POLA KOMUNIKASI PASANGAN DUAL-WORKER MARRIAGES DALAM PENGEMBANGAN FISIK ANAK
POLA KOMUNIKASI PASANGAN DUAL-WORKER MARRIAGES DALAM PENGEMBANGAN FISIK ANAK |
pola baju anak - Oleh: Aisyah Nawangsari Putri (070915006)
Email: aisyah_np@hotmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada pola komunikasi yang mendominasi pasangan suami istri dual-worker marriages atau sama-sama bekerja dalam melakukan pengembangan fisik pada anak mereka. Topik ini menarik untuk diteliti karena dual-worker marriages memiliki daerah rawan stress yang lebih besar dibandingkan dengan pasangan yang bukan dual-worker marriages. Selain itu, dengan keduanya sama-sama bekerja, urusan anak bukan lagi menjadi tanggung jawab istri saja seperti yang terjadi pada pasangan bukan dual-worker marriages. Melihat bahwa pola komunikasi yang dilakukan oleh pasangan dual-worker marriages berbeda dengan pasangan yang bukan dual-worker marriages, maka penelitian ini berupaya untuk menggambarkan pola komunikasi yang mendominasi pasangan dual-worker marriages dengan menggunakan tipe kualitatif deskriptif dan tinjauan pustaka mengenai teori sistem, dual-worker marriages, tipe pasangan, komunikasi keluarga, dan komunikasi dalam pengembangan fisik balita. Hasil dari penelitian ini ialah pola komunikasi yang mendominasi pasangan dual-worker marriages berbeda-beda tergantung pada budaya, aturan rumah tangga, dan orang tua.
Kata Kunci: pola komunikasi, dual-worker marriages, pengembangan fisik
PENDAHULUAN
Keluarga terdiri dari beberapa anggota yang merupakan individu dengan sifat dan karakter yang berbeda. Setiap keluarga memerlukan komunikasi untuk menyatukan setiap individu karena masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Menurut Poire (2006) komunikasi keluarga adalah pesan-pesan yang dikirim tanpa kesengajaan, dan diterima dengan sengaja, dan membentuk makna antar individu yang terhubung secara biologis, legal, atau pernikahan yang berkomitmen dan saling mengasuh serta mengontrol satu sama lain. Komunikasi terjadi di dalam keluarga karena komunikasi merupakan cara untuk menyatukan anggota keluarga yang memiliki perbedaan tujuan. Dengan komunikasi, pasangan bisa mengatur keuangan mereka dan mendidik anak-anak (Poire 2006).
Seperti keluarga lainnya, keluarga dengan pasangan dual-worker marriages juga memerlukan pola komunikasi. Pasangan dual-worker marriages menjadi penting untuk diteliti karena peran dalam keluarga menjadi berbeda dari keluarga yang bukan dual-worker marriages.
Pasangan memilih untuk sama-sama bekerja karena berbagai alasan dan keuntungan, misalnya dua orang yang bekerja akan lebih baik daripada hanya satu orang yang bekerja. Jika pasangan suami dan istri sama-sama bekerja, mereka akan menghasilkan uang yang lebih banyak. Keuntungan lainnya adalah keluarga dengan pasangan suami istri yang bekerja akan mengalami perkembangan secara emosional. Walaupun stress akan meningkat, stress tidak selalu berakibat negatif, sama seperti panas mobil atau tungku dapur, jumlah stres yang tepat justru bersifat produktif (Rowatt & Rowatt, 1998 hal 32).
Bagi pasangan suami istri, diperbolehkan untuk bekerja merupakan hal yang positif. Hal ini dikarenakan manusia cenderung lebih otoriter ketika mereka menghasilkan uang. Jika hanya suami atau istri yang bekerja, salah satu pihak akan menjadi resesif, padahal pekerjaan yang mereka kerjakan di rumah juga sama berat dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang mencari nafkah.
Dengan kesibukan mereka, urusan rumah bisa jadi menjadi tanggung jawab kedua pihak dan ini akan lebih susah untuk dikontrol. Dengan kesulitan seperti itu, keluarga dengan pasangan ini memerlukan komunikasi supaya bisa saling mengontrol. Salah satunya adalah mengontrol pengembangan individu yang merupakan salah satu peran dari keluarga.
Pengembangan individu dalam keluarga sangat penting supaya anak-anak bisa menjadi seseorang yang lebih mandiri dan tidak bergantung pada keluarga, seperti yang dinyatakan oleh Pearson (1989 hal. 145):
Just as we observed that support and nurturance is important for all of the family members, personal development is relevant to each person, too. Personal development includes physical, emotional, educational, and social development for the children and career, avocational, and social development for the adults. Children must move from being totally dependent beings to becoming relatively independent adults. They must change from becoming part of the family of orientation to moving on to creating families of their own. Adults, too, develop within family units.
Selain mengenai pentingnya pengembangan individu, berdasarkan pernyataan di atas, Pearson juga menyebutkan bahwa pengembangan individu juga terjadi pada orang dewasa. Pada anak-anak, pengembangan individu meliputi pengembangan fisik, emosi, pendidikan, dan sosial. Sedangkan pada orang dewasa pengembangan individu meliputi karir, kegemaran, dan sosial. Baik anak-anak maupun orang dewasa sama-sama berkembang di dalam keluarga. Untuk penelitian ini, peneliti hanya fokus pada pengembangan anak dalam keluarga, lebih khususnya perkembangan fisik.
Pengembangan fisik adalah tentang bagaimana cara berpenampilan dengan baik secara fisik supaya anak tersebut tidak menjadi bahan gunjingan orang kelak karena penampilan fisiknya yang tidak baik. Pengembangan fisik meliputi cara berpakaian, cara merawat kulit baik wajah maupun tubuh, cara menjaga tubuh yang proporsional, cara ber-make up, dan sebagainya (Pearson 1989).
Masa anak-anak tersebut merupakan masa-masa penting yang akan mempengaruhi tumbuh dan kembang anak. Jika ada masalah dengan pengembangan fisik, maka tumbuh kembang anak tersebut juga akan bermasalah, bisa jadi masalah tersebut berlanjut hingga ia besar, misalnya tinggi badannya yang tidak bisa setinggi teman-temannya. Sebuah ringkasan penelitian mengenai tinggi dan berat badan anak di seluruh dunia menyimpulkan bahwa dua kontributor penting terhadap perbedaan tinggi badan adalah asal-usul etnis dan gizi (Meredith dalam Santrock 2008 hal. 160). Sementara itu masalah fisik selama masa kanak-kanak yang dapat menghambat pertumbuhan meliputi gizi buruk dan infeksi kronis. Meskipun demikian, jika masalah tersebut dapat ditangani dengan baik, pertumbuhan normal dapat diperoleh (Santrock 2008 hal. 161).
Komunikasi dalam pengembangan fisik anak dengan orang tua dual-worker marriages menjadi penting karena mereka tidak memiliki pihak yang pasti berada di rumah dan mengasuh anak sepanjang hari.
Who leaves work if a child becomes ill during the workday? Dual-worker couples often have to negotiate such a decision. Alternating the person of choice, having a neighbor or friend care for the child, or selecting one parent as regular caretaker are all patterns that may be selected (Pearson 1989, hal. 152).
Dalam pasangan dual-worker marriages, mereka menegosiasikan siapa yang akan meninggalkan pekerjaan ketika anak sakit. Mereka masih memiliki alternative lain dengan meminta tolong orang lain untuk merawat anaknya, namun salah satu dari mereka pasti memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan anaknya. Dengan begitu, penting bagi keluarga dengan pasangan dual-worker marriages untuk mengkomunikasikan tanggung jawab masing-masing terutama yang berkaitan dengan fisik anak.
Menurut DeVito (2007 hal. 277) Cara untuk memahami hubungan intim termasuk keluarga adalah dengan melihat pola komunikasi yang mendominasi hubungan tersebut. Pola komunikasi yang digunakan di penelitian ini adalah pola komunikasi milik DeVito karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi dalam sebuah hubungan intim, yaitu pasangan suami istri. Pola komunikasi ini berlaku bagi hubungan yang sangat dekat, salah satunya adalah keluarga. Pasangan suami istri terikat dalam hubungan keluarga karena pernikahan.
Menurut DeVito (2007) Ada empat pola komunikasi secara umum dan sebuah hubungan bisa saja memiliki lebih dari satu pola komunikasi. Empat pola komunikasi tersebut adalah the equality pattern, the balanced split pattern, unbalanced, the monopoly pattern.
PEMBAHASAN
Pola komunikasi bisa diketahui dengan mengetahui tipe pasangan terlebih dahulu karena tipe pasangan mempengaruhi pola komunikasi. Telah diketahui bahwa pasangan Gharish dan Ratih merupakan pasangan traditional, begitu pula dengan pasangan Indra dan Erieka. Sementara pasangan Fengky dan Diana merupakan pasangan separate.
Pola komunikasi sendiri dibagi menjadi empat yaitu equality pattern, balanced split pattern, unbalanced split pattern, dan monopoly pattern. Sebuah hubungan tidak selalu memiliki satu pola komunikasi. Dalam bidang yang berbeda, satu pasangan bisa memiliki pola komunikasi yang berbeda. Penelitian ini mencari tahu pola komunikasi pasangan dalam hal pengembangan fisik anak.
Pola komunikasi dalam pengasuhan anak secara keseluruhan berbeda dengan pola komunikasi dalam pengembangan fisik anak. Peneliti menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan pengembangan fisik anak untuk mengetahui pola komunikasi pasangan dalam pengembangan fisik anak.
Dimulai dari cara berpakaian, peneliti menanyakan mengenai siapa yang mengambil keputusan untuk model baju dan potongan rambut anak. Pasangan pertama, Gharish dan Ratih menjawab:
Hmmm… saya sih. Ini cowok (laki-laki) sih, jadi nggak (tidak) begitu ngerti (Ratih).
Dapat diketahui bahwa pasangan Gharish dan Ratih menyerahkan tanggung jawab mengenai model baju dan potongan rambut anak pada istri. Sementara suami tidak mengurusi hal tersebut karena bukan bidang yang biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Entah jawaban ini didasarkan pada anaknya yang perempuan sehingga suami tidak mengerti trend dan bagaimana mendandani anak perempuan, atau karena memang suami tidak perlu menangani model baju dan potongan rambut anak.
Sementara pasangan Indra dan Erieka menjawab:
Kalau baju istriku, tapi kalau potongan rambut aku. Soalnya kita bertiga selalu potong rambut bareng (bersama) (Indra).
Pasangan Fengky dan Diana mengatakan bahwa bukan salah satu dari mereka yang mengambil keputusan, melainkan keduanya.
Lanjut ke cara merawat kulit baik wajah maupun tubuh, pasangan Gharish dan Ratih mengatakan bahwa yang mengambil keputusan dalam hal tersebut adalah Ratih.
Saya sih, karena yang lebih tahu yaa. Soalnya kan perempuan yaa.. (Ratih).
Pasangan Indra dan Erieka menyebutkan bahwa yang mengambil keputusan mengenai perawatan kulit tersebut adalah Erieka. Sedangkan pasangan Fengky dan Diana menyebutkan bahwa mereka sama-sama mengambil keputusan untuk itu.
Mengenai menjaga tubuh yang proporsional atau bisa dikatakan tubuh yang sehat, Santrock (2008 hal. 61) menyebutkan masalah fisik selama masa kanak-kanak yang dapat menghambat pertumbuhan meliputi gizi buruk dan infeksi kronis. Meskipun demikian, jika masalah tersebut dapat ditangani dengan baik, pertumbuhan normal dapat diperoleh. Karena itu untuk mendapatkan tubuh yang sehat sehingga pertumbuhan anak bisa normal, orang tua perlu memperhatikan gizi dan kesehatan anak.
Menurut Pearson (1989), orang tua juga perlu mengidentifikasi adanya masalah pada kesehatan anak seperti muka pucat, nafsu makan menurun, dan stress yang meningkat. Ketika ditanya apakah anak-anaknya pernah mengalami hal ini berkaitan dengan orang tuanya yang sering bekerja, informan pertama dan kedua menjawab bahwa anak-anaknya pernah protes.
Pasangan Gharish dan Ratih mengaku bahwa anak mereka pernah protes karena orang tuanya sering bekerja ke luar rumah, namun hal tersebut tidak sampai mengganggu nafsu makannya sehingga kesehatan anak pun tidak terganggu.
Pasangan Indra dan Erieka juga mengatakan hal yang serupa, namun akhirnya anak-anak lebih terhibur karena adanya teknologi berupa iPad dan teknologi game lainnya:
Kalau aku sih biasanya pas berangkat kerja, pagi atau kalau aku ke luar kota. Tapi, awal-awal itu akhirnya, apa, kan… awal mula protes, tapi sekarang yang ditanyain malah ‘iPad-nya mana?’ (Indra)
Selain membuat mereka lupa bahwa orang tuanya sedang repot, Indra dan Erieka juga memberikan pengertian pada anak-anaknya. Dengan begitu anak akan paham mengapa orang tuanya sering keluar rumah.
Walaupun sempat protes, namun anak-anak Indra dan Erieka tidak sampai mengalami peningkatan stress dan kehilangan nafsu makan mereka. Berbeda dengan anak-anak dari pasangan Fengky dan Diana yang tidak pernah protes mengenai kesibukan orang tuanya.
Kedua anak Fengky dan Diana tinggal bersama kakek dan nenek mereka ketika orang tua mereka sedang bekerja. Mereka tidak pernah protes dengan keadaan yang seperti itu. Tidak ada rasa stress yang meningkat dan tidak adanya nafsu makan yang menurun yang dialami oleh kedua anak Fengky dan Diana. Sebagai penguat pernyataan ini, Diana menyebutkan bahwa anaknya gendut sehingga mereka tidak mungkin memiliki gangguan makan.
Untuk penanganan anak yang sedang sakit atau pencegahan dalam bentuk imunisasi, baik pasangan pertama, kedua, dan ketiga sama-sama menyebutkan bahwa mereka berdua bertanggung jawab atasnya. Mereka berdua mengantar anak imunisasi dan mengantar anak ke dokter jika anak sakit. Walaupun sama-sama menjawab bahwa mereka berdua yang mengantar anak imunisasi dan ke dokter, namun ada sedikit perbedaan di antara mereka.
Suami dari pasangan pertama, Gharish menjawab:
Kalau bisa sih berdua, tapi kalau aku pas lagi kerja ya istriku sama orang tuaku yang antar ke dokter (Gharish).
Dari jawaban ini bisa dilihat bahwa Ratih lah yang lebih banyak bertanggung jawab saat anak sakit dibandingkan Gharish karena Gharish tidak meninggalkan pekerjaannya untuk mengantar anak ke dokter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pearson (1989, hal. 152), Who leaves work if a child becomes ill during the workday? Dual-worker couples often have to negotiate such a decision. Salah satu dari orang tua akan meninggalkan pekerjaan untuk merawat anaknya yang sakit.
Sedangkan untuk pasangan kedua, Indra menjawab:
Eeerr, kalau itu sih, kalau istriku ada, istriku tak ajak. Kalau istriku nggak (tidak) bisa, aku yang nganter. Kalau aku kan kadang-kadang siang gitu kan sudah pulang. Atau kalau malam gini kan istriku pulangnya kan baru jam tujuh… terlalu malam… (Indra).
Kalau istriku bisa sih mesti ikut. Apalagi kalau pagi sebelum berangkat kerja gitu.. Tapi lek iso sih, tak obati dewe (kalau bisa, aku yang obati) (tertawa) (Indra).
Pada pasangan kedua, Indra yang lebih banyak memberikan perhatian saat anak sakit. Sedangkan Erieka baru akan menemani ketika jam praktek dokter tidak bersamaan dengan jam kerjanya.
Kalau parah, kayak (seperti) ndak, kayak (seperti) apa yaaa… kita kan bisa lihat juga.. kalau batuk nggak (tidak) biasa gitu baru… Dokternya juga sudah ini sih, pagi ya. Karena kalau dokter anak kan dia ngambil jamnya pagi. Jam 6, jam 7 gitu kan sudah buka. Malah menguntungkan juga sih kalau kayak (seperti) gitu. Aku jadi bisa sering ikut antar anak ke dokter (Erieka).
Pasangan ketiga, Fengky dan Diana bahwa mereka berdua yang mengantar anak yang sakit ke dokter. Bisa disimpulkan bahwa pada informan pertama, Ratih yang banyak bertanggung jawab saat anak sakit. Pada informan kedua, Indra yang banyak bertanggung jawab, dan pada informan ketiga, mereka berdua yang bertanggung jawab saat anak sakit.
Sementara untuk masalah gizi, peneliti membedakan menjadi gizi yang diasup dari makanan dan dari susu. Untuk gizi yang diasup melalui makanan, tiap pasangan memiliki jawaban yang berbeda. Pasangan Gharish dan Ratih mengatakan bahwa Ratih yang lebih banyak mengambil keputusan dalam hal gizi anak yang diasup melalui makanan. Mulai dari berbelanja hingga menentukan menú, Ratih yang mengerjakan, walaupun belum tentu ia yang memasak. Siapa yang memasak tidak berpengaruh pada asupan gizi anak selama menú telah diatur oleh Ratih. Makanan pun bisa dibeli di luar rumah, namun menú tetap ditentukan oleh Ratih.
Pasangan Indra dan Erieka juga mengatakan bahwa Erieka, sang istri yang lebih banyak mengambil keputusan dalam hal gizi yang diasup anak melalui makanan walaupun mereka berbelanja bahan makanan bersama-sama. Peneliti menanyakan ‘Siapa yang berbelanja keperluan makan anak?’ dan ‘Siapa yang menentukan menú makanan anak?’. Untuk pertanyaan pertama Indra menjawab:
Kalau makanan anak… Kadang-kadang kita itu ke supermarket bareng-bareng (bersama) (Indra).
Sementara untuk pertanyaan kedua, Indra menjawab:
Kebanyakan sih istri itu, kan urusan rumah tangga. Kayak (seperti) pas kecil di kasih tim (Indra).
Dengan begitu dapat diketahui bahwa untuk bahan-bahan makanan, keputusan dilakukan berdua, sementara untuk menu makanan apa yang akan diberikan kepada anak, keputusan dilakukan oleh Erieka. Erieka menentukan apa saja yang tidak boleh dimakan oleh anak, seperti Indomie.
Pasangan Fengky dan Diana menyebutkan bahwa mereka sama-sama mengambil keputusan mengenai gizi anak yang diasup melalui makanan. Berikut jawaban Diana saat ditanya mengenai siapa yang lebih banyak berbelanja untuk keperluan makan anak:
Hmmm~ dua-duanya yaa.. Yang belanja itu nggak selalu aku, suami juga sering belanja. Jadi ya dua-duanya (Diana).
Berdasar jawaban-jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan gizi anak melalui makanan, Ratih lah yang mengambil keputusan, begitu juga dengan Erieka. Pada pasangan Fengky dan Diana, mereka berdua sama-sama mengambil keputusan mengenai makanan anak.
Jawaban dari pertanyaan mengenai gizi yang diasup anak melalui susu, tiap pasangan serempak mengatakan bahwa mereka berdua sama-sama mengambil keputusan dan didasarkan pada kecocokannya pada anak. Jika anak cocok, maka susu tersebut yang akan dikonsumsi, sedangkan jika timbul masalah, maka mereka menggantinya dengan susu lain.
Iya, karena kalau susu kan harus mempertimbangkan banyak hal yaaa.. mulai kandungannya, anak suka apa nggak (tidak).. terus harga juga pasti jadi pertimbangan (Ratih).
Pasangan Indra dan Erieka juga menjawab bahwa mereka menentukan merek susu bersama-sama, tergantung dari kecocokan pada anak.
Itu juga bareng-bareng (bersama). Susu kan macem-macem, itu kita tentukan bareng-bareng (Indra).
Jawaban ini ditimpali oleh Erieka yang mengatakan bahwa mereka mencoba macam-macam susu sebelum menentukan mana yang akan dikonsumsi.
Iya, kita selalu nyoba dulu. Pengalaman sih, kita nyoba susu A, B, C, akhirnya cocoknya ini. Jadi nggak (tidak) langsung menentukan susu satu, ini. Tapi kita pengalaman nyoba susu A, B, C lalu kita lihat, ooh ternyata timbul masalah ini, masalah itu, akhirnya kita pilih yang paling cocok (Indra).
Pasangan Fengky dan Diana juga menjawab bahwa mereka menentukan merek susu bersama-sama tergantung dari kecocokannya pada anak.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat pola komunikasi yang mendominasi pasangan dual-worker marriages dalam pengembangan fisik balita. Pola yang mendominasi ini juga berkaitan dengan tipe pasangan dan budaya setempat.
Peneliti menjelaskan mengenai pola komunikasi yang mendominasi dengan mengurutkan dari informan pertama hingga terakhir. Dimulai dari pasangan Gharish dan Ratih. Pasangan ini merupakan pasangan dengan tipe traditional dan keduanya merupakan suku Jawa, dengan begitu Gharish dan Ratih mengadaptasi budaya suku Jawa dalam hal perkawinan maupun berkeluarga yaitu suami mencari nafkah, sementara urusan rumah tangga dikerjakan oleh istri. Urusan rumah dalam hal ini adalah anak. Ratih merasa bahwa walaupun ia juga bekerja, namun urusan anak tetap merupakan tanggung jawabnya, bukan suami.
Tipe pasangan traditional melakukan diskusi ketika mereka dihadapkan dalam sebuah masalah, saling berbagi, dan melakukan konflik jika diperlukan. Hal ini akan berpengaruh pada pola komunikasi yang mereka lakukan. Pola komunikasi monopoly pattern yang sangat otoriter dan jarang meminta nasihat pihak lain tampaknya tidak mungkin mendominasi pasangan dengan tipe traditional. Dengan begitu ada tiga pola yang memungkinkan yaitu equality pattern, balanced split pattern, dan unbalanced split pattern.
Beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan peneliti telah dilontarkan oleh pasangan Gharish dan Ratih. Jawaban-jawaban ini membantu peneliti untuk mengetahui pola komunikasi yang mendominasi pasangan ini. Berkaitan mengenai perawatan tubuh dan rambut serta penampilan anak, pasangan ini menyebutkan bahwa Ratih adalah pihak yang bertanggung jawab dan pengambil keputusan. Berkaitan dengan kesehatan anak, Ratih menjadi pihak yang lebih banyak turun tangan dan bertanggung jawab. Jika harus meninggalkan pekerjaan, maka Ratih lah yang meninggalkan pekerjaan untuk mengantar anak ke dokter, namun untuk imunisasi, Gharish turut mengantar anak. Dalam hal gizi, Ratih menjadi pengambil keputusan apa saja makanan yang akan diasup oleh anak. Sementara untuk gizi yang diasup melalui susu, Gharish ikut mengambil keputusan melalui diskusi.
Tidak semua hal yang berkaitan dengan pengembangan anak dikerjakan oleh Ratih meskipun mereka memiliki ideologi yang traditional. Seperti yang disebutkan di atas, monopoly pattern memiliki kemungkinan kecil untuk mendominasi pola komunikasi pasangan ini dalam mengembangkan fisik balita. Equality pattern juga tidak mendominasi pasangan ini karena keduanya tidak memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan fisik balita bersama-sama. Balanced Split pattern tidak mendominasi pasangan ini karena mereka tidak membagi sama rata bidang-bidang yang termasuk dalam pengembangan fisik balita.
Tiga pola komunikasi tidak mungkin mendominasi, walaupun terdapat equality pattern dalam urusan imunisasi anak dan monopoly pattern di beberapa bidang, namun unbalanced split pattern lah yang mendominasi pola komunikasi pasangan Gharish dan Ratih dalam pengembangan fisik balita. Mereka membagi bidang mereka masing-masing, namun Ratih memiliki porsi yang paling besar dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab akan pengembangan fisik anak.
Pada pasangan kedua, Indra dan Erieka, mereka juga merupakan tipe traditional dan memegang nilai-nilai budaya Jawa, sama seperti pasangan Gharish dan Ratih. Dengan begitu kemungkinannnya sangat kecil jika monopoly pattern yang mendominasi karena mereka cenderung berdiskusi dan berbagi dalam berbagai hal.
Pengembangan fisik balita menyebabkan pasangan Indra dan Erieka membagi tugas di beberapa bidang. Dalam hal perawatan kulit dan rambut serta penampilan anak, Erieka menjadi pengambil keputusan untuk perawatan kulit dan rambut serta model baju anak, sedangkan Indra menjadi pengambil keputusan untuk potongan rambut anak. Dalam hal penanganan anak yang sedang sakit, Indra menjadi pengambil keputusan karena ia lebih bisa meninggalkan pekerjaannya dibandingkan Erieka, namun untuk imunisasi, mereka melakukannya berdua. Masalah gizi yang berasal dari makanan, Erieka menjadi pengambil keputusan apa saja yang akan dimakan anak. Sementara gizi yang berasal dari susu diputuskan berdua oleh Indra dan Erieka.
Berdasarkan jawaban-jawaban di atas, equality pattern tidak mendominasi pola komunikasi pasangan dalam pengembangan fisik balita karena mereka tidak melakukan semua hal bersama-sama. Begitu pula dengan balanced split pattern. Inda dan Erieka memang membagi tugas mereka dalam berbagai bidang, namun tidak berimbang. Pola yang mendominasi pasangan ini dalam pengembangan fisik balita adalah unbalanced Split pattern. Hal ini dikarenakan mereka membagi tanggung jawab dan pengambil keputusan dalam berbagai bidang namun Erieka masih terlihat mendominasi.
Pasangan ketiga, Fengky dan Diana merupakan tipe separate. Tipe ini masih melihat ideologi tradisional mengenai perkawinan dan berkeluarga, namun juga memandang bahwa setiap individu memiliki kebebasan. Mereka berdiskusi mengenai hal-hal penting dan menghindari konflik. Pola komunikasi yang kecil kemungkinannnya untuk mendominasi pasangan ini dalam pengembangan fisik balita adalah equality pattern karena pasangan ini tidak banyak berdiskusi sehingga sulit untuk memutuskan sesuatu berdua.
Diana menjawab semua pertanyaan peneliti mengenai pola komunikasi dalam pengembangan fisik balita dengan jawaban ‘dua-duanya’ yang berarti mereka berdua mengerjakan semuanya berdua. Namun dia menambahi bahwa dia dan suaminya berbagi, bukannya memutuskan secara bersama-sama. Fengky lebih banyak mengurus anak pertama, sedangkan Diana lebih banyak mengurus anak kedua. Dari jawaban tersebut dapat diketahui bahwa monopoly pattern tidak mendominasi pasangan ini karena tidak ada satu pihak yang memonopoli pihak lain dalam bidang ini. Unbalanced Split pattern juga tidak mendominasi, namun menjadi bagian dari pola komunikasi pasangan ini. Pola yang mendominasi adalah balanced Split pattern karena mereka membagi bidang mereka masing-masing dan sama rata, Fengky pada anak pertama dan Diana pada anak kedua.
Dapat disimpulkan bahwa pasangan Gharish dan Ratih serta pasangan Indra dan Erieka didominasi oleh pola unbalanced Split pattern. Hal ini disebabkan mereka memiliki ideologi tradisional yaitu budaya Jawa sebagai patokan dalam berumah tangga. Pasangan Fengky dan Diana didominasi oleh pola balanced Split pattern karena mereka melihat bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan mereka tidak banyak terlibat diskusi akhirnya mereka membagi tugas mereka sama rata.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi pada setiap pasangan berbeda, tergantung dari konteks-konteks yang ada di sekitar mereka termasuk budaya dan tipe pasangan. Dari tiga informan yang menjadi subjek penelitian, dua di antaranya memiliki pola komunikasi unbalanced split pattern. Walaupun pola mereka sama, namun ketidakseimbangan pembagian tanggung jawab dalam pasangan tersebut berbeda. Istri merupakan pihak yang mendapat tanggung jawab yang lebih besar. Pada informan pertama, suami lebih sedikit memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan fisik anak dibandingkan dengan suami pada informan kedua. Baik pasangan pertama maupun pasangan kedua merupakan keturunan Jawa dan mereka mengakui bahwa istri lebih banyak berurusan dengan anak, serta suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga, sesuai dengan adat Jawa.
Sementara pada informan ketiga, pasangan ini didominasi oleh pola komunikasi balanced split pattern. Mereka sama-sama mengambil keputusan, namun suami lebih banyak mengambil keputusan yang berkaitan dengan anak pertama, sementara istri lebih banyak mengambil keputusan yang berkaitan dengan anak kedua. Informan ketiga didominasi oleh pola komunikasi yang berbeda dibandingkan informan yang lain karena pasangan ini merupakan tipe separate dan suami merupakan keturunan Jawa-Batak sehingga terjadi percampuran budaya.
DAFTAR PUSTAKA
DeVito, Joseph A. 2007, Interpersonal Communication 11th ed, Longman Inc, New York
Galvin, K. M., Carma L. Bylund, & Bernard J. Brommel 2004, Family Communication: Cohesion and Change (6th ed.), Pearson Education, New York
Guerrero, Laura K., Peter A. Andersen, and Walid A. Afifi 2007, Close Encounters Communication in Relationships, Sage Publication, London
Littlejohn, S.W. 1999, Theories of Human Communication 6th edition, Thomson Wadsworth, California
Pearson, C. Judy 1989, Communication in the Family: Seeking Satisfaction in Changing Times, Harper & Row, New York
Poire, B.A.L 2006, Family Communication: Nurturing and Control in a Changing World, Sage Publication, London
Rowatt, G. Wade and Mary Jo Rowatt (ed) 1998, Bila Suami Istri Bekerja, Kanisius, Yogyakarta
Santrock, John W (ed) 2008, Perkembangan Anak Edisi 11, Penerbit Erlangga, Jakarta
Vangelisti, Anita L. 2005, Handbook of Family Communication, Lawrence Erlbaum Associates Publishers, London
Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang pola baju anak
, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Cara membuat ROK mudah TANPA POLA
. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.
buka mesin jahit : journal.unair.ac.id/download-fullpapers-Artikel%20Jurnal%20-%20Aisyah%20Nawa...
0 komentar:
Post a Comment