, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Belajar Menjadi "Bapak"

Belajar Menjadi "Bapak"

Oleh Sus Woyo
Saya sedang mengalami 'episode' kehidupan yang cukup menarik. Paling tidak menarik bagi diri saya sendiri. Dan saya percaya belum tentu menarik bagi orang lain. Sebuah kisah yang runtut, dengan alur cerita yang tidak meloncaat-loncat. Dan alhamdulillah diahiri juga dengan 'ending' yang tak kalah menariknya.
Saya ingin sekali menceritakannya kepada orang lain. Atau lebih tepatnya ingin berbagi cerita dengan siapa saja seperti saudara-saudara saya, handai taulan, sahabat, tetangga dan lain sebagainya. Tak ada maksud apapun, kecuali berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa setiap jejak langkah manusia, baik yang mengandung tangis atau tawa, manis atau getir, selalu menyimpan hikmah. Walaupun hikmah itu hanya sebesar biji sawi.
Awalnya, beberapa hari menjelang lebaran 1426 H, seorang sahabat di Jakarta, mengirim artikel pendek kepada saya. Artikel itu mengisahkan tentang salah satu cara Rasulullah berlebaran. Ditulis oleh Bayu Gawtama, sorang penulis yang tulisannya sering saya baca di sebuah situs Islam. Dalam artikel itu ada dialog yang sangat menyentuh antara seorang anak gadis dengan Rasulullah  .
"Apakah gerangan yang membuatmu menangis, anakku?" Tanya Nabi. Rasulullah mendekap anak gadis itu. Ternyata ia menangis karena tidak ada yang membelikan baju baru untuk berlebaran. "Ayahku mati syahid dalam peperangan bersama Rasulullah." katanya.
"Maukah kamu jika Rasulullah menjadi bapakmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah sebagai bibimu, Ali menjadi pamanmu serta Hasan dan Husain menjadi saudaramu?" Ujar Rasulullah .
Anak gadis itu mendongak. Dan ia baru tahu bahwa yang mendekapnya ternyata adalah Rasulullah  , bapaknya anak yatim.
Setelah membaca dialog itu saya jadi berpikir. Seandainya yang menemukan anak gadis itu adalah saya, sanggupkah saya dengan serta-merta dan spontanitas bertindak seperti Rasulullah ? Yang menawarkan diri untuk menjadi bapaknya? Berhari-hari saya berpikir tentang itu semua.
Masih ada kemiripan dengan cerita tadi, tapi dalam nuansa yang berbeda. Beberapa hari setelah lebaran, ketika saya mau berangkat tidur, tiba-tiba seorang kawan memanggil-manggil saya. Katanya, ada sinetron bagus produksi Indonesia yang ditayangkan TV Brunei. Saya bergegas untuk ikut menontonnya. Ternyata, cerita sinetron itu diambil dari novel 'Pada-Mu Aku Bersimpuh' karya Gola Gong. Penulis yang pernah melahirkan novel berseri 'Ballada Si Roy' yang populer di tahun 90-an.
Dalam tayangan sinetron yang diproduksi tahun 2001 itu, ada juga sesuatu yang membuat saya sempat tidak bisa melupakannya. Yaitu tentang komentar H . Budiman, tokoh dalam cerita itu, terhadap anak pungutnya yang bernama Ana. Kata H. Budiman, "Ini adalah anugrah yang di kirim Allah kepada saya. Saya harus menjalankan amanah ini baik-baik."
Saya terus mengikuti sinetron yang ditayangkan setiap malam Jum'at itu. Dan saya menangkap dengan gamblang, bahwa H. Budiman telah membuktikan kata-katanya. Ia telah bertanggung jawab betul-betul kepada anak pungutnya itu. Mendidik, mengarahkan dan juga memberi fasilitas ke jalan lurus berdasarkan syariat-Nya. Dan ia tak pernah membedakan antara anak pungut dengan anak yang dilahirkannya sendiri.
Masih dalam bulan Syawal, juga masih berkisah tentang seorang bapak, tepatnya pada tanggal 17, saya selalu ingat acara rutin tahunan yang selalu diselenggarakan oleh pesantren tempat dulu saya 'numpang tidur' beberapa lama. Acara tahunan itu berlabel 'tasyakur lil ikhtitam'. Sebuah acara syukuran atas berhasilnya para santri menempuh pelajaran dalam waktu satu tahun. Biasanya kami berkumpul bersama. Baik yang masih menempuh pelajaran di pesanten itu, maupun yang sudah jadi alumni.
Saya, biasanya menyempatkan diri untuk datang dalam acara tersebut, kecuali saat ini, sebab saya sedang merantau di luar negri. Bertemu kembali dengan guru, ustaz sekaligus kyai saya, Bapak Abil Abbas. Sosok agamawan yang maih muda. Yang tak pernah mau disebut guru, ustadz maupun kyai. Beliau hanya mau disebut Bapak. Tak lebih dari itu. Sehingga kami para santri, tak pernah satu kalipun memanggil beliau dengan sebutan Kyai. Ini memang tak lazim. Sebab di pesantren-pesantren tradisional lainnya, guru mereka pasti di panggil Kyai, atau bahkan Romo Kyai. sebuah sebutan yang sudah tidak asing lagi dalam komunitas Islam tradisional di pulau Jawa.
Pada awalnya saya juga heran, kepada guru kami itu. Namun pada masa berikutnya saya menemukan jawaban. Bahwa, katanya, hubungan antara bapak dan anak itu, sepanjang masa, bahkan sampai akhirat. Sedang hubungan antara guru dan murid atau santri, pada suatu saat bisa saja terputus ketika kita sudah tidak belajar lagi di tempat yang bersangkutan. Dan ini tercermin pada sikap pak Abil Abbas kepada kami para santrinya. Beliau menganggap kami sebagai anak. Maka kamipun menganggap beliau sebagai bapak kami. Hubungan itupun ahirnya sangat mesra dan erat.
Dan suatu malam, setelah menyaksikan tayangan "Pada-Mu Aku Bersimpuh" di TV Brunei itu, saya menjadi ingat Sang Bapak, di pesantren Al-Hikmah, Baturraden, Purwokerto. Sebuah kenangan yang telah menjadi 'prasasti' di kalbu saya.*** * * * ***
Di ahir bulan Syawal, istri saya di kampung memberi kabar kepada saya. Bahwa ia baru saja menyaksikan seorang bayi laki-laki yang baru lahir dari sepasang keluarga muda. Istri saya sangat iba karena si ibu bayi itu nampak sangat kerepotan dalam mengurusnya, karena kakak bayi itu belum genap satu tahun dan suaminya bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Lagi pula bayi itu memang tidak dikehendaki lahir oleh orang tuanya, namun Allah bertindak lain. Kata ibu si bayi, program KB yang ia ikuti tidak berhasil, sehingga terjadi hamil lagi. Dan lahirlah bayi itu.
Ahirnya suatu hari istri saya memberi tawaran, "Bagaimana jika anak itu kita ambil dan kita jadikan anak kami untuk menemani Damar?" Katanya kepada saya lewat SMS-nya.
Saya tertegun sejenak membaca pesan singkat istri saya itu. Tapi berbekal referensi dari Rasulullah yang diceritakan dalam tulisan Bayu Gawtama, dan keseriusan Haji Budiman, yang dikisahkan dalam novel Gola Gong, serta pengalaman hidup dengan 'bapak' saya di pesantren Al-Hikmah, dengan mantap saya menyetujui usul istri saya.
Maka mulai hari itu, saya bertekad untuk belajar menjadi seorang 'bapak'. Bapak dalam arti sangat luas. Yang tidak hanya memberi pendidikan, arahan dan fasilitas bagi anak yang lahir secara 'genetical' dari rahim istri saya saja, tapi bagi anak siapa saja yang karena sesuatu hal tidak bisa dipelihara langsung oleh kedua orang tuanya, atau malah memang tidak dikehendaki lahir oleh ibu bapaknya.
Dan ternyata sekarang ini tidak sedikit anak-anak yang bernasib seperti itu di sekeliling kita. Yang amat sangat membutuhkan uluran tangan serius dari sosok seorang 'bapak'. Apalagi jika kita mau meluangkan waktu untuk berlama-lama di stasiun, terminal atau tempat-tempat kumuh di kota kita masing-masing. Maka kita akan banyak bertemu dengan anak-anak yang bernasib kurang beruntung. Yang tentunya menunggu sentuhan mesra seorang 'bapak'.****
# Terima kasih kepada Mbak Azimah Rahayu, Mas Bayu Gawtama, Mas Gola Gong dan Sang 'Bapak' di pesantren Al-Hikmah, Baturraden, Purwokerto.#


Belajar dari Jogja
Oleh Ummu Nabilah
“Alhamdulillah Nduk, Ibu tidak apa-apa, Cuma genting-genting rumah kita saja ada beberapa yang berjatuhan”, begitu jawab Ibu ketika saya menanyakan kabar beliau.
Pagi itu saya langsung menelepon ke kampung halaman ketika dikagetkan dengan kabar bahwa gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter baru saja terjadi di Yogyakarta dan wilayah sekitarnya di Jawa Tengah. Tapi berkali-kali saya telepon, tak juga ada yang mengangkat. Di antara perasaan cemas, alhamdulillah saya bisa mendapatkan kabar dari tetangga bahwa warga kampung itu semua selamat. Akhirnya selepas Ashar,saya bisa menghubungi Ibu, setelah menunggu kira-kira 9 jam. Rupanya Ibu tak berani masuk rumah karena khawatir akan terjadi gempa susulan.
Saya sempat mengkhawatirkan keselamatan Ibu yang tinggal sebatang kara di rumah itu. Apalagi tayangan di televisi memberitakan bahwa Kabupaten Klaten adalah salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah dan banyak korban jiwa berjatuhan. Belakangan saya mengetahui bahwa di seluruh kecamatan tempat Ibu tinggal -yang letaknya di wilayah utara Kabupaten Klaten dan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali- relatif tidak terjadi kerusakan parah dan tidak terdapat korban jiwa.
Melihat berbagai peristiwa di muka bumi yang menyayat-nyayat hati, seolah-olah saya kembali diingatkan oleh Sang Maha Kuasa akan ketidakberdayaan kita di hadapan-Nya. Sekaya apapun, sepintar apapun, sesehat apapun, dan sekuat apapun, kita tak akan kuasa menandingi-Nya. Sungguh, ketika Allah menghendaki segala sesuatu tinggal berkata, “kun fayakuun” maka terjadilah apa yang dikehendaki Sang Pemilik Jagad Raya.
Kehendak-Nya tak bisa ditunda. Kehendak-Nya bisa membuat manusia tertawa riang atau menangis pilu. Namun yang pasti, kita harus bersikap positip terhadap segala kejadian itu. Rasulullah SAW bersabda,” Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperoleh kebaikan ia memuji Allah dan bersyukur. bila ditimba musibah, ia memuji Allah dan bersabar…” (HR Imam Ahmad).
Semua peristiwa ada hikmahnya. Dengannya, Allah mengingatkan manusia agar tak bersikap ujub dan takabur. Dengannya, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa bersiap-siap menanti ajalnya. Dengannya pula, Allah mengingatkan manusia untuk senantiasa menyiapkan bekal yang harus dibawa menghadap-Nya. Wallaahu 'a'lam bishshowaab.

Amal Pembayar
Ketika permasalahan hidup membelit dan kebingungan serta kegalauan mendera rasa hati. Ketika gelisah jiwa menghempas-hempas. Ketika semua pintu solusi terlihat buntu. Dan kepala serasa hendak meledak: tak mengerti apalagi yang mesti dilakukan. Tak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Hingga dunia terasa begitu sempit dan menyesakkan.
Ketika kepedihan merujit-rujit hati. Ketika kabut kesedihan meruyak, menelusup ke dalam sanubari. Atas musibah-musibah yang beruntun mendera diri. Apalagi yang dapat dilakukan untuk meringankan beban perasaan? Apalagi yang dapat dikerjakan untuk melepas kekecewaan?
Ketika kesalahan tak sengaja dilakukan. Ketika beban dosa terasa menghimpit badan. Ketika rasa bersalah mengalir ke seluruh pembuluh darah. Ketika penyesalan menenggelamkan diri dalam airmata kesedihan. Apa yang dapat dilakukan untuk meringankan beban jiwa ini?
Allah berfirman, "Barangsiapa bertakwa kepada-Nya, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." Rasulullah bersabda, "Ikutilah kesalahan dengan amal baik, niscaya ia akan menghapus dosa-dosamu."
Seperti Ibnul Jauzi bilang, "aku pernah dihimpit permasalahan yang membuatku gelisah dan galau berlarut-larut. Kupikirkan dan kucari solusi dengan segala cara dan usaha. Tapi aku tidak menemukan satu jalan pun untuk keluar darinya, hingga kutemukan ayat itu. Maka kusadari, bahwa jalan satu-satunya keluar dari segala kegalauan adalah ketakwaan. Dan ketika jalan ketakwaan itu kutempuh, tiba-tiba Allah sudah lebih dulu menurunkan penyelesaian. Maha suci Allah".**
Dengan keyakinan, ku coba jalankan titahNya. Tertatih, kucoba mengikuti sunnah Sang Nabi. Saat diri berhadapan dengan permasalahan yang memepatkan rasa, hingga tak terlihat jalan keluarnya, kucoba lebihkan amal-amal dari yang biasa. Berinfaq lebih banyak.
Tersenyum lebih banyak. Memaafkan lebih banyak. Menolong orang lebih banyak. Menambah ibadah harian lebih banyak. Dengan semua itu akan memberikan energi positif bagi kondisi fisik dan psikologis, hingga ketenangan pun tercipta dan pikiran jernih pun terasa.
Pada gilirannya, jalan keluar mulai tampak ujungnya. Dan Allah menurunkan kemantapan hati dalam memilih langkah penyelesaian. Saat kesedihan menyelimuti dan rasa bersalah menyesaki, kucoba ikuti sunnah nabi dengan disertai doa: Semoga Allah mengampunkan segala dosa.
Silaturahmi. Ya, silaturahmi lah yang saya lakukan. Sebuah tindakan paling realistis yang saya temukan saat itu. Saya mengunjungi semua kerabat, kawan dan handai taulan, saudara-saudara, orang-orang saleh, para guru, tetangga sekitar dan lain-lain yang selama ini saya terlupakan oleh kesibukan. Dan ketenangan pun sedikit demi sedikit tercipta. Meredakan gelisah jiwa. Membersihkan noda-noda dalam dada. Sesudahnya, kutemukan jalan menuju taubat dan kutemukan kafarat pembayar dosa dan duka.
           

ALLAH TIDAK TIDUR
Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini. Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan "acara" kehujanan.
Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana. Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala.
Dia menyilahkan saya duduk. "Disini saja dik, daripada kehujanan...," begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh.
Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, "tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja.
Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk. Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar.
Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, "Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?" Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, "Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya.." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.
"Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?" kata saya, "Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?" Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih. Namun, agaknya saya keliru...
"Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya. "Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya." Bapak itu melanjutkan, "Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan.....".
Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, "Gusti Allah ora sare". Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya. Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Makna nya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.
Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok.
Hmm...saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak di benak saya. "Ya Allah, Engkau Memang Tak Pernah Beristirahat" Untunglah, hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan.
Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare..... Gusti Allah Ora Sare...
Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara yang tak terduga. Selalu saja, Dia memberikan Cinta kepada saya lewat hal-hal yang sederhana. Dan hal-hal itu, kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar.
Dulu, saya berharap, bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengan sesuatu yang istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus ada hal besar yang saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yang menakjubkan saya lakukan. Namun, rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doa saya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmah kehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan saya yang terbaik. Saya tetap belajar, dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.
Air Mata Rasulullah 
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.
lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum -peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?"-"Umatku, umatku, umatku"
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
NB:
Kirimkan kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.
Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin... Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangimu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat.





AKU INGIN SEPERTIMU SOBAT

Di tempat ku tinggal aku mempunyai sahabat yang bernama Rahmad, ia sangat supel dan rahun dalam membantu tetangga di kampung kami, ia juga yang mengurus Masjid di kampung ini.
Setiap pagi ia membantu orang tuanya ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-harinya dan kebutuhan warung milik ibunya yang terletak di depan rumahnya. Aktifitas cowok berusia 24 tahun ini banyak sekali, ia termasuk kategori orang yang tak bisa diam, selalu bekerja dan beraktifitas, siang hari ia berkumpul di organisasi rohis kampusnya dulu, meskipun ia telah menyelesaikan kuliahnya 2 bulan yang lalu, tapi Rahmad masih saja aktif dalam kegiatan Rohis kampusnya. Sore hari ia berada di Masjid untuk mengajar ngaji, Rahmad dipercaya menjadi Kepala Sekolah anak TPA Al-Quran di kampung kami.
Saya memang iri dengan rahmad karena ia sejak pertama kuliah tidak pernah meminta uang untuk membiayai kuliahnya bahkan untuk uang belanjapun ia tidak meminta ke ortunya, ia mendapat beasiswa dari walikota sebagai mahasiswa berprestasi bukan beasiswa mahasiswa tak mampu. Dengan uang itulah ia membayar uang kuliahnya, sedangkan untuk belanja sehari-harinya ia dapatkan dari bekerja membayarkan rekening listrik dan air warga di kampung ini, ada sekitar 50 rumah yang mendaftar ke Rahmad untuk di bayarkan rekening listrik dan airnya, dari setiap rumah Rahmad mendapat imbalan 2000 rupiah, jadi warga dikampung ini tidak perlu lagi antri membayar rekening listrik dan air karena sudah ada Rahmad yang membayarkannya.
Dengan uang 100 Ribu dan ditambah gaji mengajar ngaji anak-anak dikampung ini sebesar 25 Ribu perbulannya ia mencukupi kebutuhan sehari-harinya, bahkan sering saya melihat setiap ia mendapat uang hasil membayarkan rekening listrik dan air warga ia infaqkan ke Masjid setengahnya, Subhanallah sungguh terpuji Sifatmu teman.
Rahmad dulu sering tidur di kostku, hampir setiap malam ia tidur di kostku karena letaknya tidak jauh dari rumahnya hanya berjarak 50 M dari rumahnya, tapi kini semenjak aku pindah dan mengontrak rumah sederhana bersama istriku Rahmad tidak pernah lagi menginap, ia malu, katanya entar mengganggu pengantin baru saja.
Saya sedih melihat Rahmad karena susah sekali mendapatkan pekerjaan, semenjak ia lulus ia sudah banyak melamar di kantor dan perusahaan tapi belum ada yang menerimanya, saya mencoba membantu mencarikan pekerjaan di Bontang lewat Ayah saya tapi di daerah Bontang lapangan pekerjaan untuknya tidak ada, Bontang merupakan kota industri minyak bumu dan Pupuk sedangkan ia lulusan Sarjana Perikanan. Minggu lalu ia memasukkan lamaran di sebuah Perusahaan asing sebut saja namanya Total Bangun Persada, setelah menjalani tes dan interview ia menunggu jawaban, seminggu kemudian ada surat tiba, dengan hati-hati Rahmad membuka surat itu dan membaca isinya yang kurang lebih isinya “Maaf untuk sementara anda belum dapat kami terima untuk menduduki pekerjaan yang kami butuhkan” tampak rasa kecewa di wajahnya. Ia menghela nafas panjang “Aku stressss…., mengapa susah sekali mencari pekerjaan, nggak kaya kamu enak bisa kerja di kantoran” ucapnya padaku.
Dimana ya pohon cabe yang tinggi, aku ingin gantung diri saja, hehehe ia tertawa untuk menghilangkan kesedihannya, aku turut tertawa mendengat leluconnya, mana ada orang gantung diri di pohon cabe yang lemah, yang ada orang gantung diri di pohon duren atau kelapa.
Mad, kamu sabar aja mungkin Allah belum memberi pekerjaan baru karena belum ada yang mampu menggantikan tugasmu di kampung ini, siapa yang mengajar anak-anak ngaji, waktumu akan tersita banyak. Rahmad tersenyum kecil, bekerja kan hanya sampai jam 4 atau setengah lima, setelah itu aku tetap bisa mengajar ngaji anak-anak.
Aku tak menyahut, begitu mulia dan kerasnya pendirian sobatku ini. Aku hanya bisa berdoa semoga ia diberikan pekerjaan yang terbaik oleh ALLAH, semua ini adalah Rahasia-Nya, pasti ada hikma dibalik semua ini. Aku masih terdiam dan berfikir “Banyaknya tabungan yang kupunya tidak sebanding dengan tabungan akhirat yang kau miliki” aku ingin seperti mu teman….

0 komentar:

Post a Comment