasa masuk ke dalamnya.
Di dalam gubuk tersebut, tinggallah Ibu Laeni, seorang janda tua yang ditemani dua anak gadisnya, Neneng dan Jumriah. Neneng, sang kakak berusia 26 tahun, belum menikah dan tak bekerja. Neneng menderita gizi buruk sejak kecil, sedangkan Jumriah sang adik menjanda justru setelah memiliki 2 (dua) putra. Jadi, terdapat 2 janda dan seorang pesakitan di rumah tersebut, ditambah 2 anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Sehari-hari, Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta 2 anaknya hanya berharap belas kasihan para tetangganya untuk bisa mendapatkan makan. Bila malam tiba, kadang mereka harus menjalani sepanjang malam tak berpenerangan, beruntung bila ada tetangga yang datang membawa setitik lilin yang hanya mampu bertahan tak lebih dari satu jam. Selebihnya, seisi gubuk pun kembali gulita.
Neneng yang menderita gizi buruk sering sakit-sakitan. Untuk wanita seusianya, seharusnya berperawakan besar dan tinggi, namun ia lebih mirip remaja baru tumbuh yang terhambat pertumbuhannya. Kemiskinan yang dialami keluarganya, membuat Neneng semakin menderita. Ternyata, tak hanya balita yang menderita gizi buruk, bahkan wanita dewasa seperti Neneng pun mengalaminya. Sang adik, Jumriah tak kalah menderita. Entah apa kesalahan yang dibuatnya sehingga sang suami tega meninggalkan ia bersama dua buah hatinya. Padahal, dua anak hasil pernikahannya itu sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan seorang Ayah. Sang suami yang diharapkan menjadi tulang punggung menghilang tanpa jejak. Jumriah pun tak pernah sanggup menjawab pertanyaan dua anaknya, "Mana bapak, bu...?"
Laeni tak pernah berharap hidup semenderita saat ini, ia pun tak pernah meminta diberikan umur panjang jika harus terus menjadi beban orang lain. Tapi ia masih punya iman untuk tak mengakhiri hidupnya dengan jalannya sendiri, selain itu wanita tua itu tak pernah tega meninggalkan dua anak dan dua cucunya yang tak kalah menderitanya. Baginya, anak-anak dan cucunya adalah harta berharga yang masih dimilikinya.
Gubuk berdinding yang sebagian atapnya rusak itu, di musim hujan air leluasa masuk, disaat terik matahari bebas menerobos. Tak ada barang berharga di dalamnya, hanya kompor dekil yang sering tak terpakai lantaran tak ada bahan makanan yang dimasak. Mereka menyebutnya rumah, tapi siapapun yang pernah melihatnya, menyebut gubuk pun masih jauh dari pantas. Tetapi di dalamnya, ada dua janda, satu pesakitan, dan dua anak kecil yang terus menerus menunggu belas kasihan.
                          
Gratis Banget…

Pada suatu sore, seorang anak menghampiri Ibunya di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisinya.
Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:
- Untuk memotong rumput minggu ini        Rp.   7.500,00
- Untuk membersihkan kamar minggu ini        Rp.   5.000,00
- Untuk pergi ke toko menggantikan mama    Rp. 10.000,00
- Untuk menjaga adik waktu mama belanja    Rp. 15.000,00
- Untuk membuang sampah setiap hari        Rp.    5.000,00
- Untuk rapor yang bagus    Rp. 25.000,00
- Untuk membersihkan dan menyapu halaman    Rp. 12.500,00
Jumlah utang    Rp. 80.000,00

Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap, dan berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu. Kemudian ia mengambil bolpen, membalikkan kertasnya, dan menulis:
Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam perut mama, GRATIS.
Untuk semua malam ketika mama menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, GRATIS.
Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, GRATIS.
Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, GRATIS.
Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, GRATIS,
Anakku.
Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati mama adalah GRATIS.
Setelah selesai membaca apa yang ditulis ibunya, ia menatap wajah ibunya dan berkata: 'Ma, aku sayang sekali pada Mama'.
Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis dengan huruf besar-besar: "LUNAS".
--oo0oo--
Apakah menurutmu ini cerita yang indah ? jika ya biarkan semua orang membaca juga cerita ini dan mereka dapat lebih menghargai orang-orang  yang telah berjasa pada mereka...



Perempuan Dengan Hati Seluas Samudera
Oleh Hayati Rahmah
Perempuan itu sama sekali tidak berbeda dari perempuan lain. Ia hanya seorang anak bungsu dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil, seringkali ia harus bekerja keras dan terkadang mendapat perlakuan tidak enak dari saudara-saudaranya. Pendidikannya pun tidak terlalu tinggi. Meski sempat mengecap bangku SMA, tapi ia tidak sampai menamatkannya.
Seorang laki-laki baik melamarnya ketika usianya 22 tahun. Ia pun setuju ketika harus pindah dan meninggalkan kota kelahirannya mengikuti suami yang bekerja di kota lain. Perjalanan waktu mengajarkannya untuk bisa menjalankan peran sosial dengan sangat baik. Jika di awal-awal pernikahan ia sering menangis karena jauh dari keluarganya, pada tahun-tahun berikutnya ia sudah terampil merawat rumah, berbelanja ke pasar, mengasuh anak, dan lain sebagainya.
Meski ia cuma seorang istri dan ibu rumah tangga, tapi perempuan ini bisa menjalankan perannya dengan sempurna. Semua kebutuhan suami selalu ia penuhi. Ia seorang istri yang serba bisa. Suaminya tak pernah pergi ke tukang cukur, karena dialah yang selalu menggunting rambut suaminya. Selalu ada makanan cemilan di rumah, karena ia pintar membuat kue. Ia pandai mengirit uang belanja dan seringkali ia menggunakan keterampilannya menjahit untuk membuat gorden, sarung bantal, seprei dari hasil jahitannya. Semua anak-anaknya pun pernah merasakan pakaian yang dijahit oleh tangannya.
Perempuan itu melahirkan lima orang anak dari rahimnya. Buah hati yang selalu membuatnya bersemangat melakukan semua kegiatan rumah tangga dengan penuh rasa cinta. Mulai dari bangun pagi, mempersiapkan sarapan, mencuci, menyeterika, dan membereskan rumah. Semua dikerjakan sendiri karena kondisi hidup yang pas-pasan. Ketika usianya 30 tahun, saat ketiga anak laki-lakinya masih kecil, suaminya mengajaknya untuk bertemu lebih dekat dengan sang Khaliq, menuju Baitullah Makkah. Sepulang dari haji, pakaian muslimah membalut tubuhnya. Perempuan itu semakin matang menapaki kehidupan.

Semakin tahun, kondisi ekonomi keluarganya semakin membaik. Perempuan itu punya kebiasaan baru. Ia rajin sekali bersedekah. Menjelang bulan Ramadhan, ia akan memborong sarung, membeli bahan kain berpuluh-puluh meter. Semuanya ia jahit dengan tangan dibantu mesin jahit tuanya. Ia mulai menjahit kain itu menjadi mukena. Setelah semua selesai, ia akan mendatangi rumah kerabat, tetangga, dan saudara untuk membagikan mukena hasil jahitannya. “Biarlah mereka memakai mukena buatanku, mudah-mudahan menjadi pahala…”
Uang belanja yang berlebih selalu ia simpan rapi. Jika ada kesempatan, ia akan membeli barang-barang dalam jumlah banyak. Mulai dari sarung, bahan baju, mangkok, gelas, sapu, baskom, seprei, dan lain-lain. Semua ia kumpulkan dengan baik. Tapi barang-barang itu tidak pernah bertahan lama di rumah. Setiap kali ada saudara berkunjung, tetangga datang, sahabat bersilaturahmi, mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong. Selalu saja ada yang disedekahkan perempuan itu. Bahkan jika tidak ada sesuatu yang bisa diberi, ia akan menguras dapurnya. Ada-ada saja yang ia beri. Kerupuk, jeruk nipis, pisang, ubi, kelapa atau apa saja yang saat itu ada di rumah.
Setiap kali ia membuat kue atau memasak sesuatu, ia akan menyuruh anaknya untuk mengantar semangkuk makanan ke rumah tetangganya. Bahkan jika ada orang yang memberinya sesuatu, ia seringkali memberikannya untuk orang lain tanpa sempat ia sisakan untuk keluarganya.
Jika tiba saat pulang kampung, ia menjadi perempuan yang paling sibuk. Ia akan berbelanja segala macam sayuran seperti buncis, cabe, atau wortel, buah-buahan seperti apel, jeruk, dan salak. Tak lupa juga ia sempatkan membuat rendang (ia paling jago membuat makanan yang satu ini). Semuanya ia bagikan kepada keluarga di kampung, baik keluarganya maupun keluarga suaminya. Bahkan tak jarang beberapa lembar uang ia selipkan untuk kerabatnya.
Ia begitu rajin bersilaturahim, baik terhadap keluarga, tetangga, atau sahabatnya. Percayalah, setiap kali berkunjung, selalu saja ada yang dibawanya. Entah itu gulai ikan, kue, kelapa, pisang, atau cuma sebungkus kerupuk. Tangannya tak pernah kosong dan selalu memberi.
Di sisi lain, ia selalu mempertahankan ibadahnya. Ia hampir tak pernah meninggalkan shalat dhuha dan tahajud setiap harinya. Terkadang jika hatinya sedang tidak enak, ia bisa begitu lama duduk di atas sajadahnya sambil menangis. Mulutnya pun tak pernah berhenti berdzikir. Dalam tasnya selalu ada tasbih, yang selalu ia pegang ketika berdzikir dalam perjalanan. Ia selalu salat berjamaah bersama suaminya. Seringkali ia rela menunggu suaminya pulang kantor karena hanya ingin mendapat pahala berjamaah. Selesai salat berjamaah, ia bergegas menyiapkan makanan untuk suaminya.
Perempuan ini juga begitu rajin mengunjungi orang sakit. Setiap kali mendengar ada orang yang sakit, ia akan bergegas mengunjunginya, bahkan mengunjungi orang yang sama berkali-kali. Satu yang khas dari dirinya, selalu saja ada yang dibawanya ketika mengunjungi orang lain. Kadang ia mengaji di samping orang yang sakit dan menangis.
Sudah beberapa tahun ini, perempuan itu jarang sekali membeli baju baru, atau perhiasan baru. Semua uangnya disisihkan untuk bersedekah atau menambah uang jajan bagi anaknya. Ia begitu sederhana dan apa adanya.
Perempuan itu selalu membuat saya menangis bila mengingat kebaikannya. Sungguh, saya begitu mencintainya. Perempuan itu adalah ibu saya, seseorang dengan hati seluas samudera. ***

Mereka yang Telah Memberi Inspirasi
Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'

Belakangan ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya sia-siakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga.
Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya.
Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. "Yang penting kenal huruf dan bisa baca sedikit-sedikit," kataku waktu itu.
Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramah-ceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan.
Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis.
Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya.
Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,"Duh betapa meruginya saya."
Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, "Ini apa Li, koq dikasih tanda?"
"Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal," katanya sambil tersenyum.
Hapal? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya.........
Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal.....
Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat menggoda.
Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anak-anaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili.
Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, "Saya belum terlambat untuk mulai belajar," gumamku dalam hati.
Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah di jalanNya.

(Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)

Bersedekah di Kala Lapang dan Sempit
Oleh Rubina Qurratu 'ain Zalfa
Hati saya bergetar melihat ribuan manusia memenuhi jalan utama di ibukota. Puluhan ribu umat Islam di Jakarta dan sekitarnya melakukan aksi damai dan penggalangan dana untuk warga Palestina yang terancam kelaparan, diisolasi dan dihentikannya bantuan internasional oleh Eropa dan AS. Subhanallah... cuma kata-kata itu yang terucap dalam hati saya melihat perhatian yang besar Muslim di Indonesia terhadap penderitaan saudara-saudara mereka yang didzolimi di Palestina.
Apa yang membuat hati saya tersentuh adalah, saat ini, kondisi rakyat Indonesia sebenarnya juga dalam keadaan yang sangat sulit. Krisis ekonomi masih melilit kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tak heran kalau banyak juga orang yang mencibir aksi penggalangan dana untuk rakyat Palestina itu. Mereka menganggap aksi sosial ini tidak realistis, buat apa membantu orang yang sedang kesusahan di negeri yang beribu-ribu mil jauhnya dari Indonesia, sementara di negeri sendiri banyak orang yang kelaparan. Alasan seperti ini memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Apalagi saudara-saudara Muslim kita di Palestina menderita karena perlakuan tidak adil negara-negara kuat, negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.
Sungguh, melihat aksi damai kemarin hati saya tergugah bahwa dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini, Muslim Indonesia tidak melupakan saudara-saudara mereka yang menderita di negeri lain. mereka tidak kehilangan semangat untuk memberikan sedikit harta yang mereka punya. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk tetap bersedekah di waktu lapang maupun di waktu sempit? Seperti firman Allah swt. dalam Surat Ali-Imran: 133-136. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik... Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal ."
Anjuran mulai dari Allah swt ini bermakna, bahwa dalam kondisi sesulit apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah. Meski cuma sedikit, yang terpenting adalah pemberian itu diberikan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridho ilahi. Namun terkadang, kita sangat sulit memberikan sedikit apa yang kita punya dalam kondisi lapang, apalagi dalam kondisi sempit dengan berbagai pertimbangan.
Pernahkah kita mengalami pada suatu saat dimintai sumbangan untuk keperluan umat, dan pada saat itu kita hanya memberikan uang ala kadarnya, yang penting sudah nyumbang. Padahal uang yang dikeluarkan untuk sedekah itu tidak seberapa jumlahnya dibandingkan uang yang kita keluarkan untuk hura-hura, kumpul dengan teman makan di restoran, beli baju mewah di mall ekslusif, beli sepatu bermerk dari luar negeri, beli parfum dengan harga ratusan ribu rupiah. Pernahkan kita merenungkan hal ini? Betapa beratnya kita mengeluarkan uang banyak untuk bersedekah dan betapa ringannya kita menghambur-hamburkan uang hanya untuk hal-hal yang sifatnya komsumtif dan duniawi.
Padahal anjuran dan perintah Allah swt berinfaq pada waktu lapang tujuannya untuk menghilangkan perasaan sombong, serakah dan cinta yang berlebihan terhadap harta. Sedangkan bersedekah di waktu sulit dianjurkan agar sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi bisa berubah menjadi suka memberi daripada diberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Rasulullah saw pun mengingatkan kita untuk jangan segan bersedekah, meski hanya dengan sebutir kurma. "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR Muttafaq alaih).
Semoga kita menjadi umat yang senantiasa selalu ingat bersedekah baik dalam kondisi lapang maupun sulit. Jikapun kita sudah tidak memiliki apapun untuk diberikan, bersedekahlah dengan doa. Sesungguhnya Allah swt senantiasa memberi kemudahan bagi kita untuk beramal shalih dengan keikhalasan dan hanya berharap ridho darinya.  Rubina Qurratu 'ain Zalfa' rubina_zalfa@yahoo.com


Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku
Gesang Utari


Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku.

Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.

Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.

Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat.

"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.

Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.

Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.

Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.

Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak.

Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.

Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.

Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.

Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.
Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.

Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam.

Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu.

Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu."

Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi).



Ibu…, Ujang sayang Ibu
Kafemuslimah.com - Setiap liburan SD aku sering menghabiskannya di kampung kalijati. Kalijati itu sebuah desa yang dekat dengan subang, jawa barat.

Liburan pertama kali di sana, aku sering menangis karena jarang jauh dari orang tua. Namun, liburan yang ke dua kali aku mulai kerasan di sana. Soalnya asyik banget kalau ke desa itu. Penduduknya ramah, bahasanya halus, dan masih kelihatan gotong royongnya. Nggak kayak di jakarta yang loe loe gue gue. Aku kalau liburan menginap di rumah bibiku. Di sana aku berkenalan dengan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan lima anak.

Ke lima anaknya laki-laki semua dan ke lima-limanya menjadi tentara. Kalau rambutku sudah panjang, sering anak sulung ibu itu tanpa segan mencukur rambutku. Aku sering main ke sana karena dulu ku punya cita-cita jadi tentara.

Setiap ke sana aku selalu memandangi lambang divisi siliwangi. Sering ku elus-elus lambang itu, seakan ada getaran semangat mengalir di dadaku. Tapi sayang ku tak berhasil mencapai cita-cita itu. Tak apa. Mungkin ada rencana Allah yang lain untukku.

Dari berkenalan dengan tetangga bibiku, aku sering bertanya mengenai perihal tetangga itu. Gimana sih kok kulihat ke lima anaknya rukun sekali dan sayang pada ibunya itu. Lalu bibiku menceritakan perihal tetangganya.

Begini ceritanya …

Saat ke lima anak itu masih kecil, ayah mereka telah di panggil Allah SWT. Si ibu itu akhirnya menjadi janda dalam usia muda. Seperti halnya janda muda lainnya, banyak lelaki iseng yang mengajukan lamaran padanya. Ibu itu selalu menampik semua lamaran karena takut lelaki itu hanya cinta pada dirinya bukan pada anaknya. Ada pula yang meneror ibu itu tiap malam dengan mengetuk pintu. Ibu itu meminta bantuan bibiku dan pamanku untuk melindunginya dari teror lelaki hidung belang. Untuk biaya hidup keluarganya, ibu itu menjual kebun yang ia punya kepada bibiku. Dari menjual kebun itu, ia gunakan sebagai modal berdagang makanan kecil. Dari hasil usahanya berjualan ia pergunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya.

Ke lima anaknya pun sangat sayang pada ibunya. Mereka selalu membantu ibunya membuat makanan kecil dan jika pulang sekolah mereka ikut menemani ibunya berjualan. Si anak sulung sering berkata pada ibunya kala beristirahat di malam hari,

"Ibu…ibuku sayang…kalau ujang nanti sudah besar, ujang akan bekerja. Ibu di rumah saja yah… biar ujang yang urus ibu dan adik-adik. Ibu nggak perlu jualan lagi. Ujang juga akan jaga ibu dari lelaki hidung belang" Ibu itu tersenyum mendengar perkataan anaknya. Sambil membelai rambut anaknya dengan sayang, ibu itu berkata,

"Selama ibu masih kuat, ibu akan bekerja jang, buat biayai sekolah kalian. Kalau kamu sudah besar dan menjadi orang, ibu hanya berharap kamu bisa membantu adik-adikmu. Jangan pikirkan ibu. Ibu sudah senang kalau melihat kamu sudah bisa mandiri…". Si ujang mendengarkan perkataan ibunya sambil menangis terisak-isak.

"Tapi ujang akan bantu ibu kalau sudah bekerja !"

"Iya jang…iya !" jawab ibunya sambil tersenyum,
"Sudah sana tidur.Besok bisa terlambat sekolah kalau tak tidur sekarang."

Singkat cerita, ujang lulus sma. Lalu ia mengikuti ujian masuk sekolah tentara, SMU Taruna. Alhamdulillah ia lulus dan mengikuti pendidikan di sekolah itu. Suatu ketika ada latihan terjun payung. Sebagai peserta didik di sekolah itu, ujang pun mengikuti latihan itu. Dari pesawat yang terbang tinggi, satu persatu peserta melakukan terjun payung. Tiba giliran si ujang.
Loncat…

Ketika sedang melayang di udara, tiba-tiba di matanya ia seperti melihat ibunya sedang memasak di dapur yang atapnya masih rusak dan sering bocor kala hujan. Air mata menetes tanpa sadar dan ujang terlupa untuk menarik tali pembuka parasut. Baru tinggal beberapa meter dari tanah, ujang menarik tali itu. Ujang terjatuh ke tanah. Segera teman-temannya membawa ujang ke rumah sakit militer.

Alhamdulillah berkat lindungan Allah dan doa ibu, ujang hanya cedera ringan saja dan hanya di rawat beberapa hari saja di sana. Teman-temannya saat menemani ujang menjenguk ibunya menceritakan pada hal itu padanya.

"Aduh ibu…ujang tiap malam selalu mengigau. Kami sering mendengar ia sering berteriak dapur ibuku…dapur ibuku…" cerita salah seorang teman ujang pada ibu ujang.

" Aih…aih ujang…ujang. Ku naon mikirkeun kitu...", ibu ujang berkata sambil linangan air matanya membasahi pipinya,"bagja ujang dunia akhirat…semoga ujang jadi anak sholeh…"

Ujang akhirnya lulus sekolah tentara dan menjalankan dinasnya di divisi Siliwangi bandung. Dari gajinya, ia bisa melaksanakan cita- citanya membantu ibunya menyekolahkan adik-adiknya dan memperbaiki dapur ibunya. Ke empat adiknya pun mengikuti jejak kakaknya menjadi tentara.

Setiap lebaran, ke lima anaknya selalu menjenguk ibunya. Ujang sering membuat malu ibunya di depan tetangga yang berkunjung. Ketika datang, ia peluk ibunya erat-erat, ia ciumi, sambil terus berkata di telinga ibunya,

"Ujang sayang ibu…ujang sayang ibu…ujang sayang ibu…Janganlah ibu menangis, ujang ingin selalu melihat ibu tersenyum". Pelukannya tak ia lepas-lepas sampai si ujang merasa puas menyampaikan rasa sayang dan rindunya pada sang ibu. Ke empat adiknya pun lalu larut dalam suasana itu. Saling mengerubungi ibunya yang sudah mulai tua. Berisak-isaklah ibu bersama lima anaknya. Para tetangga hanya bisa melihat sambil berlinang air mata. Mungkin di hati mereka juga berharap, anakku suatu ketika bisa seperti mereka, yang selalu sayang pada ibunya. Selalu rukun sebagai saudara…
Ujang selalu sayang ibu.
Nürnberg, 23.12.2004
Rinduku pada ibu dan adikku di sana…
Kunaon mikirkeun kitu : kenapa memikirkan hal itu
Bagja ujang dunia akhirat : sejahtera ujang dunia akhirat

0 komentar:

Post a Comment