, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Kerudungmu dineci atau dijahit tepi? Memang beda?


baju jahit, batik, belajar, guru, indonesia, jahit, jogja, kaos, kebaya, konveksi, kursus, kursus menjahit, les, mesin jahit, obras, private, sekolah, terbaik, usaha, yogyakarta
 Kerudungmu dineci atau dijahit tepi? Memang beda?

Kerudungmu dineci atau dijahit tepi? Memang beda?

 
pengertianpenjahitkerudung - Sebagai muslimah, aktivitas membeli kerudung adalah hal yang paling familiar. Dari kerudung segi empat hingga pashmina, dari yang berwarna polos sampai bermotif. Nah pasti tahu kan kalau pinggiran kerudung kadang berbeda-beda jahitannya. Biasanya kalau tidak dineci yang dijahit tepi, terus ada gitu bedanya dineci dan dijahit tepi? Nah maka akan aku jelaskan menurut yang aku tahu ya 🙂

1. Jika Kerudungmu Segi Empat
Jilbab Segi 4
Jilbab Segi 4

Kalau dijahit tepi, tepian (bagian pinggir) kerudungmu biasanya lebih rapi dan tidak mudah rusak. Kalau dineci, tergantung kualitas neci nya, kalau bagus ya maka tepian kerudungmu juga lebih awet.

Hijab Segi4 dipakai
Hijab Segi4 dipakai
Tidak masalah menurutku baik kerudung segi empat yang dijahit tepi atau dineci, karena biasanya sebelum dipakai, kerudung segi empat akan dilipat menjadi segitiga terlebih dahulu. Sehingga bagian yang membentu wajah adalah bagian yang terlipat, sehingga baik memakai ciput atau langsung dipakai akan tetap rapi.

2. Jika Kerudungmu Pashmina
Pashmina jahit tepi
Pashmina jahit tepi

Ini adalah tepian pashmina yang dijahit tepi, jelas tidak? Jadi tepian pashmina diambil sedikit, dilipat, kemudian dijahit.

pashmina dineci
pashmina dineci
Sedangkan pashmina yang dineci, tepiannya dirapihkan tidak dengan dijahit, biasanya dengan mesin. Baik mesin neci atau mesin obras yang dimodifikasi.

Pashmina dipakai
Pashmina dipakai
Saat memakai pashmina, biasanya kita tidak melipatnya terlebih dahulu. Iya tidak? Kalau aku sih begitu. Sehingga sisi pashmina yang akan menempel di wajah kita ya sisi tepiannya. Maka pada pashmina, bentuk tepian akan mempengaruhi bagaimana ‘jatuhnya’ pashmina di wajah kita.
memakai pashmina dijahit tepi copy
memakai pashmina dijahit tepi copy

Ini saat aku memakai pashmina yang dijahit tapi, pashmina yang dijahit tepi membentuk wajahku dengan rapi. Lihat saja sisi pashmina yang terbentuk di atas dahiku.

memakai pashmina dineci
memakai pashmina dineci
Sedangkan ini saat aku memakai pashmina yang dineci, berbeda bukan? Coba lihat sisi pashmina yang terbentuk di atas dahiku. Lebih rapi mana dibanding pashmina yang dijahit tepi? Lebih bagus yang dijahit tepi bukan? Nah makanya kalau kamu membeli pashmina lebih baik beli yang pinggirannya dijahit tepi agar lebih bagus membentuk wajah. Hem, kamu masih tidak yakin akan penjelasanku? Nah coba kamu ambil pashminamu yang satu dijahit tepi dan yang satu lagi dineci, coba deh pakai di depan cermin. Hihi

FACT!

Biasanya kerudung yang dijahit tepi lebih tinggi harganya dibanding yang dineci. Kerudung yang dijahit tepi biasanya dilakukan secara manual alias handmade, sedangkan kerudung yang dineci biasanya menggunakan mesin. Nah jelaskan kerudung yang dijahit tepi lebih perlu ketelatenan penjahitnya? Kalau tidak telaten jahit tepi yang dihasilkan tidak lurus alias keriting, ya pokoknya tidak rapi. Hehe.

Nah sekarang kamu tahu kan bedanya kerudung dijahit tepi dan dineci? Kalau penjabaranku kurang jelas, buka saja ini.

Selamat memilih kerudung


Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  pengertianpenjahitkerudung

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang  Cara Membuat Pola Pakaian Pria

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : https://drmahita.wordpress.com/2015/01/08/kerudungmu-dineci-atau-dijahit-tepi-memang-beda/
Continue reading Kerudungmu dineci atau dijahit tepi? Memang beda?
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Cara Membuat Pola Pakaian Pria

 Cara Membuat Pola Pakaian Pria

baju jahit, batik, belajar, guru, indonesia, jahit, jogja, kaos, kebaya, konveksi, kursus, kursus menjahit, les, mesin jahit, obras, private, sekolah, terbaik, usaha, yogyakarta
 Cara Membuat Pola Pakaian Pria


 cara mengukur badan pria untuk dibuat baju - Cara Membuat Pola Pakaian Pria.Pola pakaian pria dewasa pasti nya sudah memiliki ukuran target yang akan kita jahit sebuah baju/pakaian pria dewasa.Nah untuk membuat pola pakaian pria dewasa ini kita nantinya membutuhkan empat jenis ukuran yaitu lingkar dada,lingkar leher,panjang bahu dan panjang punggung.Untuk mengerjakan sebuah jahitan yang pertama sekali disiapkan tentunya alat dan bahan.Dan saya kira bahan dan alat sudah and miliki sebelumnya,jadi ketika melihat tutorial ini langsung ke bentuk pengerjaan saja.Nah ingat untuk menjahit sebua project yang pertama sekali dikerjakan ialah membuat pola untuk jahitan tersebut.Jadi kalai mau menjahit kemeja pria maka silahkan buat polanya dulu seperti yang akan wahyuni jelaskan berikut ini.Apa itu pola? Pola adalah suatu bentuk illutrasi jahitan yang akan digambarkan diatas kertas kosong yang nantinya akan memotong kain sesuai gambar pola.Baiklah untuk detail cara membuat pola atau menggambar pola pakaian pria dewasa berikut di bawah ini langkah detailnya.

Cara Membuat Pola Pakaian Pria Dewasa.Sebelum menggambar pola dasar badan untuk pria terlebih dahulu diambil ukuran. Ukuran yang diperlukan untuk menggambar pola dasar untuk pria, hanya  membutuhkan empat jenis ukuran, yaitu lingkar badan, lingkar leher, panjang bahu dan panjang punggung.
Dibawah ini dapat dilihat cara mengambil ukuran satu persatu.
1). Bagian badan yang diukur pertama sekali yaitu Lingkar badan,Untuk mengukur lingkar badan yaitu dengan cara diukur sekeliling badan terbesar ditambah 4 cm.Ingat jangan lupa menambahkan ukuran 4cm bertujuan untuk hasil jahitan anda memuaskan nantinya.Karena pada saat menjahit ada nanti lipatan pada bagian lingkaran badan ini.Dan bisanya lingkara badan pria itu lebih kurangya dia ambil pada ukuran 4cm.Jadi tidak kebesaran dan tidak kekecilan pada saat baju sudah siap dijahit dan dipakai oleh si pria dewasa.Ini cara yang paling umum saya gunakan.Dan ini boleh juga tergantuk kreativitas anda dalam pengambilan ukuran badan.Jika ingin memiliki ukran pada lingkaran badan dengan pas boleh dikurangi ukuran tambahan mungkin dengan menambahkan 2cm saja.

2). Setelah selesai mengukur bagian lingkaran badan mala dilanjutkan untuk pengukuran Panjang bahu pria dewasa, diukur dari bahu tertinggi pada leher sampai bahu terendah.Jadi usahakan menmukan titik puncak pada bagian bahu yang tertinggi dan tarik meteran anda ke bahu terendah dan lakukan pengukuran.seperti gambar disamping itu dimulai tepat disamping pangkal leher maju sedikit ke ara samping dan teruskan ke bahu paling rendah.Jadi untuk ukur mengukur ini butuh daya tanggap dan kreatifitas yang tinggi yah.





3). Untuk ukuran yang terakhir diambil dalam menjahit pakaian pria dewasa serta penggambaran polanya yaitu pengambilan ukuran Lingkar leher,cara mengukur lingkaran leher yaitu dengan cara  diukur sekeliling pangkal leher.Jadi meteran anda kelilingkan tepat di pangkalan leher si pria dan ambil ukuran sedetail mungkin.

4). Panjang punggung, diukur dari tulang leher Belakang dalam posisi lurus sampai batas pinggang.

Berikut cara membuat polanya
Ukuran yang di butuhkan :
Lingkar badan = 86 cm
Lingkar leher = 40 cm
Panjang bahu = 17 cm
Panjang Punggung = 46 cm

Keterangan pola dasar pria
A - B = adalah ½ lingkar badan.
B - B1 = 3 cm
B1 - D = panjang punggung.
Buat garis empat persegi A – B – D – C
C - F = ½ C - D.
Hubungkan E dan F dengan garis putus-putus.
B - G = 1/6 lingkar leher ditambah 1 cm, hubungkan B1 dengan G seperti gambar.
B1 - H = ½ ukuran panjang punggung, buat garis horizontal dari H ke
J.
E - E1 = 3 cm, dibuat garis datar kekiri dan kanan.
G - I = ukur panjang bahu
H - H1 = ½ lebar punggung, dibuat garis vertikal sampai garis bahu.
Hubungkan I dengan K seperti gambar (lingkar kerung lengan pola belakang)
A - A1 = 1/6 lingkar leher ditambah 1 cm.
A - A2 = 1/6 lingkar leher ditambah 1,5 cm.
Hubungkan A1 dengan A2 seperti gambar (leher bagian muka).
A1 - d = panjang bahu.
J - J1 = ½ lebar muka, dibuat garis vertikal sampai garis bahu di namakan titik d1.
Hubungkan d dengan K seperti gambar (lingkar kerung lengan pola bagian muka).
Demikianlah cara membuat pola pakaian pria dewasa.Semoga yang mau membuat atau menjahit pakaian atau baju pria dewasa yang pastinya terbantu dengan cara yang saya buat ini.Untuk pengambilan ukuran bada secara menyeluruh seperti ukuran tinggi bada,pinggul,pinggang dan lainya anda bisa lihat caranya detailnya di cara mengambil ukuran badan dengan jelas dan mudah untuk menjahit sebuah pakaian dan penggambaran pola.

Sedikit tips dan trik buat kamu yang menjahit dengan kategori pemula.Maka untuk bisa sukses dalam menjahit maka kamu harus banyak prakteknya.Untuk bahan praktek usahakan dengan pola yang sangat - sangat sederhana dulu.Dan setelah berhasil membuat pola dan lanjutkan menjahitnya.Ingat pola adalah kunci keberhasilan sebuah jahitan dikatan bagus atau tidaknya nanti.Jadi bisa dikatakan jika anda sudah salah dalam penggambaran pola maka pas ketika menjahit project tersebut anda bisa bingung sendiri dalam pengerjaanya.Jadi usahakan dalam penggambaran pola dengan teliti yah.Demikian sedikit tips dan trik buat kamu yang mau belajar menjahit pakai atau baju anak,baju pria dewasa maupun baju wanita.


Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  cara mengukur badan pria untuk dibuat baju

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang  CARA MENGAMBIL UKURAN BADAN UNTUK MEMBUAT KEMEJA PRIA

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : https://lailanura.blogspot.co.id/2016/11/cara-membuat-pola-pakaian-pria.html
Continue reading Cara Membuat Pola Pakaian Pria
, , ,

7 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Saat Jahitan Bajumu Nggak Sesuai Harapan

7 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Saat Jahitan Bajumu Nggak Sesuai Harapan


1. Selama punya waktu luang di Sabtu atau Minggu, ‘kan tak ada salahnya ambil tawaran freelance yang sesuai inginmu yang beda dari jahitan tapi tetap mendukung bidang jahitanmu.
2. Santai dan tak harus sempurna sekali, karena yang penting jahitanmu rapi
3. Ambil ilmu yang sekiranya bermanfaat, setidaknya apa yang kamu lakukan sekarang tak sia-sia
4. Minta bayaran yang sesuai kesulitan pola baju orderan, karena kadang uang bisa jadi penghibur saat orderan  tak menyenangkan hati
5. Ada kalanya kamu memang harus mengikuti alur dahulu supaya punya bekal untuk menciptakan jalanmu sendiri
6. Membantu orderan jahitan temanmu yang menurutmu menarik, ya serabutan sedikit ‘kan tak apa selama tugas utama terkendali
7. Karena kerja harus pakai hati, kalau memang tak membuatmu nyaman kenapa tak menolak dulu orderan dengan memberikannya ke teman penjahitmu yang lain.
#jahitku #jogja #jogjaku #kursusjahit #infojogja #jogjakarta #fashiondesign #fashionschool #mesinjahit #kebaya #internationalfashionbusiness #businessfashionschool #bisnisfashion #businessmode #sekolahfashion #sekolahmode #shortcourse #fashioncourse #kursusfashion #fashiondesigner #fashionlife #fashioncareer #fashionshow #peragaanbusana
Continue reading 7 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Saat Jahitan Bajumu Nggak Sesuai Harapan
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

51. (ANONIM)

51. (ANONIM)

Lebaran di Jogja...
      Tahun ini aku memutuskan untuk berlebaran di Jogja saja, sedangkan adik laki-lakiku yang baru tahun pertama kuliah di UGM bersikeras untuk berlebaran di rumah. Sebenarnya aku ingin sekali ikut pulang dan berlebaran dengan keluargaku di rumah, tetapi sebagai kakak pertama aku harus berpikir lebih dewasa lagi dalam menyikapi hal ini. Perekonomian keluargaku semenjak Ayahku meninggal 3 tahun yang lalu tidak cukup baik, maksudnya adalah kami harus lebih berhemat dalam mengeluarkan biaya sehari-hari. Aku pikir jika kami berdua sama-sama pulang, maka biaya transportasi akan semakin membengkak. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berlebaran di Jogja saja.
      Menyikapi keputusanku ini, aku dan Ibuku yang berada di Depok melakukan perundingan via telepon dan akhirnya disepakati bahwa aku akan tetap berlebaran di Jogja dan adikku pulang ke rumah. Disepakati pula bahwa pada lebaran hari pertama, Ibuku akan berlebaran di rumah bersama adikku dan beliau akan ikut pulang ke Jogja bersama kakak-kakak beliau (bude-budeku) saat lebaran hari kedua untuk bertemu denganku di lebaran hari ketiga. Karena beliau ikut dengan kakak-kakaknya dengan bermobil dari Jakarta ke Jogja, maka Ibuku tidak bisa bertemu denganku di kos, tetapi kami janjian di rumah Pakdeku yang berada di daerah Sleman. Waktu kami berdua bertemu juga tidak lama, hanya selama 3 hari dan seluruh waktu itu pun tidak kami lalui berdua saja. Dan lagi-lagi karena ikut rombongan saudara, maka kami lebih sering pergi bersama ke rumah saudara-saudara kami di daerah Wonogiri.
        Berdasarkan cerita saya di atas, maka dapat dianalisis bahwa dalam berunding dengan Ibu saya, kami memilih jalan penyelesaian yang problem solving dengan mencari solusi yang win-win. Teknik yang kami gunakan dalam memecahkan permasalahan di mana akan berlebaran bertukar prioritas atau logrolling. Prioritas saya adalah bertemu dengan Ibu saya saat lebaran dan prioritas Ibu saya juga bertemua saya ketika lebaran dengan ikut rombongan saudara agar dapat menekan biaya. Maka, kami berdua mengalah pada waktu limit yang ada dan tidak bertemu di tempat yang lebih privasi lagi, yaitu di kos saya sendiri. Demand saya adalah bertemu dengan Ibu saya dalam waktu yang lama di kos, goal saya adalah bertemu dengan Ibu di rumah saudara dengan waktu ang cukup lama, dan limit saya adalah bertemu dengan Ibu saya di tempat saudara dengan waktu sempit. Dan sepertinya karena keadaan dan tidak ada pilihan lagi, saya hanya dapat mencapai limit daripada saya perceived cost failure dengan tidak bertemu sama sekali dengan Ibu saya di lebaran tahun ini.

52. Candra Hamdika Rahman
Akhirnya Idul fitri pun tiba. Idul fitri merupakan saat yang tepat untuk berkumpul serta menjalin dan mempererat tali silaturahmi dengan sanak keluarga dan para kerabat. Seperti tahun sebelumnya setelah Idul Fitri, saya dan beberapa teman SMA menyempatkan waktu untuk bertemu guna bersilaturahmi dan berkumpul karena kami kuliah di kota yang berbeda-beda sehingga sulit sekali untuk bertemu. Pada hari kedua Idul Fitri kami sepakat untuk bertemu di suatu tempat makan di kota kami. Saya dan empat orang teman bertemu kemudian saling bercanda sambil mengobrol. Pada saat itu saya mengusulkan untuk berekreasi pada esok harinya.  Teman saya yang lain setuju untuk pergi rekreasi, namun mereka masih bingung menentukan tempat untuk pergi berekreasi karena budget masing-masing tidak cukup banyak. Ada yang mengusulkan ke pantai, tapi usulan itu ditolak karena kami sudah sering ke pantai jadi agak membosankan. Kemudian fadil, teman saya, mengusulkan untuk pergi ke Puncak-Bogor. Tiga orang teman saya yang lain pun setuju untuk pergi ke Puncak. Saya bilang tidak setuju pada mereka, karena menurut saya di Puncak membosankan. Paling yang dilakukan hanya melihat pemandangan dan foto-foto saja. Saya mengusulkan untuk pergi ke tempat rekreasi air saja seperti Atlantis Water Adventure di Ancol,Ocean Park atau Water Boom di Cikarang. Saya memberikan alasan pada mereka kalau pergi ke taman rekreasi air lebih menyenangkan. Banyak yang bisa dilakukan daripada pergi ke puncak. Ada yang setuju tetapi ada juga yng tidak. Kemudian untuk lebih meyakinkan saya melakukan pembandingan biaya, untuk membandingkan ke tempat mana yang biayanya jauh lebih efisien dan murah. Setelah dibandingkan, ternyata pergi ke Ocean Park jauh lebih murah daripada pergi ke puncak.  Teman-teman saya tetap tidak setuju karena mereka ingin tetap pergi ke Puncak dan mereka mengusulkan kalau pergi ke Ocean Park minggu depan saja. Saya agak malas kalau pergi minggu depan, karena takut uang saku saya sudah keburu habis.  akhirnya saya menawarkan usul kami pergi ke Puncak di pagi hari, kemudian kami pergi ke Ocean Park pada waktu siang hari karena kebetulan arah ke Ocean Park searah dengan perjalanan pulang kami. Setelah melakukan perhitungan biaya lagi, ternyata tidak melebihi budget masing-masing orang. Akhirnya mereka pun setuju dengan usulan saya.
posisi saya adalah mengusulkan pergi rekreasi. Kepentingan saya adalah pergi rekreasi ke taman rekreasi air. Yang menjadi batasan adalah masalah biaya. Gaya berkonflik saya adalah collaborating. Taktik yang saya gunakan adalah bridging,dengan membuat kegiatan rekreasi ke dua tempat dalam satu hari. Strategi yang saya gunakan adalah problem solving. Hasil negosiasi adalah win-win (problem solving).

53. Yazid
Pegadaian
      Hari Idul Fitri 1429 H memang membawa banyak berkah, contohnya saja keluarga besar saya yang pada lebaran kali ini menyempatkan waktu untuk bersilaturahmi bersama-sama. Salah seorang kakak sepupu saya yang kuliah di Bandung berencana akan pulang pada H-1. Berhubung Bandung dekat dengan Bogor, saya pun menyarankan kakak saya itu untuk pulang membawa serta kendaraan roda dua nya sebagai transportasi mudik pilihan dibanding bus atau bahkan kereta api. Namun ia berkilah bahwa melelahkan menggunakan sepeda motor untuk pulang mudik walaupun jarak Bandung-Bogor tidak terlalu jauh, sekitar 2-3 jam perjalanan. Kembali perihal keamanan menjadi faktor utama saya memintanya pulang dengan sepeda motor, keamanan berupa resiko kehilangan karena pencurian di tempat tinggal sementaranya di Bandung tentu saja, karena masalah keamanan di jalan raya saya pikir kakak saya tersebut sudah dapat mengatasinya karena dia mengerti betul kewajibannya di jalan raya seperti apa, disamping memang dia sudah profesional menggunakan kendaraan yang satu itu. Namun tidak seperti biasanya ia menolak hanya karena malas. Akhirnya setelah beberapa waktu kami berdebat ringan, lalu tercetuslah sebuah ide untuk mengurangi bahkan menghilangkan resiko pencurian sekaligus tanpa harus pulang mudik menggunakan motor. Dengan menggadaikan motor di Pegadaian, tidak lain adalah menitipkan motor tersebut dengan kompensasi dana sebagai pengganti resiko kehilangan dan bunga yang nanti dibayarkan dianggap sebagai biaya penitipan semata. Saya pun baru menyadari mekanisme Pegadaian dapat dimanfaatkan seperti itu. Pegadaian, memang menyelesaikan masalah tanpa masalah!
      Negosiasi diatas merupakan salah satu yang simpel menurut saya karena dengan hanya expanding the pie muncul solusi atas suatu hal yang kami perdebatkan. 

54. Fatimah Marylin
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tradisi pada saat lebaran tiap tahun keluarga kami selalu menyantap menu yang sama yaitu opor ayam,sambel goreng,dll. Namun sejak beberapa tahun belakangan (seingat saya sejak saya SMP) ibu saya mengganti menu ketupat dengan lontong. Entah kenapa pada saat lebaran kemarin saya sangat ingin menyantap ketupat, maka saya menyatakan keiginan saya pada ibu saya jauh hari sebelum lebaran. Tentu saja ibu saya menolak dengan alasan lontong lebih praktis karena bisa dipesan 2 hari sebelum lebaran sehingga ibu saya tidak perlu repot-repot memasak, sementara bila menggunakan ketupat tentu saja akan sangat repot sekali karena harus membeli bungkusnya, memasukkan beras, mengukus (atau merebus?),dll. Karena saya sangat ingin makan ketupat dan merasakan kembali lebaran ketupat seperti dulu, maka saya berusaha menyampaikan argumen mengapa dahulu ibu bisa menghidangkan ketupat namun lama-lama berganti menjadi lontong? Yang kemudian dijawab oleh ibu saya dikarenakan dahulu belum serepot sekarang, karena dulu ketika kami tinggal di jakarta, tidak banyak tamu yang akan datang kerumah sehingga memasak ketupat walau sedikit juga tidak masalah, sementara di solo yang merupakan kampung halaman ayah saya, jika lebaran tentu saja keluarga ayah yang banyak sekali akan berkumpul di rumah saya dan menggunakan lontong akan lebih praktis. Tidak ingin menyerah, saya mengajukan usul saya akan membantu ibu saya dalam memasak ketupat tersebut nantinya, yang kemudian ditolak dengan tegas oleh ibu saya, sedangkan ke dapur saja saya jarang sekali, mana mungkin saya bisa membantu beliau memasak, ketupat pula. Saya rasanya kesal sekali karena saya ingin sekali makan ketupat sekali saja pada saat lebaran, namun ibu tidak mau menuruti keinginan saya. Kemudian saya kembali memberi argumen pada ibu saya, jika lontong dapat dipesan, bagaimana kalau ketupat dipesan juga, sepertinya melihat saya begitu gigih ingin makan ketupat ibu saya mengatakan akan memikirkan terlebih dahulu  usul saya tersebut. sehari sebelum hari lebaran ibu mendatangi saya dengan sekeranjang ketupat, rupanya ibu saya memesan ketupat pada tetangga pembantu saya di desanya yang sehari-hari berjualan ketoprak, yang setuju karena ibu saya hanya memesan dalam jumlah sedikit, sisanya ibu tetap memesan lontong seperti biasanya. Pada hari lebaran kami lebaran ketupat dan lontong, tentu saja saya sangat senang karena bisa merasakan lebaran ketupat lagi.^_^
    Saya mencoba menerapkan syarat-syarat negosiator yang baik seperti dalam film thank you for smokig, namun sepertinya belum berhasil. Seperti misalnya menggunakan argumen yang masuk akal (mencoba membantu ibu saya memasak), namun saya setidaknya telah mencoba mengerti posisi dan kepentingan ibu saya yang tidak ingin repot di saat lebaran.

55. Sukmawani Bela
Hari jumat besok, saya dan dua teman saya berencana  menonton satu film yang sekarang lagi hangat diperbincangkan. Masalahnya, satu teman saya ignin nonton siang karena paginya dia kerja. Sementara temans aya yang lain ingin nonton pagi karena siangnya dia kuliah sampai sore. Saya sendiri baru bisa pulang ke Yogya jumat pagi, jadi tidak bisa nonto di hari lain sebelum itu. Mungkin tidak ada diantara kami yang melontarkan ide untuk nonton malam karena tidak ada kendaraan pribadi, sementara angkotan kota hanya sampai jam 6 malam. Kalau mau nonton weekend, selain mahal, kami sudah ada rencana masing-masing. Padahal minggu ini adalah minggu terakhir kami libur. Kami tidak yakin bisa nonton bareng kalau sudah masuk kuliah karena banyak jadwal kami yang bentrok, dan lagi filmnya pasti sudah basi.
      Akhirnya saya usul untuk pergi malam saja. Kan pulangnya bisa naik busway. Nah daripada ngeluh karena harus jalan dari kopma ke kos (shelter busway di jakal hanya di Kopma), sekalian aja nyari makan malam di lesehan jakal, kan sudah lama juga kita nggak makan bareng disana. Mereka setuju dengan usul ini.
      Menurut saya, negosiasi saya kali ini adalah problem solving. Taktik yang digunakan adalah expanding the pie, dengan menambah resource yang dipemasalahkan, yaitu waktu.

56. Melati Ayuningtyas
Sepulang dari mudik, saya dan dua orang teman saya berencana untuk mengadakan halal bi halal ke rumah guru – guru les kami sewaktu SMA.  Kami merencanakan akan berangkat pukul 09.00 dan sepulang dari bersilaturahmi,  kami akan makan bersama di warung makan langganan sewaktu SMA kemudian jalan-jalan keliling kota lalu pulang pukul 13.00. Setelah kami selesai bersilaturahmi ke rumah guru kami, seorang teman saya, sebut saja si A mengatakan kalau dia ingin sekali makan ice cream di sebuah kedai yang khusus menjual berbagai variasi ice cream, dan ia mengajak kami  untuk makan di kedai itu. Berhubung posisi saya saat itu sedang flu berat, jadi saya keberatan dengan usul si A, dan tetap seperti rencana awal untuk makan di warung langganan saja. Kepentingan kami ingin kumpul bersama, karena kami jarangbisa berkumpul. Sedangkan  teman saya yang lain, sebut saja si B, sebenarnya tidak masalah kita makan dimana, hanya saja posisi dia terbatas oleh waktu karena akan ada acara keluarga. Jadi limit kita adalah persoalan waktu. Dan rencana kami dari awal sudah diperhitungkan akan selesai paling telat pukul 13.00. Karena si A tetap bersikukuh ingin makan ice cream, akhirna saya mengusulkan untuk mampir ke indomaret membeli icecream walls, dan dimakan saat diwarung langganan saja.  Warung makan itu juga sudah langganan, dan sudah kenal dengan penjualnya, jadi tidak mungkin juga kita dikenai charge karena membawa makanan dari luar. Dan sesuai rencana awal kita pulang tepat waktu. Negosiasi diatas merupakan negosiasi kompensasi spesifik dimana satu pihak terpenuhi keinginannya dan pihak lain dihargai tetap mendapat kepentingannya meski tuntutan awal tidak terpenuhi

57. Dian Hapsari
Menemani teman ke bengkel
      Beberapa waktu yang lalu teman saya kebingungan karena rantai motornya sudah kendor dan sudah sepatutnya diganti. Kemudian dia mengajak teman lain untuk ikut menemani agar di bengkel tidak sendirian. Namun ternyata teman tersebut ada tugas yang harus dikumpulkan paling lambat sore itu juga. Dia sebenarnya bersedia mengantar, namun sepertinya wajahnya menunjukkan sedikit keberatan. Akhirnya teman saya mengajak saya untuk menemaninya. Awalnya saya berfikir ada tugas untuk esok hari namun setelah saya fikir tugas tersebut masih bisa saya kerjakan setelah mengantar teman saya. Dan lagi saya sudah melihat kondisi motornya sehingga saya menjadi tidak tega. Dalam pikiran saya jika saya menemaninya mungkin pikirannya bisa lebih tenang, karena ternyata dia juga ada tugas seperti teman saya sebelumnya. Jika teman saya tadi yang mengantar mungkin keduanya malah menjadi terburu-buru. Beruntung dia bisa sedikit mengerjakan tugasnya di bengkel karena saran saya untuk mengambil laptopnya diterima. Awalnya kami pergi ke bengkel yang ada di Gejayan. Namun ternyata disana sedang antri. Teman saya memilih bengkel tersebut karena menurut temannya disana murah. Akhirnya saya mengajak dia ke bengkel lain dengan alasan waktu. Pukul 6 sore dia masih ada urusan lain. Saya beralasan jika mencari begkel lain dia dapat pulang dan mengambil laptopnya untuk mengerjakan tugas. Untungnya dia menerima saran tersebut dan kami pindah ke bengkel yang ada di Jakal. Di bengkel tersebut  dia dapat mencicil mengerjakan tugasnya.
      Dari NL saya terlihat bahwa saya mencoba memikirkan bagaimana jika saya di posisi teman saya. Pasti saya bingung bukan main.Saya mencoba membingkai permasalahan teman saya dan menemukan jalan yang terbaik bagi kami. Memang dalam negosiasi ini saya tidak mendapat keuntungan namun paling tidak saya dapat membantu teman saya. Saya dapat menemani teman tetap bisa mengerjakan tugas saya besok karena masih memiliki waktu. Dari sini terlihat masalah teman saya bukan hanya tentang rantai motor yang sudah kendor tapi juga tentang waktu yang mendesak. Untungnya ide dan saran yang saya berikan dapat diterima dan membantu mengatasi permasalahannya.

58. Maysa Ayu
Kampanye “Safety Riding” yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian ditujukan untuk keselamatan para pengendara lalu lintas. Salah satunya ialah penggunaan helm standar hingga terdengar bunyi “klik” (pengait helm). Saya ingin sekali menaati aturan tersebut demi keselamatan saya tentunya. Permasalahannya ialah pengait helm saya rusak sejak lama. Sadar akan pentingnya alat pengaman tersebut, akhirnya saya pergi ke tempat penjualan helm di Kota Baru.
      Untuk satu set pengait helm yang terbuat dari besi dihargai Rp 8.000,00. Saya agak terkejut dengan harga yang ditawarkan karena sebelumnya saya diberitahu teman bahwa harga pengait helm hanya Rp 6.000,00. Kemudian saya menanyakan tentang pilihan lainnya yang lebih murah. Si penjual menawarkan pengait yang terbuat dari plastik seharga Rp 5.000,00. Sedikit lebih murah. Namun saya pikir bahan plastik tidak akan bertahan lama karena mudah patah. Hal tersebut diutarakan juga oleh si penjual. Akhirnya, pilihan pengait yang terbuat dari plastik saya eliminasi. Perhatian saya tertuju hanya pada pengait dari besi.
      Mengingat Rp 8.000,00 merupakan harga yang cukup mahal untuk sebuah pengait helm, saya memutuskan untuk menawar harga. Saya menentukan goal Rp 5000,00 dan limit Rp 6.000,00, sehingga saya melemparkan tawaran awal yakni Rp 4.000,00. Si penjual tampak tak bergeming. Ia tetap mempertahankan Rp 8.000,00. Selanjutnya saya tawar Rp 5.000,00. Ia tetap pada pendiriannya. Ia bilang harga itu memang sudah harga pas untuk satu set pengait serta pemasangannya. Kemudian keluarlah tawaran terakhir saya yakni Rp 6.000,00. Si penjual lagi-lagi tak bergeming. Bahkan tidak menurunkan harga sedikitpun!!!
      Saya berkesimpulan bahwa si penjual menggunakan taktik positional commitment (take it or leave it). Akhirnya, saya putuskan untuk leave it alias tidak jadi beli. Saya akan mencoba lain kali saja dan akan mencari penjual yang lain. Mungkin di suatu tempat (entah dimana) akan ada penjual pengait helm yang bisa menawarkan harga yang lebih masuk akal bagi saya.
KESIMPULAN: Isu: jual beli pengait helm
      Demand: Rp 4.000,-       Goal: Rp 5.000,-        Limit: Rp 6.000,-
     Hasil perundingan >> lose-lose
       (BATNA karena saya memutuskan untuk mencari  pengait helm di tempat yang lain)

59. Christy Kumesan
Lebaran ke Rumah Ibu Tri
      Hari raya Lebaran akhirnya tiba. Saatnya untuk saling memaafkan dan bersilaturahmi. Sehari sebelum Lebaran saya mengajak semua teman SMA saya yang sama-sama berasal dari Sorong untuk bersilaturahmi ke rumah Bu Tri. Bu Tri adalah pemilik tempat kos yang kami tinggali saat pertama kali datang ke Jogja.
      Saya mengajak teman-teman saya ke sana pada Lebaran hari kedua, tetapi ternyata sebagian besar teman saya tidak bisa karena sudah punya acara lain. Akhirnya saya mengusulkan ke teman-teman untuk bersilaturahmi pada hari ketiga, dan semua teman saya setuju. Tetapi sialnya ternyata pada hari itu Bu Tri berencana untuk pergi mengunjungi keluarganya. Saya kemudian mengajukan usul kepada Bu Tri apa kami bisa datang lebih pagi sebelum Bu Tri pergi, dan ternyata Bu Tri sama sekali tidak keberatan dengan usul saya. Kepentingan kami masing-masing bisa terpenuhi tanpa harus merubah rencana masing-masing.
      Dalam negosiasi ini posisi saya pergi ke rumah Bu Tri, posisi teman-teman saya pergi ke rumah Bu Tri pada Lebaran hari ketiga, dan posisi Bu Tri tidak menerima tamu pada Lebaran hari ketiga. Strategi yang saya gunakan adalah problem solving dan taktik negosiasi yang saya gunakan adalah taktik bertukar prioritas. Hasil yang di dapat adalah win-win solution. Dari kasus ini seorang negosiator harus dapat memisahkan isu negosiasi, tiap pihak mengalah pada yang tidak menjadi prioritas. Sehingga hasil yang di dapat dapat memenuhi kepentingan masing-masing pihak.

60. (Anonim)
Kisah ini bermula pada suatu hari yang biasa beberapa saat setelah lebaran dimulai. Temanku masa SMA, menghubungiku, memintaku untuk ikut mengisi acara syawalan sekalian reuni SMA angkatanku. Semasa SMA, aku adalah anggota band sekolah, sehingga tak heran apabila aku ditawari main dalam acara ini. Sebenarnya, walaupun ingin sekali aku ikut ke acara tersebut, sudah sejak jauh2 hari aku memutuskan tidak datang ke syawalan itu, karena syawalannya itu harus membayar sejumlah Rp **.000,00. Sebenarnya itu bukan jumlah yang terlalu banyak. Tapi, karena aku sedang dalam kondisi mengumpulkan uang, maka hal tersebut tak dapat dibenarkan. 
      Aku mencoba taktik expand the pie dengan mengatakan, "Aku mau maen asal aku nggak bayar syawalannya". Dia tentu saja protes, dia kan panitianya, "enak aja, ya harus tetap bayar dong.. Ntar kan dapet makan sama suvenir juga. Temen2 yang lain juga mbayar kok. Apa kamu gak usah dapet suvenir aja malah gak papa gak mbayar. Lagian, kalo kamu nggak mbayar tapi makan tur dapet suvenir juga, entar panitia yang tombok..".Hmm, ternyata dia nggak mempan di-expand pie-nya. Malah dia make taktik take it or leave it, dengan mengukuhkan positional commitment-nya melalui persuasive argument. Jelas, dia memilih ber-contending melawanku. OK, kalo kamu mau maen kontending-kontendingan, tak layani. Sekarang giliranku, dan aku mau pake threat, "Ya udah, yang maen kamu aja sama yang lain yang udah mbayar.." 
      Mengatakan hal seperti ini sebenarnya merupakan suatu taruhan besar. Pertemanan kami dipertaruhkan, legitimasinya sebagai panitia dipertaruhkan, dan kapasitasku sebagai anak band dipertaruhkan. Tapi aku yakin aku menang.
      Dan dia pun berkata. "Ya udah deh gak papa, tapi jangan bilang yang lainnya ya. Bilang aja kamu udah bayar ke aku." AHA, sesuai perkiraan dia kalah. Lalu dia melanjutkan, "Tapi ntar kamu mbawain tiga lagu ya?" Aku bilang saja "Nggak masalah", karena memang itu bukan masalah buatku. Dia senang sekali, "Alhamdulillah, makasih banget ya.. Yang penting besok tampilnya yang baik ya. Makasih..". Kasihan. Rasa-rasanya dia dalam kondisi prisoners win

61. Puput Akad N
Hari Rabu kemarin (8/10), saya bersama adik saya yang masih SD berniat untuk menonton film Laskar Pelangi. Oleh karena itu, kami pun pergi ke bioskop yang terletak di sebuah mal di Solo. Kami berangkat dari rumah pagi pagi (jam 9.00) agar tidak kehabisan tiket. Ketika sampai di loket, ternyata kami terlambat, tiket untuk pemutaran hari itu sudah habis terjual. Saya maklum karena film Laskar Pelangi pada waktu itu memang sedang booming.
Akhirnya saya dan adik saya memutuskan untuk beralih ke bioskop lain, siapa tahu masih ada. Di bioskop kedua, ternyata tiket untuk pemutaran hari itu masih ada tapi untuk jam 14.00 ke atas. Menurut saya, pemutaran jam segitu tidak masalah asal saya bisa menonton Laskar Pelangi hari itu karena liburan saya di Solo hanya tinggal beberapa hari lagi. Kalau harus menonton besok, saya takut tidak sempat. Tapi saya juga memikirkan keadaan adik saya. Sebagai anak kecil, dia pasti capek jika harus jalan-jalan seharian. Apalagi kami tadi berangkat pagi pagi dari rumah.
Maka saya menelepon ibu saya untuk meminta ijin. Rupanya ibu saya tidak mengijinkan kami menonton pada jam segitu. Menurut ibu saya, pemutaran pada jam segitu terlalu sore padahal besok adik saya sudah harus masuk sekolah. Ibu saya takut kalau jalan-jalannya sampai sore, adik saya bakal capek. Mendengar penolakan ibu, saya merasa kepentingan saya terancam. Saya pun melakukan negosiasi dengan ibu. Pertama-tama, saya menggunakan taktik menyerang yaitu time pressure. Saya selalu menekankan pada ibu saya, jika saya tidak menonton Laskar pelangi hari itu, saya tidak akan punya kesempatan lagi untuk menontonnya karena lliburan sebentar lagi berakhir dan saya harus kembali ke Jogja. Rupanya taktik saya sedikit berhasil untuk meyakinkan ibu saya.
Agar negosiasi yang saya jalankan semakin berhasil, kemudian saya menggunakan taktik kedua yaitu dengan menawarkan kompensasi nonspesifik. Saya berjanji kepada ibu, saya akan menjaga adik saya agar tidak kecapekan. Karena kebetulan di ruang tunggu di bioskop itu ada sofanya yang bisa digunakan adik saya untuk tidur-tiduran selama menunggu pemutaran dimulai. Rupanya ibu saya setuju dengan usul saya tersebut sehingga negosiasi tersebut dapat berakhir problem solving. Karena baik kepentingan saya untuk menonton Laskar Pelangi pada hari itu dan kepentingan ibu saya agar adik saya tidak kecapekan besoknya juga tercapai.

62. Bernadeta Firstiana
Basket vs Syawalan
      Selama liburan ini, jujur, saya tidak memiliki pengalaman bernegosiasi yang istimewa. Awalnya saya sempat bingung akan menulis apa untuk NL kali ini. Saya terinspirasi oleh kejadian yang dialami adik saya, Axcel pada saat liburan lalu. Saya memang terlibat dalam negosiasi kali ini, tapi hanya sekadar memberikan opsi lainnya saja.
      Pada tanggal 5 Oktober 2008, keluarga saya diundang untuk menghadiri syawalan atau halal bihalal di kediaman eyang di Jogjakarta. Eyang yang dimaksud memang bukan eyang kandung (orangtua dari bapak), tetapi saudara dari eyang kandung saya. Karena sifat kebersamaan dalam keluarga saya begitu kental, maka saudara yang hitungannya jauh pun tetap diundang. Kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan apa yang akan dikenakan pada hari syawalan tersebut dan seluruh anggota keluarga dapat hadir. Tiba-tiba pada hari Sabtu, 4 Oktober 2008 adik saya yang bernama Axcel bilang bahwa hari minggu besok ternyata ada pertandingan basket persahabatan antara sekolahnya dengan tamu dari Semarang. Dia berkata bahwa tak mungkin tidak ikut karena dia adalah salah satu pemain inti. Orang tua saya mendukung adik saya untuk mengikuti pertandingan basketnya daripada ikut syawalan. Sayang sekali adik saya sudah ngidam opor ayam yang akan menjadi salah satu hidangan di acara tersebut. Kebetulan ibu saya yang biasanya masak opor, kali ini tidak karena harga ayam yang melonjak. Alhasil adik saya yang suka makan sudah ngidam opor semenjak awal lebaran. adik saya dengan berat hati harus memutuskan akan ikut yang mana. Pihak keluarga tidak membebani Axcel untuk memilih. Kalau Axcel tidak ikut ke Jogja, berarti mobil menjadi agak lega dan dia tetap bisa mengikuti pertandingan basket. Tetapi dia akan tetap ngidam opor hingga tahun depan..(mungkin;p). Setelah dipikirkan lagi, Axcel mencoba untuk menghubungi pelatihnya untuk bertanya apakah dia bisa ijin pada saat pertandingan esok. Ternyata dia mendapatkan ijin untuk syawalan asalkan pada pertandingan berikutnya bisa datang. Akhirnya Axcel memutuskan untuk mengikuti syawalan dan meninggalkan pertandingan persahabatannya.
      Dari negosiasi di atas, posisi adik saya adalah makan opor ayam sedangkan posisi kedua orangtua saya adalah datang syawalan. Hasil yang diperoleh dari negosiasi di atas adalah win-win karena adik saya tetap mendapatkan kedua hal yang diinginkan yaitu makan opor ayam dan mengikuti pertandingan basket,  walaupun basketnya harus di undur pelaksanaannya. Gaya negosiasi yang dipraktekan adalah kolaboratif dengan strategi berunding pemecahan masalah

63. Paradika Galih
Mudik! Pulang ke kampung halaman! Kegiatan sebagian besar orang Indonesia pas mau Lebaran. Salah satu masalah yang paling bikin pusing yaitu transportasinya. Saya juga menghadapi masalah yang sama. Saat pesan travel untuk pulang ke Malang saya diminta untuk datang ke kantor travel untuk mengambil tiket. Sebenarnya ini tidak biasa, tiket travel biasanya diberikan saat kita dijemput, tetapi kata petugasnya soalnya ini Lebaran. Saya menggunakan taktik menyerang dengan menggunakan ”alasan persuasif”. Saya mencoba meyakinkan si petugas kalau saya kesulitan mengambil tiket ke kantornya dan memang benar! Entah kenapa dosen-dosen memberi tugas buanyak sebelum liburan. Tetapi petugas travelnya ternyata pandai juga, ia menggunakan taktik menyerang juga, ”kukuh pada posisi” (positional commitment). Dilihat dari segi Bargaining position, posisi saya agak lebih lemah dari dia, karena sayalah yang perlu tiket untuk pulang ke Malang. Untuk sementara saya mengalah dan menerima persyaratannya.
      Setelah selesai saya mempertimbangkan pilihan-pilihan lain yang saya miliki dan mencoba mencari solusi terbaik (BATNA). Saya bisa meminta teman untuk mengambil tiketnya (mereka juga sibuk, gak mungkin kayaknya). Saya bisa mencari alat transportasi lain (kereta sisa tinggal ekonomi, bus juga berjubel apalagi kalau dapat Sumber Kencana (Sumber Bencana). Tidak ah, masih sayang nyawa). Atau saya bisa mencoba travel lainnya. Saya pilih pilihan terakhir ini. Saya telepon ke agen travel lain dan ternyata meraka tidak meminta penumpangnya untuk mengambil tiket ke kantornya. Nah ini dia, saya ambil travel agen yang kedua dan membatalkan travel yang pertama. Travel yang kedua ternyata memiliki harga tiket yang sama ditambah makan malam gratis. Jadi saya pikir saya justru unutung dengan memilih travel agen yang kedua.

64. Suci Noor
Kisah ceritanya ini terjadi waktu aku mudik lebaran. Aku mengajak saudaraku untuk hang out bareng ke mall.Tapi saudaraku menolak permintaanku karena ia sudah terlanjur janjian dengan temannya di salah satu mall.
Hmm...karena saat itu aku pengen banget hang out ke mall bersama saudaraku, akhirnya ku cari jalan keluar bagaimana caranya agar keinginanku bisa tercapai dan keinginan saudaraku itu pun tercapai juga. Pikir punya pikir ga membuat rambutku semakin putih beruban karena kebanyakan mikir,hehehe...
akhirnya aku temukan jalan keluarnya, horeeeeee.... aku menyampaikan ke saudaraku kalau aku benar - benar ingin ke mall hang out bersama saudaraku nan ku cintai itu, dan kebetulan ia pun janjian dengan temannya di mall yang sama yang ingin ku kunjungi bersama saudaraku. Lalu aku menanyakan pada saudaraku itu, apakah janjian ma temannya ini merupakan suatu yang penting yang tidak bisa di ganggu oleh kehadiran orang lain dan aku mengusulkan bagaimana bila aku dan dia tetap pergi ke mall hang out bersama dengan temannya itu. Dan ternyata saudaraku mengatakan bahwa ini cman hang out biasa, saudaraku sangat menyetujui ideku itu untuk hang out bersama sekaligus dengan ku dan temannya itu.
Dari cerita ini, saya mencoba membuat bridging antara saya saudara saya dan teman saudara saya. Kepentingan saya adalah hang out di mall dan tuntutan saya adalah perginya bersama saudara saya. Sedangkan saudara saya kepentingannya sama yaitu hang out di mall dan tuntutannya janjian ma temannya di mall. Dari dua kepentingan yang sama itu saya mencoba menjembataninya dengan problem solving. Dan akhirnya saya bisa.hehehe...

65. Angga Rendityan
 Kemarin saya berencana pergi ke pantai bersama dengan teman-teman. Teman-teman saya berencana pergi ke pantai Baron sedangkan saya ingin pergi ke pantai Nampu. Teman-teman saya ingin pergi ke pantai Baron karena di sana bisa dipakai untuk berenang selain itu teman-teman saya juga sudah tahu jalan ke sana karena sudah biasa pergi ke Baron. Tapi saya tidak ingin ke Baron karena sudah biasa ke sana dan pantainya kotor sedangkan bila pergin pergi ke pantai Nampu karena selain belum pernah ke sana kami bisa sekalian jalan-jalan. Sehingga saya mencoba membujuk teman-teman saya dengan memberikan alasan apabila kami pergi ke pantai Nampu jarak yang kami tempuh lebih pendek disana juga bisa dipakai berenang dan pantainya lebih bersih. Setelah dengan mengeluarkan beberapa argumen akhirnya teman-teman saya mau pergi ke pantai Nampu.
      Posisi saya adalah ingin pergi ke pantai Nampu dan kepentingan saya adalah karena jaraknya lebih dekat dan pantainya lebih bersih. Sedangkan posisi teman-teman saya adalah ingin pergi ke pantai Baron dan kepentingannya adalah bisa berenang di pantai. Negosiasi di atas adalah bargaining dan gaya berkonfliknya adalah competing sedangkan strategi berundingnya adalah contending. Taktik yang saya gunakan adalah persuasive argument. Tuntutan tertinggi saya adlah pergi ke pantai Nampu, limit saya adalah mengalah dan ikut pergi ke pantai Baron bersama teman-teman saya dan goal saya adalah pergi ke Nampu. Hasil dari negosiasi ini adalah sama dengan demand saya di mana tuntutan saya terpenuhi. 

66. Dyah Anggraeni
Lebaran hari pertama saya dan keluarga menghabiskan waktu di rumah eyang dari ibu di Solo. Sedangkan hari kedua lebaran, kami sekeluarga memiliki jadwal untuk pergi ke Magelang mengunjungi eyang dari ayah dan sanak saudara disana.
      Sehari sebelum hari lebaran, seorang teman ayah dari Semarang menelepon dan meminta tolong pada ayah untuk mencarikan hotel di Solo. Karena teman ayah memiliki agenda untuk menghadiri acara Halal Bihalal yang diselenggarakan di Solo. Malam itu juga ayah berusaha unuk memesan kamar kosong hotel. Ternyata moment lebaran ini menyulitkan ayah untuk memesan kamar. Hampir semua hotel yang kami kunjungi telah habis terpesan.
      Kemudian saya pun memberikan usul pada ayah, bagaimana kalau menawarkan teman ayah dan keluarga untuk menginap di rumah kami saja. Toh, dihari kedua lebaran saya sekeluarga akan pergi ke Magelang. Kebetulan solusi yang ditawarkan langsung disetujui oleh teman ayah. Menurut saya solusi itu dapat menguntungkan kedua phak. Teman ayah mendapat tempat untuk menginap di Solo. Dan kami sekeluarga pun merasa tenang meninggalkan rumah tidak dalam keadaan kosong. Jadi kami merasa lebih aman.
      Menurut saya, penyelesaian dari negosiasi diatas adalah bentuk problem solving. Dimana solusi dapat mengakomodir kepentingan dari dua belah pihak. Posisi teman ayah adalah mendapatkan tempat menginap di solo, dengan kepentingan mendapatkan tempat menginap di solo agar dapat meghadiri acara Halal Bihalal di solo. Sedang posisi ayah adalah ingin teman ayah menginap di rumah. Dengan kepentingan sebagai bentuk bantuan sekaligus memberikan keuntungan untuk menjaga rumah kami sementara kami pergi. Dari keuntungan yang kami dapatkan, negosiasi ini dapat digolongkan sebagai non specific compensation. Dimana, teman ayah dapat memberikan kompensasi diluar negosiasi yang berjalan.

67. Ryan Gilang
Negosiasi ini terjadi sekitar dua minggu yang lalu sebelum libur lebaran. Saat itu aku ingin menonton film “Laskar Pelangi”, aku sebisa mungkin menonton sebelum mudik karena bila sudah di rumah akan sangat sulit untuk nonton karena banyak keluarga yang datang atau harus ke sana-sini. Namun karena film “Laskar Pelangi” baru di liris 2 hari menjelang liburan maka kemungkinan untuk mendapat tiket sangat sulit. Oleh karena itu aku harus antri dari pagi untuk mendapat tiket. Namun pada hari-hari itu aku ada kuliah pagi, aku bisa saja nonton malam hari namun tetap sajaharus antri dari pagi untuk mendapat tiket. Sehingga aku mencari seseorang yang mau mengantrikan tiket untukku. Alu setelah bertanya siapa yang punya waktu untuk antri tiket pagi hari (tracking/mencari informasi) akhirnya ketemulah Agung. Lalu aku memintanya untuk membelikan aku tiket , sebenarnya dia mau-mau saja karena dia punya waktu dan juga ingin nonton film “Laskar Pelangi”. Namun ada satu masalah, motornya sedang diservis buat persiapan mudik jadi sementara dia tidak punya alat transportasi sehingga dia malas keluar. Lalau aku tawarkan kalau dia mau membelikan aku tiket dia bisa pinjam motorku selagi aku kuliah dan pada malamnya kita bisa berangkat nonton bersama. Lalu kami pun sepakat.
      Dari negosiasi di atas, posisiku adalah meminta bantuan teman untuk membelikan tiket. Dan kepentinganku adalah aku ingin dapat tiket karena ingin secepat mungkin nonton film “Laskar Pelangi” sebelum liburan. Negosiasi di atas memiliki isu yang jamak, isu pertama adalah tentang membeli tiket dan kemudian ditambah dengan meminjami motor. Dalam negosiasi di atas gaya berkonflikku adalah Kolaboratif dengan strategi berunding Problem Solving karena dalam bernegosiasi kedua pihak saling memperhatikan kepentingan masing masing, dalam hal ini dengan aku meminjamkan motor maka masalah kesulitan transportasi temanku terpecahkan dan sebaliknya kepentinganku mendapat tiket terpenuhi. Taktik yang digunakan adalah memotong biaya (cost cutting), karena dia membelikan aku tiket aku menanggung bebannya dalam hal transportasi. Negosiasi di atas mengasilkan hasil yang win-win solution, hasil yang membuat puas keduanya karena terjadi kesepakatan atau titik equilibrium yang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Tuntutan tertinggi (demand) dan perkiraan kesepakatan (goal) yang aku ajukan sejak awal adalah sama yaitu meminta bantuan temanku untuk membelikan aku tiket karena sejak awal aku memang berniat utuk membuat perundingan yang saling menguntungkan.

68. Rifky Darmawan
Membeli Sepatu Baru
Lebaran telah tiba. Sebelumnya saya mengucapkan Minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Salah satu tradisi lebaran adalah baju baru, tapi untuk lebaran tahun ini aku lebih membutuhkan sepatu baru untuk kuliah daripada baju baru. Berbeda dengan sepatu lebaran lainnya, sepatu baruku itu baru bisa aku dapatkan setelah hari H lebaran, bukan sebelum hari H lebaran, karena aku membelinya di kampung halamanku. Aku sengaja mengatakan niatku itu pada ibuku, akhirnya ibuku mengajakku ke sebuah pasar tradisional yang menjual sepatu-sepatu berkwalitas bagus dengan harga murah, karena sepatu-sepatu itu adalah sisa ekspor. Jatuhlah pandanganku pada sebuah sepatu berwarna putih bertuliskan Adidas yang dibungkus rapi dalam plastik. Ternyata harga yang ditawarkan cukup mahal bagiku yaitu 130 ribu rupiah, mengingat lokasi penjualan yaitu pasar tradisional. Peran dimulai, mendengar harga itu, aku dan ibuku langsung saja pergi, karena kami bingung berapa harga yang harus kami tawarkan. Tiba-tiba penjual langsung menawarkan untuk menurunkan harga. Dia langsung meminta 70 ribu rupiah. Aku berpura-pura jual mahal dengan berkata bahwa ada harga yang lebih murah di toko lain, padahal aku tidak tahu. Ibuku lalu mencoba menawar dengan harga 40 ribu rupiah. Menurut ibuku, 40 ribu pas untuk harga sepatu itu. Saya berusaha menekan si penjual lagi dengan berkata bahwa ada jahitan yang terlepas, jadi kami tidak mungkin membayar mahal. Lalu aku mengambil sepatu itu dan memasukkannya dalam plastik sepatu dan meminta penjual memasukkannya ke tas kresek. Dan berhasil, akhirnya kami hanya membayar 40 ribu rupiah untuk sepatu itu.
Analisis :
Dari kasus ini, maka posisi saya dan ibu adalah sepatu, sedangkan posisi penjual adalah penjualan (barangnya laku). Kepentingan saya dan ibu yaitu mendapatkan sepatu baru dengan harga murah, sedangkan kepentingan penjual yaitu barang dagangannya laku terjual dengan mendapatkan untung. Isunya tunggal yakni yang tawar menawar harga sepatu. Konteksnya adalah tim vs. tunggal. Hasilnya win-lose. Strategi berunding yang saya dan ibu gunakan adalah bargaining. Taktik berundingnya adalah bad cop-good cop, saya sebagai bad cop dan ibu sebagai good cop. Saya berusaha menekan supaya penjual memberikan harga murah, sedangkan ibu saya memberikan penawaran secara nominal jumlah harga yang kami inginkan.

69. Bhasmara Pramudita
Lima hari terakhir puasa saya habiskan di Jakarta bersama keluarga. Suatu hari, karena ibu saya tidak masak di rumah maka kami memutuskan untuk makan di luar untuk buka puasa. Namun kemudian muncul masalah ketika menentukan lokasi tempat makan. Tiap-tiap dari kami mengusulkan lokasi yang berbeda-beda untuk dijadikan tujuan tempat makan, sesuai dengan jenis makanan yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Kakak saya inginnya buka puasa dengan nasi goreng, dan ibu saya mengusulkan untuk membeli martabak saja, sementara bagi ayah saya yang penting harus ada kolak untuk buka puasa. Sedangkan saya sendiri sudah beberapa hari ini “ngidam” ingin makan siomay tapi belum kesampaian. Untuk beberapa saat, masing-masing tetap bertahan pada keinginannya sehingga sulit tercapai titik temu bagi persoalan ini. Karena waktu terus berjalan sementara saat buka puasa hampir tiba dan keputusan belum juga disepakati, saya kemudian menawarkan opsi bagaimana jika buka puasa di lakukan di sebuah food court di daerah Menteng saja (namanya kalau gak salah ‘Menteng Food Square’). Kebetulan sebelumnya saya pernah melihat informasi tentang tempat itu di televisi, dan saya rasa di situ akan ada banyak jenis makanan yang sesuai dengan keinginan kami semua. Memang tempat itu lokasinya lumayan jauh dibandingkan opsi-opsi awal yang diajukan sebelumnya, tapi toh pada akhirnya akan dapat mengakomodasi keinginan semua pihak. Dan ternyata, opsi tersebut dapat diterima.
Dalam contoh perundingan diatas, saya menggunakan taktik berunding berupa bridging (menjembatani) guna mendapatkan hasil yang problem solving. Setelah sebelumnya mencoba menganalisa apa yang sebenarnya menjadi underlying concern dari tiap pihak, saya menawarkan sebuah opsi alternatif yang dapat memenuhi semua kepentingan dari masing-masing pihak secara bersamaan. Walaupun pada dasarnya posisi awal (initially stated position) dari tiap pihak tidak dapat terpenuhi melalui hasil akhir yang didapat dalam perundingan (lokasi yang diajukan tiap pihak tidak diterima), namun pada akhirnya semua kepentingan utama dari masing-masing orang dapat terakomodasi dengan baik (semua mendapat makanan yang diinginkan).
Isu yang terdapat dalam perundingan ini adalah jamak, dari yang tadinya hanya menyangkut lokasi tempat makan kemudian berkembang atau bertambah menjadi jenis makanan. Dalam perundingan ini, saya juga sedikit menggunakan taktik time pressure dengan menekankan terbatasnya waktu yang ada atau tersisa. Hal ini dimaksudkan agar tiap-tiap pihak tetap fokus dan kembali pada pokok perundingan sehingga hasil yang no agreement dapat terhindarkan, serta membuka peluang untuk tercapainya hasil yang problem solving

70. Danang Arif Hidayat
 Negosiasi kali ini terjadi sehari setelah Idul Fitri, kami bernegosiasi di rumah Budi setelah berkeliling ke rumah teman-teman. Sebenarnya kami berlima namun yang terlibat aktif sampai akhir adalah kami: Budi, Indra, dan tentu saja saya. Dan yang terlibat dalam kasus ini adalah Budi, Indra dan pacar baru Budi (Nana)
     Setelah berkumpul di halaman rumah Budi tanpa disengaja kami memulai diskusi, dari hal yang sepele sampai ke hal yang rumit, namun tiba-tiba Indra dan Budi membahas masalah mereka. Kemudian diskusi kami menjadi sebuah arena negosiasi. Agak janggal rasanya, sebab saat itu waktu menunjuk pukul 1 malam.
     Background: Budi mempunyai Hp 2 buah, yang Nokia menggunakan kartu Simpati (nomer utama dan selalu dibawa), dan  Motorola menggunakan kartu Im3, mempunyai pacar baru belum menceritakannya pada Indra. Indra, menggunakan kartu Im3 dan akan pulang dari Cikarang pada hari senin. Beberapa hari sebelum kepulangannya Indra sudah memberitahu Budi, dan meminta tolong padanya untuk bertemu dan sekaligus menjemputnya di bengkel Kirno. Namun, pada hari Senin, Budi ternyata tidak datang.
     Negosiasi  Indra-Budi cukup alot dan sangat lama, sebab kedua pihak saling menyalahkan dan merasa diri mereka masing-masing benar, tidak menuju pada penyelesaian. Indra menyalahkan Budi dan secara tidak langsung Nana. Namun Budi menyangkalnya, bahwa dia sudah menyampaikan sejak lama bahwa simpatinya adalah nomer utamanya, dan karena Nana membutuhkan koneksi Internet (dengan Hp), namun ketika Indra SMS Nana sedang bepergian dan tidak membawa HP karena khawatir. Kemudian Budi balik menyalahkan Indra kenapa tidak menghubungi ke nomer simpatinya. Indra menjawab dengan sejumlah argument yang menguatkannya, ia menginginkan efisiensi (asumsi menghubungi ke sesame operator lebih mudah dan murah), dan kebiasaan Budi membawa kedua HPnya. Indra balik menyalahkan Budi, dan seterusnya.
     Setelah cukup lama saya mendengarkan, saya menghentikan pembicaraan mereka (juga karena hal yang dibahas itu-itu saja) dan berusaha menyampaikan kesimpulan saya  tanpa menyalahkan salah satu pihak dan tidak memihak. Bahwa sebenarnya masing-masing pihak mempunyai kesalahan, Indra, menghubungi Budi dengan mengirim pesan singkat ke nomer im3 Budi, itupun dilakukan lagi setelah 3 jam. Mengapa tidak mencoba menghubungi nomer utama Budi, Simpati. Budi pun lalai mengapa meminjamkan HP dan nomer im3nya pada Nana, dan mengapa tidak menanyakan apakah ada SMS penting dan tidak berusaha meminta konfirmasi pada Indra. Sedangkan Nana, tidak berusaha memberi tahu Budi setelah ia pulang, namun baru mengatakannya pada malam hari (keterangan dari Budi). Dan untuk meredamkan suasana saya menyebut hal tesebut sebagai Miss Communication, dan tak perlu saling menyalahkan, dan untuk menghindari hal sejenis terulang saya menyarankan agar Indra lebih baik menghubungi Budi ke nomer utamanya dan tidak perlu mempermasalahkan efisiensi (toh tarifnya tak beda jauh). Dan saya menyarankan Budi untuk lebih terbuka dan lebih baik menjaga privasinya. Budi  setuju dan tidak menolak kesimpulan saya.Namun tampaknya Indra kurang puas dengan keputusan akhir, setelah dijelaskan ternyata Indra menginginkan permintaan maaf sekali lagi dari Budi, untung permintaan itu disetujui. Dan akhirnya masalah selesai. 
     Dalam melakukan negosiasi jika kita tetap pada pandangan bahwa orang lain salah maka kita hanya akan menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi tidak bisa mencapai keputusan untuk menyelesaikan konflik dan kemungkinan akan menciptakan konflik yang lain karena pihak lain yang dirugikan atau tidak menerima hasil perundingan. Dalam menyelesaikan masalah yang buntu atau yang bargaining sangat diperlukan pihak ke-tiga (arbiter atau mediator) untuk melanjutkan usaha mencapai kesepakatan antara pihak yang terlibat. Terutama untuk perundingan yang bargaining dapat diupayakan menjadi perundingan yang problem solving. Untuk mencapai perundingan yang problem solving dibutuhkan komunikasi yang baik diantara masing-masing pihak untuk memperlancar jalannya perundingan, sebab dengan komunikasi yang baik akan memunculkan respon yang baik dari masing-masing pihak sehingga pihak yang terlibat lebih melunak dan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai masing-masing pihak. Sebagai pihak ke tiga diperlukan kemampuan mendengarkan dan menganalisa yang baik, serta menyampaikan dengan baik (baik reframe, refrase, sehingga apa yang disampaikan oleh masing-masing pihak dapat disampaikan dengan lebih baik tanpa menimbulkan kesan yang buruk pada pihak lain (kemungkinan terjadi dalam perundingan dimana salah satu pihak menyampaikan argumen atau kata-kata yang baik dengan emosi akan diterima sebagai suatu yang tidak menyenangkan karena disampaikan dengan emosi).-beda pendekatan beda respon.

71. Aldila Armitalia
Saat pulang ke Jakarta kemarin, saya janjian untuk jalan-jalan dengan teman. Tadinya teman saya berjanji untuk menjemput di daerah Thamrin. Kami janjian sekitar jam 12 siang. Pada hari H, saya telah menunggu teman saya di tempat janjian kami, tepat jam 12. Namun, hingga jam 1, teman saya belum datang juga. Akhirnya dia, memberi kabar, bahwa ia harus ke daerah depok dulu. Ia kemudian meminta saya untuk bertemu langsung di tempat kami akan jalan-jalan di daerah senayan.Tadinya saya ingin menolak, tapi mengingat waktu yang sempit, akhirnya saya mengalah dan bersedia bertemu di sana.
       Dari daerah Thamrin, saya naik Trans Jakarta ke Ratu Plaza. Seharusnya, bila ingin ke Senayan, saya harus berjalan melalui pintu belakang Ratu Plaza. Namun ketika saya sampai di Ratu Plaza, ternyata, cuaca tiba-tiba berubah mendung dan mulai gerimis. Saya yang lupa membawa payung, tidak mungkin berjalan dari Ratu Plaza ke Senayan, yang terbilang cukup jauh. Akhirnya saya meminta teman saya untuk menjemput di Ratu Plaza. Ternyata ia sudah lebih dulu sampai di tempat kami janjian. Namun saya tetap meminta untuk di jemput, karena kalau naik taksi dari Ratu Plaza, jaraknya “nanggung”. Akhirnya ia bersedia menjemput saya di Ratu Plaza, dan kami jadi jalan-jalan.
      Saya dan teman saya sama-sama berkompromi, agar dapat berjalan-jalan. Pertama saya mengalah untuk datang ke tempat janjian, yang kedua teman saya mengalah dengan tetap menjemput, tetapi tempatnya lebih dekat. Kami sama-sama saling menurunkan tuntutan agar tujuan awal kami untuk jalan-jalan bersama bisa terpenuhi.

72. Ika Septi
Pagi tadi akan menemani Jessica yang diberi tugas untuk pergi ke vila Andreas di Kaliurang untuk mengurus pembayaran sewa dan konsumsi untuk acara training debat EDS. Akan tetapi Jessica, satu jam sebelum jam ditentukan kami berangkat mengatakan bahwa ia ada kuliah mendadak dan tidak bisa ikut. Ia meminta agar saya bersedia pergi sendiri. Saya menyanggupi dengan kompensasi besok pada hari-H Jessica akan membantu tugas saya dalam mengurus materi training. Dalam negosiasi tersebut saya menggunakan teknin kompensasi spesifik.

73. Prisca Retno
 Negosiasi  yang penting terjadi sewaktu saya pulang ke rumah di Malang pada libur lebaran kemarin.  Setelah berkeliling ke rumah keluarga di Surabaya dan Jember, saya memutuskan untuk pulang ke rumah saya di Malang. Di rumah kami menggunakan jasa pembantu, seperti biasanya pembantu saya pulang untuk merayakan lebaran bersama keluarganya di desa. Pembantu saya yang satu berjanji untuk kembali ke Malang pada tanggal 6 Oktober 2008 (kita sebut saja Mbak X) sedangkan yang lain berjanji bekerja tanggal 7 Oktober (kita sebut saja Mbak Y), oleh  karena itu mommy saya mengambil cuti hingga tanggal 6 Oktober. Kemudian saya memutuskan untuk kembali ke Jogja pada tanggal 7 Oktober pagi karena harus mengerjakan tugas yang belum saya selesaikan. Tetapi hari minggu (tepatnya tanggal 5 Oktober) Mbak X mengatakan dia tidak akan  kembali untuk bekerja ke rumah saya, lewat sms. Saya langsung panik, karena Mbak X tidak bisa dihubungi. Akhir nya jam 7 malam Mbak X menelpon adik saya. Saya meminta berbicara dengan Mbak X dan menanyakan alasan mengapa dia tidak mau kembali bekerja di rumah saya. Dia menjawab tidak mendapat ijin untuk bekerja kembali oleh ibunya. Akhirnya saya meminta berbicara dengan ibunya, alasan yang diberikan oleh ibu tersebut adalah ingin anaknya beristirahat sejenak dari pekerjaan dan membantu keluarga menggarap sawah mereka. Setelah melewati diskusi yang cukup sulit dan berbelit-belit dan mengungkapkan berbagai argumen, akhirnya saya berhasil membujuk ibu tersebut mengijinkan anaknya untuk kembali ke rumah saya sampai mommy saya mendapatkan penggantinya plus beliau membantu mencarikan pengganti anaknya. Jadi, saya bisa dengan tenang meninggalkan rumah untuk kembali ke Jogjakarta =)
Penyelesaian masalah: problem solving taktik yang digunakan persuasive argument (membujuk ibu Mbak X agar mengijinkan anaknya kembali bekekrja untuk sementara waktu) dan annoyance (berulangkali menelpon sampai dijawab oleh Mbak X)

74. Oktavi Andaresta
Pagi ini (Jumat, 10 Oktober 2008) saya mengantri untuk membeli tiket bioskop film “Laskar Pelangi” bersama seorang teman (A) di Ambarrukmo Plaza. Kami berdua mendapat titipan untuk membelikan tiket bagi empat orang teman. Jadi total tiket yang harus kami dapatkan berjumlah enam buah. Pada awalnya kami berencana untuk menonton film tersebut hari ini juga. Dan sejak Kamis siang salah seorang teman (B) sudah mengantri untuk mendapatkan tiket tersebut namun sayangnya dia tidak berhasil. Beberapa sumber sekitar kami banyak mengatakan bahwa tiket untuk pemutaran hari Jumat sudah habis jadi kami harus menonton pada hari Sabtu atau Minggu. Padahal harga tiket di akhir pekan lebih mahal 25% dibanding pada hari kerja. Hal itulah yang menyebabkan saya dan A mencoba datang langsung di hari Jumat untuk membuktikan sendiri apa benar tiket sudah habis atau tidak. Saya dan teman-teman sepakat harus menonton hari itu juga dengan pertimbangan lebih hemat, entah pada jam berapapun dan barisan duduk di manapun. A menginginkan kami bisa memperoleh tempat strategis di barisan F pada pemutaran pukul 19.00, namun saya sendiri lebih memilih mendapat tiket untuk pemutaran pukul 21.30 di barisan apapun dengan pertimbangan acara yang akan saya hadiri pada pukul 19.30. setelah berbincang sejenak, A mau mengerti alasan saya dan menerima usul tersebut dengan catatan saya harus menemukan orang yang bersedia mengantar jemput dia nanti malam. Ternyata sebagai ungkapan terima kasih sudah bersedia dann berhasil mengantrikan tiket, B tidak keberatan mengantar jemput A selama perjalanan menuju dan dari bioskop. Untungnya kami berhasil mendapatkan tiket pukul 21.30 dengan barisan F yang masih banyak kosong.
  Situasi di atas sangat problem solving antar saya dan A. walaupun kami harus membuat konsesi (A mengikuti keinginan saya dengan beberapa ketentuan dan cara B menunjukkan balas saja) dan melakukan sedikit kompromi namun ternyata demand saya dan A berhasil tercapai (‘compromising’ demand: tiket untuk pukul 21.30 [saya] di barisan strategis F [A], goal:tiket untuk jam berapapun dan barisan F, limit:tiket untuk hari Jumat).

75. Rima Meinita
Negosiasi yang saya lakukan dalam minggu ini adalah negosiasi dengan saudara saya masalah pekerjaan rumah. Karena pembantu mudik selama lebaran ini, otomatis pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab bersama. Kesepakatan awalnya, saya bertugas mengepel rumah dan mencuci piring, sedangkan saudara saya bertugas menyapu dan menyetrika baju. Namun karena saudara saya punya asma, dia mengeluh keberatan dengan tugas menyapu karena alasannya debu bisa memicu kambuhnya asma. Awalnya saya pikir dia cuma melebih-lebihkan supaya mendapat keringanan tugas dan tugasnya dilimpahkan ke saya. Tapi ternyata memang benar debu yang ikut terhirup waktu dia menyapu memicu asmanya kambuh. Akhirnya saya bisa menerima argumentasinya tapi saya juga tidak setuju apabila tugasnya menyapu jadi dilimpahkan ke saya. Karena itu berarti pembagian tugas kami tidak adil, saya jadi punya 3 tugas sedangkan dia cuma 1. Akhirnya kami bernegosiasi ulang untuk mencari jalan keluar yang paling adil karena pembagian tugas yang tidak adil hanya akan menimbulkan masalah baru. Hasil negosiasi itu adalah kami bertukar tugas. Dia mendapat tugas mencuci piring dan menyetrika baju, sedangkan tugas saya jadi menyapu dan mengepel rumah. Kami berdua sama-sama puas degan hasil negosiasi akhir dan akhirnya masalah pun terselesaikan dengan win-win solution. Saya tidak merasa keberatan dengan tugas saya, dan saudara saya pun tetap bisa menjalankan tanggung jawabnya dan tetap sehat.
Jenis negosiasi yang saya lakukan adalah problem solving karena pemecahan masalah kami win-win solution. Saudara saya mendapatkan demand nya untuk melakukan tugas yang tidak memicu asmanya kambuh, dan saya juga mendapatkan apa yang saya inginkan yaitu pembagian tugas secara adil. Semua pihak merasa puas dan suasana lebaran pun semakin hangat.


Continue reading 51. (ANONIM)
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

31. DIMAS ARYA PAMBUDI KATIM


31. DIMAS ARYA PAMBUDI KATIM

      Peristiwa ini terjadi pada hari Minggu, 28 September 2008. Pada hari itu saya berkesempatan melakukan buka puasa bersama teman-teman SMA saya di kota asal saya, Bogor. Selesai berbuka puasa, salah satu teman saya mengajak menonton film Laskar Pelangi, yang saat itu baru diputar di bioskop selama beberapa hari. Ada beberapa teman saya yang sudah menonton film itu sebelumnya, namun lebih banyak lagi yang belum menonton film tersebut. Jadi, yang sudah menonton film Laskar Pelangi pun berpamitan pulang terlebih dahulu dan sisanya termasuk saya langsung bergegas ke bioskop. Kami mengetahui fenomena membludaknya penonton yang ingin melihat film tersebut, sehingga kami sedikit bergegas agar tidak kehabisan tiket. Apalagi saat itu rombongan saya dan teman-teman saya ini tidak bisa dibilang sedikit, sekitar 15 orang. Sayangnya saat saya sampai ke dalam bioskop, film baru saja dimulai. Saat itu sekitar pukul 20.40 WIB dan film Laskar Pelangi yang jadwalnya paling dekat dimulai pada pukul 20.30 WIB. Saya dan beberapa teman saya yang lain mengusulkan untuk menonton Laskar Pelangi pada keesokan harinya saja, hari Senin siang. Namun beberapa teman saya yang lain bersikukuh untuk menonton pada hari itu juga. Tidak apa-apa telat sedikit, yang penting mereka dapat menonton film itu. Setelah saya menanyakan tempat duduk yang tersisa di dalam teater bioskop, hanya tersisa sekitar kurang dari 20 kursi di dua baris terdepan. Tentu tidak nyaman menonton di barisan paling depan seperti itu karena kita harus menenggak saat menonton. Namun beberapa teman saya tetap berpendirian teguh pada keinginannya, tetap ingin menonton saat itu juga. Saat saya tanyakan lebih lanjut pada mereka, mereka malas kembali lagi ke bioskop pada hari Senin, karena hari Senin adalah hari nomat (nonton hemat) dimana harga tiket bioskop lebih murah daripada harga saat weekend sehingga pasti akan sangat ramai. Mereka juga takut akan kehabisan tiket jika menonton besok. Saya pun mengusulkan agar bagaimana kalau kita memesan tiket saja dari sekarang. Saya menanyakan siapa yang tidak berhalangan jika menonton filmnya besok, dan ternyata hanya dua teman saya yang berhalangan dan tidak dapat ikut menonton pada hari Senin. Untungnya mereka tidak termasuk dalam golongan ‘memaksa menonton hari itu juga’ dan mengatakan mereka akan menonton bersama pacar masing-masing saja. Saya pun mengatakan pada teman saya yang tersisa, memesan tiket untuk besok tentu lebih enak, karena selain harga tiketnya sedikit lebih murah, kursinya pun tentu masih banyak yang tersedia sehingga tidak perlu berpayah-payah menonton di baris terdepan. Setelah sedikit berembuk, akhirnya teman saya yang tadinya bersikukuh menonton hari itu juga, mau ikut menonton hari Senin.
    Isu kali ini adalah menonton film. Saya dalam posisi ingin menonton keesokan harinya saja agar dapat menonton film dari awal hingga selesai, dapat duduk di barisan tengah dan dengan harga tiket yang lebih murah. Sedangkan posisi teman saya adalah ingin menonton saat itu juga karena kepentingannya adalah ia tidak ingin kehabisan tiket jika menontonnya besok, karena asumsinya penonton hari Senin pasti akan sangat banyak.
    Gaya berkonflik saya kali ini bisa dibilang kolaborasi, saya memperhatikan kepentingannya yang tidak mau mengantri terlalu lama keesokan harinya hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa tiket telah habis, dengan cara memesan tiket sehari sebelum menonton. Ia pun mau memperhatikan keinginan saya yang ingin menonton dengan nyaman di kursi barisan tengah, dan membeli tiket dengan harga yang lebih murah. Setelah saya memberikan berbagai alasan persuasif yang mendukung opini saya bahwa menonton besok lebih menyenangkan, teman-teman saya yang sebelumnya tidak setuju akhirnya menyanggupinya.
    Melihat tahap-tahap perundingan di atas, walaupun mungkin posisi saya lebih dimenangkan kali ini, namun saya merasa negosiasi saya kali ini tergolong problem solving, karena saya dan teman saya dapat menyelesaikan negosiasi dengan win-win solution serta memeperhatikan apa  kepentingan dan keinginan masing-masing.
    Jika ditilik, kepentingan saya yang paling utama: menonton di barisan tengah dengan enak, mendapat harga tiket yang sesuai dan dapat menonton dari awal hingga akhir, tidak setengah-setengah, Dan kepentingan teman saya: tidak ingin kehabisan tiket jika menonton pada hari Senin, karena biasanya hari Senin bisokop ramai oleh pengunjung dengan sistem nonton hematnya itu. Karena itu, saya menggunakan taktik logrolling, dimana saya mementingkan prioritas utama masing-masing. Prioritas teman saya dapat terpenuhi, dengan cara membeli tiket sejak sehari sebelum menonton sehingga terjamin tidak akan kehabisan tiket, dan kepentingan saya pun juga dapat terpenuhi.

32. (rahasia)

33. PIJAR R. 21999
Seorang teman saya sedang belajar menjalankan suatu bisnis sepatu kecil-kecilan dan menawarkan saya untuk menjadi salah satu pelanggan pertamanya. Produk yang ia tawarkan adalah sepatu-sepatu berjenis kanvas biasa namun memiliki motif atau gambar yang dapat dipesan sesuai permintaan pelanggan yang nantinya akan dicoba dilukis oleh teman saya itu sendiri. Teman saya menawarkan harga Rp 75.000 untuk sepasang sapatu yang dilukis. Saya menawar harga Rp 65.000 (goals) dengan alasan harga teman dan promosi pelanggan pertama. Namun teman saya tetap agak keberatan dan meminta saya untuk menaikkan harga tawaran. Limit saya adalah Rp 70.000, setelah meminta pertimbangan seorang teman yang lain tentang harga dan jenis produk yang sedang dipromosikan, harga tersebut adalah harga yang paling pas. Setelah tawar menawar cukup lama, teman saya menurunkan harga menjadi Rp 70.000. Dengan niat membantu teman dan menjadi penglaris saya menyetujui harga Rp 70.000 namun dengan permintaan tambahan: gambar/motif yang berbeda pada sepasang sepatu. Produk sepatu itu awalnya hanya menawarkan satu jenis motif saja per sepasang sepatu. Misalnya, sepasang sepatu bergambar kartun Mickey Mouse saja. Sedangkan saya meminta sepasang sepatu, yang satu bergambar Mickey Mouse dan yang satu lagi Goofy. Teman saya menyetujui permintaan tersebut karena sekarang karena cukup unik dan sesuai dengan trend sekarang ini, selain itu ia mendapatkan banyak pilihan untuk ditawarkan nantinya. Bargaining range negatif karena saya mendapatkan harga di atas tawaran pertama, namun menjadi problem solving karena masing-masing pihak mendapatkan keuntungan. Akhirnya kami deal harga Rp 70.000, saya mendapat sepasang sepatu sesuai pesanan dengan harga cukup murah dan teman saya tetap mendapatkan keuntungan serta ide baru untuk menawarkan produk-produknya.


34. DESI ROSITA
Minggu lalu saya melakukan negosiasi dengan orang tua  saya mengenai waktu kembali saya ke Jogja. Saya menginginkan kembali ke Jogja pada hari selasa, sedangkan kedua orang tua saya menginginkan saya untuk kembali ke Jogja pada hari kamis, sehingga tidak setuju jika saya kembali pada hari selasa. Alasan kedua orang tua saya tidak mengijinkan saya kembali hari selasa adalah mereka menginginkan saya untuk menemani adik saya yang sendirian dirumah karena orang tua saya sedang sibuk bekerja. Saya menjelaskan alasan saya kepada orang tua saya antara lain saya ingin mengerjakan tugas yang harus segera dikumpulkan, selain itu juga karena saya memiliki janji dengan teman lama pada hari kamis. Meskipun mengetahui alasan-alasan tersebut orang tua tetap tidak setuju. Akhirnya saya mengusulkan untuk mengajak adik saya pergi ke Jogja untuk satu hari dan mengajaknya jalan-jalan disana daripada sendirian dirumah, mendengar usul yang saya ajukan tersebut orang tua saya setuju dan mengijinkan saya untuk kembali ke Jogja pada hari selasa dengan mengajak adik saya untuk ikut pergi.
Negosiasi yang saya lakukan tersebut menggunakan taktik memecahkan masalah ( problem Solving) yakni Bridging (menjembatani) dimana kepentingan saya maupun kedua orang tua saya terpenuhi, meskipun pada awalnya kepentingan saya tidak tercapai tetapi saya memikirkan kepentingan orang tua saya juga sehingga kepentingan kami sama-sama tercapai.

35. M Rifat
Libur Lebaran merupakan liburan yang diunggu seiap orang, termasuk saya. Tanggal 27 September saya pulang mudik bersama adik saya naik bus antar provinsi. Di dalam jadwal, seharusnya kami sampai tanggal 28 September pada malam hari, namun di Pelabuhan Merak terjadi kemacetan selama 12 jam. Hal ini tentu saja menyebabkan keterlambatan, sehingga kami sampai di Palembang tanggal 29 September pagi.
      Sebelum pulang, saya sempat berjanji dengan teman akrab saya untuk buka bareng di Palembang tanggal 29 September. namun karena pada tanggal 28 September saya belum sampai di rumah, Saya tidak mungkin meninggalkan buka di rumah di hari pertama saya sampai di Palembang.
      Awalnya teman akrab saya sangat ingin saya menepati janji karena dia tampaknya hanya mempunyai waktu cuma pada hari itu. Namun setelah melakukan negosiasi yang cukup lama akhirnya dia membiarkan saya untuk buka puasa di rumah tanggal 29 September, dan sebagai gantinya saya akan buka puasa bersama dengannya tanggal 30 September.
        Posisi saya pada saat itu adalah menunda berbuka bersama teman saya pada tanggal 29 September. dan posisi dia adalah tetap ingin berbuka bersama saya tanggal 29 September. Kepentingan saya di dalam posisi tersebut ialah karena saya ingin berbuka bersama keluarga saya di hari pertama saya sampai di Palembang. Sedangkan kepentingannya adalah bertemu dan berbincang-bincang dengan saya. Gaya berunding yang saya gunakan adalah problem solving dengan menggunakan kompensasi fisik karena saya berjanji untuk lebih bisa mengobrol dengannya lebih lama

36. (RAHASIA)

37.    Angga Kusumo Harwinindyo
Pulang Kota Yuukk….
      Ramadhan berlalu, lebaran pun juga berlalu. Tak terasa lebih dari 30 hari sudah kita menjalani ibadah puasa dilengkapi dengan hari raya Idul Fitri 1429 H pada tanggal 1 Oktober 2008.
      Aku yang kuliah di Jogja pun sepertinya tak ingin kalah dengan “budaya” mudik oleh orang Indonesia kebanyakan. Setelah menjalani lebaran di Solo dan juga kembali mempererat tali temali silaturahmi selama kurang lebih satu minggu, aku berpikir masih aka ada waktu satu minggu untukku belajar di rumah. Tercetus dalam benakku kalau aku ingin pulang ke kota, yakni Jakarta. Hehe, sepertinya yang satu ini bukan pulang kampung ya.. Okelah aku memutuskan untuk pulang dan karena ada mobil juga yang harus dibawa pulang ke rumah, aku akhirnya mengendarai mobil itu.
      Orangtuaku meminta omku yang ada di Semarang untuk menemaniku sekaligus ada beberapa pekerjaan yang akan diberikan di rumah. Pikirku, oke bukan masalah besar juga bagiku. Setelah mengantar orangtuaku ke Bandara Adi Sumarmo Solo, aku dan kakak tertuaku pulang ke rumah Semarang.
      Proses negosiasi terjadi ketika aku dan omku akan pulang ke Jakarta. Aku punya tuntutan bahwa aku ingin berangkat jam 5 pagi dari rumah Semarang dengan tujuan sampai Jakarta kira-kira jam 2 siang. Batasku setidaknya jam 6 pagi sudah harus berangkat agar tidak terlambat. Dan aku adalah orang yang sebenarnya malas berhenti di perjalanan untuk istirahat. Oke tidak masalah kata omku dan kamipun berangkat jam setengah 6. Namun ketika di perjalanan, omku meminta berhenti sebentar untuk sarapan. Batinku berperang untuk itu. Dengan menjelaskan argumentasi-argumentasi supaya tidak berhenti aku mencoba untuk meyakinkan omku. Namun omku tetap ingin sarapan terlebih dahulu. Oke kita berhenti pikirku, namun aku mengatakan kita akan berhenti saat mendekati jam makan siang agar bisa sekalian sholat sehingga tidak perlu dua kali berhenti. Sarapan tertunda dan aku pun harus mau untuk berhenti dulu. Sebelum berhenti pun aku juga mengingatkan bahwa tidak untuk berlama-lama berhenti karena waktu yang ada harus dimanfaatkan di perjalanan supaya tidak terjebak macet. Untuk mencapai hal itu, aku mencari tempat makan yang sudah masuk daerah Jawa Barat agar lebih dekat ke arah Ciakmpek sehingga perasaan pulang pun semakin dekat. Omku kemudian memberikan tawaran bahwa aku akan ditraktirnya makan. Cukup asyik, namun yang jelas aku tetap bersikukuh meskipun berhenti kami harus cepat.
      Setelah makan, sholat dan sebagainya dengan waktu yang cukup, kami melanjutkan perjalanan. Aku langsung menginjak pedal gas mobil. Namun, tak disangka tak dinyana keadaan pulalah yang menggagalkan tujuanku dan aku sudah sempat bernegosiasi dengan omku sebelumnya. Banyak kecelakaan dan jalanan bagaikan lautan motor sehingga cukup menghambat laju kendaraan roda empat atau lebih. Yasudah mau bagaimana lagi. Dan kamipun sampai rumah pas dengan adzan maghrib.
      Dalam hal ini, negosiasi terjadi ketika aku dan omku harus menentukan jam berangkat serta apakah harus dengan berhenti atau tidak. Tuntutanku adalah berangkat jam 5 pagi, namun akhirnya harus berangkat jam setengah 6 tapi tidak masalah karena belum mencapai limit. Tujuannya adalah supaya lebih cepat sampai ke rumah. Di sisi yang lain juga aku sebenarnya tidak ingin berhenti. Dengan menggunakan persuasive arguments dan time pressure aku bernego dengan omku. Kami sempat dalam posisi sama-sama positional commitments. Namun akhirnya aku mencoba bridging dengan kami saling mengorbankan prioritas kami, jadi berhenti namun dengan waktu yang tak lama. Di sisi yang lain, omku memberikan kompensasi ketika aku akhirnya mau untuk berhenti meski sebentar.  

38.     Bela Reza Tanjung
Pengalaman negosiasi saya kali ini adalah dengan sahabat-sahabat saya. Kejadiannya terjadi hari Selasa minggu ini. Waktu itu kami (sahabat-sahabat) saya sedang ada masalah yang cukup menghawatirkan, beberapa bulan belakangan ini ada kejanggalan tinkah laku salah satu teman sahabat saya. Intinya ia ingin memisahkan diri dengan kami. Sebenarnya masalahnya sudah lama terbentuk, akan tetapi permasalahan tersebut menapai puncaknya kira-kira 2 minggu sebelum saya menulis NL saya ini. Salah satu sahabat saya ini ingin memisahkan diri ini sangat-sangat sulit diajak berkomunikasi ia terkesan lebih memilih langsung untuk menjauh dengan kami semua tanpa ada suatu hal yang di bicarakan kepada kami semua. Belakangan setelah akhirnya kami tahu alasan dia kenapa dia berbuat seperti itu, adalah ia merasa terpojok oleh kami semua dan merasa kurang nyaman dengan salah satu diantara kami ini karena yang pada intinya sering mengejek Ia yang sudah mempunyai pacar baru, dan bahkan ia menyatakan salah satu teman yang ia rasa tidak nyaman tersebut sering mengusili pacarnya, karena juga sering mengejek. Memang sebenarnya kami semua kalau sudah bercanda kadang-kadang sering terlewat batas, akan tetapi kami bisa menerima semua itu, karena memang sebenarnya kami sudah saling mengetahui karakter masing-masing orang.  Akan tetapi perlu diketahui sebelum kami mengetahui alasan tersebut, ia sangat sulit di ajak berkomunikasi secara langsung, ia lebih melakukan tindakan menghindar saya merasa ini seperti tindakan ia (withdrawal) untuk sesuatu yang menyerang, karena ia sangat tahu jika dari kita saja tidak hadir jika ada acara kumpul-kumpul kami pasti selalu merasa “kurang”, oleh karena itu saya pribadi berfikir seperti itu. Saya disini akan menceritakan bagaimana saya melakukan suatu hal yang membuat ia akhirnya berbicara secara langsung terutama pribadi kepada saya dan juga kepada teman-teman saya yang lain.
Pada awalnya saya bingung harus melakukan apa, karena saya sangant tahu teman saya yang satu ini sangat keras egonya dan wataknya, terlebih lagi ia tidak mau bercerita kalau pun ia tidak suka ataupun apa?, sehingga saya lebih bingung,. Akan tetapi setelah bebrapa lama hal tersebut membuat saya berfikir, dia juga tidak akan berbuat seperti ini jika tidak ada yang salah. Saya mulai berfikir bagaimana cara agar membuat ia bercerita secara langsung kalaupun ada yang salah dari kami atau diri saya. Oleh karena itu kemudian saya berfikir untuk melakukan “harrastment terselubung” gangguan-gangguan saya ini saya buat dengan cara mennyindir dan sedikit membangun opini public tentang dia, memang stidak baik, akan tetapi saya tegaskan disini saya bukan bermaksud “bergosip”(menggosipi dia) saya hanya membangun opini dengan sahabat-sahabat saya ini, dan tidak membangun opini dengan orang-orang di luar sahabat saya. Dengan cara membicarakan tentang kehidupannya, seperti bagaimana kehidupan-kehidupan dia sekarang, misalanya hanya berdua terus saja dengan pacaranya yang mungkin mempengaruhi ia menjadi berbuat seperti itu(menjauh dari kami, sulit di temui dan diajak berbicara). Disini saya berfikir karena jika saya menjadi dia ada hal yang tidak enak di dengar dan di pikirkan seperti itu buat orang seperti dia yang egonya besar tentu saja sangat akan merasa terganggu, apalagi kami semua tidak pernah mendengar langsung tentang dia langsung dari mulutnya. Sekian lama sekitar 1 minggu keadaan ini berjalan akhirnya ia menunjukan diri juga dan mulai mau berbicara, ia kemudian meng-kontak saya mengajak ingin berbicara. Di sini negosiasi kami dimulai. Kemudia saya mendengarkan cerita dan argument-argumen dia, ternyata setelah ia bercerita saya mengerti, seperti yang saya katakana di awala tadi yaitu ia merasa terpokjok dan merasa tidak nyaman dengan salah satu dari kami. Kemudian ia juga menyampaikan kepentingannya, yaitu keadaan kita semuanya sekarang ini telah berubah, ia mau ia di hargai secara pribadi, urusan-urusan yang pribadi yang menjadi privasi masing-masing tidak selalu bisa di utarakan. Memang dari dulu kami, jika salah satu dari kami mempunyai masalah pribadi pasti kami selalu bercerita semua, karena kami semua merasa wajib untuk membantu satu sama lain apapun itu masalahnya. Di sini saya mulai berfikir jika saya menjadi dia, saya kemudian mengeri kalau memang mungkin keadaanya yang sudah mulai berubah, tidak semua hal yang bersifat privasi juga bisa di utarakan semuanya walapun itu dengan sahabat, saya berfikir kalau suatu saat nanti mungkin saya juga megalami hal seperti dia. Kemudia saya menyetujui permintaannya. Akan tetapi saya juga mempunyai permintaan, karena dia juga tidak bisa seperti ini terus. Karena menurut saya kita semua adalah sahabat, jadi jngan sampai kita memutuskan tali silaturahmi, kalupun memang keadaannya yang memang sudah berubah sampai kapanpun kita adalah “sahabat”. Dan saya meminta kepada dia untuk membicarakannya juga kpada teman-teman saya yang lainm, agar semua mengeri bagaimana yang sebenarnya, dan juga meegaskan kepada dia, kalau jngan samapai dia berbuat seperti ini lagi, karena yang kita butuhkan adalah komunikasi untuk menjaga silaturahmi ini. Kemudia di sini saya mulai berhasil memcahkan masalah ini (problem solving), karena di sini “bridging” (menjembatani) dengan kepentingan semua pihak terpenuhi sekaligus, karena pada saat yang sama ketika saya memeinta kepentingan itu ia juga langsung ia penuhi, mingkin di pikiran dia argument saya ini juga benar, “sahabat adalah untuk selamannya”. Dan akhirnya beberapa hari kemudian kami semua berbicara secara langsung dan masalah terselesaikan dengan kepentingan masing-masing terpenuhi.

39. Syarifah Asriani
Lebaran kemarin saya pulang ke Jakarta. Sudah lebih dari 6 bulan saya tidak pulang ke Jakarta, karenanya saya ingin memanfaatkan momen silahturahmi saat lebaran untuk melihat-lihat keadaan Jakarta sekarang ini.Setelah puas berkumpul dan bersilahturahmi dengan sanak famili, kami sekeluargapun harus kembali pulang kerumah. Namun, karena hari belum terlalu sore saya meminta kepada orang tua saya untuk tidak langsung pulang kerumah tapi pergi muter-muter lihat-lihat kota Jakarta dulu baru kemudian pulang kerumah. Namun, karena pertimbangan akan mengeluarkan ongkos tambahan, orang tua saya menolak ajakan saya(kami sekeluarga ada 4 orang dan tidak memiliki kendaraan pribadi).Akhirnya saya memberi usulan lain yaitu, kami tetap pulang dengan bis yang bertujuan akhir terminal senen namun dengan bis bernomor lain yaitu bis 77,tapi memeng bis ini lama datangnya(sebelumnya kami naik bis p100 yang langsung menuju terminal senen).Rute bis 77 sebelum masuk terminal senen harus memutar atau melewati beberapa daerah di Jakarta, dengan demikian kepentingan semua pihak akan tercapai. Saya bisa keliling Jakarta dan orang tua saya tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan. Orang tua saya pun setuju,walaupun kami harus menunggu datangnya bis tersebut sekitar 10-15menit.
Strategi :problem solving
Taktik    : bridging (menjembatani)
Hasil      :win-win

40. Sekar Sari
             Ketika itu adalah hari ketiga setelah lebaran. Keluarga saya berkumpul di rumah eyang dalam rangka pertemuan trah. Biasanya pertemuan trah keluarga memang merupakan ajang kumpul-kumpul semua sanak keluarga yang ada dalam keluarga besar tersebut. Mulai dari yang tua, dewasa, remaja, juga anak-anak dan jumlahnya mencapai ratusan. Namun, trah keluarga saya ini jumlahnya baru puluhan, yaitu terdiri dari sekitar sepuluh kepala keluarga muda dan anak istrinya, karena baru saja dirintis. Lebaran kali ini barulah pertemuan yang kedua. Trah baru ini bisa dibilang berasal dari dua wilayah, yaitu wilayah utara dan selatan. Setelah acara inti selesai, barulah kami membahas tentang rencana pertemuan tahun depan, terutama masalah waktu pertemuan. Karena dirasa pertemuan hari itu tidak begitu lancar karena beberapa keluarga terlambat hadir. Saat itu, Om Joko menginginkan kalau harinya disepakati dari awal saja dan diterapkan pada pertemuan seterusnya kelak, yaitu H+3 pukul 10.00. Saya dan beberapa orang yang lain menanggapi jika masalah waktu tidak perlu dipastikan, karena masing-masing orang memiliki kepentingan yang berbeda dan tidak pasti,(termasuk saya yang biasanya ada syawalan organisasi yang menemui jajaran pemkot dan lain sebagainya) dan itu tidak dapat diprediksikan dari sekarang. Jadi masalah waktunya tidak perlu ditentukan dari sekarang, akan tetapi mengacu pada waktu yang disepakati jika memang sudah mendekati lebaran tahun berikutnya. Berdasarkan wacana tersebut saya mencoba usul yaitu di awal ini kita memang menentukan waktunya terlebih dahulu, akan tetapi jika memang besok ada keperluan lain ya bisa diubah, toh tiap daerah ada koordinator wilayahnya. Akhirnya keputusan akhir adalah jadwal pertemuan trah tiap tahunnya ditentukan terlebih dahulu yaitu H+3 pukul 10.00, akan tetapi tidak mutlak, karena kesepakatan koordinator wilayah tiap tahunnya memiliki andil yang sama besar dalam menentukan waktu pertemuannya.
         Dari perundingan tersebut, maka posisi Om Joko adalah waktu ditentukan dari awal dan digunakan seterusnya. Posisi saya adalah tidak perlu ditentukan dari sekarang, tetapi berdasarkan penentuan beberapa hari sebelum lebaran saja. Kepentingan Om Joko adalah supaya pertemuan berjalan lancar tanpa ada yang terlambat, masing-masing orang dalam keluarga tersebut bisa mempersiapkan diri dengan mengosongkan hari itu dan hanya dipergunakan untuk pertemuan trah, juga supaya tiap tahun tidak perlu koordinasi berkepanjangan lagi masalah waktu pertemuannya. Kepentingan saya adalah pertemuan berjalan lancar dan acara lain tetap terpenuhi tanpa harus mengkhususkan hari, tanpa harus membatalkan agenda pada H+3 yang siapa tahu juga penting. Taktik yang digunakan dalam perundingan ini adalah bridging, karena keinginan kedua belah pihak terpenuhi dengan adanya hasil tersebut. Gaya berkonfliknya merupakan kolaboratif karena kesepakatannya mempedulikan kepentingan kedua pihak, sehingga kualitas kedua perunding tetap tinggi dan relatif mudah mencapai kesepakatan karena ada kepentingan yang sama yaitu lancarnya pertemuan trah itu sendiri. Gaya kolaboratif ini memang cocok apalagi kedua pihak yang terlibat memiliki hubungan masa depan persaudaraan dan itu dianggap penting. Selain itu yang penting dalam perundingan ini adalah menempatkan diri. Kita harus menempatkan diri sebaik mungkin. Karena berhadapan dengan orang yang lebih tua maka kita harus menjaga agar tidak seperti menggurui, tetapi tetap memposisikan bahwa seolah-olah beliau tetap di atas kita. Penggunaan bahasa jawa krama (tingkatan yang lebih tinggi atau halus) merupakan salah satu trik khusus yang saya gunakan, karena dalam keluarga saya yang beretnis jawa itu artinya merupakan suatu bentuk penghormatan.

41. Yuliana Putri Anggraini / 21631
 Perundingan terpenting saya edisi keempat ini adalah mengenai menonton film di bioskop. Ceritanya begini, saya sangat ingin sekali menonton film Laskar Pelangi yang baru-baru ini sedang booming di bioskop, lawan berunding saya adalah dengan pacar saya, sebut saja si A. Semula kami berdua mempunyai posisi yang sama yaitu sama-sama ingin menonton filmnya, namun setelah kejadian antri-mengantri tiket selama 2 hari dan tidak berbuah apa-apa maka posisi kami berubah. A yang sudah 2 hari rela mengantri demi 2 tiket Laskar Pelangi tidak berminat lagi nonton dalam waktu dekat karena antriannya yang luar biasa panjangnya, tapi saya yang tidak merasakan secara langsung bagaimana capeknya mengantri selama berjam-jam masih berniat untuk mendapatkan tiket nonton itu dalam waktu dekat ini, karena kepentingan saya adalah mumpung masih ada sisa uang angpaw lebaran dan masih dalam masa libur kuliah juga.
Karena saya tahu A akan meninggalkan perundingan karena jengkel tidak dapat tiket dengan mengembalikan uang nonton yang sudah saya kasih ke dia, maka saya menggunakan gaya kolaboratif atau problem solving  dengan taktik expanding the pie yaitu dengan membujuknya agar mau meneruskan perundingan dengan cara mengajaknya makan bersama dan rencana nonton film Laskar Pelangi bisa dilakukan minggu depannya lagi agar antriannya tidak terlalu banyak seperti sekarang. Disitu kepentingan dan posisi saya sedikit berubah dari awal, yaitu masih dapat nonton walaupun tidak dalam waktu dekat, namun hubungan saya dan A masih tetap bisa harmonis. Di samping itu, uang 40ribu untuk nonton 2orang juga dapat saya gunakan dulu untuk membayar uang listrik kost yang belum saya bayar.

42. Ahmad Syifa’ Rifa’i
      Hari Kamis malm tanggal 9 oktober 2008 saya dengan adik saya jalan-jalan hanya untuk sekedar mencari sepatu futsal. Di jalan pramuka saya menemukan sepatu yang saya sukai. Tetapi setelah saya lihat ukurannya masih terlalu kecil dan saya meminta ukuran yang lebih besar kepada si penjual. Spontan si penjual bilang bahwa ukuran itulah yang terbesar. Bergegas saya langsung ingin pergi dari toko itu untuk mencari di toko lain. Tetapi si penjual tidak membiarkan saya pergi begitu saja. Penjual beralasan akan mencarikan barangnya lagi dan sedikit memakasa saya untuk tetap di toko itu. Sembari menunggu sepatunya dicarikan, si penjual menawarkan sepatu-sepatu yang lainnya.  Si Penjual bilang kepada saya kalau sepatu yang saya sukai tadi adalah sepatu yang model lama, dan sekarang inovasi-inovasi baru telah dikeluarkan. Dia menawarkan sepatu-sepatu inovasi barunya kepada saya.
      Dan disinilah perdebatan dan negosiasi dimulai. Pada dasarnya saya memang tidak suka sepatu inovasi tersebut. Si penjual menyebutkan kelebihan-kelebihan sepatu inovasi baru dan kelemahan-kelemahan sepatu model lama. Dia bilang sepatu inovasi baru tidak licin dan lebih enak untuk menendang bola daripada sepatu model lama. Lalu saya bertanya kenapa penjual itu tahu sepatu inovasi baru tidak licin dan lebih enak untuk menendang bola daripada sepatu model lama. Dia menjawab, “lo kan saya penjualnya jadi pasti tau”.
      Saya bertanya “emang pernah maen futsal(si penjual sudah terlihat tak muda lagi)”. Penjual menjawab,”ya jelas pernah”. Saya membalas, “Dimana mas?”. Lalu si penjual terdiam sebentar dan mengelak, “ya dicoba di lantai aja kan bias mas” Spontan saya bilang, “waaa bapak bohong ya belum pernah maen futsal? Lagipula aneh masa sepatu inovasi baru lebih berkualitas kok harganya sama”. Si penjual terdiam sebentar dan masi saja menjawab, “ya memang sama mas”, tanpa argument lain dan terlihat berhenti melebih-lebihkan sepatu yang dianggapnya inovasi baru. Saya hanya tersenyum, dan untuk mengakhiri negosiasi ini saya bilang, “kapan pak kluar yang baru lagi?”. “Selasa depan mas” jawabnya. “ ya sudah pak kalau begitu selasa depan saja saya kesini lagi” jawab saya dan akhirnya pun saya dibiarkan pergi.
      Analisa saya adalah untuk menjadi negosiator yang bagus, selalu berpegang teguh pada pendirian kita walaupun posisi kita sulit. Lalu patahkanlah argument-argumen lawan yang tidak ada bukti yang jelas, dan hanya bilang “Katanya”. Dan pikirkanlah sebuah negosiasi dari berbagai sudut agar bias memenangkan negosiasi tersebut.

43.  Amalina Luthfiani
Negosiasi terpenting yang saya lakukan pada minggu ini adalah ketika saya berangkat ke Jogja kembali setelah libur hari raya. Pada hari Senin tanggal 6 saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja naik Travel. Seperti biasa pada saat membeli tiket di agen, telah terjadi kesepakatan harga bahwa harga travel naik dari yang semula hanya 40ribu menjadi 50ribu karena arus lebaran. Harga tersebut merupakan harga resmi agen dan tidak dikenakan biaya tambahan karena saya tidak meminta untuk dijemput, melainkan datang ke agen pada hari keberangkatan. Sesampainya di Jogja, saya turun tepat di depan kos di jalan kaliurang km5. Sopir meminta uang tambahan sebanyak 10ribu yang membuat saya kemudian bertanya untuk apa saya harus menambah ongkos karena saya tidak dijemput. Ternyata, karena alamat tujuan saya telah melebihi batas antar, maka saya harus membayar tambahan. Saya bertanya, sebenarnya dimanakah batas alamat tujuan yang tidak dikenakan biaya antar, dan dari sopir saya tahu bahwa batas di utara adalah selokan mataram. Saat itu tuntutan saya tentu saja adalah tidak membayar ongkos tambahan, sedangkan sasaran saya adalah setengah dari tuntutan sopir, yaitu 5ribu rupiah dan saya tidak akan mau membayar lebih dari 7500 rupiah. Dengan pertimbangan bahwa jarak dari selokan ke kos saya kira – kira hanya 1km kurang, saya meminta ongkos tambahan tersebut dikurangi, lagipula sebelumnya saya tidak pernah dimintai ongkos tambahan. Namun, sopir beralasan bahwa jalan kaliurang yang macet turut memakan bahan bakar dan ongkos tersebut tidak dapat ditawar. Saya tetap meminta sopir untuk mengurangi ongkos antar karena sebenarnya harga tiket juga telah naik, dan sebelumnya tidak pernah ada aturan tertulis dalam tiket maupun pengumuman di agen bahwa akan ada ongkos antar untuk daerah yang melebihi batas. Dengan alasan tersebut, kemudian barulah sopir menjelaskan alasan sebenarnya ia meminta ongkos tambahan adalah bahwa karena jatah bahan bakar yang diberikan pada sopir dari daerah kota asal saya adalah yang paling minim dibanding kota – kota lainnya yang menuju ke Jogja. Seringkali sopir terpaksa menggunakan uangnya sendiri untuk menambah bahan bakar yang kurang, oleh karena itu jalan satu – satunya untuk menutup kerugian sopir adalah dengan meminta ongkos tambahan penumpang. Lalu, dengan pertimbangan daripada tidak mendapat ongkos sama sekali untuk menutup uang bensin, ia berkata bahwa saya boleh membayar baerapapun asal dia mendapatkan uang untuk tambahan membeli bensin. Akhirnya kami sepakat saya membayar ongos tambahan sebanyak 5ribu rupiah.
Dari negosiasi saya dengan pak sopir travel, posisi saya adalah tidak membayar ongkos tambahan, sedangkan pak sopir mempunyai posisi mendapat tambahan uang 10ribu sebagai ongkos antar. Kepentingan sopir adalah ia ingin mendapat uang tambahan untuk ongkos bensin, sedangkan kepentingan saya adalah meminimalisir ogkos karena sebelumnya telah membei tiket yang telah dinaikkan harganya. Dengan perhitungan jarak dan konsumsi bahan bakar serta alasan penerapan ongkos yang tidak resmi, saya menentukan tuntutan, sasaran dan batas harga, yaitu tuntutan = 0, sasaran=5ribu dan batas saya = 7500. Dari sisi lawan negosiasi, yaitu sopir diketahui tuntutannya adalah 10ribu rupiah, sasaran=5ribu, dan batasannya adalah mendapat sejumlah uang untuk menutup tambahan uang bensin, berapapun jumlahnya. Hasil negosiasi tersebut dapat dikatakan win – win, karena walaupun tidak dapat memenangnkan posisi masing – masing, namun negotiators sama – sama dapat terakomodasi kepentingannya dengan kesepakatan yang dicapai.

44. Benediktus Priyo Pratomo
      Negosiasi ini terjadi ketika liburan lebaran kemarin. Ketika itu, saya dan adik saya berada di Yogya. Saya berkeinginan untuk membeli sebuah kemeja di toko A yang hanya berjarak kurang lebih 2 km dari tempat saya. Dan pada saat yang sama juga adik saya, ingin membeli sepasang sepatu merek (sebut saja) “Omega” yang ukuran kakinya, hanya di toko B yang menjual. Masalahnya adalah toko tersebut berjarak cukup jauh, sekitar 8 km dari tempat saya. Dan kebetulan kami hanya memiliki satu sepeda motor, dan kebetulan juga, sepeda motor saya sangat boros pemakaian bahan bakarnya sehingga saya sangat keberatan, jika harus ke toko B yang jauh itu. Maka dengan segenap kemampuan saya, saya pun meyakinkan adik saya tersebut agar membeli sepatu di toko A saja, karena lebih dekat. Namun adik saya masih keras kepala, ingin membeli sepatu dengan merek
“Omega” tersebut di toko B. Lalu saya juga meyakinkan adik saya tersebut bahwa di toko A juga ada sepatu yang ukuran kakinya (kakinya gede, lho), walaupun bukan dengan merek “Omega”. Adik saya tetap kukuh ingin ke toko B dan saya juga tak kalah kukuhnya berbicara panjang lebar tentang merek, kesamaan kualitasnya, juga tentang borosnya motor saya, tentunya. Walaupun pada awalnya adik saya tidak mau menerima pendapat saya, lama-kelamaan dia mulai terpengaruh oleh argumen saya,dan akhirnya kita pergi ke toko A, saya membeli kemeja yang saya inginkan, dan dia membeli sepatu, walaupun tidak yang bermerek “Omega”.
      Pada negosiasi di atas, posisi saya adalah membeli kemeja di toko A, dengan kepentingan hemat bensin. Posisi adik saya membeli sepatu di toko B, dengan kepentingan ingin sepatu merek “Omega”. Isu-isu yang timbul adalah, merek sepatu, jarak tempuh, keterbatasan alat transportasi. Taktik berunding yang terlihat di atas, adalah problem solving, yaitu dengan cara kompensasi spesifik. BATNA yang sempat terpikirkan oleh saya adalah meminjam motor ke teman kos saya, untuk adik saya sehingga dia bisa pergi ke toko B sendiri.

45. Wahyuningsih
 Saat premier film laskar pelangi, saya dan teman - teman mengantri tiket sejak pagi hari. Kami sudah berada di pusat perbelanjaan sebelum tempat tersebut buka. Ternyata sesuai dengan perkiraan kami, calon penonton membludak. Namun karena kami telah mengantisipasi dengan datang lebih awal maka kami mendapatkan antrian di bagian depan loket.
      Kami ( waktu itu 3 orang ), berpencar mencari posisi antrian yang paling baik. Akhirnya saya mendapatkan posisi yang lumayan di depan dibanding dengan salah satu teman saya. Ketika telah berada tepat di depan loket, tiba - tiba ada seorang perempuan mendekati saya dan berniat untuk menitip di belikan tiket. Namun karena saya telah membeli tiket untuk 9 orang, maka saya tidak mau di titipi oleh mbak tersebut. Mbak tersebut berusaha melobi saya dengan sedikit paksaan. Dia beralasan bahwa dia hanya menitip 3 tiket saja. Namun saya tetap menolak, karena saya berpikir dia mau enaknya saja menitip pada orang, saya juga kasihan dengan sesama pengantri yang sejak pagi hari telah antri dan berlari - lari. Jika semua orang yang berada diantrian paling depan mau di titipi maka mereka yang dibelakang akan kehabisan tiket. Mbak tersebut kembali memaksa saya, kali ini dengan imbalan uang jika saya mau membelikan tiket untuknya. Saya tetap tidak mau. Saya berusaha mempertahankan pendapat saya.
      Karena mbak tersebut tidak mau mengalah juga, akhirnya saya memberikan penawaran bagaimana kalau dia mengambil tempat antrian teman saya yang ada di belakang. Teman saya tidak perlu mengantri lagi karena tiket sudah saya beli. Tempat antrian teman saya juga tidak terlalu di belakang sehingga kemungkinan untuk mendapat tiket juga besar. Akhirnya mbak tersebut menyetujui usulan saya.
      Dalam kasus ini, saya berusaha mempertahankan keinginan saya yaitu tidak di titipi membeli tiket orang lain. Saya berusaha meyakinkan orang yang menitip bahwa saya tidak mau karena alasan - alasan diatas. Dalam perundingan itu saya berusaha bersikap tegas dengan pendirian saya, namun juga tetap berpikir agar perundingan berakhir tanpa ada yang kalah. Saya bersikap langsung mengutarakan keinginan saya sehingga lawan berunding mengerti apa yang saya inginkan. Straight - forward terhadap tujuan yang ingin di capai merupakan salah satu taktik yang saya gunakan agar perundingan tidak berjalan alot serta lawan mengetahui sejak awal apa yang saya inginkan, karena dalam kasus ini saya telah mengetahui keinginan lawan sejak awal perundingan.
      Dengan mengetahui keinginan ( interest ) masing - masing, maka kami yang beruding dapat memikirkan cara - cara lain agar keinginan kami dapat terwujud. Pada akhirnya dalam kasus di atas, saya mengeluarkan alternatif agar saya hanya membeli tiket yang saya butuhkan, serta mbak - mbak yang berniat menitip mendapat tiket dengan mengantri juga tidak merugikan pengantri yang lain. 

46. Vitya Hanum
Tanggal 6 Oktober 2008, saya berniat untuk bertemu dengan teman SMA saya. Saya meminta ijin kepada orang tua saya untuk pergi ke rumah teman saya. Posisi saya pergi ke rumah teman saya. Kepentingan saya ingin bertemu teman saya. Posisi orang tua saya tetap di rumah. Kepentingan orang tua saya membantu orang tua di rumah makan milik keluarga. Demand saya, saya harus ke rumah teman saya hari itu juga.
    Melihat kondisi tersebut, saya langsung menggunakan taktik menyerang persuasive arguments. Saya mengutarakan beberapa alasan mengapa saya harus pergi ke rumah teman saya saat itu juga. Diantaranya, saya sudah lama tidak bertemu teman saya dan saya ingin bersilaturahmi; saya sudah punya janji bertemu hari itu; dan rumah makan siang itu tidak begitu ramai pengunjung. Namun orang tua saya juga menyerang dengan persuasive arguments. Mereka mengatakan bahwa bertemu dengan teman saya tidak harus hari itu; dan hari ini orang tua saya ingin saya bantu-bantu di rumah makan.
    Kemudian saya memakai taktik menyerang time pressure dengan mengatakan bahwa tanggal 8 Oktober, teman saya sudah harus kembali ke Bandung. Sementara tanggal 7 Oktober, rumah makan keluarga saya telah di booking untuk 2 acara besar sekaligus. Dimana rumah makan akan lebih ramai dari biasanya dan saya akan benar-benar dibutuhkan sebagai tenaga tambahan untuk mengurus rumah makan. Sehingga kesempatan yang saya punya untuk bertemu dengan teman saya hanyalah hari itu.
    Saya menyerang sekali lagi dengan positional commitment. Saya mengatakan, pilih saya pergi hari ini dan saya bisa bantu besok, atau saya bantu hari ini tapi besok saya pergi dan tidak bisa bantu. Orang tua saya nampak bingung menanggapi situasi itu.
    Kebetulan kakak saya yang setiap hari selalu sibuk urusan kampus, hari itu sedang menganggur. Jadi saya mengusulkan BATNA dengan meminta kakak saya menggantikan saya bantu-bantu di rumah makan. Kakak saya setuju dan akhirnya menjadi penyelesaian masalah kompensasi spesifik. Karena saya bisa pergi ke rumah teman saya hari itu dan orang tua saya mendapatkan bantuan tenaga hari itu oleh kakak saya.

47. Ardaiyenne S
Menjelang lebaran tiba, saya mengajak saudara saya untuk ikut menemani saya belanja atau sekedar window shopping di Galeria. Sebenarnya kala itu saya berniat mencari sepatu sandal atau selop untuk keperluan dadakan. Namun, saya ingin mengajak salah seorang teman yang dapat menemani saya berbelanja. Ketika saya mengajak dan menawarkan kepada saudara saya, ternyata saudara saya tersebut langsung menyanggupi karena ternyata saudara saya juga ingin mencari sandal dan membelikan adiknya sepatu. Namun, saudara saya tersebut menawarkan pergi ke Galeria di sore hari karena dia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah sampai siang hari. Namun, saya menawarkan di siang hari saja mengingat di sore hari saya mempunyai acara buka puasa bersama dengan teman-teman saya. Mengetahui hal tersebut, saudara saya mencoba untuk menyanggupinya dan meminta saya untuk menunggu kedatangannya di rumah saya siang hari tanpa menyebutkan spesifikasi jam kedatangannya. Dan selepas zuhur setelah menunggu di rumah, kami bertiga (saya, saudara saya, dan adiknya) berangkat ke Galeria.
       Dari kasus di atas, diketahui bahwa posisi pihak pertama dan pihak kedua (saudara pihak pertama) sama, yaitu berbelanja. Namun, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Pihak pertama dapat dikatakan mempunyai lebih dari satu kepentingan, yaitu mencari teman untuk diajak jalan, mencari sepatu sandal/selop untuk keperluannya. Sedangkan pihak kedua mempunyai kepentingan membeli sandal untuk dirinya dan sepatu untuk adiknya. Dalam hal ini kepentingan kedua pihak dapat kita petakan sebagai berikut:
       Pihak pertama:     Pihak kedua:
o    Mencari dan mengajak teman (prioritas)  -   Membeli sandal dan sepatu
o    Mencari/membeli sepatu sandal
       Karena mengetahui kondisi pihak pertama yang mempunyai acara di sore hari, akhirnya pihak kedua menyanggupi tawaran pihak pertama untuk pergi belanja di siang hari. Dan pihak kedua terpaksa meninggalkan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan seluruhnya. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi pihak kedua karena pihak kedua juga mempunyai kepentingan yang sama dengan pihak pertama, yaitu belanja (membeli sandal dan sepatu) dan sekaligus dapat memanfaatkan momentum yang ada (karena ada yang mengajaknya jalan bersama-pihak pertama). Sedangkan pihak pertama dapat memenuhi kepentingannya yaitu mencari teman belanja bersama sekaligus dapat mencari sepatu sendal.
       Taktik berunding seperti ini disebut dengan logrolling, di mana berunding dengan melihat kepengtingan masing-masing terlebih dahulu lalu bertukar kepentingan (prioritas). Jika ada pihak yang mempunyai lebih dari satu kepentingan, maka prioritas dari kepentingan-kepentingan itu yang akan didahulukan. Taktik berunding seperti logrolling merupakan salah satu taktik dalam gaya berunding yang collaborating / problem solving. Dari kasus di atas, semua pihak mendapatkan kepentingannya masing-masing. Pihak pertama dapat mengajak teman berbelanja untuk dapat menemaninya berbelanja sedangkan pihak kedua dapat membeli sendal dan sepatu.
       Jika dikaitkan dengan matching-mismatching, suatu reaksi menanggapi perilaku pihak lawan, maka kasus di atas mengalami mismatching pada awal negosiasi yaitu ketika pihak kedua menawarkan pergi belanja sore hari, sedangkan pihak pertama menginginkannya di siang hari. Proses matching terjadi di tengah-tengah negosiasi ketika pihak kedua berusaha menyesuaikan/menyeimbangkan pihak pertama yang tidak bisa pergi belanja di sore hari karena telah mempunyai acara lain. Dan pihak pertama juga berusaha untuk menunggu pihak kedua di rumahnya untuk pergi belanja bersama

48. Destania Sagitarisheyla
Kali ini saya melakukan negosiasi bersama orangtua saya. Ibu saya memutuskan untuk membelikan saya tiket pulang pada tanggal 11 Oktober di karena kan kuliah saya masuk tanggal 13 Oktober. Tiket pun di beli dan dicetak karena ibu saya beranggapan tanggal tersebut tidak akan berubah lagi. Namun saya berubah pikiran. Saya memutuskan pulang ke Jogja lebih awal, yaitu tanggal 9 Oktober, karena alasan belum mengerjakan tugas dan tidak membawa bahan untuk belajar ke rumah. Saya pun menyampaikan hal tersebut kepada Ibu saya. Awalnya ibu saya tidak setuju, dia beranggapan bahwa tugasnya bisa langsung dikerjakan begitu saya pulang ke Jogja nanti, belum lagi tiketnya sudah di bayar sehingga  Ibu saya berkeberatan untuk membeli tiket baru. Saya mencoba meyakinkan ibu saya bahwa saya memang harus pulang tanggal 9 dengan alasan apabila saya ke Jogja terlalu mepet dengan jadwal masuk maka saya tidak sempat lagi mengulang bahan-bahan pelajaran dan tidak sempat lagi mengerjakan tugas. Akhirnya Ibu saya mengalah membiarkan saya ke Jogja lebih awal dengan syarat saya diharuskan membayar tiket pengganti tersebut dengan tabungan saya sendiri. Saya pun menyetujui syarat tersebut dan kesepakatan pun berhasil kami capai.
Negosiasi kali ini saya memakai taktik menyerang persuasive arguments sekaligus time pressure untuk meyakinkan Ibu saya agar memperbolehkan saya pulang ke Jogja lebih cepat. Hasil yang dicapai adalah problem solving. Gaya konflik yang saya pakai adalah compromize dengan taktik memecahkan masalah Kompensasi nonspesifik yaitu Ibu saya setuju saya kembali ke jogja lebih cepat namun saya diharuskan membayar tiket pengganti dengan memakai  uang tabungan saya sendiri.

49. Elisabeth Nasution
Sepuluh hari ini saya berbagi kamar kos dengan seorang teman (A) yang tidak berani tinggal di kosnya sendiri karena ketakutan ditinggal teman-teman kos. Saya sih santai saja. Kami lantas menghabiskan libur Lebaran bersama.
      Beberapa hari yang lalu kami meminjam empat DVD film yang ternyata dua diantaranya tidak bisa diputar di laptop saya namun bisa diputar di DVD. Sayang sekali piker saya kalau film ini dikembalikan begitu saja. Untuk sementara saya piker kami tonton saja dua film lainnya. Sebenarnya teman saya yang lain (B) sedang ke Jakarta, dia menitipkan kunci kosnya kepada saya, dan dia memiliki DVD. Hanya saja saya tidak mengajukan ide untuk menonton di sana. Karena beberapa hari sebelumnya kami juga sudah menonton di sana dan A membuat kamar itu terlihat seperti kapal pecah. Saya sudah meminta A untuk membersihkannya namun ia menolak dan malah meninggalkan saya sendiri di kamar itu. Saya berpikir biar saja kamar itu berantakan, nanti saat B pulang dan menanyakan siapa pelakunya, saya akan mengatakan A pelakunya. Mungkin dengan cara seperti itu A akan jera. Saya akan ke kos B kalau kos itu sudah bersih.
      Besoknya, A mengajukan ide untuk menonton di tempat B. langsung saja saya menolak. Namun ia tetap memaksa karena satu diantara dua film yang tidak bisa diputar di laptop saya adalah film yang sudah lama sekali ingin ia tonton. Sejenak berpikir sayapun berkata “Ok, kita nonton di sana, tapi dengan satu syarat dan kamu tidak boleh menolak.” Dengan wajah menyerah dia lantas menanyakan apa syaratnya. Saya berkata lagi “Kamu harus merapikan kamarnya, mencuci piring, dan menyapu lantainya. Kan kamu yang buat jorok. Kalo ga mau ya sudah, filmnya dikembalikan aja!” Hore! Saya berhasil “memaksanya”. Kami lalu ke kos B, dia merapikan kos, saya ngemil snack. Setelah selesai beres-beres, kami pun menonton dengan hati gembira.
      Posisi saya, mau ke kos B kalau kosnya sudah bersih, teman saya  menonton film di kos B. Kepentingan saya  tidak suka dengan keadaan kamar yang berantakan akibat ulah A. Kepentingan A  film tersebut tidak bisa diputar di laptop saya. Negosiasi ini diakhiri dengan win-win solution.

50. Fauzia Ariani
Saya butuh membeli charger HP. Di toko, penjual menawarkan harga Rp 35 ribu. Bagi saya harga itu terlalu mahal untuk sebuah charger. Saya menawarnya menjadi Rp 15 ribu. Mas penjual dengan tegas menolak. Saya menawar lagi Rp 20 ribu, si mas tetap bersikukuh dengan tawaran awal, sembari mengatakan harga itu pantas karena kualitasnya bagus dan bergaransi 2 minggu. Saya sudah hampir pergi ketika si penjual akhirnya bilang, “Mbak, 25 ribu deh!”. Akhirnya saya sepakat. Tapi saya merasa hanya membawa Rp 20 ribu, tanpa mengecek dompet lagi saya pun bilang ke si mas saya mau ambil uang dulu ke ATM. Sekembalinya saya ke toko tersebut, saya kaget ketika membayar, uang saya Rp 50 ribu hanya diberi kembalian Rp 20 ribu oleh karyawan toko yang lain. Saya bilang kalau mas yang tadi melayani saya sudah sepakat Rp 25 ribu. Lalu datanglah mas yang saya maksud, sambil berkata, “Iya mbak ,25 ribu gak pake garansi”.  Saya merasa dicurangi, seketika itu saya protes, sebab tadi mas tersebut menyepakati harga Rp 25 ribu tanpa syarat apapun. Akhirnya si mas memberi garansi 3 hari. Karena menurut saya 3 hari sudah lebih dari cukup untuk mengetes charger yang saya beli berfungsi baik atau tidak, saya pun sepakat. Rp 25 ribu dengan garansi 3 hari. ****
isu tunggal => beli charger HP
Posisi penjual (demand) : menawarkan Rp 35 ribu, garansi 2 minggu
Posisi saya (demand) : menawar menjadi Rp 15 ribu (tak terlalu mementingkan garansi berapa lama)
Goal saya : 20rb,  Limit saya: 25rb
Kepentingan penjual => untung banyak ; Kepentingan saya => harga murah
Taktik dan analisis perundingan saya: awalnya contending dengan tetap kukuh pada posisi. Ternyata si penjual juga sama2 contending. Saya hampir melakukan withdrawal dengan pertimbangan BATNA yaitu saya keluar dari perundingan ini dan punya opsi masuk ke perundingan dengan penjual2 HP lain dan akan mendapat lebih murah, dimana saya juga tidak perlu merasa rugi jika melakukan BATNA (capek jalan kaki, keluar masuk toko) karena sepanjang jalan toko-tokonya menjual HP. Ketika saya hampir pergi, mungkin si penjual mempertimbangkan cost of failure berupa bayangan keuntungan yang malah tidak jadi didapat sama sekali, sehiingga kemudian menurunkan tuntutan menjadi 25 ribu. Setelah sepakat, baru saya ketahui ternyata si penjual mau menurunkan tuntutan karena menurunkan kualitas penawaran berupa pengurangan masa garansi. Dengan isu pengurangan masa garansi, penjual memperbesar sumber daya yang dirundingkan, dari isu harga ditambah dgn isu masa garansi, sehingga posisi juga berubah pada titik ini, penjual di posisi garansi 3 hari, saya di posisi 2 minggu seperti tawaran awal. Tapi meski tidak sesuai tuntutan awal (25ribu garansi 2 minggu), tapi saya tetap merasa menang/untung karena sudah ada garansi 3 hr yg cukup untuk menguji berfungsinya charger, sementara harga yang saya dapat sudah lebih rendah dari tawaran awal mereka.
Setelah negosiasi benar-benar selesai, dapat saya simpulkan bahwa perundingan yang tadinya contending dan hampir terjadi withdrawal, lalu berakhir dengan problem solving berupa mediocre-mediocre (sifat perundingan menjadi kompromi), dimana saya mendapat harga lebih rendah dengan mengorbankan sebagian masa garansi, sementara si penjual mendapat untung uang lebih sedikit tapi tidak merasa menang/tidak terlalu rugi karena berhasil mengurangi masa garansi.
Continue reading 31. DIMAS ARYA PAMBUDI KATIM