, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

2.2 Tinjauan Data 2.2.1 Animasi

2.2   Tinjauan Data

2.2.1    Animasi

Animasi adalah proses menggerakkan atau menghidupkan suatu gambar. Bicara soal animasi, manusia sudah sangat berkembang bila dibandingkan dengan jaman dulu, jaman sebelum manusia mengenal tulisan, mereka membuat gambar-gambar atau cave painting di dinding-dinding goa.
Sejarah mencatat pada tahun 30.000 SM (Sebelum Masehi) terdapat lukisan didinding goa di Spanyol yaitu gambar babi hutan dengan kaki berjumlah delapan.


Hal ini menandakan bahwa orang-orang pada jaman dahulu melukiskan satu objek pada batu, dan sudah memikirkan cara menggambarkan sesuatu yang bergerak dengan menggunakan gambar yang bertumpuk. Sekarang, animasi sudah sampai pada tahap penggabungan dengan real life footage menggunakan green screen, ataupun motion capture technology.






Pada umumnya gambar-gambar yang ditemukan saling bertumpuk. Pada gambar kuda dapat dilihat bahwa kuda-kuda teresebut sedang berpacu. Gambar kerbau yang sedang mengibaskan ekornya. Efek pergerakan pada gambar-gambar tersebut dapat dilihat dengan memisahkannya satu sama lain.


2.2.2 Jenis jenis animasi
    Menurut bentuknya, animasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu 2D (2 Dimensi) dan 3D (3 Dimensi). Seperti sudah dibahas pada bagian sebelumnya, animasi 2D berasal dari gambar-gambar di dinding-dinding goa pada jaman dahulu. Animasi 2D pada dasarnya adalah menggerakkan gambar tangan atau gambar 2D.  Sedangkan animasi 3D adalah animasi yang digerakkan dengan membuat keyframe pada suatu objek tiga dimensi
    Menurut cara pengerjaannya, film animasi yang paling tradisional dikerjakan dengan cara menggambar per gerakan pada setiap gambar untuk kemudian disusun
menjadi satu sequence gerakan yang menarik. Salah satu animasi tertua adalah animasi stop motion buatan illustrator Koran di New York, James Stuart Blackton, yang berjudul “Humorous Phases of Funny Faces”






Stop motion adalah sebuah teknik animasi untuk membuat objek yang dimanipulasi secara fisik agar terlihat bergerak dengan sendirinya. Objek tersebut bergerak dengan cara digerakkan sedikit demi sedikit di setiap frame dan kemudian difoto. Foto dari setiap gerakan menciptakan ilusi pergerakan saat serangkaian frame tersebut dimainkan secara berurutan dan berkelanjutan. Boneka dengan sendi yang dapat digerakan atau figur tanah liat sering digunakan dalam gerak henti karena alasan kemudahan meletakkannya kembali. Dalam pembuatan film tersebut, James Blackton menggambar setiap gerakan yang ada pada sebuah papan tulis dengan menggunakan kapur. Film stop motion tersebut bercerita tentang seorang pria tua yang menghembuskan rokoknya ke seorang wanita, ada juga tentang seorang lelaki tua yang bermain dengan payungnya, ada juga yang bercerita tentang badut yang sedang bermain dengan topi dan anjingnya yang melompati hula hoop.
    Cara penganimasian sederhana lainnya adalah dengan menggunakan celluloid atau disebut juga cel animation. Teknik Celluloid (kadang-kadang disebut cell saja) ini merupakan teknik mendasar dalam pembuatan film animasi klasik. Setelah gambar mejadi sebuah rangkaian gerakan maka gambar tersebut akan ditransfer keatas lembaran transparan (plastik) yang tembus pandang/ sel (cell) dan diwarnai oleh Ink and Paint Departement. Setelah selesai film tersebut akan direkam dengan kamera khusus, yaitu dengan multiplane camera di dalam ruangan yang serba hitam. Cara ini memungkinkan untuk memproduksi film yang jauh lebih efektif dalam segi biaya. Penemuan teknik ini umumnya dikaitkan dengan Earl Hurd, yang dipatenkan pada tahun 1914. Berikut ini adalah contoh animasi yang menggunakan cel animation.

    Cara yang lebih modern adalah Computer Animation Production System (CAPS). CAPS pada dasarnya adalah kumpulan software, sistem scanning camera, server, workstation, jaringan komputer, dan meja kustom yang dikembangkan oleh The Walt Disney Company bersama dengan Pixar pada akhir 1980-an. Tujuannya adalah untuk mengkomputerisasi tinta dan cat dan pasca-proses produksi. Cara inilah yang kemudian berkembang menjadi 3D animation.
    3D animation atau cara yang paling modern yang masih digunakan saat ini adalah menggunakan software animating atau lebih dikenal dengan Computer Generated Imagery (CGI). Cara modern 2D animation dikerjakan dengan membuat satu gambar, kemudian membuat key frame atau pose kunci dari setiap gerakan untuk dapat menghasilkan satu gerakan yang berkelanjutan.
Pada umumnya 3D animation dimulai dengan pembuatan model, kemudian memberikan tekstur pada model atau texturing, dan rigging. Rigging di sini yang dimaksud adalah memberikan bones atau bagian untuk digerakkan sehingga model atau karakter tersebut dapat digerakkan.

2.2.3   Alat alat penganimasian
    Bila ditinjau dari jaman dahulu kala, sudah sekian banyak inovasi yang diciptakan manusia untuk dapat menggerakkan sebuah gambar. Dimulai dari jaman cave painting, sudah tentu alatnya adalah tanah dan arang, serta lemak binatang yang mungkin juga digunakan dalam menggambar di dinding-dinding goa atau pada batu. Karena tidak ada penghapus, maka mereka membuat gambar demi gambar yang menunjukkan pergerakan dengan cara ditumpuk seperti pada gambar babi hutan di dinding goa spanyol.
Pada tahun 1650 ditemukanlah sebuah alat  bernama Magic lantern. merupakan pendahulu awal proyektor modern. Terdiri dari lukisan minyak , lensa sederhana dan lilin atau lampu minyak. Dalam ruangan gelap, gambar akan muncul diproyeksikan ke permukaan datar yang berdekatan. Pada masanya alat ini sering digunakan untuk menampilkan gambar-gambar
menakutkan untuk meyakinkan orang-orang
                                                             bahwa mereka menyaksikan sebuah peristiwa supranatural. Asal usul The magic lantern diperdebatkan yang pada akhirnya dikreditkan ke Christiaan Huygens atau Athanasius Kircher.

Selanjutnya pada tahun 1824 ditemukan sebuah alat yang sangat sederhana bernama THAUMATROPE. Alat ini berbentuk lempengan atau kartu dengan dua sisi gampar yang berbeda seperti uang logam. Saat diputar dengan cepat tentunya kedua sisi itu akan memberikan kesan satu permukaan/ satu gambar.
   







Pada tahun 1831 ditemukanlah alat lainnya oleh orang Belgia, Joseph Plateau dan orang Austria, Simon von Stampfer yaitu PHENAKISTOSCOPE. Alat ini berbentuk seperti kipas tangan, dengan gambar yang berurutan pada satu sisinya. Dan juga terdapat beberapa lubang untuk melihat adegannya saat diputar. Bila dilihat langsung tanpa lubang maka kita tidak bisa melihat gerakan pada alat ini. Namun bila dilihat dari balik lubang dan dipantulkan ke cermin maka kita bisa melihat gerakannya.








Konsep zoetrope dicetuskan pada tahun 1834 oleh William George Horner, dan dari tahun 1860-an dipasarkan sebagai zoetrope. Alat ini beroperasi pada prinsip yang sama seperti phenakistoscope. Zoetrope atau biasa juga disebut dengan WEEL OF LIFE agak sedikit berbeda dengan Phenakistoscope. bedanya dengan Phenakistoscope adalah pada bentuknya yang tabung, sehingga adegannya bisa diganti-ganti











Tahun 1877 dilanjutkan dengan penemuan sebuah  alat yang bernama PRAXINOSCOPE. Alat ini juga berbentuk tabung dan adegannya bisa di ganti-ganti dengan roll film baru. Bedanya ada pada bagian tengah roda. Ditengahnya terdapat cermin yang diposisikan bersilangan. Hal ini menggantikan teknik lobang yang sebelumnya digunakan untuk melihat adegan. Pada perkembangannya alat ini bisa memutar animasi dengan durasi yang lebih lama dengan cara dibesarkan ukuran tabungnya. Dan juga dengan modifikasi akhirnya bisa di pancarkan ke dinding dengan menggunakan lampu dan cermin. Jadilah proyektor sederhana.

Penemuan berikutnya adalah Flip Book. Pertama dipatenkan pada tahun 1868 oleh John Barnes Linnett sebagai sebuah kineograph. Flip book hanyalah   sebuah buku dengan beberapa
halaman yang berisi serial dari
                               gambar yang dicetak di dekat
tepi halaman. Penonton melipat halaman belakang dan kemudian dengan cepat melepaskan mereka satu per satu sehingga setiap gambar  dapat terlihat sebagai suatu gambar dengan kontinuitas. Flip book memiliki prinsip yang sama seperti phenakistoscope dan zoetrope, akan tetapi dapat menghilangkan kelemahan alat-alat tersebut dalam hal flickering shutter. Mereka melakukannya karena fakta fisiologis sederhana bahwa mata bisa fokus lebih mudah pada benda diam dari pada benda yang bergerak.
2.2.4    Sejarah Animasi Indonesia
Dalam hal animasi, Indonesia merupakan sebuah Negara yansangat berkembang. Dari jaman pewayangan hingga jaman 3D sekarang ini. Sejarah Animasi Indonesia mulai diketahui sejak ditemukannya Cave Pinting yang bercerita mengenai binatang buruan atau hal-hal yang berbau mistis. Wayang yang merupakan cikal bakal lahirnya animasi Indonesia.
Pada tahun 1955, Presiden Soekarno yang sangat menghargai seni mengirim seorang seniman bernama Dukut Hendronoto (Pak Ook) untuk belajar animasi di studio Walt Disney. Proses yang dijalaninya  adalah menggambar, membuat film animasi dengan "plastik taplak meja", karena tidak mampu membeli celluloid animation yang pada periode 1970-an sangat mahal dan langka. Meski demikian, semangat membuat film animasi tetap ada, dan filmnya, “Kayak Beruang”, film animasi ber-durasi kurang-lebih 5 menitan, memperoleh hadiah dalam lomba film mini Dewan Kesenian Jakarta pada awal tahun 1970-anSetelah belajar selama 3 bulan, ia kembali ke Indonesia dan membuat film animasi pertama bernama “Si Doel Memilih”. Namun, saat itu animasi hanya dipergunakan untuk kepentingan politik saja. Film animasi 2 dimensi tentang kampanye pemilihan umum pertama di Indonesia itu menjadi tonggak dimulainya animasi modern di negeri ini.
Pada tahun 1963 Dukut Hendronoto (Pak Ook)  pindah ke salah satu stasiun TV di Indonesia dan mengembangkan animasi di sana dalam salah satu program namun kemudian program itu dilarang. Di tahun tersebut stasiun TV tersebut merupakan stasiun TV besar yang ada di Indonesia. Stasiun ini sudah memulai  menayangkan film-film yang dibuat oleh Walt Disney dan Hanna-Barbera, sekitar tahun 1970.
Awal 70-an, terdapat studio animasi di Jakarta bernama Anima Indah yang didirikan oleh seorang warga Amerika. Anima Indah termasuk yang mempelopori animasi di Indonesia. Anima berkembang dengan baik namun hanya berkembang di bidang periklanan.
Era 80-an anggap sebagai kebangkitan animasi Indonesia. Hal ini terbukti dengan maraknya film animasi diantaranya rimba si anak angkasa, yang disutradarai Wagiono Sunarto,  “Si Huma” yang merupakan animasi untuk serial TV, dan animasi PetEra.
Berlanjut ke tahun ’90-an, di tahun ini bertaburan dengan berbagai film animasi diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang, Satria Nusantara (kala itu masih menggunakan kamera film seluloid 35mm), kemudian ada serial “Hela,Heli,Helo” yang merupakan film animasi 3D pertama yang di buat di Surabaya. Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat seperti Bawang “Merah dan Bawang Putih”, “Timun Mas” dan “Petualangan si Kancil”. Di era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap animasi terkenal dari jepang seperti “Doraemon” dan “Pocket Monster.”
Pada era 2000-an, diantara sekian banyak studio animasi di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk yang paling produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket memproduksi beberapa serial animasi TV seperti “Dongeng Aku dan Kau,” “Klilip” dan “Puteri Rembulan,” “Mengapa Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek,” “Si Kurus” dan “Si Macan,” pada masa ini serial animasi cukup populer karena menggabungkan 2D animasi dengan 3D animasi. Pada tahun 2003, serial 3D animasi merambah layar lebar diantaranya “Janus Perajurit Terakhir,” menyusul kemudian bulan Mei 2004 terdapat film layar lebar 3D animasi berdurasi panjang yaitu “Homeland.” Kemudian Infinite Frameworks (IFW) di tahun 2009 berhasil membuat animasi layar lebar bertaraf internasional dengan judul “Meraih Mimpi.”
Film animasi yang berjudul “Meraih Mimpi” tersebut diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam. Film ini merupakan adapatasi dari buku karya Minfung Ho berjudul “Sing to The Dawn.” Buku tersebut bercerita tentang kakak beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor penipu. IFW membuat adapatasi buku Minfung Ho tersebut atas permintaan pemerintah Singapura yang ingin buku wajib baca di beberapa SD di Singapura tersebut dibuatkan filmnya. Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai pengerjaan film Sing to The Dawn. Dan untuk diketahui lebih dari 150 animator yang turut andil di dalamnya.


2.2.5 Animasi 3D
Banyaknya film impor berformat 3D tampaknya mempengaruhi perfilman nasional juga. Dua film 3D buatan Indonesia sudah muncul: Jendral Kancil dan Petualangan Singa Pemberani. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang tekonologi 3D ini, ada baiknya kita mulai melihat sejarah awal dan perkembangannya.
Teknologi 3D sebenarnya sudah muncul tak lama sejak teknologi fotografi muncul pertama kali. Pada tahun 1856, JC d’Almeida memberikan demonstrasi di Academie de Sciences tentang gambar-gambar stereoscopik (dua gambar foto yang sama dengan perspektif sedikit berbeda satu sama lain berjarak sekitar dua setengah inci yang merepresentasikan jarak antara kedua mata manusia) yang diproyeksikan secara bergantian dengan cepat melalui slides cahaya lentera berwarna merah dan hijau. Sementara itu penonton memakai kaca mata merah dan hijau sehingga mereka bisa melihat gambar foto itu secara tiga dimensi.
Setelah itu pada tahun 1890an, Ducos du Hauron mematenkan temuannya berupa dua warna, sistem anaglyph: dua lembar film positif transparan stereoscopik di-superimpose (ditumpuk). Ketika diproyeksikan, penonton bisa melihat efek tiga dimensi dengan memakai kacamataanaglyph (lensa merah di satu sisi dan lensa biru di sisi yang lain). Pada masa sekarang kaca mata anaglyph memakai lensa merah dan cyan.
Pada tahun 1897, C. Grivolas mengadaptasi sistem anaglyph ini untuk memutar film bergerak (motion pictures) secara 3D namun pengaplikasian teknologi ini baru dipakai pertama kali untuk film layar lebar di tahun 1922 dengan film The Power of Love yang dibuat oleh Harry K Fairall. Secara teknis selain memakai sistem anaglyph, film ini juga memakai dual film strip projection. Artinya, dibutuhkan dua strip film yang diputar secara bersamaan dengan dua proyektor film sejajar. Setelah itu banyak bermunculan film-film lain dengan format 3D sistem anaglyph yang lain.
Anaglyph sendiri memiliki kelemahan, yaitu untuk menghasilkan efek tiga dimensi, sistem ini melakukan pemblokiran warna-warna tertentu dari gambar stereoscopik yang diproyeksikan ke layar untuk mendapatkan efek 3D. Akibatnya tidak tercapai full colour. Hal ini tidak bermasalah di zaman film hitam-putih. Ketika muncul film berwarna di tahun 1935 maka ini menjadi sebuah problem.
Sebuah gebrakan teknologi muncul ketika ilmuwan bernama Edwin Land mematenkan temuannya berupa filter Polaroid di tahun 1932. Filter Polaroid dibentuk dengan tumpukan lapisan-lapisan filter tipis transparan yang dimiringkan dengan sudut tertentu untuk meniadakan silau (glare) cahaya yang dilewati filter itu. Di kemudian hari filter ini bisa diaplikasikan untuk teknologi 3D dan kamera instan Polaroid. Dibandingkan dengan sistem anaglyph, Polaroid 3D (Polarized 3D) lebih baik karena prinsip kerjanya mempolarisasi (memfilter) gelombang cahaya tertentu tanpa memblokir warna apapun agar tercapai efek 3D ketika diproyeksikan di layar dan ditonton dengan kaca mataanaglyph.
Di Uni Soviet pada tahun 30an, seorang insinyur Rusia berhasil menyempurnakan teknologi film 3D dengan sistem yang disebut parallax stereogram. Sistem ini sebelumnya dikembangkan secara terpisah oleh A. Berhtier, E. Estenave dan Frederick Ives. Tidak seperti anaglyph ataupun polirized 3D, sistem ini berfungsi menghasilkan proyeksi gambar film tiga dimensi tanpa penonton memakai kacamata anaglyph atau apapun. Kekurangan sistem ini adalah apabila duduk miring atau melihat dari perspektif yang miring maka efek stereoscopi atau 3D film itu buyar.
2.2.5.1 Masa Keemasan
Tahun 1950an menjadi masa keemasan pertama bagi film 3D di Hollywood. Perintisnya: Bwana Devils (1952). Film ini ditulis dan disutradarai oleh Arch Oboler dan dianggap sebagai film layar lebar pertama berwarna dengan sistem Polaroid 3D dual strip. Setelah itu banyak muncul film-film 3D lainnya seperti Man in The Dark, House of Wax, It Came From Outer Space, Dial M For Murder, Creature From The Black Lagoon, Inferno, dan lain-lainnya. Kemudian popularitas film 3D secara tak disangka menurun. Ada beberapa faktor kenapa hal ini terjadi:
1. Distributor film beranggapan, karena film 3D menggunakan dual strip untuk setiap pemutaran, berarti harga sewa copy film menjadi dua kali lipat. Kenyataannya penonton tidak mau membayar harga tiket dua kali lipat.
2. Karena memakai sistem dual stripdengan proyektor ganda yang saling terkait, maka setiap pemutaran film harus dipastikan gambar dari kedua proyektor sinkron setiap saat agar penonton tidak mengalami efek pusing atau mata pegal. Hal ini sulit untuk dijaga terus-menerus karena setelah pemutaran berkali-kali copy film dapat mengalami kerusakan di beberapa bagian. Biasanya, proyeksionis menangani copy cacat dengan membuang frame yang rusak. Pada dual strip, jumlah frame dan panjang print film harus sama untuk kedua copy.
3. Di samping itu, tidak fokusnya gambar pada salah satu proyektor akibat kecerobohan proyeksionis juga dapat membuat penonton mengalami pusing dan mata pegal.
Akibat kendala-kendala di atas, setelah 1955, tren film 3D cenderung menurun dan era keemasan tahun 50an berakhir.
2.2.5.2 Era Single Strip 3D Film
Setelah tahun 1955 dunia film lebih tertarik dengan format 2D widescreen yang merupakan hal baru pada waktu itu. Walaupun demikian, film 3D tidak benar-benar total menghilang. Beberapa film masih diproduksi dengan menggunakan format 3D di tahun 1960an sampai pertengahan 1980an. Salah satu film 3D yang terkenal di masa 60an adalah The Mask (1961) produksi Kanada. Film ini unik karena gambar 3D hanya dipakai di beberapa segmen saja dan sebelum segmen dimulai ada instruksi untuk penonton untuk memakai kacamata anaglyph. Selain itu, teknik 3D mulai digunakan dalam beberapa film porno baik jenis semi maupun hardcore. Salah satu judul film porno format 3D yang terkenal adalah The Stewardess buatan 1970.
Perkembangan paling penting di masa ini adalah munculnya sistem kamera baru untuk 3D yang disebut Spacevision. Spacevision adalah inovasi oleh insinyur dan fotografer stereoskopik berlatar belakang militer Amerika, Kolonel Bernier. Dengan bantuan Arch Oboler, sutradara Bwana Devil, Bernier berhasil menciptakan Lensa Trioptiscope, komponen penting di sistem Spacevision. Lensa ini berfungsi untuk menumpuk gambar kiri dan kanan dalam satu film strip dalam proses syuting sehingga bisa dipakai satu kamera saja dibandingkan dengan dua kamera dengan rigging khusus. Arch Oboler memakai teknologi ini dalam film berjudul Bubble (1966). Untuk penayangan, juga hanya digunakan satu copy film yang diputar di satu proyektor yang memakai lensa khusus. Setelah itu banyak bermunculan sistem kamera 3D dengan satu film strip. Salah satu yang terkenal adalah Stereovision. Sistem single film strip memberikan kesempatan bagi dunia perfilman untuk memproduksi film 3D dengan bujet jauh lebih rendah dibanding sistem dual strip.
2.2.5.3 Bangkitnya Film 3D di Era Digital
Teknologi digital baik untuk pengambilan gambar (kamera), pasca produksi maupun untuk penayangan (sistem proyektor) telah memberikan kemudahan bagi pengadaan film 3D. Dari tahun pertengahan 1980an sampai awal 2000an berbagai film 3D banyak diproduksi namun sebagian besar tidak tayang sebagai film komersial melainkan sebagai tontonan di wahana taman hiburan seperti Disneyland, Universal Studios, dan sebagainya sampai munculnya sistem digital cinemayang standar dan universal di awal 2000an.
Di tahun 2000an ini para pembuat film di Hollywood melihat bahwa teknologi digital memberikan mereka kendali yang lebih baik dalam membuat dan menayangkan film 3D sebagai tontonanmainstream. Sutradara James Cameron, salah satu pelopor 3D di era digital, membuat film IMAX 3D berjudul Ghost From Abyss di tahun 2003. Film ini adalah dokumenter tentang kapal karam Titanic yang terkenal.
Robert Rodriguez, sutradara terkenal lainnya, membuat dua film 3D berjudul Spy Kids 3-D: Game Over (2003) dan The Adventure of Sharkboy and Lavagirl in 3D (2005). Kedua film menggunakan teknologi anaglyph 3D. Setelah itu banyak film 3D yang diproduksi namun kebanyakan merupakan film animasi seperti Polar Express (2004), Open Season (2006), dan Ant Bully (2006). Di tahun 2009, James Cameron kembali merilis sebuah film 3D berjudul Avatar. Film dengan budget US$ 237 juta yang sukses di seluruh dunia ini menghasilkan uang sebesar US$ 2,782,275,172 dan menjadikan film ini terlaris sepanjang masa sampai sekarang. Sukses ini membuat Hollywood berlomba-lomba memproduksi film 3D dan mempercepat konversi sinema digital secara global.
2.2.5.4 Pembuatan Film 3D Sekarang
Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live action membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi (editing, colorgrading, mastering, dan sebagainya). Pembuatan animasi 3D dianggap lebih sederhana dengan menggunakan kamera virtual di komputer dan kesalahan efek 3D lebih bisa dihindari daripada pembuatan film 3D live action.
Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif. Pengambilan gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak. Biasanya konversi dilakukan terhadap film-film lama yang dirilis ulang ke format 3D seperti Nightmare Before Christmas dan Titanic (90an).
2.2.5.5 Pengambilan Gambar
Biasanya proses pengambilan gambar (optik atau digital) memerlukan dual camera rig. Ada dua macam rig 3D yang umum yaitu side by side dan mirror rig. Side by side rig adalah penempatan dua kamera identik secara berdampingan. Sistem ini lebih sederhana dibandingkan sistem mirror rig namun mempunyai kelemahan. Rig ini hanya ideal untuk kamera kecil. Pada kamera besar jarak kedua kamera menjadi terlalu dekat hingga bisa muncul masalah: interocular/interaxial (perspektif paralel jarak kedua lensa dari kedua kamera) tidak bisa cukup kecil untuk shot close up. Akibatnya kedalaman gambar terdistorsi memanjang.
Mirror rig berhasil mengatasi masalah itu namun mempunyai kelemahan lain: polarisasi gambar; pantulan atau refleksi pada sebuah objek di satu mata tidak ditemukan di mata lain. Problem ini bisa dikoreksi dengan menggunakan filter polarizer di lensa yang terdapat pantulan. Akibatnya cahaya yang masuk ke kamera berubah.
Selain menggunakan dual camera rig, ada pilihan ketiga, yaitu dengan menggunakan satu kamera dengan sistem dua lensa. Panasonic merupakan perusahaan pertama yang membuat kamera video digital berkualitas resolusi HD dengan dua lensa untuk membuat film 3D. Kamera ini menjadi alternatif bagi orang yang mau membuat film 3D dengan bujet lebih murah karena hanya menggunakan satu kamera. Kabarnya kamera ini digunakan pertama kali untuk membuat film Sex and Zen 3D: Extreme Ecstacy (Hongkong, 2011), yang merupakan film semi porno 3D pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi digital.
Selain memilih sistem kamera yang cocok, ada dua metode yang harus diperhatikan dalam pengambilan gambar 3D yaitu paralleldan convergence. Parallel adalah cara mengambil dua gambar dari kamera yang perspektifnya paralel lurus ke depan. Cara ini adalah cara yang sangat aman namun memerlukan usaha dan waktu banyak dalam penanganan paska produksi. Convergence, adalah cara menyilangkan perspektif kedua kamera sehingga kamera kanan mengambil gambar ke kiri sedang kamera kiri mengambil gambar ke kanan. Hasil dari pengambilan gambar ini lebih gampang diolah di tahap pasca produksi namun apabila terjadi over-convergence (penyilangan berlebihan), hasil syuting sulit untuk diproses menjadi gambar 3D yang baik.
2.2.5.6 Pasca Produksi
Pengerjaan pasca produksi untuk film 3D membutuhkan perangkat yang mendukung materi 3D. Alat-alat yang dimaksud adalah display monitor atau proyektor, sistem color grading, dan online editing/special effect.
Monitor atau proyektor yang digunakan harus memiliki kemampuan untuk melihat gambar film 3D. Ada dua jenis sistem yang bisa digunakan, aktif dan pasif. Sistem aktif adalah dengan menggunakan kacamata 3D dari LCD (Liquid Crystal Display) yang secara berganti-gantian berkedip-kedip antara mata kanan dan kiri. Kaca mata ini merupakan perangkat elektronik yang terkoneksi dengan infra merah ke display monitor. Selain mahal, kaca mata ini membutuhkan tenaga baterai dan biasanya hanya dijual sebagai satu set dengan alat display merek yang sama dan umumnya tidak kompatibel dengan monitor atau proyektor 3D  merek lain. Sementara sistem pasif menggunakan kaca mata polarized 3D biasa yang tidak mahal haganya dan bisa dipakai dengan display monitor atau sistem proyektor 3D profesional merek apa saja.
Berbagai merek alat color-grading maupun online editing di masa sekarang memiliki fitur untuk pengerjaan film 3D yaitu kemampuan untuk mengerjakan dua track gambar untuk mata kanan dan mata kiri dengan mengatur axis x, y, dan z (sistem koordinat Cartesian). Pada pengerjaan film 2D, pengaturan dimensi gambar direpresentasikan dengan menggunakan fitur axis x dan y yang merepresentasikan panjang dan tinggi gambar film. Sedang untuk pengerjaan film 3D ditambahkan axis y yang mengatur depth (kedalaman persepektif) untuk mendapatkan efek tiga dimensi. Quantel Pablo merupakan salah satu contoh merek gabungan sistem color-grading dan online editing yang pertama keluar. Beberapa merek alat terkenal lain juga sekarang memiliki model terbaru dengan fitur untuk 3D seperti Scratch, Davinci Resolve, Autodesk, Nuke, dan sebagainya.


 2.2.5.7 Sistem Penayangan Sinema Digital Untuk Film 3D
Penayangan film 3D di bioskop digital memerlukan dua proyektor interlocking atau satu proyektor dengan dua lensa. Merek-merek proyektor terkenal yang biasa digunakan untuk sinema digital adalah Christie, Barco, Sony, dan Kinoton.
Selain itu diperlukan alat untuk mengatur agar proyektor optik bisa memutar film 3D. Ada beberapa merek terkenal yang membuat peralatan ini seperti RealD, Dolby 3D, dan IMAX 3D. Real D merupakan sistem 3D bioskop yang paling banyak digunakan pada saat ini karena efek tiga dimensi yang dihasilkan tetap stabil walaupun penonton melihat dalam posisi kepala mendongak atau menunduk. Ini disebabkan karena teknologi circular polarization yang ada di lensa kaca mata dan sebuah perangkat untuk mengatur pencahayaan yang dipasang di proyektor optik. Selain itu dari faktor ekonomis, harga kaca mata circular polarization lebih murah daripada kaca mata berteknologi lain seperti LCD.
Dolby 3D memakai teknologi colorwheel yang memiliki sejumlah filter berwarna yang berfungsi mentransmisikan gambar dengan berbagai level gelombang cahaya untuk menampilkan efek gambar 3D. Metode ini disebut wavelength multiplex visualization. Kaca mata untuk sistem Dolby 3D lebih mahal dari buatan RealD dan rapuh. Namun kelebihan Dolby 3D dibanding kompetitor seperti RealD adalah bisa berfungsi di proyektor konvensional.
IMAX 3D adalah perusahaan di bidang teknologi bioskop yang awalnya berkecimpung dalam  pengambilan gambar dan penayangan film dengan format film resolusi lebih tinggi dari 35mm, yaitu 65mm film negatif dengan kamera IMAX dan 70mm proyektor IMAX untuk penayangan. Karena resolusi yang dihasilkan sistem ini besar maka ukuran layar bioskop IMAX berukuran sangat besar dibandingkan di bioskop konvensional. IMAX sudah terlibat dalam penanganan 3D sejak zaman analog dengan membuat proyektor untuk copy film 70mm dengan dua lensa yang berjarak 64mm (jarak rata-rata antara kedua mata manusia). Ketika IMAX mulai menggunakan teknologi digital di tahun 2008, mereka mendapatkan bahwa resolusi yang dihasilkan oleh dua proyektor 2K tidak bisa menyamai kualitas print 70mm analog. Mereka menemukan bahwa kualitas gambar dari dua proyektor 2K tetap lebih rendah dari satu proyektor 4K. Semenjak 2012, IMAX bekerja sama dengan Barco menghasilkan dua buah proyektor 4K dan menurut laporan hasilnya cukup bagus.
 2.2.5.8 Masa Depan Film 3D
Untuk perfilman Hollywood bisa dipastikan dalam waktu beberapa tahun ke depan masih akan banyak film-film blockbuster yang dibuatkan versi 3D untuk mendampingi format 2D. Perfilman negara-negara lain juga akan mencoba untuk membuat beberapa produksi film tiga dimensi. Namun, berlebihan apabila dikatakan bahwa dalam waktu dekat film 3D akan menggantikan film 2D yang selama ini menjadi tontonan konvensional di bioskop.
Kesimpulan ini didasarkan pada catatan sejarah bahwa tren film 3D selama ini naik dan turun dan terbukti bahwa teknologi 3D tidak menjamin suksesnya sebuah film di pasaran. Di tahun 2011 terdapat laporan data bahwa ada kecenderungan penurunan minat penonton terhadap film-film 3D. Sebagai contoh, Kungfu Panda 2 mendapatkan persentase pendapatan 3D sebesar hanya 45% di minggu pertama penayangan, lebih kecil dibandingkan Shrek Forever After di tahun 2010 yang sebesar 60%. Film Harry Potter and The Deadly Hallows Part 2 sendiri hanya mendapatkan pendapatan 34% dari versi 3D.
 Eksekutif Studio Dreamworks, Jeffrey Katzenberg, menyatakan penurunan ini disebabkan karena terlalu banyaknya film 3D yang muncul terutama dari yang dipaksakan untuk dibuatkan versi 3D, khususnya yang diproduksi secara 2D dan di pasca produksi dikonversi ke 3D. Kritikus terkenal Robert Ebert menyatakan bahwa dia membenci film 3D karena menurut dia film 2D sudah memberikan efek 3D di alam pikiran penonton. Film 3D juga menurut dia tidak menambahkan pengalaman sinematik, merupakan distraksi dan bisa menimbulkan sakit kepala dan rasa mual.
Di Indonesia sendiri telah muncul sebuah film dengan format 3D tahun ini berjudul Jendral Kancilthe Movie dan animasi Petualangan Singa Pemberani. Film terakhir ini juga merupakan bagian dari promosi es krim Wall’s Paddle Pop. Tren film 3D Indonesia ke depan sepertinya tidak jelas dengan kondisi perfilman nasional yang masih terjebak dengan masalah-masalah klasik seperti sistem tata edar yang dianggap tidak berpihak ke perfilman nasional, apresiasi penonton yang kurang, risiko tinggi secara finansial yang harus ditanggung produser, pola kerja industri yang serba instan, dan sebagainya.
2.2.6  Humor
     Humor adalah sebuah cerita pendek yang menceritakan suatu kejadian yang lucu dengan harapan dapat membuat pembacanya tertawa. Kelucuan sebuah humor dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya kelakuan para pelaku, kejadian yang umum akan tetapi diplesetkan, kritik terhadap keadaan, kebodohan, kesalahpengertian, benturan antar budaya dan hal-hal lain. Naluri manusia untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah dimiliki sejak masih bayi. Sejak seorang bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan. Hampir setiap saat, ibu tersebut mengusahakan dengan giat agar sang anak dapat tertawa girang. Ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneha-neh, dan memperagakan hal-hal yang tidak masuk akal, selalu merangsang agar anaknya suka tertawa.
Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan itu sudah melekat erat dalam dirinya. Manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan (Hendarto,1990). Mereka yang dapat mencari kegembiraan, biasanya tidak berminat untuk mencari definisi tentang sesuatu yang disebut lucu . Agaknya, bagian yang tersulit untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan pengalaman pribadi tentang sesuatu yang menyebabkan seseorang tertawa atau tersenyum. Pengalaman tentang kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal (Sumarthana, 1983). Kelucuan juga selalu mengena dengan hal-hal yang tidak wajar atau umum. Yang wajar dan umum, tidak memerlukan perbaikan atau tidak lagi menyediakan wadah untuk menjadi lucu.
Halhal yang aneh dan nyeleneh dapat menjadikan humor (Setiawan, 1990). Semua itu tidak menutup kemungkinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berpotensi untuk dijadikan bahan lelucon. Kelucuan atau humor berlaku bagi manusia normal, untuk menghibur karena hiburan merupakan kebutuhan mutlak
bagi manusia untuk ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya (Widjaja,1993). Dengan demikian, keberadaan humor sebagai sarana hiburan sangat penting.Humor dapat tampil mantap sebagai penyegar pikiran dan sekaligus sebagai penyejuk batin, dan penyalur uneg-uneg.
(Pramono, 1983). Humor dapat juga memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritikan yang bernuansa tawa. Humor juga dapat sebagai sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Gauter, 1988). Dengan mengerti dan menyadari hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa humor memiliki suatu potensi penting. Humor
dapat dijadikan suatu bahan untuk dikaji sebagai semacam ilmu . Semakin kritis suatu masyarakat, semakin tinggi pula permintaan mereka akan humor (Hassan, 1981). Dimensi keseriusan humor tampak pada penekanan syarat intelektual bagipelaku atau penikmatnya (Manser, 1989).

2.2.6.1      Teori Humor
Teori humor jumlahnya sangat banyak, tidak satu pun yang persis sama dengan yang lainnya, tidak satu pun juga yang bisa mendeskripsikan humor secara menyeluruh, dan semua cenderung saling terpengaruh (Setiawan, 1990). Dewasa ini, pengertian humor yang paling awam , ialah sesuatu yang lucu, yang menimbulkan kegelian atau tawa. Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat orang tertawa. Pengertian awam tersebut tidaklah keliru. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982), seperti yang dinyatakan oleh Setiawan (1990), Humor itu kualitas untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik. Lebih lanjut, teori humor dibagi dalam tiga kelompok (Manser, 1989), meliputi:
(1)    teori superioritas dan meremehkan
jika yang menertawakan berada pada posisi super; sedangkan objek yang ditertawakan berada pada posisi degradasi (diremehkan atau dihina). Plato, Cicero, Aristoteles, dan Francis Baco (dalam Gauter, 1988) mengatakan bahwa orang tertawa apabila ada sesuatu yang menggelikan dan di luar kebiasaan. Menggelikan diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi aturan atau sesuatu yang sangat jelek. Lelucon yang menimbulkan ketertawaan, juga mengandung banyak perasaan kebencian. Lelucon-lelucon tersebut selalu timbul dari kesalahan/kekhilafan yang menggoda dan kemarahan
(2) teori mengenai ketidakseimbangan,putus harapan, dan bisosiasi.
Arthur Koestler  (Setiawan, 1990) dalam teori bisosiasinya mengatakan bahwa halyang mendasari semua bentuk humor adalah bisosiasi, yaitu mengemukakan dua situasi atau kejadian yang mustahil terjadi sekaligus. Konteks tersebut menimbulkan bermacam-macam asosiasi
(3) teori mengenai pembebasan ketegangan atau pembebasan dari tekanan.
 Humor dapat muncul dari sesuatu kebohongan dan tipuan muslihat; dapat
muncul berupa rasa simpati dan pengertian; dapat menjadi simbol pembebasan ketegangan dan tekanan; dapat berupa ungkapan awam atau elite; dapat pula serius seperti satire dan murahan seperti humor jalanan. Humor tidak mengganggu kebenaran.

0 komentar:

Post a Comment